• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
API DI TANAH SPARTA

API DI TANAH SPARTA

April 9, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
API DI TANAH SPARTA

API DI TANAH SPARTA

Darah, Pengkhianatan, dan Perjuangan di Balik Kejayaan Sparta

by FASA KEDJA
April 9, 2025
in Sejarah
Reading Time: 22 mins read

Prolog

Ketika Menjadi Darah Mata Uang Kekuasaan

Malam itu, langit di atas Sparta terbakar merah. Bukan oleh nyala api, tapi oleh darah yang tumpah secara diam-diam di balik dinding megah kota yang dibangun dari disiplin, kekuatan, dan ketakutan.

Di sebuah ruang tersembunyi di dalam kompleks istana, seorang pria tua tergeletak di depan altar kayu zaitun. Pelipisnya berdarah, tubuhnya gemetar, namun matanya tak menunjukkan ketakutan. Ia adalah Damaratos, salah satu jenderal paling dihormati dalam sejarah militer Sparta—sosok yang pernah membawa pasukan ke kemenangan di perbatasan Argos, dan yang suaranya dulu menggema di Majelis Tinggi.

Tapi malam ini, ia hanyalah seorang tahanan, dihakimi oleh bayangan penguasa yang tak terlihat.

Di hadapannya berdiri empat orang berselubung, wajah mereka tersembunyi di balik topeng perunggu yang memantulkan cahaya obor. Di tangan salah satu dari mereka, sebilah belati pendek berlumur racun berkilat di bawah cahaya.

“Pengkhianatanmu tak akan mengotori tanah ini lebih lama lagi, Damaratos,” ucap suara dingin dari salah satu topeng. “Jangan lupa tempatmu.”

Damaratos mendongak, menatap langsung ke wajah kosong si penuduh. “Yang kalian takuti bukan aku… tapi kebenaran. Dan kebenaran selalu menemukan jalannya.”

Belati itu menusuk pelan, tanpa suara, dan tubuh sang jenderal tumbang ke tanah dingin, darahnya membentuk sungai kecil yang mengalir ke celah-celah lantai batu. Tidak ada pengumuman kematian resmi, tidak ada pemakaman militer. Hanya penghilangan yang menyelimuti bisikan dan ketakutan.

—

Bertahun-tahun kemudian, di sudut kota yang keras, seorang pemuda melatih tubuhnya di bawah pengawasan keras pelatih agoge. Otot-ototnya terbentuk dari rasa kehilangan, kegelisahan ditempa oleh pertanyaan yang tak pernah terjawab.

Namanya Theron, anak dari Damaratos. Sejak kecil ia diajari bahwa ayahnya tewas dalam pertempuran yang mulia, namun hatinya tak pernah percaya kisah itu. Ada terlalu banyak celah, terlalu banyak bisikan samar yang berbicara tentang malam kelam tanpa saksi.

Theron tumbuh sebagai prajurit berbakat, tapi di balik setiap gerakan perisainya, tekad tersembunyi membara: menemukan kebenaran di balik kematian ayahnya. Namun di Sparta, kebenaran bukanlah sesuatu yang dicari. Ia adalah racun bagi stabilitas, ancaman bagi penguasa bayangan.

Sparta yang dikenal dunia sebagai negeri para pejuang hebat, sejatinya menyimpan luka dalam yang terbungkus oleh kesuksesan. Kekuasaan tidak hanya dijaga oleh tombak dan perisai, tapi juga oleh intrik, persekongkolan, dan pengorbanan diam-diam.

Majelis, yang seharusnya menjadi suara rakyat, telah lama disusupi oleh para ephor—lima penguasa tanpa mahkota, yang menjadikan Sparta medan permainan rahasia mereka. Di antara mereka, seorang tokoh mulai naik ke permukaan: Ephoros, pria berwajah arif tapi berhati busuk, yang tangannya menjangkau setiap sudut kekuasaan, dan yang menganggap pengabdian sebagai topeng untuk ambisi.

Saat Theron mulai mengorek masa lalu, ia tak sendirian. Di jalannya, ia bertemu Lysandra, putri dari salah satu anggota dewan yang terbunuh secara misterius. Kecerdasannya tajam, ucapannya menggugah, dan hatinya terbakar oleh dendam yang serupa. Bersama, mereka membuka lembaran lama yang ditutupi debu waktu—dan darah.

Namun penggalian itu membawa mereka ke jurang berbahaya. Setiap saksi yang bersedia bicara lenyap. Setiap dokumen yang membahayakan para ephor dibakar, setiap langkah mereka diawasi. Ketika seorang sejarawan tua bernama Nikomedes akhirnya bersedia membuka mulut, nyawanya pun dipertaruhkan.

“Sparta bukan hanya kota,” ucap Nikomedes suatu malam, “ia adalah mitos yang dibangun dengan kematian. Dan mitos itu dilindungi oleh mereka yang menganggap diri sebagai dewa.”

Bagi Theron, pilihan menjadi semakin jelas: diam dan hidup sebagai alat, atau bangkit dan mati sebagai manusia bebas.

