• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
LANGKAH YANG TERTINGGAL

LANGKAH YANG TERTINGGAL

April 9, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
LANGKAH YANG TERTINGGAL

LANGKAH YANG TERTINGGAL

by SAME KADE
April 9, 2025
in Drama Kehidupan
Reading Time: 21 mins read

Bab 1 – Panggilan Terakhir

Hujan turun pelan, seperti bisikan pelan dari langit yang terlalu lelah untuk menangis. Naya memandang ke luar jendela mobil dengan pandangan kosong. Jalanan licin, pepohonan di sisi kiri kanan jalan tampak kabur oleh embun. Tak ada musik, hanya detak wiper yang lambat dan suara hujan yang jatuh seperti kenangan—menyerbu satu per satu tanpa peringatan.

Sudah lebih dari tujuh tahun sejak terakhir kali ia melewati jalan ini. Jalan menuju kampung halaman yang dulu terasa sempit dan membosankan kini justru terasa asing, seperti membuka buku lama yang sudah berdebu dan takut dibaca ulang. Di sampingnya, tak ada siapa-siapa. Ia menyetir sendiri, menempuh jarak ratusan kilometer karena satu panggilan telepon yang datang pukul 02.17 pagi.

“Pak Suharto sudah berpulang, Mbak. Kami tahu hubungan kalian renggang, tapi… ini mungkin saat yang tepat.”

Itu kalimat yang diucapkan oleh tetangga lama, Bu Warti. Suara di telepon terdengar ragu-ragu, seakan takut mengusik luka yang sudah lama dibiarkan mengering, meski belum pernah sembuh.

Naya hanya menjawab dengan satu kata: “Saya pulang.”

Sesampainya di depan rumah, langkahnya terasa berat. Rumah itu masih berdiri, walau catnya mengelupas dan tanaman liar menjalar di pagar besi tua. Tapi bentuknya masih sama—rumah satu lantai dengan teras lebar dan jendela kayu yang dulu selalu terbuka saat pagi.

Ia mengetuk pintu, lalu langsung memutar gagangnya. Tidak dikunci. Dalam rumah, aroma kayu tua dan sedikit bau lembap menyambutnya. Hening. Terlalu hening untuk sebuah rumah yang dulu penuh suara radio dan tawa ibunya saat menyiapkan sarapan.

Di ruang tengah, peti jenazah diletakkan di atas karpet lusuh. Selembar kain putih menutupi tubuh ayahnya. Hanya itu. Tak ada musik tahlil, tak ada keramaian pelayat. Beberapa kursi kayu disusun asal. Di sudut, tampak foto keluarga mereka—bertiga—masih tergantung di dinding, sedikit miring.

Naya menatap jenazah itu tanpa bergerak. Jarak antara mereka terasa lebih dari sekadar ruang dan waktu. Rasanya seperti berdiri di depan seseorang yang tak pernah benar-benar ia kenal. Ayahnya, Pak Suharto, adalah sosok keras kepala yang penuh aturan. Sejak ibunya meninggal, rumah ini berubah menjadi tempat yang asing. Dingin. Sepi. Menekan.

Mereka terakhir berbicara lewat telepon empat tahun lalu. Percakapan singkat yang diakhiri dengan kemarahan. “Kalau kamu merasa tak butuh keluarga, jangan pernah kembali!” Itu kata-kata terakhir ayahnya yang terngiang seperti gema pahit di telinga Naya.

Tapi hari ini, ia berdiri di sini. Di rumah yang ia benci, di depan ayah yang sudah tak lagi bisa bicara. Apakah ini yang disebut ironi?

Bu Warti menyambutnya tak lama kemudian, membawa nampan teh hangat. Wanita tua itu menatap Naya dengan mata yang penuh simpati, tapi tak banyak bicara. Mungkin tahu, tak ada kata-kata yang cukup tepat untuk momen seperti ini.

“Beliau… sering duduk di teras sore-sore. Kadang nanya-nanya tentang kamu,” ucapnya lirih, sambil meletakkan teh di meja kecil. “Tapi ya begitu, selalu gengsi buat nelepon duluan.”

Naya mengangguk pelan. Tenggorokannya tercekat. Ia duduk di lantai, memandang peti kayu itu lama. Bukan sedih yang mendominasi, tapi kekosongan. Sesuatu yang menggantung di dada, seperti pertanyaan yang tak akan pernah punya jawaban.

Ia tak menangis.

Bukan karena tak peduli, tapi karena terlalu lama menyimpan luka, sampai air mata pun kehilangan arti.

Sore itu, langit menggantung kelabu. Beberapa tetangga mulai datang satu per satu. Ada yang sekadar menyalami, ada pula yang bertanya kabar sambil menyentil masa lalu. Tapi Naya hanya menjawab sekenanya. Seolah ia berada di antara dua dunia: satu yang ditinggalkannya, dan satu lagi yang tak lagi utuh.

Malam datang, membawa keheningan lebih dalam. Naya duduk di kamar lamanya, yang masih dibiarkan seperti dulu. Poster-poster lama, boneka kecil, dan buku-buku yang tertumpuk rapi di rak. Ia menyentuh meja belajar—masih ada coretan kecil namanya di sana.

Dan di atas meja itu, ia melihat amplop cokelat tua dengan tulisan tangan yang sangat ia kenal.

Untuk: Naya

Jantungnya berdegup tak karuan. Ia meraih amplop itu dengan tangan gemetar. Apakah ini milik ayahnya? Kenapa ditaruh di sini? Kenapa ia tidak pernah tahu?

Ia belum membuka amplop itu. Belum malam ini.

Ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan: tidak semua hal harus dibuka saat kamu belum siap. Tapi entah kenapa, surat itu terasa seperti titik awal dari semua langkah yang tertinggal.

Bab 2 – Rumah yang Tak Lagi Sama

Udara pagi di kampung terasa lebih dingin dari yang Naya ingat. Angin berembus dari celah jendela kayu, membawa bau tanah basah dan aroma rumput liar yang tumbuh di halaman. Ia berdiri di ambang pintu kamar lamanya, menatap ruangan yang selama ini hanya hidup dalam kenangan—dan mimpi buruknya.

