• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
BAYANG- BAYANG DI BALIK KERAJAAN

BAYANG- BAYANG DI BALIK KERAJAAN

April 8, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
BAYANG- BAYANG DI BALIK KERAJAAN

BAYANG- BAYANG DI BALIK KERAJAAN

by SAME KADE
April 8, 2025
in Sejarah
Reading Time: 27 mins read

Bagian I – Gerimis di Balik Kemegahan

Bab 1: Hening di Balik Gerbang

Fajar belum sepenuhnya merekah saat pintu utama Kerajaan Gantala perlahan terbuka. Kabut tipis menggantung di udara, menyelimuti lapangan istana yang basah oleh embun malam. Suara derap kaki pasukan penjaga pagi terdengar teratur, namun tetap terasa hampa. Udara membawa aroma dupa yang samar, bercampur dengan bau batu basah dan dedaunan yang layu. Di balik keheningan itu, sesuatu terasa ganjil.

Raka berdiri diam di sisi gerbang, tangan menggenggam tombak kayu yang mulai usang di ujungnya. Seragamnya masih bersih—terlalu bersih untuk seorang prajurit jaga gerbang. Usianya baru dua puluh dua, dan ini adalah minggu ketiganya bertugas di pelataran utama istana. Ia belum terbiasa dengan pagi yang seperti ini: terlalu sunyi untuk ukuran istana yang katanya penuh hiruk-pikuk dan kemegahan.

Namun hari ini berbeda. Bukan hanya karena suara burung-burung enggan berkicau, tetapi juga karena bisikan yang ia dengar malam sebelumnya.

“Gerbang Utara akan jadi saksi awal mula kehancuran,” kata seorang pelayan tua yang mabuk tuak di dapur belakang. Raka semula menganggapnya lelucon mabuk, tapi kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.

Langkah-langkah ringan terdengar mendekat. Dari balik kabut, muncullah Sosro, sesama penjaga yang lebih senior, membawa dua cangkir tembikar berisi air jahe panas. “Kau belum sarapan, Nak Raka. Ambillah, sebelum kau jadi patung penjaga betulan,” ucapnya dengan senyum lesu.

Raka menyambutnya dengan anggukan dan mengambil cangkir itu. Uapnya menenangkan, tapi tidak cukup untuk menyingkirkan keresahan di dadanya.

“Apa istana selalu sesepi ini pagi-pagi?” tanya Raka, berusaha terdengar santai.

Sosro menghela napas. “Tidak selalu. Tapi jika kau sudah cukup lama di sini, kau akan tahu… Ada pagi-pagi tertentu di mana istana seperti ini—sunyi, terlalu tenang. Biasanya… sebelum badai besar.”

Raka menatapnya. “Badai seperti apa?”

Sosro hanya menatap jauh ke arah istana bagian dalam. “Badai yang bukan berasal dari langit.”

Hari itu, matahari akhirnya muncul, tapi cahayanya pucat, seolah ragu untuk menyinari halaman istana. Aktivitas mulai terlihat, namun tetap terasa tidak wajar. Beberapa pengawal utama terlihat tergesa-gesa berjalan dari satu balai ke balai lain. Tidak ada aba-aba resmi, tapi semua orang tampak tahu: ada sesuatu yang sedang terjadi.

Raka menyaksikan seorang pejabat tinggi lewat di pelataran dengan wajah tegang. Di belakangnya, para pelayan membungkuk dalam, tapi tak satupun dari mereka mengucapkan sapaan. Tak ada senyuman. Tak ada gumaman. Bahkan langkah kaki mereka pun terdengar lebih pelan dari biasanya, seperti takut mengganggu sesuatu yang tak kasatmata.

Ketika jam penjagaan pagi berakhir, Raka berjalan ke arah barak belakang. Di lorong dekat tempat penyimpanan senjata, ia melihat pintu kecil terbuka sedikit. Pintu itu biasanya tertutup rapat. Rasa penasaran menuntunnya ke sana. Ia melangkah pelan, memperhatikan sekeliling. Tidak ada suara. Tidak ada orang.

Di dalam ruangan sempit itu, ia menemukan rak tua yang sebagian berdebu, tapi satu bagian rak terlihat baru saja dibersihkan. Di sana, tergeletak sesuatu—selembar perkamen, lusuh tapi utuh, seperti disembunyikan tergesa-gesa.

Raka membacanya cepat-cepat, matanya menyapu baris demi baris. Tulisannya rapi, namun isinya mencengangkan: daftar nama dan simbol, dengan tanda silang di beberapa nama. Ada tanggal. Ada lokasi. Dan satu kalimat di bagian akhir yang membuat napasnya tertahan:

“Jika gerbang masih terbuka, maka darah akan mengalir di lantai Singgasana sebelum bulan berganti.”

Ia buru-buru menggulung kertas itu dan menyimpannya di balik ikat pinggang. Jantungnya berdetak tak karuan.

Ketika ia melangkah keluar, matahari sudah tinggi. Tapi entah mengapa, sinarnya terasa lebih dingin dari biasanya. Raka menatap ke arah gerbang utama yang tadi ia jaga, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak pertama kali menjejakkan kaki di istana:

Takut.

Bab 2: Surat dari Utara

Malam turun perlahan, membawa embusan angin dingin dari pegunungan yang membatasi sisi utara Kerajaan Gantala. Di kejauhan, kabut tipis kembali menyelubungi halaman istana, seolah-olah siang tadi tak pernah ada. Api unggun kecil di belakang barak penjaga menyala redup, lebih untuk menenangkan pikiran daripada mengusir dingin.

Raka duduk bersila di sudut gelap, memandangi lembaran perkamen yang tadi ia temukan. Diperiksa dan dibolak-baliknya berkali-kali, mencoba memahami arti dari simbol-simbol aneh dan susunan kata-kata yang terkesan sengaja dibuat ambigu.

Nama-nama yang tertulis di bagian atas—Arya Wirata, Laksana Dewantara, Bhanu Seta—semuanya ditandai dengan tanda silang merah. Beberapa di antaranya dikenalnya sebagai tokoh-tokoh penting kerajaan, tetapi ia tidak yakin apa arti tanda itu. Sudah mati? Dibunuh? Atau… dikhianati?