Di balik kejayaan Sparta, ada harga mahal yang dibayar oleh mereka yang menolak tunduk. Dan sekarang, di antara arsitektur batu megah dan medan latihan berdarah, api mulai menyala—api kecil yang akan tumbuh menjadi badai.

Theron, pewaris darah seorang martir, telah memulai perjalanannya.

—

Dan begitulah, di tanah keras yang membentuk pejuang dari anak-anak dan menjadikan kehormatan sebagai mata uang hidup, sebuah kisah lahir—kisah tentang pengkhianatan, cinta, dan kebenaran yang enggan dibungkam.

Karena dalam sejarah yang ditulis oleh para pemenang, selalu ada suara yang luput, menunggu untuk ditemukan kembali.*

 

Bab 1: Api di Tanah Sparta

 

Langit senja berwarna merah darah menggantung di atas kota Sparta. Asap membumbung dari barak-barak yang terbakar, menari di udara seperti roh-roh para prajurit yang gugur. Suara kaki para hoplites berpadu dengan pekikan gagak, menciptakan irama kelam yang menggetarkan jantung.

Theron berjalan perlahan melewati gerbang kota, tombaknya bersandar di bahu, jubah merahnya kotor oleh debu dan darah. Ia baru kembali dari pertempuran di wilayah Korinthos, membawa luka dan kenangan pahit atas banyak rekan seperjuangannya yang tak kembali.

Namun, bukan itu yang membuat langkahnya berat.

Dua hari yang lalu, sebuah pesan rahasia sampai padanya di medan perang: Ayahmu telah dibunuh. Pulanglah segera.

Damaratos, ayahnya, adalah anggota Gerousia—dewan tua yang disegani dan ditakuti di Sparta. Seorang orator ulung dan pemimpin yang sering mengambil tindakan tegas terhadap keputusan raja, Damaratos bukan hanya ayah bagi Theron, melainkan simbol kehormatan yang selama ini ia junjung.

Theron melangkah cepat ke rumah keluarganya, yang terletak di ujung jalan berbatu dekat Agora. Namun ketika sampai, ia hanya mendapati ketenangan yang menggema. Pintu rumah terbuka setengah, dan bau dupa serta darah tercium samar dari dalam.

Ia masuk perlahan, matanya menyapu tiap sudut ruangan. Kain-kain putih menutupi furnitur, dan di tengah ruangan, seorang wanita tua duduk bersila di dekat altar kecil. Ia adalah Kyra, pengasuh keluarga yang sudah mengabdi sejak Theron kecil.

“Theron…” suaranya gemetar. “Kau akhirnya datang.”

Ron tergeletak di hadapannya. “Apa yang terjadi pada Ayah?”

Kyra menunduk, matanya berkaca-kaca. “Ia dibunuh tiga malam yang lalu, dengan tangan yang tahu jalan rumah ini dengan baik. Tidak ada tanda merangkulan. Tidak ada suara perlawanan. Hanya satu tusukan di jantung.”

Theron mengepal tangannya. “Siapa yang terakhir melihatnya?”

“Dia bertemu dengan Ephoros—anggota dewan ephor—beberapa jam sebelum terbunuh. Mereka berdebat soal keputusan militer yang akan diambil Sparta.” Kyra menatap Theron penuh ketakutan. “Anak muda… kota ini bukan lagi seperti yang dulu. Mata-mata ada di mana-mana. Dan kebenaran dibungkam dengan pedang.”

Theron berdiri dan melangkah menuju kamar ayahnya. Ia mendorong pintu kayu tua itu dan menatap ranjang yang kini berlumur noda kematian. Di meja kecil di sebelah ranjang, terdapat gulungan papirus yang belum terbakar. Ia membukanya.

Tulisan itu adalah catatan terakhir sang ayah.

“…jika Sparta menyerahkan harga dirinya demi perjanjian busuk dengan para pedagang senjata dari luar negeri, maka kota ini akan jatuh bukan karena musuh, melainkan karena pengkhianatan dari dalam.”

Theron merasakan darahnya mendidih. Ini bukan sekedar pembunuhan, melainkan pembungkaman terhadap suara yang berbeda.

Ia keluar dari kamar dan kembali ke hadapan Kyra.

“Aku akan mencari Ephoros. Aku ingin tahu isi pertemuan mereka. Dan aku ingin tahu siapa saja yang berada di balik ini.”

Kyra menggenggam tangannya. “Hati-hati, anakku. Para penguasa kini memakai senyuman sebagai topeng, dan racun di balik cawan anggur.”


Pagi berikutnya, Theron berdiri di depan kuil Apollo, tempat biasa para anggota dewan ephor berkumpul. Ia mengatur tangga yang dingin, sebelum akhirnya melangkah naik.

Ia disambut oleh dua pengawal ungu yang menatapnya dengan curiga. Namun nama besar Damaratos masih menjadi jimat, dan mereka mengizinkannya masuk.