Semua tampak hampir tak berubah. Tempat tidur kayu dengan sprei polos berwarna biru langit masih tertata rapi, seolah seseorang akan kembali menempatinya malam ini. Rak buku kecil di sudut kamar masih menyimpan novel-novel lawas yang dulu ia baca diam-diam. Bahkan meja belajarnya, dengan goresan kecil nama “Naya 2008” di sudut, masih berdiri di tempat yang sama.

Tapi semuanya terasa… kosong.

Dingin bukan dari cuaca, melainkan dari ingatan. Ini bukan lagi rumah. Ini bangunan tua dengan terlalu banyak cerita yang tidak selesai.

Naya berjalan perlahan menyusuri lorong menuju dapur. Tangannya menyusuri dinding yang retak, mengenali tekstur kasar cat yang mulai mengelupas. Di ruang makan, kursi kayu tua tempat ayahnya biasa duduk masih ada. Ia teringat betul bagaimana suasana meja makan yang hening sejak kepergian ibunya. Ayahnya tak pernah pandai bicara soal perasaan. Mereka makan dalam diam. Kadang saling lempar pandang dingin, kadang saling pura-pura tak ada.

Ia membuka kulkas. Kosong. Hanya beberapa botol air mineral dan sebungkus roti basi. Piring-piring kotor menumpuk di bak cuci. Naya tertegun. Ayahnya hidup seperti ini sebelum meninggal? Sendirian, dalam rumah penuh bayangan masa lalu?

Langkahnya membawa ia ke ruang tamu, lalu ke teras depan. Ia duduk di kursi rotan reyot yang berderit setiap kali bergoyang. Dari sini, ia bisa melihat jalanan kampung yang masih sepi. Anak-anak kecil berlarian di kejauhan, suara ayam berkokok, dan deru sepeda motor dari kejauhan. Tapi bagi Naya, suara-suara itu tak bisa mengusir sepi yang mencekik di dalam dadanya.

“Sudah lama nggak duduk di sini, ya?”

Naya menoleh. Bu Warti muncul dari samping rumah, membawa dua cangkir kopi di nampan kecil. Perempuan tua itu duduk di sampingnya, tanpa banyak basa-basi.

“Beliau sering duduk di sini sore-sore,” katanya sambil meletakkan kopi di atas meja rotan. “Kadang cuma diam. Kadang nyebut-nyebut nama kamu.”

Naya tersenyum kaku. Ia tak tahu harus merespons apa.

“Saya kira beliau nggak peduli lagi…” ucap Naya pelan.

Bu Warti memandangi langit yang masih berawan. “Orang tua kadang gengsi, Nak. Tapi hatinya nggak pernah benar-benar lepas dari anak.”

Keheningan menggantung beberapa detik sebelum akhirnya Naya mengangguk. Tak ingin menangis. Tapi matanya sudah terasa panas.

“Ayahmu sempat sakit beberapa bulan terakhir. Batuk-batuk, kadang sesak. Tapi selalu bilang dia baik-baik saja. Kepala batu, memang. Tidak mau diperiksa ke rumah sakit,” lanjut Bu Warti, suaranya mengandung getir yang tak bisa disembunyikan.

“Dia nggak pernah minta saya pulang?” tanya Naya, suara hampir tak terdengar.

“Dia tahu kamu marah. Tapi dia juga nggak pernah berhenti nunggu.”

Kalimat itu menghantam lebih keras dari yang ia duga.

Malam harinya, Naya membuka lemari tua di kamar ayahnya. Di dalamnya, pakaian-pakaian rapi tergantung, beberapa tampak belum pernah dipakai. Di laci bawah, ia menemukan kotak kayu kecil yang terkunci. Setelah mencari kunci di bawah tumpukan buku, ia berhasil membukanya.

Isinya sederhana: sebuah jam tangan tua, foto keluarga mereka bertiga, dan beberapa surat yang belum pernah dikirim—semuanya tertuju padanya.

Satu surat, tanggalnya ditulis dua tahun lalu. Kalimat pembukanya membuat dada Naya terasa sesak.

“Nak, entah kapan kamu baca ini. Atau kalau kamu pernah baca. Tapi Ayah minta maaf. Untuk semua kata yang tak seharusnya diucap, untuk semua waktu yang tak sempat kita bagi…”

Ia berhenti membaca. Tangis yang sejak pagi ditahan akhirnya pecah begitu saja. Bukan hanya karena ayahnya telah tiada, tapi karena ada begitu banyak hal yang belum disampaikan. Rumah ini tak berubah, tapi ia telah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki sesuatu di dalamnya.

Dan sekarang, ia tak tahu bagaimana caranya memaafkan—baik ayahnya, maupun dirinya sendiri.

Ketika pagi menyapa esok hari, Naya berdiri lama di depan cermin kamar ibunya. Ia melihat wajahnya sendiri, dan samar-samar melihat sosok kecil dari masa lalu—seorang gadis kecil yang dulu senang menyanyi di bawah hujan, sebelum semua berubah jadi diam dan jarak.

Rumah ini tak lagi sama. Tapi mungkin, dirinya pun tidak.

Bab 3 – Surat yang Tak Pernah Sampai

Pagi itu matahari menyelinap malu-malu di balik tirai kamar. Cahaya keemasan menembus jendela kayu, mengguratkan bayangan panjang di lantai kayu yang berdebu. Naya duduk di tepi ranjang, masih mengenakan sweater yang ia pakai sejak semalam. Matanya sembab, tapi ia tak ingin menangis lagi hari ini.

Kotak kayu berisi surat-surat dari ayahnya masih tergeletak di pangkuannya. Semalam ia hanya membuka satu surat. Isinya membuat dunia di sekitarnya runtuh perlahan, seperti tanah retak yang tak terlihat sampai semuanya ambruk. Kini, ia menatap sisa-sisa surat yang belum terbuka. Tangannya sempat ragu, tapi rasa penasaran dan luka yang belum sembuh menariknya untuk tahu lebih jauh.

Ia mengambil selembar surat dengan tanggal yang tertulis tiga tahun lalu. Tulisannya rapi, dengan tinta hitam yang agak memudar di beberapa bagian.

“Naya…
Hari ini aku duduk di teras, seperti biasa. Sore di kampung masih indah, meski terasa lebih sunyi tanpamu. Aku ingat dulu kamu suka duduk di samping Ibumu sambil membaca buku. Kadang kamu tertawa kecil, kadang kamu marah sendiri kalau ceritanya tidak sesuai harapanmu. Kamu selalu keras kepala—mungkin itu turunan dari aku.”

