Bab 2 — Jejak yang Hilang
Suara kipas tua di bengkel berderit pelan saat fajar mulai menyingsing. Reksa duduk di lantai, punggung bersandar di dinding, USB drive yang diberikan Nara masih di genggamannya. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi pikirannya sudah dipenuhi cahaya-cahaya kelabu dari masa lalu.
Nara berdiri di seberangnya, memperhatikan layar laptop usang yang akhirnya berhasil membaca file dari flashdisk. File itu hanya berisi satu folder bernama “Echo Protocol”, di dalamnya ada beberapa gambar satelit, rekaman audio, dan dokumen teks terenkripsi. Semuanya terlihat seperti laporan intelijen aktif. Tapi salah satu file membuat Reksa membeku.
“Ini… peta jalur pelarian kita waktu Operasi RD-X.”
Nara mengangguk pelan. “Ya. Dan lihat yang satu ini.”
Ia membuka dokumen lain—foto udara kompleks industri tua di kawasan Cilincing, yang pernah menjadi markas salah satu target mereka. Di foto terbaru itu, tampak aktivitas kendaraan berat dan penjagaan bersenjata. Padahal, tempat itu seharusnya sudah dihancurkan bertahun-tahun lalu.
Reksa mendekat. Matanya terpaku pada simbol kecil di salah satu kontainer besar. Bentuknya seperti segitiga dengan satu garis melintang di tengah. Logo Bayangan Terakhir. Mereka masih hidup. Mereka aktif.
“Berarti… Dharma benar-benar masih ada di dalamnya?” tanya Reksa, nyaris tidak percaya.
Nara mengangguk. “Dia tidak mati. Dia—kita semua—dikorbankan. Saat operasi itu gagal, hanya kamu yang berhasil keluar. Sementara aku dan Dharma… ditangkap. Aku berhasil kabur dua tahun lalu, tapi dia tidak.”
Reksa menggertakkan gigi. Dulu, ia percaya pada semua laporan resmi: bahwa Dharma mati tertembak, bahwa Nara hilang dalam ledakan. Tapi sekarang, semua itu hanya versi yang sengaja dibuat agar kebenaran terkubur.
“Kau ke sini untuk apa, Nara? Minta aku bantu menyelamatkan Dharma?”
“Bukan,” jawab Nara cepat. “Aku ke sini karena mereka sudah tahu kau masih hidup. Dan lebih dari itu, mereka tahu siapa kau sebenarnya. Kamu bukan cuma ancaman. Kamu adalah… kunci.”
Reksa mengernyit. “Kunci apa?”
Sebelum Nara menjawab, suara derit pelan terdengar dari luar. Keduanya langsung diam. Reksa meraih pistolnya, Nara menarik belati dari dalam jaketnya.
Langkah kaki menyusuri sisi bengkel. Lalu, bunyi ketukan ringan di pintu belakang. Bukan kode lama. Ini sesuatu yang lain.
Reksa mendekat pelan, lalu dengan cepat membuka pintu. Kosong.
Tapi saat ia memeriksa sisi tembok, ia melihatnya: sebuah kamera kecil tersembunyi di bawah talang air, baru dipasang. Ia meraihnya, mematikan sumber dayanya.
“Sudah ketahuan,” gumam Reksa. “Kita harus pergi sekarang.”
Dua puluh menit kemudian, mereka berada di dalam mobil tua Nara yang disembunyikan dua blok dari bengkel. Reksa menyetir, sementara Nara terus membuka dan memeriksa file dari USB.
“Tujuan kita?” tanya Reksa, matanya tak lepas dari jalan.
Nara menatapnya lekat. “Cilincing. Tapi kita nggak bisa langsung ke sana. Kita butuh bantuan.”
“Siapa?”
Nara terdiam sesaat, lalu menjawab dengan berat, “Rian.”
Reksa hampir membanting setir. “Kamu serius?”
Rian adalah rekan lama mereka yang keluar dari tim sebelum Operasi RD-X dijalankan. Ia dikenal licik, manipulatif, dan menghilang setelah mencuri salah satu prototipe teknologi pelacak milik negara. Reksa belum pernah bertemu dia lagi sejak saat itu, dan tidak ada kabar baik yang terkait namanya.
“Dia satu-satunya yang bisa bantu kita buka enkripsi penuh file itu,” kata Nara. “Dan dia mungkin satu-satunya yang tahu apa itu Echo Protocol sebenarnya.”
Reksa menggertakkan rahangnya. Jalan yang harus mereka tempuh semakin berliku. Tapi ia tahu, ini bukan tentang dia saja lagi. Ini tentang siapa pun yang selama ini dijadikan pion dalam permainan gelap yang lebih besar.
Mobil melaju ke arah luar kota. Di langit, awan mulai menipis, tapi udara masih menggantung berat. Nara menoleh ke luar jendela, lalu berbicara pelan.
“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dari semua ini, Res?”
“Apa?”
“Bukan karena kita dibohongi. Tapi karena kita… percaya.”
Reksa tak menjawab. Ia hanya menatap jalan di depannya—panjang, gelap, dan penuh bayangan yang belum sempat ia hadapi.
Tapi sekarang, ia tidak bisa lagi lari.
Bab 3 — Bayangan yang Kembali
Gudang tua itu berdiri di tengah kawasan industri yang hampir mati, terlupakan oleh pembangunan kota. Di siang hari, tempat ini terlihat seperti bangunan kosong—cat mengelupas, jendela pecah, dan pintu besi berkarat. Tapi malam hari, suasana berubah. Truk-truk datang tanpa suara. Lampu redup menyala sesekali. Dan para penjaga bersenjata muncul dari balik bayangan.
Dari kejauhan, melalui teropong kecil, Reksa memperhatikan semua itu dari atap bangunan delapan lantai yang nyaris roboh.
“Keamanan ketat. Polanya berpola militer, tapi formasi mereka… nggak resmi. Ini kerjaan swasta. Tentara bayaran,” gumamnya.
Di belakangnya, Nara memeriksa laptop dengan receiver gelombang pendek. Ia mencoba menangkap sinyal komunikasi dari dalam kompleks.