Ephoros tengah duduk di sebuah bangku tnggi, membaca dokumen, sebelum akhirnya mendongak melihat kehadiran Theron.

“Putra Damaratos,” dia datar. “Aku turut berduka atas kematian ayahmu. Ia adalah pria penuh semangat.”

“Dan juga musuh politikmu, bukan?” sahut Theron tajam.

Ephoros tersenyum tipis. “Dalam politik Sparta, tidak ada teman atau musuh sejati. Yang ada hanya keputusan dan akibat.”

“Dia menulis tentang pengkhianatan. Tentang rahasia perjanjian dengan bangsa luar. Apa yang kalian rencanakan?” tanya Theron dengan suara rendah namun penuh ancaman.

Ephoros berdiri perlahan sambil menatap mata pemuda itu. “Berhati-hatilah, Theron. Sparta butuh kesatuan, bukan hasutan. Jika kau bersumpah sembarangan, kau bisa berakhir seperti ayahmu.”

Itu adalah ancaman terselubung, dan TheronApi di Tanah Sparta tahu.

Ia keluar dari kuil dengan napas berat. Dunia yang ia kenal sebagai tempat terhormat dan disiplin kini berubah menjadi arena tipu daya. Tapi satu hal pasti—dia tidak akan diam. Ia akan menggali lebih dalam.


Malam itu, saat berjalan di tepi sungai Eurotas, seorang perempuan mendekatinya dari bayang-bayang pepohonan. Jubah abu-abunya menutupi sebagian wajahnya.

“Aku tahu kenapa ayahmu dibunuh,” katanya lirih.

Theron mengangkat tombaknya. “Siapa kamu?”

“Namaku Lysandra. Aku penjaga catatan kuil Artemis. Damaratos sering mengunjungiku secara diam-diam untuk mencatat dokumen rahasia. Ia tahu bahwa dewan ephor sedang menyusun rencana untuk menjual sebagian tanah Sparta kepada bangsa asing demi keuntungan pribadi.”

Theron tercengang. “Itu…mengkhianati tingkat tertinggi!”

Lisandra mengangguk. “Dan lebih buruk lagi, raja pun tahu. Tapi ia bungkam.”

Theron merasakan dunia runtuh di bawah kakinya. Kini dia mengerti: ayahnya bukan hanya dibunuh karena opini, tapi karena tahu terlalu banyak.

“Kita harus mengungkapkan semuanya,” ujar Lysandra.

Theron memandang lekat-lekat. “Lalu mulai dari mana?”

Lysandra menarik gulungan kecil dari balik jubahnya. “Dengan ini. Catatan asli perjanjian rahasia itu. Tapi untuk membuktikannya, kita harus menemukan Saksi yang bersumpah di bawah altar Zeus.”

Kemudian dia memutar gulungan itu erat. Cahaya bulan bersinar di matanya—mata yang tak lagi hanya milik seorang prajurit, tapi mata seorang pemberontak yang haus kebenaran.*

 

 

Bab 2: Suara di Balik Topeng

Malam menebar hawa dingin ketika Lysandra memimpin Theron melewati lorong tersembunyi di belakang kuil Artemis. Tempat itu sunyi, jauh dari keramaian Agora, dan dinding-dindingnya dipenuhi relief dewa-dewi yang terukir dalam bisu. Di bawah cahaya obor, langkah mereka terdengar nyaring, menggema seperti bisikan para leluhur.

Lysandra membuka pintu batu kecil yang tertutup lumut. “Ini ruang arsip yang bahkan para pendeta biasa tidak tahu. Damaratos menyembunyikan salinan dokumen-dokumen penting di sini. Ia tahu waktunya tak lama.”

Mereka masuk. Ruangan itu kecil dan dingin. Rak-rak kayu berjejer, berisi gulungan-gulungan tua yang berdebu. Di salah satu pojok, terdapat meja batu dengan lilin yang sudah meleleh habis.

Lysandra mengeluarkan kunci kecil dari kalungnya dan membuka laci rahasia di bawah meja. Dari dalamnya, ia menarik sebuah gulungan bersegel merah tua. “Ini—perjanjian antara tiga anggota ephor dengan saudagar dari Miletos. Mereka menjanjikan konsesi tambang dan hak pelabuhan dengan ketidakseimbangan pasokan senjata dan emas.”

Kemudian membaca dengan cepat. Matanya menajam. “Tanda tangan… ini tanda tangan Ephoros.Dan juga Amaxandros dan Gelon.” Ia menggeleng. “Mereka bukan orang sembarangan. Dua di antaranya bisa menjadi raja jika Majelis memilih.”

Lysandra meletakkan jari telunjuk di tepinya. “Itulah sebabnya ini harus ditangani dengan hati-hati. Jika mereka tahu kita membawa dokumen ini, nyawa kita tak lebih berharga dari pasir di sungai Eurotas.”

Theron menatap ke dalam. “Mengapa kamu melakukan ini? Mengapa mengambil risiko sebesar ini?”