Naya tertawa kecil, meski dengan bibir bergetar. Ia bisa membayangkan ayahnya menulis ini dengan wajah datar, tapi isi suratnya penuh rasa yang selama ini tak pernah ia lihat dari pria itu secara langsung.

“Sejak kamu pergi, aku sering berpikir, apakah aku terlalu keras? Apakah aku membunuh kebebasanmu? Tapi aku tak tahu cara menjadi Ayah yang baik, apalagi setelah Ibumu pergi. Dunia rasanya terlalu besar untuk aku hadapi sendiri, dan kamu terlalu cepat tumbuh jadi seseorang yang aku tak bisa pahami lagi…”

Naya menggenggam kertas itu erat. Ada rasa sakit yang meletup di dada—perpaduan antara penyesalan, kemarahan, dan kerinduan. Surat itu terasa seperti pembicaraan yang seharusnya terjadi bertahun-tahun lalu, tapi baru bisa ia dengar sekarang, ketika semuanya sudah terlambat.

Ia membuka surat lain, yang lebih singkat.

“Aku melihat fotomu di media sosial lewat HP milik Warti. Kamu tampak bahagia, atau setidaknya kamu berpura-pura begitu. Maaf kalau aku melihatnya tanpa izin. Aku hanya ingin tahu kabarmu, walau kamu tak pernah mengabari.”

“Kadang aku ingin menelepon, tapi aku takut kamu tak akan menjawab. Atau mungkin aku yang terlalu gengsi. Tapi kamu tetap anakku. Dan aku tetap menunggumu.”

Surat itu ditutup dengan kalimat: “Kalau kamu baca ini suatu hari nanti, semoga kamu tahu… kamu tak pernah benar-benar aku lepaskan.”

Naya menunduk, kedua bahunya bergetar. Kali ini air matanya jatuh begitu saja. Bukan karena sedih, tapi karena merasa begitu kehilangan atas sesuatu yang baru ia sadari nilainya setelah tiada.

Surat-surat itu ditulis dalam diam, dalam jarak, dalam harapan yang tak pernah benar-benar padam. Ia mulai memahami bahwa ayahnya, dengan caranya sendiri, mencoba memperbaiki segalanya. Tapi waktu tak selalu memberi kesempatan kedua.

Sore itu, Naya duduk di teras rumah, tempat ayahnya biasa menulis surat-surat itu. Ia membawa semua lembaran surat dan meletakkannya di meja kecil di samping cangkir teh. Angin sore menyapu rambutnya, membawa aroma tanah dan dedaunan. Langit mulai memerah, pertanda malam akan segera datang.

Suara langkah kaki mendekat. Naya menoleh dan melihat Damar berdiri di luar pagar, membawa plastik berisi makanan.

“Aku bawain makanan dari warung Bu Sari. Kupikir kamu belum makan dari pagi,” katanya, menyodorkan bungkusan dengan senyum canggung.

Naya menyambutnya dengan anggukan kecil. “Makasih… masuk aja,” ujarnya, membuka pagar pelan.

Damar duduk di sampingnya, diam beberapa saat, lalu matanya tertuju pada tumpukan surat di meja.

“Itu… dari Pak Suharto?” tanyanya hati-hati.

Naya mengangguk. “Iya. Surat-surat buat aku. Tapi dia nggak pernah kirim. Aku baru nemu kemarin malam.”

Damar menatap surat-surat itu sejenak sebelum menatap Naya. “Kamu kelihatan capek.”

Naya tersenyum tipis. “Bukan capek fisik. Tapi rasanya kayak… terlalu banyak hal yang datang sekaligus. Kayak diserbu semua perasaan yang selama ini ditahan.”

Damar mengangguk pelan. “Kamu tahu, kadang kita nggak sadar kalau kita butuh memaafkan. Bukan buat orang lain. Tapi buat diri sendiri. Supaya bisa lanjut jalan.”

Naya menatapnya, lalu menoleh ke arah halaman depan. Daun-daun berguguran pelan. Ia menarik napas panjang, lalu berkata, “Aku nggak tahu apakah aku sudah bisa memaafkan semuanya. Tapi aku mulai ngerti kenapa aku harus mencoba.”

Ia meraih salah satu surat, lalu memeluknya perlahan.

Dan di antara langit sore yang mulai meredup dan suara jangkrik yang mulai muncul dari balik semak, Naya tahu satu hal: surat-surat itu memang tak pernah sampai. Tapi sekarang, pesannya sudah menembus dinding yang selama ini memisahkan mereka.

Surat-surat itu menyelamatkan langkah yang sempat tertinggal.

Bab 4 – Damar dan Waktu yang Hilang

Langit sore mulai menggelap, tetapi angin tetap hangat. Naya duduk di ruang tengah, ditemani dentingan sendok dari dua gelas teh yang baru diseduh. Damar duduk di seberangnya, diam namun tidak canggung. Ada kenyamanan dalam keheningan mereka—sebuah rasa yang dulu sempat akrab, tapi sekarang terasa seperti buku lama yang akhirnya dibuka lagi.

“Kayaknya… rumah ini lebih sunyi dari yang aku bayangkan,” gumam Damar sambil menatap langit-langit kayu yang mulai lapuk.

Naya mengangguk, jemarinya melingkar di cangkir teh. “Aku nggak tahu, Dam. Aku kira, setelah bertahun-tahun, aku bisa kembali ke sini dengan hati netral. Tapi ternyata… enggak sesimpel itu.”

Damar menatapnya penuh perhatian. “Kamu nggak sendiri, Nay. Aku juga mikir gitu waktu pulang ke sini pertama kali.”

“Berapa lama kamu udah balik ke kampung?” tanya Naya.

“Dua tahun lebih,” jawabnya. “Awalnya cuma mau nengokin Ibu yang sakit. Tapi setelah itu… rasanya kayak kaki ini enggan pergi lagi.”

Naya mengangguk pelan. Ia tahu betul bagaimana satu keputusan kecil bisa mengubah jalan hidup seseorang.

“Kamu berubah, Dam,” ujarnya sambil tersenyum kecil. “Dulu kamu nggak pernah bisa duduk diam lebih dari sepuluh menit tanpa ngomel soal Jakarta atau musik atau demo kampus.”

Damar tertawa pelan. “Kamu juga berubah. Dulu kamu marah kalau aku pulang malam. Sekarang kamu pulang… setelah tujuh tahun.”