“Dapat suara. Channel 05, teracak ringan. Tapi aku bisa dengar suara laki-laki… koordinasi pengiriman. Mereka sebut ‘Objek Bayangan-1’,” katanya cepat.
Reksa memicingkan mata. “Bayangan-1. Itu pasti Dharma.”
Nara tak menjawab. Tapi dari sorot matanya, ia tahu mereka sudah semakin dekat pada pusat masalah.
Reksa mengambil napas panjang. Hatinya penuh konflik. Dharma dulu bukan hanya rekan satu tim—ia sahabat, saudara dalam pertempuran, orang yang pernah menyelamatkan nyawanya lebih dari sekali. Tapi jika benar dia sekarang memimpin organisasi Bayangan Terakhir… maka ia juga ancaman paling besar.
“Kalau dia masih hidup, kenapa dia nggak pernah mencoba menghubungi kita?” tanya Reksa, pelan.
Nara menatap lurus ke depan. “Mungkin karena dia bukan lagi orang yang kita kenal.”
Malam itu, mereka memutuskan untuk menyusup.
Reksa dan Nara bergerak di antara bayangan, menyusuri saluran pembuangan lama yang dulunya terhubung ke bagian belakang kompleks. Masih ada sisa-sisa struktur lama, cukup untuk dua orang menyelinap tanpa terdeteksi.
Begitu mereka mencapai dinding dalam, Reksa menarik nafas. “Kita cuma punya waktu 15 menit sebelum patroli berikutnya.”
Nara menyalakan kamera kecil di pundaknya, mengaktifkan rekam suara dan visual.
“Kalau kita nggak keluar tepat waktu—kirim semua data ke cloud. Paling nggak, orang lain tahu apa yang kita lihat.”
Reksa mengangguk. Lalu mereka masuk.
Lorong-lorong di dalam gudang itu dipenuhi aroma besi dan oli. Cahaya redup menyinari kontainer besar yang disusun seperti labirin. Di satu ruangan kecil, terdengar suara komputer dan langkah kaki. Reksa memberi isyarat, lalu mereka mendekat.
Dari celah ventilasi, terlihat tiga orang berdiri menghadap layar besar. Di tengahnya—seorang pria berjas hitam dengan rambut pendek, tubuh tegap. Ia memegang remote kecil dan menunjuk data di layar yang menampilkan peta jaringan militer dan titik-titik berwarna merah.
“Target berikutnya sudah dikunci. Jalur sabotase masuk tahap tiga. Dalam waktu 48 jam, semua sistem komunikasi regional lumpuh,” katanya.
Reksa menahan napas. Suara itu…
“Dharma,” bisiknya.
Pria itu berbalik, memperlihatkan wajahnya ke kamera. Wajah yang sedikit berubah—lebih keras, penuh luka, dan lebih dingin. Tapi jelas, itu Dharma.
Nara tampak menahan emosi. Matanya berkaca-kaca. Tapi sebelum mereka bisa berbuat lebih, alarm tiba-tiba berbunyi—tajam, keras.
“Sial! Kita terdeteksi!” seru Nara.
Reksa menariknya. “Keluar! Lewat jalur awal!”
Langkah kaki terdengar mendekat. Lampu-lampu menyala terang. Penjaga mulai menyisir lorong. Tembakan pertama meledak di dinding dekat kepala mereka. Reksa balas menembak sambil berlari, menutupi Nara yang melompat ke saluran pembuangan.
Tapi sebelum ia masuk, ia sempat melihat ke belakang.
Dharma berdiri di ujung lorong. Tak bergerak. Tak bersuara. Hanya menatapnya.
Dan untuk sesaat, waktu seperti berhenti.
Tatapan itu… bukan tatapan musuh. Tapi juga bukan sahabat.
Itu adalah tatapan orang yang terjebak dalam pilihan yang telah lama dibuat.
Reksa sempat membuka mulut, tapi sebelum sempat bicara, peluru menghantam dinding di dekatnya dan ia harus mundur.
Mereka berhasil keluar, meskipun luka ringan di lengan kiri membuat Reksa kesakitan. Tapi lebih dari itu, hatinya yang terluka lebih dalam.
Mereka berlindung di sebuah tempat aman—ruang bawah tanah toko tua yang dulu digunakan jaringan mereka untuk bertukar informasi.
“Dia lihat kamu,” kata Nara, menyeka luka di lengan Reksa.
“Dia tahu aku datang.”
“Dan dia membiarkan kamu pergi.”
Reksa menatap kosong ke langit-langit. “Itu bukan Dharma yang aku kenal… tapi aku juga nggak yakin itu bukan dia.”
Nara menatapnya lama. “Kita harus bersiap. Kalau dia masih menyimpan sisa dari siapa dia dulu, kita masih punya harapan. Tapi kalau tidak… kita akan melawan orang yang paling kita percaya.”
Reksa mengepalkan tangannya.
Bayangan itu telah kembali. Dan kini, bayangan itu punya wajah.
Bab 4 — Sekutu dalam Gelap
Mobil tua Nara melaju perlahan melewati jalanan sempit di pinggiran Depok. Hujan kembali turun, membasahi kaca depan dan menyembunyikan dunia luar dalam kabut tipis. Di dalam mobil, suasana sunyi. Reksa menatap peta digital di tablet kecil, sementara Nara sesekali melirik ke cermin belakang.
“Yakin dia masih di sini?” tanya Reksa pelan.
Nara mengangguk. “Dia punya bunker pribadi di bawah toko barang antik. Nama tokonya Heritage of Silence. Ironis, ya?”
Reksa menghela napas. Nama Rian masih menimbulkan rasa tak nyaman di dadanya. Pria itu dulunya ahli enkripsi dan teknologi lapangan, bagian dari tim mereka yang paling pintar sekaligus paling licik. Rian hengkang sebelum Operasi RD-X dijalankan—katanya karena “ada yang busuk dari dalam”. Tapi setelah itu, ia menghilang bersama sebuah prototipe alat pelacak rahasia yang seharusnya tidak pernah dibawa siapa pun.