Lysandra tersenyum pahit. “Karena aku dibunuh oleh rezim yang sama. Ia juga seorang penjaga kuil, dan ia tahu tentang perjanjian gelap itu sejak awal. Tapi ia memilih diam… sampai mereka mencium keberadaannya.” Suaranya menggunakan. “Aku tidak akan membiarkan sejarah mengubur suara-suara seperti ibuku dan ayahmu.”

Theron mengangguk. Ia merasa ada benang takdir yang menyatukan mereka berdua. Dua anak dari pengorbanan yang dikhianati, dipersatukan oleh balas dendam dan harapan yang sama.

“Langkah pertama,” ujar Lysandra, “adalah mencari saksi hidup—seseorang dari pihak lawan yang bersedia bicara. Aku tahu satu orang: Nikomedes, mantan pedagang dari Miletos yang tinggal di luar tembok Sparta. Ia adalah penghubung dalam awal ini, tapi kemudian disingkirkan.”

Kemudian dia memutar gulungan itu erat. “Kita berangkat besok pagi. Tapi sebelum itu, aku harus menemui seseorang.”


Pagi harinya, matahari baru menyembul di balik pegunungan Taygetos ketika Theron berjalan menuju rumah teman masa kecilnya, Alkaios. Dulu mereka berlatih bersama di agoge—tempat pelatihan militer Sparta—dan Alkaios kini menjadi bagian dari pengawal istana.

Alkaios sedang mengasah pedang ketika Theron muncul.

“Itu!” serunya. “Kau masih hidup!”

Mereka berpelukan singkat. Tapi munculnya Theron serius, membuat Alkaios segera mengerti bahwa ini bukan kunjungan biasa.

“Aku butuh bantuanmu,” kata Theron. “Ayahku dibunuh karena sesuatu yang besar. Dan aku punya bukti.”

Alkaios menajamkan muncul. “Kau yakin ingin bermain dengan api, teman?”

“Jika kita tidak melawan sekarang, Sparta akan menjadi kota budak di bawah topeng kemegahan. Aku tak bisa duduk diam sementara para penguasa menjual tanah leluhur kita demi kekuasaan.”

Alkaios menarik napas panjang. “Baiklah. Aku tak bisa menonton secara terang-terangan. Tapi jika kau butuh senjata, tempat berlindung, atau jalan masuk ke istana, aku bisa mengaturnya.”

Theron menampar bahunya. “Itu lebih dari cukup.”


Jadi, Theron dan Lysandra menunggang kuda keluar dari gerbang kota. Mereka menuju perbukitan barat, tempat Nikomedes tinggal di Swiss. Jalanan sunyi, hanya ditemani desir angin dan meletusnya patung-patung batu yang ditinggalkan di pinggir jalan kuno.

Di tengah perjalanan, Lysandra sempat bertanya, “Apa kau pernah berpikir untuk meninggalkan semua ini? Pergi ke luar negeri dan memulai hidup baru?”

Theron menatap tajam ke bawah. “Aku pernah berpikir begitu. Tapi darah ayahku tertumpah di tanah ini. Jika aku pergi, mengorbankannya akan sia-sia. Sparta adalah rumahku—aku tidak akan membiarkan hancur karena pengkhianatan.”

Sesaat, hanya ada diam di antara mereka. Tapi dalam diam itu, tekad lahir yang tak bisa dibalikkan.


Menjelang malam, mereka tiba di sebuah gubuk di lereng bukit. Asap mengepul dari cerobong kecil, tanda kehidupan. Kemudian turun dari kuda dan mengetuk pintu.

Seorang pria tua dengan janggut abu-abu membuka pintu. Matanya berbinar saat melihat mereka.

“Apa yang kalian cari?” tanyanya curiga.

“Kebenaran,” jawab Lysandra. “Dan keadilan bagi mereka yang dibungkam.”

Nikomedes mengamati mereka sejenak, lalu memberi isyarat untuk masuk. Di dalam, rumah itu sederhana. Beberapa gulungan papirus berserakan di atas meja, dan pedang tua tergantung di dinding.

Theron penyerahan gulungan perjanjian. “Ini asli, bukan?”

Nikomedes membaca. Mata berkaca-kaca. “Ya. Aku ikut menulis ini. Tapi setelah kesepakatan selesai, mereka mencoba membunuhku. Aku melarikan diri ke sini, hidup dengan bayang-bayang rasa bersalah.”

“Kau bisa menjadi Saksi,” kata Lysandra. “Kami membutuhkan seseorang yang bisa tampil di bawah altar Zeus, di hadapan rakyat.”

Nikomedes menggeleng. “Itu bunuh diri.”

“Dan diam adalah penghianatan,” sahut Theron tajam.

Sunyi. Lalu Nikomedes menarik napas panjang. “Kalau begitu, aku akan tenggelam. Tapi syaratnya: jika aku mati, ceritaku harus tetap hidup. Jangan biarkan mereka menulis ulang sejarah.”

“Kami berjanji,” jawab Theron.