Ucapan itu disambut keheningan. Tapi bukan keheningan yang pahit—lebih seperti jeda yang memberi ruang untuk bernapas.

“Aku nyesel ninggalin semuanya gitu aja,” kata Naya pelan. “Kamu, rumah ini… ayahku.”

Damar menatapnya, tapi tidak menjawab. Ia tahu, ada beberapa penyesalan yang tidak butuh tanggapan, hanya butuh diterima.

“Kamu masih simpan foto kita?” tanya Damar tiba-tiba.

Naya tertawa pendek. “Foto kita? Yang waktu kita ke danau itu?”

“Iya. Yang kamu pake kaus bergambar ayam pakai kacamata hitam.”

“Astaga, kaus itu! Masih ada. Disimpen di kotak bawah tempat tidur. Kaus paling norak yang pernah aku punya,” ujar Naya, senyum mulai menghangatkan wajahnya.

“Waktu itu kita pikir kita nggak akan berubah. Dunia nggak akan berubah,” gumam Damar. “Ternyata, waktu bisa ngerubah segalanya.”

Naya mengangguk. “Tapi kadang… yang berubah bukan dunia. Kita yang berubah, tapi nggak sempat ngabarin satu sama lain.”

Mereka terdiam cukup lama, menikmati teh yang sudah mulai dingin. Dari luar, terdengar suara anak-anak kecil bermain petasan, tawa mereka bergema seperti kenangan masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.

“Aku selalu bertanya-tanya,” kata Naya akhirnya, “apa yang akan terjadi kalau aku nggak pergi?”

Damar menjawab pelan, “Mungkin kita masih di sini, berdebat soal arah hidup, atau mungkin udah jalan masing-masing juga. Tapi aku yakin satu hal, Nay. Kamu memang butuh pergi waktu itu.”

Naya menatapnya, sedikit heran. “Kamu nggak marah?”

“Dulu, iya. Aku marah banget. Ngerasa ditinggal. Ngerasa kayak semua yang kita bangun runtuh begitu aja. Tapi makin ke sini… aku ngerti. Kamu pergi bukan karena nggak peduli. Tapi karena kamu harus nyelametin diri kamu sendiri dulu.”

Naya menarik napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku kangen kamu, Dam.”

Damar tersenyum, lembut dan jujur. “Aku juga kangen kamu. Tapi sekarang kita di sini, kan?”

Kata-kata itu sederhana, tapi menghangatkan. Seolah waktu yang hilang tidak sepenuhnya sia-sia. Mereka mungkin tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi setidaknya, mereka bisa memulainya kembali—meski dari puing-puing.

Sebelum pulang, Damar berdiri dan menatap Naya dalam-dalam. “Besok pagi, aku bantu kamu bersihin rumah ini. Biar pelan-pelan, kamu bisa mulai berdamai sama semua yang tertinggal.”

Naya menatapnya, hatinya penuh oleh sesuatu yang baru: harapan. Ia mengangguk. “Terima kasih, Dam. Buat nggak pergi juga.”

Damar hanya tersenyum, lalu melangkah pelan ke arah pintu. “Besok jam delapan, jangan kesiangan. Aku masih nggak suka nunggu.”

Setelah pintu menutup, Naya duduk lagi di ruang tengah, sendirian. Tapi kali ini, kesendiriannya tidak terasa sepi. Ia menatap surat-surat dari ayahnya yang masih tertumpuk di meja, lalu memandang ke luar jendela. Angin malam berembus perlahan.

Mungkin, langkah yang tertinggal itu bukan untuk dilupakan. Tapi untuk dipahami. Satu per satu.

Dan dengan Damar kembali hadir di sisinya, Naya merasa: mungkin ia akhirnya bisa pulang, bukan hanya ke rumah ini… tapi ke dirinya sendiri.

Bab 5 – Kamar Tertutup

Pagi menjelang dengan langit yang redup dan gerimis halus menyapu atap rumah. Naya bangun lebih awal dari biasanya. Setelah beberapa hari berada di rumah masa kecilnya, tidur pun terasa seperti perjalanan waktu—membawanya ke kenangan yang kerap tak ingin ia sentuh.

Hari ini, ia berjanji akan mulai membereskan rumah. Bersama Damar.

Ketika suara motor tua Damar berhenti di depan pagar, Naya sudah siap dengan rambut diikat asal, mengenakan kaus dan celana panjang lusuh, serta wajah yang belum sepenuhnya lepas dari kantuk. Tapi ada semangat baru dalam langkahnya, meski samar.

“Pagi, bos,” sapa Damar dengan senyum lebar sambil mengangkat sekotak alat kebersihan dan sarung tangan.

“Pagi. Kamu nggak pernah berubah ya, selalu datang dengan gaya pahlawan kampung,” goda Naya.

“Kalau kampungnya kamu, aku nggak keberatan jadi pahlawan,” balas Damar, membuat Naya tertawa kecil.

Mereka mulai dengan menyapu ruang tengah, membersihkan rak buku yang dipenuhi debu, lalu mencuci piring-piring yang sudah lama tak tersentuh. Tawa kecil kadang muncul di sela kerja, seperti ketika Damar menemukan boneka ayam dari masa kecil Naya yang terjepit di belakang lemari dapur.

Namun ada satu tempat yang belum mereka sentuh: kamar di ujung lorong, kamar yang selama ini tertutup rapat, kuncinya tergantung di paku kusen pintu.

Kamar ibunya.

Naya berdiri lama di depan pintu itu, seolah menunggu sesuatu. Tangannya ragu menggapai kunci, tapi suara lembut Damar dari belakang memecah kebisuannya.

“Kamu nggak harus masuk kalau belum siap.”

Naya menggigit bibir bawahnya. “Justru karena itu… aku harus masuk.”

Ia mengambil kunci itu perlahan, tangan gemetar, dan memasukkannya ke lubang kunci yang sudah berkarat. Dengan suara pelan, pintu itu terbuka—membuka dunia yang telah lama ia hindari.

Begitu pintu terbuka, aroma khas ruangan lama menyambut: bau kayu tua, kain usang, dan sesuatu yang mirip dengan aroma bunga kering. Cahaya matahari masuk dari sela tirai yang setengah sobek, memperlihatkan ruangan yang nyaris beku oleh waktu.