Di pojok kanan bawah, tertulis satu kalimat dengan tulisan tangan berbeda:

“Tunggu pesan dari Utara, lewat pembawa malam.”

Kalimat itu membuat bulu kuduknya meremang. Pembawa malam? Siapa? Apa? Mungkinkah surat ini bagian dari jaringan pemberontak?

Ia belum selesai berpikir saat suara langkah mendekat dari belakang. Raka reflek menyembunyikan surat itu di balik pakaiannya, berdiri cepat, tangan menyentuh gagang belatinya.

“Tenang saja, bocah. Ini aku,” suara Sosro terdengar, datar dan tanpa nada curiga. “Kau belum tidur?”

Raka mengangguk singkat. “Belum bisa tidur, Pak Sosro. Cuaca dingin sekali malam ini.”

Sosro berjalan mendekat, duduk di samping unggun. Tatapannya tidak pada Raka, melainkan pada bara api yang berkedip-kedip seolah bernapas. Setelah hening sejenak, ia berkata pelan, “Kau masih memikirkan pagi tadi, ya?”

Raka tidak langsung menjawab.

“Banyak orang di istana ini yang diam-diam membawa beban, Raka. Termasuk aku. Tapi kau masih muda… sebaiknya jangan terlalu dekat dengan api yang menyala di balik tembok istana. Bisa hangus kau.”

Raka meliriknya, mencoba menangkap maksud tersembunyi dari kata-kata itu. Tapi wajah Sosro tak menunjukkan apa-apa selain kelelahan.

Sebelum ia sempat menjawab, suara peluit pendek terdengar dari kejauhan. Dua tiupan. Lalu satu. Irama itu adalah isyarat rutin dari petugas pos malam di Menara Utara—tanda bahwa kiriman dari luar telah tiba. Biasanya kiriman itu berupa dokumen resmi, pesanan logistik, atau kabar dari daerah perbatasan.

Namun malam ini, entah kenapa, dada Raka berdebar lebih cepat.

“Aku bantu ke menara, ya, Pak?” tawar Raka.

Sosro mengerutkan kening. “Kau tak dijadwalkan tugas malam.”

“Justru itu. Biar sekalian aku bisa lebih kenal lingkungan istana,” Raka berdalih, mencoba terdengar santai.

Sosro memandangi Raka sejenak, lalu mengangguk. “Jangan terlalu lama. Dan jangan buka kiriman tanpa izin.”

Menara Utara berdiri di sudut istana yang paling sepi, dikelilingi taman kecil dan lorong batu yang jarang dilalui kecuali oleh para pengantar pesan. Di sana, Raka bertemu dengan petugas pos tua bernama Luhur. Wajahnya datar seperti batu, matanya merah karena kurang tidur.

“Ada kiriman untukmu,” katanya tanpa basa-basi, menyerahkan gulungan kecil yang dibungkus kain hitam.

Raka terkejut. “Untuk saya?”

“Namamu tertulis di atasnya. Raka. Hurufnya jelas,” ujar Luhur. “Aku hanya pengantar.”

Dengan hati-hati, Raka membuka kain itu. Di dalamnya ada gulungan daun lontar yang terikat tali serat. Ia melepaskan ikatannya, lalu mulai membaca dalam remang cahaya lentera.

Raka,
Apa yang kau temukan pagi ini bukan kebetulan. Mata-mata kami telah lama mengamati gerak-gerik Mahapatih Aryaseta. Ia bukan seperti yang semua orang kira. Nama-nama dalam daftar itu… adalah korban dari rencana besar yang sedang dijalankan.

Kau tidak bisa mempercayai siapa pun di istana—bahkan orang yang selama ini tampak melindungimu. Termasuk yang berdiri paling dekat dengan singgasana.

Jika kau ingin tahu lebih, temui orang kami di Kuil Tua belakang perbendaharaan. Tengah malam. Sendiri.

Kami menunggumu.

—Dari Utara.

Raka mematung, jari-jarinya gemetar memegang surat itu. Kata-kata terakhir menggema di benaknya: “Bahkan orang yang selama ini tampak melindungimu.” Siapa maksudnya? Sosro? Mahapatih Aryaseta? Atau… Raja sendiri?

Ia tahu satu hal pasti: apa pun yang sedang terjadi, ia telah terjebak di tengah-tengahnya. Dan kini, pilihannya hanya dua—mengabaikan pesan ini dan kembali hidup seperti prajurit biasa… atau mengikuti jejak bayang-bayang yang mengintai balik istana.

Langkah pertamanya dimulai malam ini. Di kuil tua yang konon tak pernah dikunjungi lagi sejak satu dekade terakhir.

Bab 3: Bayangan dalam Istana

Kuil Tua itu berdiri sunyi di balik perbendaharaan, hampir tak terlihat dari jalur utama istana. Batu-batunya diselimuti lumut, atap kayunya nyaris runtuh, dan aroma tanah lembab bercampur dupa tua menyergap hidung. Konon, kuil ini pernah digunakan sebagai tempat pemujaan leluhur kerajaan, namun sejak sepuluh tahun silam, pintunya ditutup. Katanya, tempat itu membawa sial.

Tapi malam ini, langkah Raka membawanya ke sana. Di dalam dirinya, ketakutan dan rasa ingin tahu bertarung sengit. Ia tiba lima belas menit sebelum tengah malam, seperti yang tertulis dalam surat. Hanya suara angin yang menjawab langkahnya.

Pintu kuil menganga sedikit. Tak terkunci. Ia mendorongnya perlahan. Engselnya berderit panjang seperti jeritan. Di dalam, cahaya redup dari satu lentera menggantung di tengah ruangan. Dinding batu menyimpan bayang-bayang panjang yang bergerak liar.

“Datang juga kau.”

Suara itu berasal dari pojok gelap. Seorang pria keluar dari bayang-bayang, mengenakan jubah hitam dengan penutup kepala. Wajahnya hanya terlihat sebagian—garis rahang tegas dan mata tajam yang tampak terlalu tenang.

“Kau dari Utara?” tanya Raka pelan.

“Bukan. Aku hanya pembawa pesan. Yang dari Utara… tak pernah menunjukkan wajahnya.” Ia mendekat dan mengulurkan gulungan kain. “Ini. Bukti kedua.”