Malam itu, di luar gubuk, Theron berdiri menatap bintang-bintang. Ia merasa malam lebih gelap dari biasanya, seolah para dewa pun menahan napas.

“Jika aku gagal,” gumamnya, “aku tak hanya kehilangan nyawa. Tapi juga kehilangan nama keluargaku.”

Lysandra muncul di situ. “Kita tidak akan gagal. Kita hanya membutuhkan satu malam keadilan untuk menebus seribu malam ketidakadilan.”

Dia menoleh padanya. Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, dia merasa tidak sendirian. Meskipun masa depan masih gelap, cahaya kecil mulai menyala—cahaya yang bisa membakar topeng para penjahat.*

 

Bab 3: Darah dan Kehormatan

Fajar menyapu langit Sparta dengan semburat oranye ketika Theron dan Lysandra kembali ke kota. Nikomedes menyamar sebagai pedagang tua dengan karung berisi gulungan papirus palsu, sementara Theron memegang erat salinan perjanjian yang diselipkan di balik sabuknya. Mereka bermaksud menemui seorang hakim tua bernama Leonidas—salah satu dari sedikit orang jujur ​​yang masih tersisa dalam sistem hukum Sparta.

Namun langkah mereka baru menjejak Agora, ketika suara teriakan menggema di udara.

” Tangkap dia! Pengkhianat kota! “

Refleksnya beralih, dan pada saat itu juga, lima prajurit bersenjata lengkap berlari ke arahnya, tombak terhunus dan wajah mereka penuh amarah.

“Lari!” teriaknya kepada Lysandra dan Nikomedes.

Mereka berpencar di tengah keramaian. Theron berlari menuju pasar tua, melewati kios-kios yang belum buka. Dinding batu dan gang-gang sempit menjadi jalur pengungsinya. Namun para prajurit tak mudah disesatkan.

Ia menghunus pedangnya. Di ujung gang, dua tentara menyerangnya secara bersamaan. Ia memutar tubuh, menangkis tombak yang meluncur, lalu membungkus perut salah satunya dengan gerakan cepat. Yang lain menyerang dari samping, tapi Theron menangkis dan menyikut wajahnya hingga roboh.

mengotori tanah, dan detak jantungnya menggema di telinga. Napasnya berat, tapi ia tahu ini belum berakhir.

Di sisi kota lain, Lysandra dan Nikomedes bersembunyi di kuil kecil Demeter. Mereka duduk membungkuk di belakang altar, berusaha meredam suara napas.

“Siapa yang membocorkan keberadaan kita?” bisik Lysandra.

Nikomedes menatapnya lelah. “Satu-satunya yang tahu kita kembali ke kota hanyalah teman Theron—Alkaios.”

Lysandra curiga, tapi tak berkata apa-apa. Mereka harus bertahan lebih dulu.

Sementara itu, Theron mencari perlindungan di rumah pengasuh lamanya, Kyra. Ia mengetuk pelan pintu belakang, dan sang wanita tua segera membukakan, wajahnya penuh ketakutan.

“Mereka mencarimu,” bisiknya. “Ada pengumuman di alun-alun. Kau bermaksud membunuh dua prajurit dan merencanakan meracuni raja.”

Theron memegang gagang pintunya. “Mereka sedang mempersiapkan eksekusi. Ini perang psikologis. Mereka ingin membuat terlihat sebagai penjahat.”

Kyra menatap penuh iba. “Apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku harus menyerahkan bukti pada rakyat. Di hadapan Majelis. Sebelum mereka menghilang.”

Kyra meraih bungkusan kecil dari laci. “Ini jubah lama ayahmu. Gunakanlah. Mungkin dengan penyamaran, kau bisa menyusup ke Majelis esok.”

Theron menerima pakaian itu dengan mata berkaca-kaca. Jubah biru tua dengan simbol rumah—singa persaudaraan—masih utuh meski sudah usang.

“Ayah… bantu aku dari tempatmu kini,” gumamnya.


Malam menjelang. Kota Sparta tegang. Di dalam istana, para anggota dewan ephor mengumumkan bersiap mengumumkan Theron secara resmi. Sementara itu, Lysandra berhasil menyusup ke rumah Alkaios. Ia menunggunya di dalam, dan ketika prajurit itu pulang, Lysandra menodongkan belati untuk mengingatkannya.

“Kau yang membocorkan informasi itu,” bisiknya dingin.

Alkaios menegangkan. “Aku tak punya pilihan! Mereka mengancam keluargaku. Ibuku… adikku… mereka akan dibunuh jika aku tak bicara.”

Lysandra menahan amarahnya. “Kau bisa memperbaiki kesalahanmu. Bantu kami masuk ke ruang Majelis besok. Itu saja.”

Alkaios menjawab. Lalu perlahan mengangguk.