Mereka berhenti di depan sebuah toko tua yang tertutup teralis besi. Cat kusam, papan nama nyaris jatuh, dan di jendela, berderet patung kayu usang berdiri seperti penjaga hening.
Nara mengetuk pintu tiga kali, jeda, lalu dua kali lagi. Sebuah pola lama—kode kepercayaan.
Beberapa detik hening, lalu terdengar derit besi. Teralis terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria berjenggot tipis, mata tajam, dan jaket kulit yang jelas lebih baru dari seluruh bangunan ini. Di tangan kanannya, pistol otomatis.
“Dua hantu dari masa lalu… datang tanpa undangan,” gumam Rian, suara rendah dan datar.
“Dan satu dari kalian dulu nyaris menusuk dari belakang,” balas Reksa tajam.
Rian tersenyum kecil. “Kalau aku benar-benar ingin menikam, kau tak akan berdiri di sini sekarang.”
Nara angkat tangan. “Cukup. Kita nggak datang untuk bernostalgia.”
Rian mengangguk. “Masuk. Tapi jangan sentuh apa pun. Semuanya di sini… punya memori.”
Bunker Rian terletak di bawah toko, tersembunyi di balik lemari buku yang bisa digeser. Di dalamnya, ruang sempit dengan lampu redup dan dinding dipenuhi layar monitor, kabel kusut, serta tumpukan hard drive. Tempat itu tampak seperti persilangan antara markas hacker dan museum rahasia.
“Jadi,” kata Rian sambil duduk, “kenapa kalian mencari orang sepertiku?”
Nara langsung menyalakan laptop dan menampilkan data dari USB. “Kami butuh bantu buka semua enkripsi Echo Protocol. Termasuk jalur komunikasi dan identitas kode-kode internal organisasi Bayangan Terakhir.”
Rian menyipitkan mata. “Bayangan Terakhir… nama yang lama tak terdengar.”
Reksa memotong, “Kau tahu mereka?”
Rian menarik napas, lalu membuka laci kecil. Ia melemparkan sebuah foto ke meja—foto lama, hitam putih. Dalam foto itu, empat orang berseragam berdiri berdampingan. Reksa, Nara, Dharma… dan satu orang lain.
Rian.
“Echo Protocol bukan proyek biasa,” katanya pelan. “Itu program pengganti kendali. Mind-fusion combined ops. Kombinasi teknologi dan manipulasi psikologis. Siapa pun yang dikendalikan Echo… bisa jadi boneka perang tanpa sadar.”
Reksa menegang. “Dharma?”
“Bisa jadi,” jawab Rian. “Atau… bisa jadi dia pemegang kendalinya sekarang.”
Nara menggertakkan gigi. “Berarti operasi dulu bukan sekadar sabotase.”
“Benar,” lanjut Rian. “Itu uji coba. Dan sekarang, sepertinya proyek itu dihidupkan lagi—lebih besar, lebih tersembunyi. Dan Dharma, kalau masih hidup, mungkin sudah bukan manusia yang sama.”
Rian mulai membuka berkas-berkas yang dibawa Nara. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard mekaniknya. Layar demi layar terbuka, dan suara bip komputer memenuhi ruangan.
“Ada jalur komunikasi aktif ke markas bayangan mereka. Tapi lebih dari itu…” Rian berhenti. “Ada sinyal darurat terkubur dalam file ini. Format pesan lama. Milik STING.”
“STING?” tanya Reksa cepat. “Unit kita?”
Rian mengangguk. “Seseorang dari dalam organisasi mereka… kirim sinyal minta bantuan. Dari dalam perut naga.”
Mereka bertiga saling pandang. Fakta bahwa masih ada seseorang di dalam Bayangan Terakhir yang mengirim kode STING berarti satu hal: belum semua yang ada di dalam organisasi itu sepenuhnya tunduk.
Rian duduk lebih tegak. “Aku bantu kalian. Tapi kita buat perjanjian.”
Reksa mengerutkan alis. “Apa?”
“Kalau nanti kalian temui Dharma… dan ternyata dia bukan lagi diri kita dulu… kalian siap menarik pelatuk?”
Nara terdiam. Reksa menatap lantai sesaat, lalu menjawab dingin.
“Kalau dia memilih menjadi bayangan… maka dia akan hilang seperti bayangan juga.”
Rian tersenyum tipis. “Bagus. Karena ini bukan lagi tentang menyelamatkan satu orang. Ini tentang mencegah seluruh negeri jadi medan eksperimen mereka.”
Malam itu, rencana baru terbentuk. Tiga bayangan masa lalu bersatu kembali—bukan karena percaya, tapi karena mereka tahu, bahaya yang akan datang lebih besar dari luka yang pernah mereka tinggalkan.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, Reksa merasa… mungkin, pertarungan ini belum benar-benar selesai.
Bab 5 — Operasi Rahasia
Malam menyelimuti kota seperti kabut kelam yang malas pergi. Di dalam sebuah ruangan sempit di lantai empat gedung kosong di pusat Jakarta, tiga orang berkumpul mengelilingi satu layar. Peta digital tergambar jelas di monitor besar yang ditancapkan ke dinding: jaringan komunikasi organisasi Bayangan Terakhir terbentang seperti jaring laba-laba yang rumit, menghubungkan titik-titik di berbagai kota.
Reksa duduk bersandar dengan tangan menyilang, sementara Rian sibuk mengetik dengan kecepatan tinggi. Nara berdiri di samping, matanya tajam memindai layar.
“Kita hanya punya satu kesempatan,” kata Rian tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Sistem mereka pakai algoritma berganda. Begitu kita salah satu langkah aja, kita bukan cuma ketahuan—lokasi kita langsung dilacak dan disapu habis.”
Reksa mengangguk pelan. “Berarti kita harus seperti bayangan yang menyelinap dalam bayangan.”
Rian menyeringai. “Puitis juga kau sekarang.”