Raka menerimanya. Isinya: salinan peta istana bagian dalam, dan coretan-coretan tangan yang menunjukkan jalur rahasia dari ruang Mahapatih menuju ruang bawah tanah. “Apa maksud semua ini?”

Pria itu menatap lurus ke arahnya. “Kau ingin tahu siapa pembunuh raja yang lama? Kau ingin tahu mengapa nama-nama di daftar itu harus disingkirkan? Jawabannya ada di bawah istana. Dan Mahapatih Aryaseta memegang kuncinya.”

“Tapi Mahapatih setia kepada Raja…”

Pria itu mendengus. “Setia? Dia mengendalikan Raja seperti wayang dalam tangan dalang. Dan kau tahu, dalang sejati tak pernah duduk di atas takhta. Ia bersembunyi di balik layar.”

Raka menggenggam peta itu erat. “Mengapa aku? Aku hanya prajurit biasa.”

“Karena ayahmu bukan prajurit biasa.”

Kata-kata itu menghantam seperti petir. Raka melangkah mundur. “Kau… tahu ayahku?”

“Dia pengawal pribadi raja terdahulu. Dikhianati. Dihilangkan. Sama seperti yang akan terjadi padamu jika terlalu banyak tahu.” Pria itu melangkah mundur ke bayang-bayang. “Pilih jalanmu, Raka. Tapi cepat. Bayangan dalam istana mulai bergerak.”

Keesokan paginya, langit berwarna kelabu. Hujan gerimis turun sejak fajar. Raka kembali menjalankan tugas seperti biasa, seolah tak ada yang berubah. Tapi setiap langkahnya terasa lebih berat. Setiap senyuman terasa palsu. Ia mulai menyadari betapa sunyinya istana ini, meski dipenuhi orang.

Saat melewati Balairung Induk, ia melihat Mahapatih Aryaseta sedang berdiskusi dengan beberapa pejabat tinggi. Tubuhnya tinggi, jubahnya putih bersulam emas. Wajahnya tenang, namun matanya menyimpan ketegangan dingin.

Mahapatih menoleh, dan pandangan mereka bertemu sesaat. Hanya sesaat, tapi cukup membuat jantung Raka berdegup tak beraturan.

Apakah dia tahu?

“Pagi yang suram, ya, Raka?” suara lembut muncul dari samping.

Putri Ayudya berdiri di sana, mengenakan kain ungu gelap dengan kerudung tipis. Putri sulung kerajaan, satu-satunya yang tersisa dari garis darah murni. Wajahnya tenang, tapi tajam.

“Paduka,” Raka membungkuk hormat.

“Aku lihat kau sering gelisah beberapa hari ini,” katanya lirih. “Kau menyimpan sesuatu?”

Raka menahan napas. Apakah ia sedang diuji? Atau… apakah putri juga bagian dari permainan ini?

“Saya hanya… kurang tidur, Paduka.”

Ayudya menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kalau begitu, tidurlah lebih cepat malam ini. Jangan biarkan bayangan mengganggu mimpi.”

Raka mengangguk, tapi hatinya makin tak tenang.

Malam itu, ia tak tidur. Ia memandangi peta di bawah cahaya lentera. Jalur rahasia dari ruang Mahapatih ke ruang bawah tanah itu nyata. Dan jika benar di sanalah rahasia disembunyikan, ia harus melihatnya sendiri. Ia menunggu hingga lewat tengah malam, lalu menyelinap diam-diam.

Lorong itu sempit, berdebu, dan gelap. Nafasnya cepat, tangan gemetar. Dinding batu memantulkan bayangan tubuhnya, seolah mengikutinya diam-diam.

Akhir lorong itu menjurus pada sebuah pintu besi tua yang tertutup rapat. Tapi anehnya, saat ia menyentuhnya, pintu itu terbuka dengan mudah. Di dalamnya: tangga batu menurun ke ruang bawah tanah.

Ia turun pelan-pelan, dan ketika sampai di dasar, cahaya merah samar menerangi ruangan kecil berisi rak-rak tua, gulungan catatan, dan sebuah altar batu besar. Di atas altar itu—sebuah simbol kerajaan yang dicoret silang, persis seperti di surat pertama.

Raka mendekat. Di bawah simbol itu, tertulis:

“Yang bertakhta tak selalu yang berkuasa. Yang dibunuh tak selalu salah.”

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangnya.

“Kau telah melangkah terlalu jauh, Raka.”

Ia berbalik. Sosro berdiri di sana.

Dan wajahnya tak lagi ramah.

Bab 4: Mata-Mata Sang Mahapatih

Raka mundur perlahan, kakinya nyaris terpeleset di lantai batu yang licin. Sosro berdiri di ambang pintu lorong bawah tanah, matanya menatap lurus penuh tekanan. Tidak ada senyuman. Tidak ada keramahan. Wajah pria tua itu kini dingin seperti patung batu di halaman istana.

“Kenapa kau ada di sini, Sosro?” tanya Raka, berusaha tenang, meski suaranya bergetar.

Sosro melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Bunyi logam tua bergemerincing seperti rantai. “Seharusnya aku yang bertanya. Tapi sepertinya kita berdua sudah tahu jawabannya, bukan?”

Raka mencengkeram peta di balik bajunya. “Kau tahu tentang lorong ini?”

“Aku yang membuatnya,” jawab Sosro datar. “Bertahun-tahun lalu. Saat Raja terdahulu masih hidup.”

Kata-kata itu membuat Raka membeku. “Jadi… kau bagian dari… mereka?”

Sosro tertawa kecil, getir. “Kau masih terlalu polos, Raka. Tak ada ‘mereka’. Yang ada hanya bayangan yang berebut cahaya. Dan Mahapatih Aryaseta… adalah cahaya paling terang dalam istana ini.”

Raka menelan ludah. “Kau bekerja untuk Mahapatih?”

“Aku bekerja untuk kerajaan. Sejak sebelum kau lahir. Tapi kerajaan bukan hanya soal siapa yang duduk di takhta. Kadang, seseorang harus mengotori tangan agar yang lain bisa tetap tampak bersih.”

Ia melangkah lebih dekat. Raka mundur lagi, punggungnya menyentuh dinding dingin.

“Kau menemukan sesuatu yang tidak seharusnya,” lanjut Sosro. “Surat. Peta. Daftar nama. Semua itu bukan untuk matamu. Tapi sekarang kau tahu. Dan kau harus memilih.”