Pagi berikutnya, udara terasa lebih berat dari biasanya. Di pusat kota, rakyat berkumpul. Dewan ephor berdiri di balkon tinggi dengan wajah penuh wibawa. Ephoros sendiri berdiri di tengah, berbicara lantang:

” Hari ini, kita akan mencabut kehormatan dari seorang pengkhianat! Theron, putra Damaratos, telah menodai Sparta dengan hasutan dan pengkhianatan! “

Kerumunan mulai gaduh. Beberapa menyebut nama Theron dengan kemarahan, tapi sebagian lainnya diam, menyimpan keraguan.

Tiba-tiba, suara keras menggema dari sisi barat Majelis. Seorang pria memegang tangannya melangkah maju, diiringi dua pengawal yang disamarkan—Theron dan Lysandra. Pria tua itu adalah Nikomedes.

“Aku membawa kebenaran!” serunya. “Dan aku tampil di hadapan Zeus, aku terlibat dalam perjanjian kotor yang dibuat oleh para penguasa kalian!”

Kerumunan membisu.

Nikomedes berdiri tegak. “Tiga dari lima dewan ephor menandatangani perjanjian dengan saudagar asing. Mereka menjual hak-hak Sparta demi emas dan kekuasaan!”

Theron maju, mengangkat gulungan perjanjian. “Ini bukti tertulisnya! Dengan meterai dan tanda tangan resmi!”

Ephoros cetak. “Omong kosong! Ini fitnah!”

Namun pada saat itu, Leonidas, sang hakim tua, melangkah ke tengah. “Biarkan rakyat memutuskan. Biarkan Saksi ini berbicara di altar Zeus. Jika ia berdusta, biarlah para dewa menjatuhkan murka.”

Perakitan diam.

Theron menatap rakyat, suaranya terdengar namun tegas. “Aku bukan pengkhianat. Aku adalah putra Sparta yang menolak melihat tanah leluhurku dijanjikan oleh mereka yang mengaku sebagai pemimpin!”

Sorak kecil terdengar dari sudut barisan. Lalu bertambah. Semakin banyak. Ketegangan meledak.

“Bawa mereka ke pengadilan suci!” teriakan seseorang dari rakyat.

Ephoros menggertakkan gigi. Saya tahu, semuanya telah berubah.


Namun malam itu, saat bersiap mereka menunggu sidang resmi, tragedi terjadi.

Nikomedes ditemukan tewas—diracun di tempat persembunyiannya.

Theron menatap tubuh dingin pria itu dengan rahangnya yang megah. “Mereka takut pada suara kebenaran. Tapi aku bersumpah, ini belum akhir.”

Lysandra berdiri di sana. “Kita harus bergerak sebelum mereka kembali menguasai opini.”

Theron menatap langit malam Sparta. “Jika darah harus dibayar dengan darah… maka besok, tanah Sparta akan memerah.”*

 

Bab 4: Jejak ke Athena

 

Setelah kematian Nikomedes, suasana kota Sparta berubah drastis. Rakyat mulai curiga, dan bisivkan tentang kebenaran menyebar dari lorong ke lorong, dari pasar ke kuil. Tapi para penguasa bergerak lebih cepat. Sidang yang dijanjikan ditunda tanpa alasan, penjagaan diperketat, dan Theron serta Lysandra menjadi buruan resmi.

 

Sembunyi di sebuah ruang bawah tanah bekas rumah tukang tembikar, Theron menatap cahaya yang masuk dari celah papan. Matanya sayu namun penuh tekad.

 

“Kita tidak bisa menunggu sidang yang tak akan pernah datang,” gumamnya. “Kita harus pergi ke Athena. Hanya di sana kita bisa bicara di hadapan dunia yang lebih luas.”

 

Lysandra mengangguk, wajahnya lelah tapi tidak gentar. “Athena membenci korupsi Sparta. Jika kita bisa membawa bukti ke pengadilan umum di Areopagus, mungkin mereka akan mendesak Sparta untuk bertindak.”

 

Theron berdiri. “Kita harus pergi malam ini.”

 

 

—

 

Perjalanan ke Athena tidaklah mudah. Mereka harus melintasi Gunung Taygetos, menembus lembah-lembah berbahaya, dan melewati hutan yang menjadi sarangnya. Namun Lysandra mengenal jalur tua para pengelana—jalan yang pernah dipakai ibunya saat melarikan diri dari pengawal kuil.

 

Di malam pertama, mereka berlindung di dalam gua kecil. Api redup menghangatkan tubuh yang membusuk.

 

“Dulu aku mengira Sparta adalah pusat dunia,” kata Theron sambil menatap api. “Kita dididik untuk percaya bahwa kehormatan hanya bisa lahir dari peperangan.”

 

Lysandra tersenyum tipis. “Tapi justru dalam keheningan seperti ini, kita benar-benar memahami arti kehormatan. Bukan dari senjata, tapi dari pilihan.”

 

Theron menoleh. “Kau tahu? Kadang aku bertanya-tanya… jika kita berhasil, lalu apa? Apa kau akan tetap di Sparta?”

 

Lysandra menatap bintang. “Aku tidak tahu. Tapi jika harus membangun ulang dari puing-puing, mungkin aku ingin melakukannya bersamamu.”