Nara mengabaikan komentar itu. Ia menunjuk salah satu titik merah di peta. “Ini, pusat kendali lapis dua mereka. Berada di bawah cover perusahaan teknologi—NexPhase Industries. Gedungnya ada di tengah kawasan bisnis. Dari luar terlihat legal, tapi di bawahnya ada sistem kendali komunikasi. Kalau kita bisa masuk dan tanam worm, kita bisa pantau komunikasi internal mereka… bahkan membajak salah satu jalur perintah.”
Reksa mendekat. “Tapi kamu yakin, mereka nggak akan curiga begitu sistemnya kita sentuh?”
“Karena kita nggak akan sentuh dari luar,” jawab Rian cepat. “Kita akan masuk ke dalam gedung. Langsung ke server.”
Sunyi sejenak.
“Infiltrasi penuh,” gumam Reksa.
“Operasi Rahasia,” kata Nara.
Malam berikutnya, mereka bergerak.
Pakaian formal, identitas palsu, dan akses kartu hasil kerja keras jaringan Rian selama bertahun-tahun. Mereka menyamar sebagai tim audit sistem yang disewa untuk pemeriksaan tahunan. Masuk ke NexPhase Industries bukan hal mudah—tapi sistem mereka belum siap menghadapi para hantu dari masa lalu.
Begitu di dalam, mereka dibagi: Nara naik ke lantai kontrol untuk memutus sementara kamera dan sistem alarm; Reksa dan Rian menyelinap ke ruang server di basement dua.
Koridor itu gelap dan sepi. Dinding putih bersih, udara steril seperti ruang operasi. Reksa mengikuti langkah Rian yang berjalan cepat, namun tenang.
“Berapa lama kita punya waktu sebelum backup sistem aktif lagi?” tanya Reksa.
“Lima belas menit. Paling lama,” jawab Rian.
Mereka sampai di ruang server. Dua penjaga berjaga di pintu. Tanpa ragu, Reksa maju dan memukul satu dari mereka sebelum sempat bicara. Rian menidurkan yang satu lagi dengan semprotan bius cepat. Dalam waktu kurang dari dua detik, mereka masuk.
Suasana di dalam dingin dan hening. Server-server berdiri seperti raksasa metalik. Lampu indikator berkedip pelan. Rian segera bekerja, membuka panel belakang dan menyambungkan kabel ke laptopnya.
“Mulai unggah worm. Kau jaga pintu.”
Reksa berdiri, matanya awas. Waktu berlalu lambat, dan setiap detik terasa seperti tali yang bisa putus kapan saja.
Tiba-tiba, suara di radio berbunyi. Nara.
“Ada aktivitas tak biasa di sistem cadangan. Seseorang mencoba akses file Echo dari pusat.”
Rian menoleh cepat. “Mereka tahu. Bukan karena kita. Tapi karena ada orang dalam yang juga sedang mengakses.”
Reksa langsung bicara. “Orang yang kirim sinyal STING. Dia sedang coba kabur atau kirim data!”
Rian mengetik cepat. “Aku bisa lacak jalurnya. Tunggu…”
Di layar muncul nama sandi: KODE S-17.
Nara bicara lagi lewat radio. “S-17. Aku kenal kode itu. Itu milik… Nisa.”
Reksa menoleh tajam. “Nisa? Itu agen kita yang hilang tiga tahun lalu, ‘kan?”
“Iya. Dia infiltrasi Bayangan Terakhir… dan dikira tewas dalam operasi pembersihan. Ternyata dia masih di dalam,” jelas Nara dengan suara bergetar.
Rian memotong. “Dia sekarang akses data utama—dan membuka jalur komunikasi satu arah. Dia coba kabur. Tapi…”
Reksa melirik monitor. Jalur pelarian Nisa… menuju atap gedung. Tapi dari pergerakan kamera yang kembali menyala sebagian, mereka tahu: satu tim eksekusi sudah menuju ke sana juga.
“Dia akan dibunuh,” gumam Nara.
Reksa langsung bergerak. “Kita bantu dia. Kirim koordinat lewat radio. Aku ke atas.”
“Waktu kita cuma lima menit sebelum semua sistem hidup,” seru Rian.
“Cukup untuk menyelamatkan satu orang,” balas Reksa, lalu menghilang di lorong.
Di atap gedung, angin kencang bertiup. Nisa berdiri di ujung, mengenakan pakaian staf biasa, wajahnya luka dan rambut awut-awutan. Di tangannya—hard drive kecil yang menyimpan file Echo asli.
Empat pria bersenjata mengapitnya.
Satu tembakan meletus, tapi mengenai pilar beton.
Reksa muncul dari sisi kiri, melempar flashbang kecil. Cahaya meledak di malam gelap. Dalam hitungan detik, dua musuh tumbang. Sisanya berlari mundur.
Nisa nyaris jatuh, tapi Reksa menangkapnya.
“Nama kode?” tanya Reksa.
Nisa, dengan napas tersengal, menjawab, “S-17. Aku bawa semua data mereka. Dharma… dia tidak hanya pemimpin. Dia… prototipe pertama Echo.”
Mereka kabur malam itu dengan selamat. Nisa terluka, tapi hidup.
Dan kini, di tangan mereka, ada kunci—data mentah program Echo dan bukti bahwa Dharma mungkin bukan lagi manusia sepenuhnya, melainkan sesuatu yang lebih berbahaya.
Operasi Rahasia berhasil. Tapi yang akan datang… adalah perang.
Bab 6 — Kebenaran yang Terungkap
Langit mendung menggantung di atas kota. Di sebuah rumah aman yang tersembunyi di balik kawasan pemukiman padat, Reksa, Nara, dan Rian duduk di sekeliling meja panjang yang dipenuhi laptop, kabel, dan kertas-kertas laporan. Di tengah meja, sebuah hard drive kecil berwarna hitam—tampak tak berbahaya, tapi isinya bisa membakar dunia.
Nisa berbaring di sofa tua di pojok ruangan, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Luka tembak di bahunya sudah dibalut, tapi wajahnya tetap pucat.
“Jadi, kau menyusup ke dalam Bayangan Terakhir sejak awal?” tanya Reksa, nada suaranya datar, tapi nadanya mengandung pertanyaan besar.