“Apa pilihannya?” suara Raka nyaris berbisik.

“Bekerja dengan kami… atau menghilang seperti ayahmu.”

Raka membelalak. “Jadi… ayahku…?”

“Dia terlalu keras kepala,” kata Sosro dengan nada sedih yang nyaris tulus. “Dia ingin mengungkap semuanya. Tapi dia lupa satu hal: dalam kerajaan, kebenaran bukan sesuatu yang dicari. Kebenaran ditentukan oleh siapa yang bertahan hidup.”

Raka menunduk, pikirannya berpacu. Setiap kata Sosro seperti pisau yang mengiris kenyataan yang selama ini ia percayai. Ayahnya—pahlawan yang tak pernah kembali dari pertempuran terakhir—ternyata tak pernah gugur dalam perang.

Ia dibungkam.

Pagi hari berikutnya, Raka berdiri di sisi Balairung Induk, kembali dalam tugasnya sebagai penjaga gerbang dalam. Tak ada yang berubah secara kasat mata. Tapi di dalam dirinya, segalanya sudah jungkir balik.

Mahapatih Aryaseta melintas, dikelilingi pengawal dan penasihat. Wajahnya tenang, senyum tipis menghiasi bibirnya seperti biasa. Tapi bagi Raka, senyum itu kini punya makna baru—topeng dari seorang penguasa bayangan.

Saat Mahapatih melewatinya, ia berhenti sejenak. “Raka, bukan?”

Raka membungkuk dalam. “Benar, Paduka Mahapatih.”

Aryaseta menatapnya tajam, seperti membaca isi pikirannya. “Ayahmu orang yang hebat. Tapi kadang, orang hebat pun tak tahu kapan harus berhenti bertarung.”

Raka tak menjawab. Jantungnya berdetak keras.

“Jaga baik-baik istana ini. Kau akan melihat banyak hal ke depan.” Mahapatih berlalu, suaranya meninggalkan gema di benak Raka.

Sosro berdiri tak jauh, menatap dari kejauhan, memberikan anggukan kecil. Tanda bahwa pesan telah disampaikan.

Malam harinya, Raka duduk sendiri di dapur kecil barak, memandangi segelas air yang tak disentuh. Surat dan peta disembunyikannya di lubang rahasia di bawah lantai papan. Ia merasa seperti tikus yang terjebak di labirin beracun.

Lalu langkah ringan terdengar dari balik pintu. Pelan tapi teratur. Seseorang mengetuk dua kali, lalu sekali lagi—irama yang sama seperti kode dari surat pertama.

Pintu terbuka, dan Putri Ayudya masuk, tanpa pengawal.

Raka berdiri cepat. “Paduka…?”

“Sstt. Aku tidak datang sebagai putri,” katanya pelan. “Aku datang sebagai orang yang ingin tahu kebenaran. Dan aku yakin, kau menyimpannya.”

Raka terdiam, bingung. “Paduka… bagaimana—”

“Karena aku juga bagian dari bayangan itu, Raka. Tapi bukan dari Mahapatih.”

Ia duduk di hadapannya, sorot matanya tajam.

“Kita punya musuh yang sama. Ayahku—Raja—sudah terlalu lelah dan terlalu dalam dalam genggaman Aryaseta. Tapi aku belum. Dan kau… bisa jadi kunci.”

Raka menatapnya, mulutnya kering. “Kenapa aku?”

“Karena kau anak dari pengawal terakhir yang percaya pada kebenaran. Dan karena Mahapatih menganggapmu cukup penting untuk diawasi.”

Ia mengeluarkan sebuah simbol dari balik jubahnya—sebuah medali kecil berbentuk mata tertutup.

“Ini lambang Mata Ketiga—jaringan mata-mata rahasia kerajaan yang dulu dibubarkan setelah Raja tua wafat. Tapi kami tidak pernah benar-benar hilang.”

Raka menatap medali itu lama. Jantungnya tak berhenti berdebar.

“Jadi apa yang akan kau lakukan, Raka?” tanya Ayudya.

Ia memandangi bayangannya di permukaan air dalam cangkir.

Dan untuk pertama kalinya, ia tahu jawabannya.

Bagian II – Luka yang Terkubur

Bab 5: Jejak di Perpustakaan Tua

Perpustakaan Tua berada di sisi timur istana, di balik kebun herbal yang hampir tak terurus. Bangunannya setengah tertutup sulur tanaman rambat dan sebagian atapnya telah runtuh. Namun, di balik reruntuhan itu, tersimpan ribuan naskah kuno dan catatan-catatan kerajaan dari masa lampau—termasuk yang telah disembunyikan atau dilupakan dengan sengaja.

Malam itu, Putri Ayudya memimpin langkah. Ia mengenakan jubah kelabu sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis. Raka mengikutinya dari belakang, memegang lentera kecil. Hanya suara deras hujan di luar dan gemerisik tikus di sela rak yang menemani langkah mereka.

“Tak banyak orang tahu jalur ini,” bisik Ayudya. “Kebanyakan penjaga mengira perpustakaan ini sudah ditutup total. Tapi para pustakawan lama… mereka masih hidup dalam diam.”

Ia menarik rak kayu yang tampak rapuh. Di baliknya, terbuka celah sempit menuju ruang bawah. Tangga batu menurun tajam, berliku-liku seperti lorong rahasia yang mereka temui sebelumnya. Bau kertas lembab dan jamur menyeruak dari bawah.

“Mereka bilang ayahmu sering ke sini diam-diam,” lanjut Ayudya saat mereka mulai menuruni tangga. “Katanya dia sedang menyelidiki sesuatu sebelum… menghilang.”

“Pernahkah Ayah menghubungi Paduka?” tanya Raka, suaranya pelan tapi penuh harap.

Ayudya menggeleng pelan. “Hanya sekali. Lewat surat yang dikirim lewat orang kepercayaannya. Ia memperingatkan bahwa Mahapatih memiliki rencana jangka panjang. Tapi surat itu dicurigai, dan akhirnya dibakar oleh penasihat istana. Aku satu-satunya yang sempat membacanya.”