 

Diam menggantung. Tapi bukan diam yang canggung, melainkan diam yang di dalam. Diam yang menyimpan benih perasaan di antara bara balas dendam.

 

 

—

 

Pada hari ketiga, mereka tiba di dataran terbuka yang mengarah ke perbatasan Athena. Tapi saat mereka melintasi sungai kecil, sekelompok penunggang kuda muncul dari balik semak.

 

“Berhenti! Kalian melanggar wilayah kerajaan!” seru pemimpin mereka.

 

Theron dan Lysandra siap bertarung, namun salah satu dari mereka turun dari kuda dan membuka helm.

 

“Astaga…” Lysandra terperanjat. “Phaidros?”

 

Pria itu tersenyum. “Masih hidup rupanya, Lysandra. Dan masih nekat seperti dulu.”

 

Phaidros adalah teman lama Lysandra, pernah menjadi siswa filosofi di Athena sebelum memilih hidup sebagai pengawal pengelana. Ia kini bekerja untuk seorang anggota parlemen Athena yang dikenal vokal terhadap ekspansi Sparta.

 

Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, Phaidros memimpin mereka ke Athena dengan cepat, menghindari pos penjaga dan melewati desa-desa kecil yang bersahabat.

 

 

—

 

Athena menyambut mereka dengan hiruk pikuk yang berbeda dari Sparta. Kota ini dipenuhi dengan suara orator, musik, dan pasar terbuka. Bangunan tinggi berdiri megah, dan kuil-kuil dihiasi pahatan yang penuh makna. Di bawah kaki Akropolis, Phaidros membawa mereka ke rumah miring: Kleandros, seorang anggota dewan Athena yang dikenal keras terhadap pengaruh oligarki Sparta.

 

Kleandros adalah pria tua namun tajam, dengan janggut perak dan mata setajam elang.

 

“Jika apa yang kalian bawa ini benar, maka ini bisa menjadi senjata moral untuk menekan Sparta,” katanya sambil memeriksa gulungan perjanjian.

 

Theron menatapnya penuh harap. “Kami ingin mengizinkan pengaduan resmi di Areopagus, agar perjanjian itu dinyatakan ilegal secara hukum internasional.”

 

Kleandros tersenyum. “Kalian tak akan mendapat keputusan cepat. Tapi kalian akan mendapat sorotan. Dan terkadang, itu lebih mematikan daripada pedang.”

 

 

—

 

Hari sidang tiba. Di gedung Areopagus, para filsuf, pejabat, dan rakyat berkumpul. Sidang ini bukanlah pertunjukan biasa. Ini adalah panggung di mana kebenaran diperdebatkan, dan opini publik ditentukan.

 

Theron berdiri di mimbar, mengenakan jubah biru tua ayahnya. Di belakangnya, Lysandra dan Phaidros berdiri tegak.

 

“Aku tidak datang untuk meminta simpati,” katanya di depan kerumunan. “Aku datang untuk menunjukkan bahwa Sparta sedang dikendalikan oleh mereka yang telah menjual kehormatannya. Bukti ini,” ia mengangkat gulungan, “menunjukkan bahwa para ephor ekosistemnya sendiri.”

 

Sorak dan bisik-bisik langsung terdengar. Kleandros kemudian maju, memaparkan konteks politik dan ekonomi.

 

Salah satu hakim Areopagus, seorang wanita tua bernama Dione, menatap tajam ke arah Theron. “Dan apa yang kau inginkan dari Athena, wahai putra Sparta?”

 

Theron menjawab tanpa ragu. “Bukan perang. Tapi cahaya. Cahaya yang bisa membuat bayangan rahasia itu terlihat oleh dunia.”

 

 

—

 

Setelah sidang selesai, kabar tentang isi perjanjian menyebar dengan cepat. Beberapa utusan dari kota-kota tetangga mulai menulis surat terbuka, mendesak Sparta untuk mengusut kasus ini secara adil. Tekanan mulai menguat.

 

Namun ketika Theron dan Lysandra kembali ke rumah Kleandros malam itu, mereka menemukan pesan singkat tergantung di pintu:

 

“Sparta tidak melupakan. Pulanglah, sebelum tanahmu sendiri tolak namamu.”

 

Theron memegang surat itu. Mata berkobar.

 

“Aku akan pulang. Tapi bukan untuk tunduk. Untuk menuntut mereka membayar.”

 

Lysandra menggenggam tangannya. “Kali ini, kita tidak sendirian.”*

 

Bab 5 : Penutup

…Lysandra menahan amarahnya. “Kau bisa memperbaikinya.”

Alkaios menunduk. “Bagaimana?”

“Kau masih memiliki akses ke istana. Bantu kami menyusup ke Majelis saat mereka berkumpul besok. Bantu kami memperdengarkan suara Nikomedes di hadapan mereka semua. Jika rakyat mendengar kebenaran itu langsung, para penguasa tak bisa membungkamnya tanpa pertaruhan besar.”