Kamar itu masih seperti dulu. Tempat tidur kecil di sudut ruangan, meja rias dengan cermin retak di salah satu sisi, lemari pakaian kayu tua, dan foto keluarga mereka bertiga tergantung miring di dinding. Hati Naya terasa berat, seolah sesuatu dari masa lalu menatapnya dari setiap sudut kamar.

Dia melangkah perlahan ke dalam. Tangannya menyentuh meja rias, mengusap debu yang menempel. Di atas meja, ada sisir kayu yang sudah kusam, dan botol kecil berisi sisa parfum ibunya.

Naya mengambil botol itu dan membukanya perlahan. Aroma lembut melati menyergapnya. Seketika, kenangan menyerbu tanpa ampun.

Ibunya duduk di depan cermin, menyisir rambut sambil menyanyikan lagu lawas. Naya kecil duduk di lantai, menggambar dengan krayon di atas kertas bekas. Sore yang tenang. Damai.

Sampai semuanya berubah.

“Aku ingat…” suara Naya serak, “ibu sering duduk di sini, pakai baju rumah warna hijau. Dia selalu minta aku nyanyiin lagu dari TV waktu itu.”

Damar berdiri di ambang pintu, tidak masuk, hanya menatap Naya dengan mata penuh empati.

“Aku pergi sebelum sempat benar-benar pamit sama dia, Dam. Aku masih marah waktu itu. Kupikir waktu akan cukup untuk menyembuhkan semuanya. Tapi ternyata… waktu tanpa bicara, hanya jadi jarak.”

Ia berjongkok di depan lemari dan membukanya perlahan. Tumpukan kain batik, baju kebaya sederhana, dan kotak kecil berisi surat-surat dan foto lama. Salah satu foto membuatnya tertegun: foto ibunya sedang memeluknya erat, keduanya tertawa, dengan latar belakang taman belakang rumah.

“Dia simpan semuanya,” bisik Naya.

Damar melangkah masuk, pelan. Ia duduk di lantai sampingnya. “Kadang kita berpikir orang yang kita tinggalin akan melupakan kita. Tapi justru mereka yang paling ingat.”

Naya menatap foto itu lama. Air matanya jatuh perlahan, tanpa suara.

“Aku selalu takut buka pintu ini. Takut kalau buka, semua kenangan akan runtuh di kepalaku. Tapi ternyata… yang ada cuma rindu.”

Damar memegang tangannya. Hangat, sederhana, dan tidak memaksa.

“Rindu nggak bisa dihapus. Tapi bisa diterima. Mungkin dengan itu, kamu bisa mulai lagi. Dari dalam, bukan dari luar.”

Naya mengangguk pelan. Ia tahu, membuka kamar ini bukan soal membereskan ruangan. Tapi soal menghadapi luka, dan menerima bahwa cinta kadang tetap ada, bahkan dalam diam dan jarak.

Hari itu, mereka tidak terlalu banyak bicara setelahnya. Hanya duduk berdua di lantai kamar, dikelilingi kenangan yang tak lagi menakutkan.

Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Naya merasa ruangan itu tak lagi menghantuinya—melainkan memeluknya.

Bab 6 – Luka yang Tak Terlihat

Hujan turun sejak pagi, menetes pelan di atas genteng rumah tua itu. Suaranya lembut, seperti irama lama yang datang membawa kenangan. Naya duduk di dapur, menyeduh teh, menatap jendela yang berembun. Rumah sudah jauh lebih rapi sekarang. Sudut-sudut yang dulu penuh debu kini mulai bersih. Tapi, di dalam dirinya, masih banyak sudut yang belum sempat tersentuh.

Damar datang siang itu membawa roti hangat dari warung Bu Sari. Ia mengenakan jaket parasut yang basah di bagian bahu. “Kamu kelihatan capek,” katanya begitu masuk.

Naya hanya tersenyum lelah. “Capek yang aneh. Bukan karena bersihin rumah. Tapi karena banyak hal di kepala.”

Mereka duduk berdua di ruang makan. Damar membuka bungkus roti dan meletakkannya di atas piring. Teh panas mengepul di antara mereka, menjadi satu-satunya hal yang terasa hidup di tengah sunyi.

“Kemarin aku nemuin ini,” ujar Naya tiba-tiba, mengeluarkan sebuah buku catatan tua dari tas kain kecilnya.

“Punya siapa?” tanya Damar, menyipitkan mata membaca sampul yang mulai rusak.

“Ayah. Buku catatan pribadinya. Banyak isinya cuma catatan harian biasa, kadang daftar belanja. Tapi beberapa halaman… beda.”

Naya membuka halaman yang ditandainya. Tulisan tangan ayahnya rapi, tapi terasa berat. Seperti ditulis dengan emosi yang ditekan keras-keras agar tak bocor.

“Hari ini Naya pulang larut lagi. Wajahnya marah. Aku ingin bertanya kenapa, tapi aku takut jawabannya adalah: karena aku. Karena aku yang terlalu kaku. Terlalu keras. Kadang aku ingin memeluknya, tapi aku bahkan lupa caranya.”

Mata Damar memanas membaca tulisan itu. Naya menggigit bibirnya, menahan emosi.

“Aku nggak pernah tahu dia ngerasa kayak gitu,” bisiknya. “Aku kira cuma aku yang terluka.”

Damar menatapnya dalam. “Luka paling dalam itu justru yang nggak kelihatan. Yang nggak pernah diucapkan, hanya disimpan. Dan kadang… luka itu diwariskan.”

Naya menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Ibu meninggal, aku cuma pengen ayah peluk aku, bilang semuanya akan baik-baik saja. Tapi yang dia lakukan cuma diam. Duduk. Merokok.”

“Dan kamu pikir dia nggak peduli?” tanya Damar lembut.

Naya mengangguk. “Iya. Bertahun-tahun aku percaya itu. Tapi sekarang aku baca catatannya. Dan ternyata… dia juga terluka. Tapi dia nggak tahu harus bagaimana.”

Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara hujan yang terdengar, seperti suara latar dari sebuah adegan film yang terlalu jujur.

“Aku juga pernah punya luka yang aku simpan sendiri,” kata Damar tiba-tiba.

Naya menoleh padanya.