Setelah menuruni puluhan anak tangga, mereka tiba di sebuah ruang rahasia yang luas. Di dalamnya, rak-rak kayu tua menjulang, penuh dengan naskah dan catatan. Di pojok ruangan, seorang pria tua duduk di balik meja, memakai kacamata bulat dan jubah abu-abu lusuh.

“Astaga…” gumam Raka. “Masih ada pustakawannya?”

“Bukan pustakawan,” ujar Ayudya. “Ia penjaga ingatan.”

Pria tua itu mendongak. Matanya bersinar tajam meski usianya sudah renta.

“Putri Ayudya,” sapanya lembut. “Dan kau pasti… anak Pratama.”

Raka tertegun. “Anda kenal Ayah saya?”

Pria itu tersenyum kecil. “Tentu. Pratama adalah sahabatku. Kami sama-sama pembaca sejarah, dan sama-sama menyimpan luka karena terlalu ingin tahu.”

Ayudya maju. “Kami mencari catatan tentang Mahapatih Aryaseta. Tentang apa yang ia lakukan sebelum naik menjadi tangan kanan Raja.”

Penjaga itu berdiri perlahan, lalu berjalan tertatih ke rak kayu di sisi barat. Ia menarik satu laci, lalu mengeluarkan gulungan kain yang dibungkus lilitan benang hitam.

“Ini tidak pernah disalin. Hanya satu-satunya salinan asli catatan pengadilan dari dua puluh lima tahun lalu. Waktu itu Mahapatih hanyalah Panglima Muda.”

Ia membuka gulungan itu di meja.

Raka dan Ayudya membaca dengan seksama.

“…dalam sidang rahasia, Panglima Muda Aryaseta memberikan kesaksian bahwa pasukan utara memberontak karena ulah pengawal dalam istana. Namun, bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Kapten Pratama menunjukkan bahwa Aryaseta sendiri telah menyusupkan provokator dan menciptakan alasan untuk memberangus para jenderal senior yang menghalangi langkahnya…”

Raka mengepal tangannya. “Jadi… Ayah mencoba membongkar ini.”

“Benar,” ujar penjaga. “Tapi Mahapatih lebih cepat. Ia menghapus semua bukti, menyingkirkan para saksi, dan mempermainkan narasi. Sejak itu, ia perlahan menanam orang-orangnya di seluruh sendi istana.”

Ayudya mengangguk pelan. “Dan kini kekuasaannya nyaris absolut. Raja hanya simbol.”

Raka memandangi catatan itu, lalu berkata, “Kalau catatan ini jatuh ke tangan yang tepat… kita bisa membalik keadaan.”

Penjaga tua menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Bukti saja tak cukup. Rakyat percaya apa yang mereka lihat. Dan yang mereka lihat… adalah Mahapatih sebagai pelindung negeri. Untuk menghentikannya, kau butuh lebih dari kata-kata.”

Ayudya menatap Raka. “Kau butuh aksi.”

Saat mereka keluar dari ruang bawah, hujan telah berhenti. Tapi langit masih muram, seakan tahu bahwa badai yang sesungguhnya belum berlalu.

Raka menatap ke arah menara Mahapatih dari kejauhan. Di dadanya, ada amarah yang selama ini terkubur. Bukan hanya untuk ayahnya yang dibungkam, tapi untuk seluruh kebenaran yang dicuri.

Di tangannya, catatan asli itu kini tersembunyi dalam tabung kulit. Sebuah warisan. Sebuah kunci.

“Aku akan membuat semuanya terbuka,” gumamnya. “Mulai dari istana.”

Putri Ayudya menatapnya, matanya penuh cahaya tekad. “Dan aku akan membantumu. Bayangan Mahapatih telah terlalu lama menutupi kerajaan ini. Sudah saatnya terang datang kembali.”

Bab 6: Putri dalam Bayangan

Pagi hari di istana tampak seperti biasa: para pelayan sibuk mengatur hidangan, para prajurit berbaris rapi, dan suara gamelan lembut terdengar dari halaman dalam. Namun di balik semua rutinitas itu, gejolak diam-diam menggeliat—dan Putri Ayudya kini berada tepat di jantung badai.

Ayudya berdiri di depan cermin perunggu di kamarnya, mengenakan kebaya ungu muda, warna kesukaan ibunya. Pelayan-pelayan membantunya menyematkan selendang, menyisir rambut, dan merapikan perhiasan. Di balik senyuman dan sikap anggun yang ia pertontonkan hari itu, pikirannya jauh melayang—ke perpustakaan tua, ke catatan yang baru mereka temukan, dan ke keputusan yang harus ia ambil secepatnya.

Ia tahu waktunya tidak banyak.

Mahapatih Aryaseta akan segera mengumumkan pembentukan “Dewan Penata Ulang,” sebuah struktur baru yang diklaim untuk menstabilkan kerajaan setelah serangkaian “ancaman dari luar.” Tapi Ayudya tahu, itu hanya nama lain dari kudeta diam-diam. Dewan itu akan menggantikan semua penasihat kerajaan dan menempatkan loyalis Aryaseta di posisi kunci.

Termasuk di dekat Raja.

Termasuk di sekelilingnya.

Hari ini, dalam pertemuan resmi, ia akan duduk di antara mereka untuk pertama kalinya. Ia akan mendengarkan… dan bermain peran.

Balairung Induk tampak megah, dipenuhi pilar marmer dan langit-langit tinggi berhias ukiran bintang. Di ujung ruangan, Raja Parama duduk di atas takhta, wajahnya lesu dan tatapannya kosong. Sejak sakit tahun lalu, suara Raja hanya terdengar sesekali, dan semua keputusan diambil oleh Mahapatih.

Di sisi kanan, para anggota dewan baru duduk dalam barisan, semuanya pria—kecuali satu.

Putri Ayudya melangkah pelan ke kursinya. Semua mata menoleh padanya, beberapa dengan rasa hormat, sebagian lain dengan curiga. Tapi Ayudya membalasnya dengan senyuman datar, sopan namun berjarak.

Mahapatih Aryaseta berdiri di tengah balairung, jubahnya menjuntai sempurna.

“Kerajaan kita,” katanya lantang, “berada di titik genting. Ancaman dari Utara, konspirasi di dalam istana, dan ketidaksiapan beberapa pemimpin muda… membuat kita harus bersatu dalam bentuk baru.”

Ia melirik ke arah Ayudya.