Nisa mengangguk lemah. “Perintah langsung dari unit STING. Mereka curiga Dharma belum mati. Aku dikirim diam-diam, tanpa sepengetahuan kalian.”
Nara menatapnya tajam. “Kau membuat kami semua percaya kau tewas.”
“Kalau aku tidak ‘mati’, mereka tidak akan percaya aku sepenuhnya. Aku harus menghilang dari catatan,” jawab Nisa lirih. “Dan itu berhasil. Selama tiga tahun, aku lihat semua dari dalam.”
Rian berhenti mengetik. “Lalu apa yang kau lihat?”
Nisa memejamkan mata sejenak. Ketika ia kembali bicara, suaranya rendah, seperti bisikan.
“Dharma tidak sepenuhnya manusia lagi.”
Keheningan turun seketika. Rian menoleh perlahan ke layar. Nara terlihat bingung. Reksa hanya menatap Nisa, mencoba memahami.
“Program Echo adalah proyek eksperimen kendali kesadaran. Tapi mereka gagal pada banyak subjek—gila, lumpuh, atau bunuh diri. Hanya satu yang bisa menyatu dengan sistem: Dharma.”
“Bagaimana bisa?” tanya Nara, nyaris tak percaya.
“Karena dia menawarkan dirinya sendiri,” bisik Nisa.
Rian mulai membuka file di hard drive. Berkas demi berkas terungkap: laporan medis, peta sistem saraf digital, catatan eksperimen.
“Ini… bukan cuma kendali pikiran,” kata Rian. “Ini penggabungan memori dan logika strategis ke dalam sistem kecerdasan buatan. Dharma tidak lagi hanya berpikir sebagai manusia. Dia punya akses ke semua data militer, sosial, dan ekonomi dari seluruh jaringan Bayangan Terakhir. Dia adalah program itu sendiri.”
Reksa mengepalkan tangannya. “Jadi selama ini… dia bukan dikendalikan. Dia memilih untuk menjadi pusat kendali.”
“Lebih buruk dari itu,” tambah Rian. “Dia adalah inti. Hapus Dharma—program mati. Tapi selama dia hidup, dia bisa memperluas jaringan, mempengaruhi sistem lain. Kota, negara, dunia maya.”
Nara menunjuk salah satu rekaman video: wajah Dharma yang sedang berbicara dengan tim ilmuwan, dengan suara tenang dan dingin.
“Manusia selalu kacau karena perasaan. Rasa takut, ragu, cinta, balas dendam. Sistem ini akan membebaskan dunia dari itu semua. Saya akan memimpin. Dan semua yang masih mempertahankan emosi manusia… akan dihapus.”
Reksa mundur satu langkah, seolah ditampar.
“Dia percaya dirinya adalah solusi,” katanya pelan.
Nisa membuka mata. “Tapi bukan itu yang paling penting.”
Semua menoleh ke arahnya.
“Ada satu proyek lanjutan… yang tidak pernah diungkapkan ke publik Bayangan Terakhir.”
Ia menunjuk salah satu folder. Rian membuka. Nama file-nya hanya satu huruf: “R”.
Isi file membuat mereka terdiam.
Rian membacakan isinya perlahan.
“Protokol Reinkarnasi: pemindahan kesadaran Dharma ke host lain, untuk memastikan keberlanjutan sistem jika tubuh aslinya mati. Host utama dalam persiapan: subjek yang cocok secara genetik dan mental—Reksa.”
Dunia serasa berhenti.
Reksa menatap layar, matanya membelalak. “Apa… maksudnya aku?”
Nisa mengangguk. “Dharma memilihmu. Karena kamu satu-satunya orang yang pikirannya bisa ‘berdekatan’ dengan dirinya. Kamu dilatih bersama. Berperang bersama. Kamu satu-satunya orang yang dia anggap pantas meneruskan sistem jika dirinya lenyap.”
Nara berdiri, shock. “Itu gila. Itu manipulasi total.”
Rian menyandarkan punggung ke kursi. “Bukan cuma itu. Ini artinya selama ini, kamu… bisa jadi target aktif.”
Reksa menatap lantai, berusaha menyatukan semuanya. Kilas balik masa pelatihan bersama Dharma, misi-misi dulu, semua terasa seperti bagian dari teka-teki yang lebih besar.
“Jadi selama ini, aku cuma cadangan… bayangan dari bayangan.”
Sunyi menyelimuti ruangan. Nisa menarik napas.
“Dia akan mulai fase final dalam waktu dua minggu. Sistem akan menyatu dengan infrastruktur nasional. Kalau itu terjadi, tidak ada jalan balik. Dharma akan jadi entitas tak tersentuh.”
Reksa perlahan berdiri. “Kalau dia menganggap aku pantas jadi penerus… maka aku juga cukup dekat untuk menghancurkannya.”
Nara menatapnya dengan sorot khawatir. “Kita akan masuk ke pusat sistem. Tapi ini artinya kamu harus menghadapi Dharma—bukan sebagai musuh, tapi sebagai bayangan dari dirinya.”
Reksa menatap layar, lalu ke arah Nisa, Nara, dan Rian.
“Kalau ini harus berakhir, maka aku sendiri yang akan mengakhirinya.”
Dan malam itu, di ruang aman yang sunyi, empat orang memutuskan untuk tidak hanya melawan sistem… tetapi melawan bagian terdalam dari diri mereka sendiri—ketika kepercayaan berubah menjadi ancaman, dan kebenaran mengikis batas antara manusia dan mesin.
Bab 7 — Perang Bayangan
Langit malam seperti kanvas hitam yang menunggu dicoreti darah dan peluru. Di pinggiran kota, tersembunyi di bawah reruntuhan kompleks industri tua, markas utama Bayangan Terakhir berdiri diam—tak terlihat dari permukaan, tapi hidup di bawah tanah dengan denyut seperti jantung mesin.
Reksa, Nara, Rian, dan Nisa berdiri di depan pintu masuk rahasia yang mereka temukan lewat data Nisa. Tak ada waktu untuk ragu. Semua rencana telah disusun, jalur sudah dipetakan, dan setiap langkah kini menjadi bagian dari pertaruhan terakhir.