Alkaios ragu sejenak. Tapi kemudian, tatapannya berubah. Wajahnya tidak lagi hanya milik seorang prajurit yang terjebak dalam sistem, melainkan seorang manusia yang ingin menebus kesalahan.

“Aku akan bantu kalian masuk dari gerbang timur. Tapi hanya satu kesempatan. Jika kalian tertangkap, aku tak bisa menyelamatkan kalian.”

Lysandra mengangguk. “Satu kesempatan sudah cukup.”


Keesokan harinya, matahari belum sepenuhnya naik ketika Theron mengenakan jubah ayahnya. Jubah itu berat—bukan hanya oleh kainnya, tapi oleh sejarah dan kehormatan yang melekat padanya.

Di luar, Alkaios sudah menunggu, menuntun mereka diam-diam melewati lorong rahasia menuju aula Majelis. Suara perdebatan terdengar menggema, dan pintu-pintu besar dari kayu zaitun terbuka sedikit.

Theron menoleh pada Nikomedes dan Lysandra. “Waktunya.”

Mereka masuk.

Orang-orang di dalam terdiam. Tatapan kaget, bisikan cepat, dan beberapa langkah mundur menciptakan keheningan yang menegangkan. Di podium, Ephoros berdiri dengan wajah dingin.

“Beraninya kau datang ke tempat ini, pengkhianat.”

Theron mengangkat gulungan perjanjian tinggi-tinggi. “Aku datang bukan sebagai pengkhianat, tapi sebagai anak dari Damaratos, dan sebagai putra Sparta!”

Ia melempar gulungan itu ke tengah ruangan. Lysandra mengambil alih, membacakan bagian-bagian penting dengan lantang. Nama-nama yang disebut membuat suasana mendidih.

Kemudian Nikomedes maju, berdiri di hadapan altar Majelis.

“Aku adalah Saksi hidup dari perjanjian busuk itu. Aku terlibat di awal, tapi disingkirkan ketika mencoba keluar. Kebenaran ini harus kalian dengar, sebelum darah lebih banyak tertumpah.”

Kegaduhan meledak. Beberapa anggota Majelis berdiri, ada yang menyangkal, ada yang diam dalam ketakutan. Ephoros mencoba berbicara, namun sorak-sorai dari balkon penonton—yang kini mulai mengetahui cerita sebenarnya—menenggelamkan suaranya.

Salah satu hakim tua, Leonidas, berdiri. Suaranya menggelegar, meski usianya sudah lanjut.

“Jika ini benar, maka Sparta berada di bawah ancaman dari dalam. Kita tidak bisa melanjutkan sidang ini tanpa penyelidikan resmi.”

Namun Ephoros melangkah maju, suaranya dingin. “Cukup! Rakyat tak butuh sandiwara ini!”

Ia mencabut belati dari balik jubahnya, mengarahkannya ke Theron.

Namun sebelum ia sempat bergerak, Alkaios melompat dari sisi ruangan dan menahan tangannya.

“Sandiwara ini sudah cukup lama. Kau sudah terlalu banyak membunuh!”

Perkelahian singkat terjadi. Pengawal lainnya maju, namun rakyat di balkon mulai turun, beberapa dari mereka adalah simpatisan yang sudah lama berteman dengan dewan ephor.

Dalam kekacauan itu, Nikomedes ditusuk oleh seorang tentara yang menegaskan, namun sebelum ambruk, ia berseru:

“Katatlah! Catat nama-nama mereka! Jangan biarkan Sparta lupa!”

Theron merangkul tubuh tua itu, darah mengalir di lantai batu.


Malam harinya, kota sunyi. Dewan ephor dihentikan sementara oleh keputusan Majelis darurat. Beberapa anggotanya ditahan, termasuk Amaxandros dan Gelon.

Theron berdiri di depan makam ayahnya, ditemani Lysandra dan Alkaios.

“Sparta mungkin belum pulih,” katanya pelan. “Tapi setidaknya luka itu sudah terbuka. Kebenaran sudah mulai berbicara.”

Lysandra menggenggam tangannya. “Dan kami akan memastikan suara itu terus terdengar.”

Langit dipenuhi malam bintang, dan di keheningan, suara anak-anak berlatih di agoge menggema kembali. Sebuah siklus baru dimulai—dengan darah, kehormatan, dan tekad.***

 

___________SELESAI__________

Source: Jasmine Malika
Tags: #Sparta #SejarahYunani #IntrikPolitik #Pengkhianatan #Pahlawan #Keadilan #Perjuangan #EpikSejarah #ThrillerSejarah #Konspirasi
Previous Post

RUMAH MISTERIUS

Next Post

SAAT HUJAN JATUH DI MATAMU

Next Post
SAAT HUJAN JATUH DI MATAMU

SAAT HUJAN JATUH DI MATAMU

KOTA MISTERIUS

KOTA MISTERIUS

AKHIR CINTA YANG TAK SEMPURNA

AKHIR CINTA YANG TAK SEMPURNA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In