“Dewan Penata Ulang ini,” lanjutnya, “akan memastikan bahwa tidak ada lagi celah bagi pengkhianat. Dan sebagai bentuk kepercayaan pada masa depan, Putri Ayudya telah setuju untuk menjadi penghubung antara takhta dan dewan.”

Beberapa orang bertepuk tangan pelan.

Ayudya tersenyum kecil. “Saya merasa terhormat,” katanya pelan. “Dan saya akan pastikan bahwa kebenaran akan tetap jadi dasar setiap keputusan.”

Mahapatih hanya mengangguk, tapi mata mereka saling mengunci—dua kutub yang tahu bahwa permainan sesungguhnya baru dimulai.

Malamnya, Ayudya tidak kembali ke kamar utama. Ia turun ke lorong tersembunyi di balik kamar permaisuri yang telah lama kosong, bertemu Raka yang menunggu dalam gelap.

“Bagaimana tadi?” tanya Raka cepat.

“Dia sedang memancing reaksi,” jawab Ayudya. “Mengujiku. Tapi ia tidak tahu bahwa aku sudah memulai langkahku sendiri.”

Ia mengeluarkan gulungan kain kecil—salinan dari dokumen Dewan. “Dari susunan ini, kita tahu siapa saja yang benar-benar loyal padanya, dan siapa yang ragu.”

Raka memandanginya. “Kau akan menggunakan mereka?”

Ayudya mengangguk. “Yang ragu… bisa dipengaruhi. Kita harus menanam keraguan lebih dalam. Menyusup lewat percakapan, lewat rumor, lewat simbol-simbol yang membuat mereka merasa tak aman.”

Raka duduk di samping meja kayu lapuk. “Kita bermain dengan api.”

“Kita tidak bermain,” Ayudya menatapnya tajam. “Kita sedang bertahan.”

Di hari-hari berikutnya, Putri Ayudya menjalankan perannya dengan sempurna. Ia hadir di setiap pertemuan, mencatat dengan saksama, bertanya dengan cerdas, dan kadang menantang keputusan Mahapatih dengan cara yang terlalu sopan untuk disebut pembangkangan, tapi cukup tajam untuk menanam keraguan.

Di balik layar, ia mulai merekrut pelayan-pelayan muda yang pernah bekerja untuk almarhum Ratu. Beberapa di antaranya ternyata punya kenangan tersendiri tentang Pratama, ayah Raka. Mereka dijadikan pengantar pesan, penjaga lorong, bahkan pengintai.

Sementara itu, Raka diam-diam mulai menyusup ke jalur-jalur pengawal dalam, menyamar sebagai pengantar logistik dan bertukar kode dengan para prajurit tua yang pernah bersumpah kepada Raja terdahulu.

Mereka mulai membentuk lingkaran kecil. Tanpa nama. Tanpa lambang. Tapi memiliki satu tujuan: menjatuhkan Mahapatih.

“Ayudya,” kata Aryaseta pelan. “Anak itu lebih pintar dari yang kukira.”

Sosro menunduk. “Dia tidak bergerak sendiri.”

Mahapatih tersenyum tipis. “Aku tahu. Ada bayangan lain yang ikut melangkah.”

Ia mengangkat cawan teh, menyesap perlahan.

“Saatnya mengirim pesan.”

Dan malam pun semakin sunyi.

Bab 7: Luka di Balik Takhta

Langit mendung bergelayut di atas istana saat Raka berjalan cepat melewati koridor barat, menuju tempat yang jarang ia dekati: ruang dalam Raja. Biasanya, tempat itu dijaga ketat, namun pagi itu, seorang pelayan tua menyelipkan pesan rahasia di saku bajunya—sehelai daun lontar kecil, dengan simbol mata tertutup dan satu kalimat pendek:

“Waktunya melihat yang tersembunyi.”

Raka tidak tahu apakah itu jebakan atau harapan, tapi ia tahu satu hal: waktunya menatap kebenaran yang lebih dalam.

Di dalam ruang Raja, aroma minyak cendana menyambutnya. Cahaya redup menembus jendela kaca patri, membentuk bayangan warna-warni di lantai batu. Di tengah ruangan, Raja Parama duduk dalam kursi kayu jati, tubuhnya kurus dan lemah, diselimuti kain wol tipis.

Mata Raja tampak sayu, tapi ketika melihat Raka masuk, ada cahaya kecil yang berkedip di balik kelam itu.

“Kau anak Pratama…” suara sang Raja terdengar serak.

Raka segera berlutut. “Ampun, Paduka. Saya tidak bermaksud lancang.”

“Tidak,” Raja mengangkat tangannya pelan. “Kau… orang yang aku tunggu sejak lama.”

Raka mengangkat wajahnya perlahan. “Paduka mengenal Ayah saya?”

Raja mengangguk, lalu memberi isyarat pada pelayan untuk meninggalkan ruangan. Ketika mereka hanya berdua, Raja berbicara dengan nada yang lebih pribadi.

“Pratama… adalah satu-satunya pengawal yang pernah menegurku sebagai manusia, bukan sebagai Raja. Ia melihat kekurangan yang tak dilihat siapa pun. Dan… ia membayar mahal untuk itu.”

Air mata perlahan turun di pipi Raka, meski ia berusaha menahan. “Ayah saya tidak gugur di medan perang, bukan?”

“Tidak,” Raja menunduk dalam. “Ia… disingkirkan. Karena mencoba menyelamatkanku dari kesalahan yang bahkan aku tak berani akui.”

Raka menunggu, dan Raja melanjutkan dengan suara pelan, seperti pengakuan dosa.

“Dua puluh tahun lalu, aku terlalu muda, terlalu mudah dibutakan oleh ambisi. Aryaseta membisikkan padaku bahwa para jenderal lama berkonspirasi menjatuhkanku. Ia menyarankan pembersihan. Aku… aku menyetujui itu. Termasuk pembuangan sahabatmu… ayahmu.”

Raka mengatup rahang. “Tapi mengapa tidak ada yang tahu? Tidak ada yang bersuara?”

“Karena aku membiarkan Aryaseta mengatur semuanya. Ia menanam mata-matanya, membungkam lawan, dan membuatku tergantung padanya. Lambat laun, aku hanya menjadi bayangan… di balik Mahapatih yang bersinar terang.”