“Begitu kita masuk,” kata Rian, memeriksa tablet di tangannya, “kita harus pisah. Aku ke ruang kendali server buat lempar virus pengacau. Nisa dan Nara ke ruang pengendali sinyal—mereka yang pegang kendali gerbang keluar. Reksa…”
Reksa hanya mengangguk. “Aku cari Dharma.”
Mereka semua saling berpandangan sejenak. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan risiko ini. Tapi keheningan itulah yang memperkuat tekad mereka. Tanpa basa-basi lagi, mereka bergerak.
Lorong bawah tanah itu panjang, gelap, dan berlapis baja. Kamera tersembunyi, sensor detak jantung, dan sistem pengenal wajah bertebaran di setiap sudut. Tapi Rian sudah menyiapkan perangkat pengacau sinyal: setiap sensor hanya menangkap gelombang palsu, ilusi yang menyesatkan.
Tak butuh lama untuk pertempuran pertama pecah.
Tiga penjaga bersenjata otomatis berbelok di lorong dan langsung menodongkan senjata. Reksa melompat ke depan, melindungi Rian, sambil menembakkan pistol dengan presisi militer. Dua musuh tumbang, satu lainnya mencoba melarikan diri, tapi Nara dari belakang menghentikannya dengan lemparan pisau yang cepat dan senyap.
“Gerakan kita sudah diketahui,” kata Nisa, napasnya cepat. “Kita harus lebih cepat dari waktu.”
Mereka berpencar.
Rian ke kiri, Nara dan Nisa ke kanan, dan Reksa—langsung menuju ke jantung markas. Tempat yang disebut dalam sistem sebagai: Kapsul Inti.
Reksa menelusuri lorong terakhir yang panjang dan berlapis lampu biru. Setiap langkahnya bergema seperti bunyi denting jam yang semakin mendekati akhir.
Di ujung lorong, pintu baja otomatis terbuka dengan suara desisan pelan.
Ruangan itu bulat, seperti kubah logam raksasa. Di tengahnya, sebuah kursi dengan banyak kabel terhubung ke seluruh dinding, seperti akar pohon. Di kursi itu duduk seseorang—rambut perak, tubuh kurus tapi tegar, mata tertutup.
Dharma.
Tapi saat Reksa melangkah mendekat, Dharma membuka matanya—dan senyumnya muncul, lembut, menakutkan.
“Kau datang,” ucapnya tenang. “Seperti yang kuharapkan.”
Reksa mengangkat senjatanya, tapi tangannya gemetar. Semua kenangan menyerbu: latihan bersama, misi pertama mereka, saat Dharma menyelamatkan nyawanya. Tapi semua itu terasa seperti ilusi yang dipelihara terlalu lama.
“Kau berubah jadi sesuatu yang bukan manusia,” kata Reksa dengan suara berat.
Dharma bangkit perlahan. Kabel-kabel itu terlepas dari tubuhnya seakan ia hanya bagian dari mesin.
“Bukan berubah,” sahutnya. “Aku menjadi versi terbaik dari manusia. Bebas dari kesalahan. Dari rasa sakit. Dari ketakutan.”
Reksa menggeleng. “Jangan samakan dinginnya logika dengan kemajuan. Tanpa rasa sakit, kita tidak belajar. Tanpa takut, kita tidak tahu mana yang benar.”
“Tapi rasa itu yang membuatmu lemah, Reksa. Kau selalu ragu sebelum menembak. Selalu menyesal setelah kehilangan. Kau akan gagal… karena masih percaya pada perasaan.”
Tiba-tiba, layar-layar di dinding menyala, menampilkan wajah-wajah masa lalu: orang-orang yang mati dalam misi mereka. Termasuk wajah Ardi—adik Nara, rekan mereka dulu.
Reksa terpaku. Dharma berjalan pelan ke arahnya.
“Semua ini… bisa kau hindari. Kalau kau bergabung denganku. Sistemku bisa menyimpan kesadaranmu, menyempurnakan ingatanmu. Kau bisa abadi, Reksa.”
Reksa menunduk, seolah bimbang. Tapi kemudian matanya tajam menatap Dharma.
“Kalau abadi berarti jadi alat… lebih baik aku mati sebagai manusia.”
Ia menembak.
Tapi Dharma bergerak cepat, hampir seperti bayangan. Peluru meleset, dan keduanya terlibat duel tangan kosong. Pukulan demi pukulan, gerakan mereka seperti cermin—karena Dharma pernah melatih Reksa, dan Reksa pernah meniru Dharma.
Akhirnya, Reksa menjatuhkan Dharma ke lantai. Ia menarik pisau dan menodongkannya ke lehernya.
“Habisi aku, dan sistemku mati,” kata Dharma, dengan senyum menantang. “Tapi kau juga akan kehilangan semua akses. Semua data. Semua bukti. Dunia akan tetap buta.”
Reksa ragu… lalu, terdengar suara Rian lewat radio.
“Virus sudah aktif. Kau cuma perlu memutuskan satu hal: manusia… atau mesin.”
Reksa menatap mata Dharma—dingin, kosong, seperti terminal tak berjiwa. Lalu ia menarik napas panjang.
Dan menusukkan pisau itu.
Getaran terasa di seluruh kompleks. Lampu mati. Sistem padam. Seluruh jaringan Bayangan Terakhir mulai runtuh, satu per satu.
Di ruang kontrol, Nara dan Nisa bergegas membuka gerbang keluar.
Rian muncul dari koridor, wajahnya penuh debu dan darah.
“Reksa?” tanya Nara, cemas.
Langkah terdengar dari lorong.
Reksa muncul, lelah, luka, tapi hidup.
“Dharma… sudah tidak ada.”
Di luar, fajar mulai merekah. Kota kembali tenang. Dunia tidak tahu apa yang baru saja diselamatkan dari kegelapan.
Tapi bagi mereka, perang bayangan telah berakhir.
Dan kini, cahaya mulai merambat, perlahan.