“Waktu kamu pergi. Aku nggak cuma kehilangan kamu sebagai pasangan. Tapi juga sahabat. Satu-satunya orang yang tahu cara ngeredain amarahku cuma dengan satu pelukan. Tapi aku nggak bisa bilang itu ke siapa-siapa. Jadi aku simpan. Aku minum. Aku berantem sama orang. Aku rusak semuanya. Sampai akhirnya aku pulang ke sini. Menenangkan semuanya. Memaafkan diriku.”

Naya terdiam. Ia belum pernah mendengar Damar bicara sejujur ini. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari: bukan hanya dia yang terluka dalam kisah mereka.

“Mungkin kita semua punya luka,” kata Naya pelan. “Cuma bentuknya beda. Dan karena kita nggak tahu cara mengobatinya… kita justru menyakiti orang lain.”

Damar mengangguk. “Tapi sekarang kamu tahu. Kamu punya pilihan.”

Naya menatap cangkir tehnya yang mulai dingin. “Apa aku masih bisa memperbaiki semuanya, Dam?”

“Bukan semuanya harus diperbaiki, Nay,” jawab Damar. “Kadang cukup dipahami. Diterima. Itu juga bentuk penyembuhan.”

Naya mengangguk pelan. Ada air mata menggenang di sudut matanya, tapi tidak jatuh. Ia mulai belajar berdamai, meski pelan.

Di luar, hujan masih turun. Tapi kini, suara hujan itu tak lagi menyedihkan. Ada ketenangan dalam rintiknya. Seolah alam ikut berbisik, menghapus luka-luka lama yang selama ini tak terlihat.

Dan di antara diam mereka, luka-luka itu mulai terbuka—bukan untuk menyakiti lagi, tapi untuk perlahan disembuhkan.

Bab 7 – Bicara dengan Diri Sendiri

Malam datang dengan angin lembut yang meniup tirai jendela kamar. Naya duduk sendirian di teras belakang rumah. Di pangkuannya, sebuah buku catatan kosong dan pulpen hitam, sementara secangkir cokelat panas menghangatkan telapak tangannya. Sejak membersihkan kamar ibunya dan membaca catatan harian sang ayah, pikirannya tak kunjung tenang. Ada terlalu banyak suara di dalam kepalanya—suara masa lalu, suara keraguan, dan suara yang paling lama ia abaikan: suaranya sendiri.

Sudah terlalu lama ia hidup dengan membungkam dirinya. Dalam kepergian ke Jakarta, dalam kerasnya dunia kerja, dan dalam luka-luka yang tak sempat sembuh, Naya tak pernah benar-benar berhenti untuk mendengarkan hatinya. Ia hanya terus berjalan, menumpuk alasan dan kesibukan demi menghindari satu hal paling menakutkan: menghadapi dirinya sendiri.

Malam itu, untuk pertama kalinya, ia mencoba bicara dengan dirinya sendiri.

Tangannya mulai menulis di buku catatan kosong itu. Pelan-pelan. Tanpa rencana. Tanpa filter.

Hai, Naya. Kamu baik-baik saja?
Kurasa tidak. Tapi setidaknya sekarang kamu tahu kamu tidak baik-baik saja. Itu awal yang cukup baik, bukan?

Ia berhenti sejenak. Menatap langit malam yang tidak sepenuhnya gelap. Ada bintang samar di ujung langit, seolah ikut menyimak.

Aku tahu kamu marah. Sama ayah. Sama Damar. Sama dirimu sendiri. Tapi aku tahu juga, kamu lelah jadi kuat terus. Kamu capek pura-pura semuanya bisa ditangani sendiri. Padahal, bahkan menangis pun kamu tahan-tahan.

Naya, kamu tidak gagal hanya karena kamu pulang. Kamu tidak kalah hanya karena kamu lelah. Kamu manusia. Dan manusia boleh merasa hancur.

Jari-jarinya berhenti lagi. Napasnya mulai berat. Ia menutup mata, mengingat semua momen yang dulu ia anggap kelemahan: ketika ia menangis sendirian di kamar kos, ketika ia tidak sanggup berkata tidak pada atasan, ketika ia membenci dirinya sendiri karena merasa tidak cukup baik untuk siapa pun. Semua luka itu muncul satu per satu malam itu, seolah ingin didengar. Diterima.

Tangannya kembali menulis.

Kamu bukan buruk karena memilih pergi. Dan kamu tidak jadi orang jahat hanya karena tidak kembali lebih awal. Kamu hanya… sedang mencoba bertahan. Dengan cara yang kamu tahu. Dan itu cukup.

Maaf ya, Nay, selama ini aku ikut-ikutan menghakimi kamu. Padahal kamu cuma butuh didengarkan. Hari ini, aku dengar kamu. Aku lihat kamu. Aku peluk kamu. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.

Satu tetes air mata jatuh di atas halaman. Menyebar di tinta yang belum benar-benar kering. Tapi Naya tidak menghapusnya. Biarlah noda itu tetap di sana, sebagai bukti bahwa malam ini ia tidak lagi melarikan diri dari dirinya sendiri.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu belakang. Damar muncul, membawa jaket yang tadi ia tinggalkan.

“Kamu belum tidur?” tanyanya pelan.

Naya tersenyum samar. “Nggak bisa. Terlalu banyak suara di kepala.”

“Sudah bicara sama mereka?” Damar mendekat dan duduk di bangku panjang, bersebelahan dengannya.

“Sudah,” jawab Naya pelan. “Lebih tepatnya… aku baru belajar bicara sama diriku sendiri.”

Damar menatapnya, tidak banyak berkata. Ia tahu betapa sulitnya berbicara jujur pada diri sendiri. Karena itu artinya, harus mengakui luka yang disimpan, harus menerima semua bagian diri—yang baik maupun yang rusak.

“Apa rasanya?” tanya Damar akhirnya.

“Lega. Sakit. Tapi lega,” Naya menjawab. “Aku kira, menghadapi diri sendiri itu menyeramkan. Tapi ternyata, yang menyeramkan itu justru terus pura-pura baik-baik saja.”

Damar mengangguk. “Kadang kita butuh diam dulu, biar bisa denger suara hati kita sendiri.”

“Kamu sering begitu?”

“Dulu nggak. Sekarang… aku coba,” katanya sambil tersenyum. “Aku mulai dari hal-hal kecil. Kayak ngakuin kalau aku kecewa, kalau aku marah, kalau aku kangen. Ke orang lain… ke diriku.”