Ia menatap tangan tuanya, gemetar. “Ayahmu memberiku surat terakhir sebelum ia menghilang. Isinya satu kalimat: ‘Jika Raja kehilangan suara, siapa yang akan bicara untuk rakyat?’”

Raka menggenggam tangan Raja dengan kedua tangannya. “Saya ingin menjadi suara itu, Paduka. Tapi saya tak bisa melakukannya sendiri.”

Raja mengangguk pelan. “Maka dengarlah… Ada satu nama. Orang terakhir yang tahu di mana Pratama ditahan sebelum lenyap. Ia kini tinggal di kuil tua di lembah Selatan. Namanya… Wira.”

Raka menyerap nama itu. “Ia hidup?”

“Jika Aryaseta belum menemukannya lebih dulu.”

Raja menggenggam tangan Raka lebih erat. “Aku sudah terlalu lama diam. Tapi jika kau bisa membawa kebenaran itu kembali… maka aku akan bicara. Di depan Dewan. Di depan seluruh negeri.”

Sore harinya, Raka kembali ke tempat persembunyian rahasia di bawah dapur tua. Di sana, Ayudya sudah menunggunya dengan wajah cemas.

“Ada yang mencoba membunuh pelayanku semalam,” katanya langsung. “Keris kecil… beracun. Tapi pelayanku selamat. Dan… kita tahu siapa pelakunya.”

Ia mengeluarkan seutas kain hitam kecil. Di ujungnya tergantung simbol cincin berbentuk burung elang mencengkeram mata.

“Ini milik regu bayangan Mahapatih,” kata Ayudya. “Mereka hanya bergerak jika merasa terancam.”

Raka menatap simbol itu. “Maka kita membuat mereka takut.”

Ia pun menceritakan pertemuannya dengan Raja.

Ayudya terdiam beberapa saat, lalu berkata, “Jadi… Raja tidak benar-benar lemah.”

“Tidak,” jawab Raka. “Tapi ia terjebak. Dan hanya kita yang bisa membuka pintunya.”

Ia lalu menatap Ayudya dalam-dalam. “Aku harus pergi ke lembah Selatan. Mencari Wira. Dia mungkin satu-satunya saksi hidup.”

Ayudya mengangguk. “Aku akan tetap di sini. Mencari celah di Dewan. Tapi cepatlah. Karena Mahapatih mulai mencium pergerakan kita.”

Raka menatap langit senja dari balik celah dinding batu. Warna oranye keemasan melukis siluet istana.

Bayangan makin panjang. Tapi di balik bayangan, ada cahaya yang mencoba menembus.

“Temukan anak Pratama. Hidup atau mati. Aku tidak peduli. Sebelum sejarah menuliskan ulang namaku.”

Bab 8: Malam di Balekambang

Balekambang, sebuah desa kecil yang terletak di tepian danau tua, tersembunyi di balik bukit-bukit yang berkabut. Air danau yang tenang memantulkan cahaya bulan, menciptakan ilusi keheningan yang indah, seakan tak ada satu pun jejak konflik menyentuh tempat itu. Tapi malam itu, ketenangan Balekambang hanyalah permukaan dari pusaran yang dalam.

Raka tiba di desa itu menjelang senja, tubuhnya lelah setelah berjalan berhari-hari melalui hutan dan jalur perbukitan. Ia menyamar sebagai pedagang rempah, membawa bungkusan kecil berisi kayu manis dan akar wangi sebagai penyamaran. Dari informasi Raja Parama, Wira tinggal di sebuah gubuk di pinggir danau, hidup seperti pertapa setelah bertahun-tahun menghilang dari kehidupan kerajaan.

Saat ia melangkah menyusuri jalanan tanah desa, penduduk menatapnya penuh waspada. Tak banyak orang luar datang ke Balekambang, apalagi saat malam mulai turun. Seorang anak kecil membisikkan sesuatu kepada ibunya saat Raka lewat. Tak lama, dua pria bertubuh kekar muncul dari balik warung kayu dan mengikutinya dari kejauhan.

Raka mempercepat langkahnya. Ia tahu desa ini bukan sekadar tempat singgah Wira—tempat ini sedang diawasi.

Gubuk Wira berdiri menghadap danau, sederhana dan tertutup rapat. Raka mengetuk pintu tiga kali, sesuai kode yang dituliskan Raja. Tidak ada jawaban.

Ia mencoba lagi. Masih hening.

Tapi sebelum ia bisa mengetuk ketiga kalinya, pintu itu terbuka pelan.

“Siapa kau?” tanya suara serak dari balik bayangan.

Raka menunduk. “Saya… anak Pratama. Saya mencari kebenaran yang Ayah saya bawa.”

Wira, pria tua berambut perak dengan bekas luka di pelipisnya, memandang Raka lekat-lekat. Matanya menyipit, seperti menimbang apakah ini mimpi atau malapetaka.

“Kau harus masuk,” katanya akhirnya. “Cepat. Sebelum mereka melihatmu.”

Begitu pintu ditutup, Wira menurunkan tirai jendela dan menyalakan pelita minyak kecil.

“Aku tahu hari ini akan datang. Hari ketika anak Pratama akan mencariku,” gumam Wira sambil menuangkan teh dari kendi tanah liat.

“Paduka Raja bilang, Anda tahu ke mana Ayah saya dibawa. Dan siapa yang mengkhianatinya.”

Wira duduk perlahan, lalu menarik laci dari bawah meja. Ia mengeluarkan gulungan kulit yang dililit benang merah—tanda pesan tingkat tinggi dari masa Perang Utara.

“Ini catatan terakhir yang dibuat Pratama sebelum ia ditangkap. Ia menyelipkannya padaku saat sidang darurat berlangsung. Tapi saat itu, aku pengecut. Aku memilih melarikan diri.”

Raka membuka gulungan itu. Isinya adalah daftar nama—orang-orang di dalam istana yang telah menerima suap dan imbalan dari Mahapatih untuk menyingkirkan loyalis Raja. Termasuk… satu nama yang membuatnya terdiam.

Ratu Indira.

Ibunda Ayudya.

“Ini… tak mungkin,” bisik Raka. “Ratu Indira… beliau selalu dianggap pelindung istana. Bahkan Ayah bilang beliau sering menentang Mahapatih.”