Bab 8 — Peluru Terakhir
Tiga hari telah berlalu sejak sistem Bayangan Terakhir dilumpuhkan.
Kota mulai kembali bernapas. Pemerintah sementara mulai mengambil alih fasilitas yang selama ini berada di bawah kendali Dharma. Media masih dalam kebingungan — banyak yang menyebut “serangan siber besar”, sebagian menyebut “kudeta diam-diam”.
Namun hanya empat orang yang tahu kebenaran. Dan hanya mereka yang tahu: perang belum benar-benar usai.
Reksa duduk di bangku kayu tua di sebuah pangkalan bawah tanah lama yang kini jadi tempat perlindungan mereka sementara. Luka di lengannya masih terasa, tapi pikirannya lebih sakit. Ia terus mengulang percakapan terakhir dengan Dharma, wajahnya, logikanya, dan tawaran abadi yang nyaris menggoyahkan keyakinannya.
Nara masuk ke ruangan, membawa tablet.
“Ada yang kau perlu lihat,” katanya, duduk di sebelahnya.
Di layar: grafik-grafik jaringan. Salah satunya… masih hidup.
“Masih ada server aktif?” tanya Reksa.
Nara mengangguk. “Cadangan darurat. Lokasinya di luar zona urban, fasilitas tersembunyi dekat area hutan. Mungkin hanya satu node kecil… tapi cukup untuk bangkitkan ulang sistem jika diakses orang yang salah.”
Rian masuk, dengan wajah muram. “Dan tampaknya… seseorang sedang dalam perjalanan ke sana.”
Nisa menyusul dari lorong. “Kami menangkap sinyal pergerakan. Cepat, terorganisir. Ini bukan pasukan sisa. Ini satu orang — dan dia bawa kode aktivasi terakhir Dharma.”
Mereka semua saling berpandangan. Tak perlu ditebak: ini peluru terakhir.
Dan hanya satu cara menghentikannya.
Perjalanan ke lokasi memakan waktu setengah hari. Mereka menyusuri jalan hutan dengan kendaraan tua dan senjata sisa. Di antara kabut pagi dan dinginnya udara pegunungan, muncul siluet bangunan kecil yang setengah tertanam di tanah.
Fasilitas itu tampak mati. Tapi detektor panas menunjukkan satu individu di dalamnya. Sendirian.
Mereka menyusup dalam formasi. Nara dan Rian dari sisi barat. Nisa menjaga perimeter. Reksa masuk lewat celah ventilasi tua yang mengarah langsung ke ruang kontrol.
Di dalam, ia melihat sosok itu. Punggungnya menghadap ke arah pintu. Ia sedang berdiri di depan panel kontrol, jemarinya menari di atas layar holografik.
“Jangan bergerak,” kata Reksa, pistol terangkat.
Sosok itu perlahan berbalik.
Reksa terdiam.
Wajah itu… familiar. Sangat familiar.
“Adikmu?” suara Nara masuk melalui radio kecil.
Bukan.
Tapi mirip.
Salma. Putri Dharma. Perempuan yang dulu diyakini meninggal dalam kecelakaan bertahun lalu. Tapi sekarang berdiri di depannya, hidup dan bersinar dengan intensitas mata ayahnya.
“Dia menyimpan kesadarannya dalam satu bagian chip ini,” kata Salma pelan, mengangkat benda kecil dari saku bajunya. “Dan ia percaya… hanya aku yang pantas melanjutkan.”
Reksa melangkah maju. “Dia sudah mati, Salma. Dia memilih jalan tanpa jiwa. Kau tak harus meneruskannya.”
“Tapi dunia ini tetap sama, Reksa,” katanya. “Mereka masih membunuh demi kekuasaan. Menyembunyikan kebenaran demi keuntungan. Dharma bukan iblis — dia hanya manusia pertama yang mencoba memperbaiki semuanya.”
Reksa menggeleng. “Dengan menghapus kebebasan?”
“Dengan menyeimbangkan kekacauan.”
Tangan Salma mulai bergerak ke arah panel. “Kau bisa ikut aku. Atau… kau bisa menembakku.”
Pistol di tangan Reksa mulai gemetar. Lagi. Sama seperti ketika ia menghadapi Dharma. Tapi kali ini lebih sulit. Salma bukan musuh. Ia hanya seseorang yang tumbuh dalam bayang-bayang ideologi.
Nara masuk ke ruangan dengan cepat, senjata terangkat. “Jangan!”
Tapi Salma menatap mereka dengan tenang.
“Ini bukan tentang senjata. Ini tentang keyakinan.”
Tiba-tiba terdengar bunyi ‘klik’. Salma telah mengaktifkan proses sinkronisasi awal. Dalam waktu 60 detik, chip di tangannya akan mentransfer data Dharma ke server cadangan.
Reksa harus memutuskan.
Ia menatap Salma. Mata yang begitu mirip dengan Dharma — tapi juga ada kelembutan yang dulu tak pernah dilihat dari ayahnya.
“Aku percaya padamu, Salma,” kata Reksa pelan. “Karena kau masih punya pilihan.”
Ia menjatuhkan pistolnya ke lantai.
Salma membeku.
“Kalau kau benar-benar percaya pada dunia yang lebih baik, kau tahu ini bukan caranya,” lanjut Reksa.
Salma menatap panel.
25 detik.
Tangannya bergetar. Ia menatap chip itu.
15 detik.
Air mata turun di pipinya. Perlahan, ia menjatuhkan chip ke lantai… dan menginjaknya.
Panel langsung mati.
Sistem berhenti.
Dharma benar-benar mati.
Di luar fasilitas, langit sore mulai memerah. Kabut mulai menghilang, dan cahaya menembus pohon-pohon tinggi.
Salma duduk di samping kendaraan, diam. Nara memandanginya dengan hati-hati, tapi tak berkata apa-apa.
Reksa berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahnya.
“Ayahku… bukan monster,” bisik Salma. “Dia hanya… terlalu takut melihat dunia hancur.”
Reksa mengangguk. “Kadang cinta pada dunia bisa membuat orang buta. Tapi kau… kau membukakan matanya. Bahkan setelah ia tiada.”