Naya menatapnya, merasa terhubung lebih dalam. Bukan hanya karena sejarah panjang mereka, tapi karena kini mereka berada di titik yang sama: sedang belajar pulang ke dalam diri sendiri.

“Dam,” kata Naya pelan, “kalau kita nggak pernah bertemu lagi setelah ini, aku harap kamu tahu… kamu bagian penting dari kenapa aku akhirnya berani melihat diriku sendiri.”

Damar menatapnya, lalu mengangguk. “Aku nggak akan ke mana-mana, Nay. Tapi bahkan kalaupun nanti takdir membawa kita ke jalan yang berbeda… aku harap kamu juga tahu, kamu bukan lagi perempuan yang berlari dari bayangannya sendiri. Kamu jauh lebih kuat sekarang.”

Malam makin larut. Angin semakin pelan. Tapi hati Naya justru terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya sejak ia kembali ke rumah itu, ia merasa cukup. Bukan karena semuanya sudah sembuh, tapi karena ia kini tahu bagaimana cara mulai menyembuhkan.

Dan malam itu, di bawah langit yang tenang, Naya tak hanya bicara dengan dirinya sendiri. Ia berdamai.

Bab 8 – Menerima yang Telah Pergi

Pagi itu langit cerah. Udara sejuk menyusup lewat sela jendela kamar yang terbuka sebagian. Matahari menembus tirai tipis, membentuk bayangan halus di dinding. Rumah yang dulu terasa sunyi dan asing, kini mulai terasa seperti rumah kembali. Setidaknya, begitulah yang Naya rasakan sejak malam ia berani bicara dengan dirinya sendiri.

Tapi ada satu hal yang belum ia lakukan. Satu langkah terakhir yang selama ini ia hindari.

Pemakaman ibunya.

Naya belum pernah ke sana sejak ia pergi ke Jakarta bertahun lalu. Bahkan saat ayahnya meninggal, ia hanya singgah sebentar, dan tak sanggup menengok makam ibu. Terlalu banyak luka yang masih berdarah. Terlalu banyak kata yang tak sempat diucapkan.

Namun hari ini, ia tahu waktunya telah tiba.

Dengan hati yang gemetar namun bulat, ia mengajak Damar menemaninya. Mereka berjalan kaki, menyusuri jalan setapak menuju tanah pemakaman kecil di ujung desa. Jalan itu dulu sering ia lewati bersama ibunya, berdua, pulang dari pasar atau hanya sekadar berjalan sore sambil bercengkerama.

Kini jalan itu terasa berbeda. Sepi. Namun tidak menakutkan. Seolah-olah alam mengerti bahwa ini adalah perjalanan pulang, bukan sekadar kunjungan.

“Kalau kamu belum siap, kita bisa kembali besok,” tawar Damar dengan suara lembut saat mereka hampir sampai.

Naya tersenyum pelan. “Kalau bukan hari ini, entah kapan lagi. Aku sudah terlalu lama lari.”

Saat mereka tiba di sisi makam yang sederhana itu—bernama “Siti Maryam” di batu nisan putih yang sedikit kusam—Naya terdiam. Ia berdiri lama, memandangi nisan itu dengan dada sesak. Tangannya perlahan menyentuh batu itu, seolah ingin menghubungkan waktu yang telah hilang.

“Ibu,” bisiknya, “aku pulang.”

Tak ada angin besar. Tak ada suara petir. Hanya keheningan. Tapi di keheningan itu, Naya merasa sesuatu dalam dirinya runtuh—bukan karena hancur, tapi karena beban yang akhirnya ia lepaskan.

“Aku minta maaf,” lanjutnya. “Waktu Ibu pergi, aku belum siap. Aku marah, kecewa, bingung. Aku merasa dunia nggak adil, karena merenggut satu-satunya orang yang paling sayang sama aku.”

Matanya berkaca-kaca.

“Tapi aku tahu, sekarang aku mengerti… Ibu nggak pernah benar-benar pergi. Aku masih bisa dengar suara Ibu di kepala, masih bisa ingat pelukan Ibu, bahkan aroma tubuh Ibu waktu ngebangunin aku pagi-pagi.”

Ia duduk di samping makam, merapikan bunga liar yang tumbuh sembarangan di sekitarnya. Damar berdiri tak jauh, membiarkan Naya menikmati ruang untuk berdamai.

“Dan aku juga sadar, selama ini aku nggak hanya kehilangan Ibu. Aku juga kehilangan diriku sendiri. Tapi sekarang… aku ingin belajar hidup lagi. Untuk Ibu. Untuk Ayah. Tapi terutama, untuk diriku sendiri.”

Air matanya jatuh perlahan, menetes di tanah yang basah oleh embun pagi.

“Ibu pasti marah kalau tahu aku nyalahin semuanya. Tapi aku tahu… Ibu pasti maafin aku. Karena Ibu selalu tahu, aku cuma anak kecil yang terlalu keras kepala tapi gampang takut.”

Angin lembut berhembus, menyentuh wajahnya. Naya menutup mata dan menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa bersalah berada di sini. Tidak merasa terhukum oleh masa lalu. Yang tersisa hanya rindu yang tenang, dan cinta yang tetap ada, meski dalam bentuk yang berbeda.

Setelah beberapa saat, Damar duduk di sampingnya. Tak banyak bicara. Ia hanya meletakkan satu kuntum melati kecil di atas nisan, lalu menatap Naya.

“Kamu udah berani sejauh ini,” katanya pelan. “Itu luar biasa, Nay.”

Naya mengangguk. “Aku pikir, berdamai itu tentang melupakan. Tapi ternyata… berdamai itu tentang mengingat tanpa luka.”

Damar tersenyum. “Kadang yang pergi nggak minta kita lupakan mereka. Cuma minta kita terus hidup.”

Mereka duduk di sana beberapa lama. Menikmati pagi. Menikmati hening. Menikmati akhir dari bab yang lama, dan awal dari yang baru.

Dalam diam, Naya menulis dalam hatinya:

“Yang telah pergi, tidak bisa kembali. Tapi aku bisa memilih, untuk tidak terus hidup dalam kehilangan.”

Saat mereka berjalan kembali ke rumah, langkah Naya terasa lebih ringan. Ada ruang dalam hatinya yang dulu tertutup rapat, kini mulai terbuka. Dan meski luka itu tidak sepenuhnya hilang, ia tak lagi berdarah. Ia menjadi bagian dari dirinya, yang tidak lagi menakutkan.

Hari itu, Naya benar-benar pulang.

Bab 9 – Langkah Baru

Langit sore menggantung rendah, dengan cahaya keemasan yang menyelimuti desa dalam kehangatan lembut. Di beranda rumah, Naya duduk dengan secangkir kopi di tangan, menatap halaman yang kini dipenuhi tanaman yang ia tanam sendiri dalam seminggu terakhir. Ada daun mint, bunga kertas, dan beberapa pot kecil berisi cabai dan tomat. Hal-hal sederhana, tapi membuat rumah itu terasa hidup kembali.

Sudah hampir sebulan sejak ia pulang. Sejak ia menghadapi ruang-ruang penuh kenangan, makam yang lama tak ia datangi, dan suara hati yang bertahun-tahun ia bungkam. Hari-hari itu berat, tapi perlahan berubah menjadi hari-hari penuh kelegaan. Ia merasa seperti seseorang yang baru saja membuka mata dari tidur panjang.

Hari ini, Naya sudah membuat keputusan besar.

Ia tidak akan kembali ke Jakarta. Setidaknya, bukan sekarang.

“Keputusan ini bukan karena aku kalah,” ucapnya pada Damar pagi tadi. “Tapi karena aku ingin menang, dengan caraku sendiri.”

Damar hanya tersenyum mendengarnya. Sejak pertemuan mereka kembali, Damar tak pernah memaksa. Ia hadir seperti pohon di halaman belakang—tenang, meneduhkan, tapi tak pernah mengekang arah angin. Dan itulah yang membuat Naya merasa lebih mudah menata ulang langkahnya. Ia tahu, hidup yang sedang ia bangun ini bukan sekadar pelarian, tapi pilihan sadar.

Di ruang tengah, meja kerja kecil telah dibersihkan. Di atasnya, tumpukan buku dan kertas berserakan, bukti bahwa Naya mulai menulis lagi. Ia memutuskan untuk membagikan kisahnya dalam bentuk esai dan catatan pribadi—tentang kehilangan, pencarian diri, dan keberanian untuk memulai lagi. Sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan akan ia lakukan. Tapi kini, rasanya begitu tepat.

Saat ia berdiri, menyiram tanaman di halaman, suara langkah kaki dari arah pagar membuatnya menoleh.

Damar muncul dengan sepeda bututnya. Ia berhenti di depan pagar, tersenyum lebar.

“Masih suka kopi sore?” tanyanya sambil menurunkan tas kecil dari punggungnya.

“Kalau kamu yang bawain, selalu,” balas Naya, tertawa kecil.

Damar duduk di anak tangga depan rumah, menyodorkan bungkusan berisi kue dari warung Bu Sari.

“Minggu depan aku mulai kerja bantuin Pak Lurah,” kata Damar sambil membuka kue. “Program pengembangan desa. Katanya butuh orang yang ngerti bikin laporan dan presentasi. Aku pikir… kenapa nggak.”

“Bagus dong,” sahut Naya. “Kamu bisa bantu banyak orang di sini.”

“Dan kamu? Gimana dengan tulisanmu?” tanya Damar.

Naya menatap langit, lalu menarik napas. “Aku mau kirim satu ke media lokal minggu ini. Tentang ayah dan ibu. Tentang luka yang lama, dan bagaimana aku mulai memaafkan.”

“Kalau dimuat, aku traktir kopi paling mahal di desa ini.”

“Warung Bu Sari doang yang jual kopi,” canda Naya.

Mereka tertawa, seperti dua orang sahabat yang tak lagi menyimpan beban. Tak ada lagi kalimat yang tertahan, atau perasaan yang dipendam diam-diam. Mereka berdua telah melalui badai masing-masing, dan kini duduk di bawah langit yang sama, lebih utuh dari sebelumnya.

Saat sore mulai berganti senja, Naya berdiri dan memandangi jalan setapak yang mengarah ke luar desa. Dulu, jalan itu yang ia pilih untuk pergi, dengan hati yang penuh amarah. Tapi hari ini, ia tahu, jalan yang akan ia tempuh ke depan tidak harus berlari lagi. Ia bisa berjalan, pelan tapi pasti. Dan ia tidak perlu pergi terlalu jauh hanya untuk menemukan dirinya.

“Dulu aku pikir hidupku tertinggal di kota,” katanya pelan. “Ternyata, langkahku yang tertinggal ada di sini. Di rumah ini. Di diriku sendiri.”

Damar memandangnya dalam diam. Ia tahu, Naya bukan lagi perempuan yang dulu ia cintai dengan cara tergesa. Ia adalah Naya yang baru—lebih kuat, lebih jujur, dan lebih lembut pada dirinya sendiri.

Mata mereka bertemu, dan di antara cahaya senja, ada rasa tenang yang menyelimuti.

“Aku nggak tahu ke depan akan seperti apa,” ujar Naya. “Tapi yang aku tahu, kali ini aku nggak akan tinggalkan langkahku sendiri. Aku akan jalan bersama mereka. Dengan sadar. Dengan utuh.”

Damar tersenyum. “Aku di sini kalau kamu butuh teman jalan.”

Naya mengangguk. “Mungkin bukan cuma teman. Tapi… langkah baru.”

Hari itu, saat matahari perlahan tenggelam, Naya mengambil satu langkah kecil menuju hari esok. Tapi langkah itu terasa besar—karena bukan lagi dilandasi pelarian, tapi keberanian untuk hidup dengan jujur. Ia telah berdamai dengan masa lalu, memeluk dirinya yang terluka, dan kini ia siap menyambut hari baru dengan hati yang terbuka.

Dan di situlah akhir dari kisah lamanya… dan awal dari kisah baru yang ia tulis sendiri.***

Source: Shifa Yuhananda
Tags: BerdamaiDenganMasaLaluCeritaKeluargaDramaKehidupanFiksiEmosionalKisahPulangLangkahBaruPerjalananDiri
Previous Post

LENTERA DI UJUNG LORONG

Next Post

KISAH KOTA JATUH

Next Post
KISAH KOTA JATUH

KISAH KOTA JATUH

JEJAK SANG MERDEKA

JEJAK SANG MERDEKA

PANJI TERAKHIR DARI TIMUR

PANJI TERAKHIR DARI TIMUR

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In