Salma menatap langit. “Jadi, sekarang apa?”
Reksa tersenyum kecil. “Sekarang kita perbaiki semuanya. Sebagai manusia.”
Dan untuk pertama kalinya, tidak ada bayangan yang mengikuti mereka.
Hanya masa depan.
Bab 9 — Cahaya Setelah Bayangan
Tiga bulan telah berlalu sejak peluru terakhir ditembakkan—bukan oleh senjata, tapi oleh keputusan. Dan sejak hari itu, dunia mulai berubah.
Tak ada siaran besar. Tak ada perayaan di jalan. Tapi perubahan itu nyata. Sistem pengawasan yang dulu tak terlihat mulai menghilang. Beberapa figur penting dari pemerintahan bayangan menghilang atau menyerahkan diri. Proyek rahasia yang selama ini berada di bawah kendali Dharma dibongkar satu per satu.
Kebenaran mulai keluar seperti cahaya kecil dari celah retakan tembok lama.
Di tengah kota yang dulu jadi pusat kontrol Bayangan Terakhir, sekarang berdiri sebuah bangunan baru: Pusat Transparansi Informasi dan Keadilan Sosial. Sebuah inisiatif yang lahir dari puing kehancuran, dipimpin oleh orang-orang yang dulu bertempur dalam diam.
Salah satunya: Reksa.
Ia sekarang lebih sering mengenakan kemeja lengan panjang daripada rompi peluru. Tapi tatapan matanya tetap tajam, hanya kini dipenuhi keyakinan berbeda—bukan keyakinan akan peperangan, melainkan akan kemungkinan perdamaian.
Di lantai atas gedung itu, Reksa menatap keluar jendela. Kota terlihat sibuk seperti biasa, tapi ia bisa merasakan bedanya. Tidak ada lagi kamera yang mengawasi dari setiap sudut, tidak ada lagi bisikan ketakutan dalam diam.
Nara masuk, membawa dua cangkir kopi. “Kopi murahan masih lebih enak daripada ketenangan buatan,” katanya sambil duduk di sebelahnya.
Reksa tertawa kecil. “Kau masih tidak percaya teknologi bisa bantu manusia?”
Nara mengangkat bahu. “Teknologi tak pernah salah. Tapi manusia di baliknya? Itu yang harus dikawal.”
Mereka saling diam sejenak, menikmati keheningan yang dulu terasa asing.
“Apa kau pernah membayangkan kita bisa sampai di titik ini?” tanya Nara.
“Dulu tidak,” jawab Reksa. “Tapi sekarang… aku mulai percaya.”
Di sisi lain kota, Salma berdiri di hadapan anak-anak muda dalam ruang pelatihan digital. Ia kini bekerja sebagai mentor teknologi etis, mengajarkan pentingnya batas antara inovasi dan kemanusiaan.
Beberapa masih melihatnya sebagai bayangan dari masa lalu. Tapi bagi para murid, ia adalah simbol perubahan—seseorang yang memilih jalan sulit demi masa depan yang lebih jujur.
Setelah kelas selesai, ia duduk di sudut taman kota. Tak butuh banyak penjaga, tak ada lagi ancaman. Ia hanya membawa satu benda kecil di tangannya: liontin tua milik ayahnya, yang kini sudah kosong dari chip atau data apa pun.
“Maafkan aku, Ayah,” bisiknya. “Tapi ini dunia yang layak kita perjuangkan.”
Nisa kembali ke komunitasnya—wilayah miskin yang dulu sering menjadi sasaran manipulasi informasi. Kini, ia menjadi penghubung antara sistem dan warga. Ia tak lagi bersembunyi di balik layar, tapi berdiri di depan umum, berbicara lantang.
Rian? Ia kembali ke dunia digital, tapi bukan sebagai peretas dalam bayangan. Ia kini membuat platform transparan untuk akses data publik—tempat siapa pun bisa melihat, bertanya, bahkan mengoreksi.
Dan meski jalur mereka mulai berbeda, empat orang itu tetap terhubung. Setiap bulan, mereka bertemu, duduk bersama, dan mengingat hari-hari gelap yang membentuk cahaya yang mereka miliki sekarang.
Suatu malam, mereka berkumpul di atas atap gedung tua—tempat latihan pertama mereka, sebelum semua kekacauan dimulai. Hanya mereka berempat, dan bintang-bintang di atas langit yang bersih dari drone pengintai.
“Aku pikir dunia akan runtuh setelah kita lumpuhkan Bayangan Terakhir,” kata Rian sambil menyeruput soda. “Tapi nyatanya… kita malah melihat dunia tumbuh.”
“Kita gak selamat karena kita lebih kuat,” sahut Nisa. “Kita selamat karena kita tetap manusia. Bahkan saat semua sistem mencoba mencabut sisi itu dari kita.”
Mereka semua diam sejenak. Angin malam meniupkan ketenangan yang langka.
Reksa mengangkat gelas kecil berisi teh. “Untuk semua yang jatuh… dan semua yang bangkit.”
“To Ardi,” bisik Nara.
“To Dharma,” tambah Salma yang baru tiba bergabung.
“To masa depan,” ujar Nisa.
Gelas-gelas bersentuhan pelan. Tak ada suara gemuruh. Tapi malam itu, di atas kota yang dulunya tercekik bayangan, cahaya kecil tumbuh dari dalam dada mereka.
Satu per satu, luka mereka sembuh. Bukan karena waktu, tapi karena pilihan. Karena mereka tak membiarkan masa lalu menentukan masa depan.
Di lorong museum informasi baru, terpajang foto empat orang tak bernama, berdiri dengan bayangan panjang di belakang mereka. Di bawahnya, tulisan kecil terpahat:
“Mereka tidak dikenal dalam buku sejarah, tapi dunia berdiri karena mereka memilih untuk tidak menjadi bayangan.”
Dan di ujung lorong itu, sinar mentari pagi masuk lewat jendela besar. Cahaya yang hangat. Jujur.
Cahaya setelah bayangan.***