Wira menggeleng pelan. “Semua orang punya bayangan. Termasuk yang tampaknya paling terang. Indira pernah menjalin aliansi diam-diam dengan Mahapatih, berpikir bisa mengendalikan kekuatannya. Tapi kekuasaan selalu tumbuh liar.”

Raka mengepal gulungan itu. “Kenapa tak ada yang tahu?”

“Karena yang tahu… dibungkam. Dan aku… terlalu takut untuk melawan.”

Namun, sebelum Raka bisa bertanya lebih jauh, suara aneh terdengar dari luar—derap kaki dan kayu yang terinjak.

Wira berdiri dengan cepat. “Mereka datang.”

“Apa ada jalan keluar belakang?”

“Lewat kolong gubuk. Ada perahu kecil di bawah tebing. Kau harus bawa gulungan itu ke Ayudya. Ia satu-satunya yang bisa menggunakannya untuk membalik posisi.”

Raka ragu. “Bagaimana dengan Anda?”

Wira menatapnya penuh keteguhan. “Aku sudah lari cukup lama. Saatnya aku membayar hutangku.”

Ia mendorong Raka ke lantai kayu. Sebuah papan dibuka, memperlihatkan lorong sempit menuju dasar bukit yang gelap.

Raka turun dengan cepat, membawa gulungan di balik jubahnya. Dari balik celah kayu, ia melihat empat pria bertopeng memasuki gubuk, pedang di tangan.

Lalu… sunyi.

Dan suara jeritan singkat.

Di bawah tebing, Raka mengayuh perahu kecil melintasi danau, napasnya berat, matanya menatap langit malam yang gelap pekat. Di belakangnya, api mulai terlihat dari arah gubuk Wira. Bayangan merah membumbung tinggi.

Ia tak tahu apakah Wira masih hidup, tapi ia tahu satu hal:

Catatan ini akan mengubah segalanya.

Dan nama Ratu Indira… akan mengguncang hati Ayudya.

“Putri Ayudya sedang diawasi,” bisiknya. “Tapi dia menunggumu. Dengan mata terbuka… dan hati yang patah.”

Bagian III – Darah dan Kebenaran

Bab 9: Ketika Nama Tak Lagi Aman

Pagi di istana terasa berbeda hari itu. Langit kelabu menggantung rendah, seperti menekan ubun-ubun setiap orang yang berjalan di lorong-lorong panjang dan dingin. Ayudya berdiri di balik jendela kaca tinggi di kamarnya, memandangi taman dalam yang kosong. Angin membawa serpihan daun kering, menari dalam lingkaran yang tidak pernah sampai ke tanah.

Sudah dua hari sejak ia menerima pesan dari Raka—sebuah gulungan kecil, diselipkan diam-diam di dalam cermin riasnya. Saat pertama kali membacanya, Ayudya nyaris tak percaya. Tapi cap Pratama, tulisan tangannya yang ia kenali dari surat-surat lama yang disimpan ibunya, tidak bisa dipalsukan.

Nama ibunya ada di antara mereka.

Ratu Indira. Wanita yang selama ini menjadi sandarannya, satu-satunya yang ia pikir benar-benar mencintainya di tengah kekuasaan yang licik. Tapi kini, nama itu berdiri sejajar dengan pengkhianat—mereka yang menjual kebenaran demi kedudukan.

Ayudya belum tidur sejak itu.

Di Balairung Selatan, pertemuan Dewan digelar kembali. Mahapatih Aryaseta berbicara panjang lebar tentang “penyusup” yang telah dibekuk di desa Balekambang. Ia tidak menyebut nama, tapi Ayudya tahu itu tentang Raka. Namun wajah Mahapatih terlalu tenang. Jika Raka telah tertangkap, dia akan menyebarkannya sebagai ancaman. Tapi kini, ia memilih menyimpan informasi itu. Mungkin karena dia belum yakin. Atau… karena dia sedang menunggu waktu.

“Mulai hari ini,” ucap Aryaseta, “semua dokumen istana akan diperiksa ulang. Termasuk korespondensi pribadi para anggota keluarga kerajaan.”

Ia menatap Ayudya lama. Tersenyum kecil.

“Tak ada nama yang terlalu suci untuk tidak dicurigai.”

Ayudya menjawab tatapan itu dengan datar. Tapi di dalam dadanya, jantung berdegup liar. Ia tahu maksud Mahapatih: ia sudah mencium aroma perlawanan. Dan Ayudya, dengan segala nama kebesaran keluarganya, tak lagi aman.

Malam itu, Ayudya menemui ibunya di taman rahasia. Tempat itu sunyi, hanya diterangi obor kecil dan suara gemercik air dari kolam teratai.

“Bu…” Ayudya memulai, suaranya seperti bisikan. “Ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Dan… aku ingin kau jujur.”

Ratu Indira menatap putrinya, senyum lembut terukir di bibirnya seperti biasa. “Kau terlihat pucat, Nak. Ada apa?”

Ayudya mengeluarkan gulungan dari balik selendangnya. “Ini… catatan yang dibuat Ayah Raka sebelum dia dihilangkan. Ada namamu di sini.”

Wajah Ratu Indira tidak berubah. Ia hanya menurunkan tangannya perlahan, menyentuh batu di samping bangku tempat ia duduk.

“Jadi kau sudah tahu,” katanya akhirnya. “Aku bertaruh waktu akan melupakan semuanya. Tapi kau memang darah Pratama.”

Air mata Ayudya menggenang, tapi ia menahannya. “Mengapa, Bu? Mengapa kau bekerja sama dengan Aryaseta?”

Indira menatap langit malam yang penuh awan. “Karena dunia tidak pernah ramah pada perempuan yang lemah. Mahapatih menjanjikan stabilitas. Keamanan. Ia bilang hanya ingin membantu ayahmu.”

“Tapi dia mengkhianati Ayah. Menghancurkan kerajaan dari dalam.”

Indira mengangguk, pelan. “Dan aku terlambat sadar. Saat aku ingin menghentikannya… aku sendiri sudah dikepung oleh aib. Maka aku diam. Karena aku takut kau juga akan disingkirkan.”

Ayudya mundur selangkah. “Dan sekarang? Apa kau akan terus diam?”

Ratu Indira berdiri, mendekat. Ia mengusap pipi putrinya. “Kau… anakku. Aku tak akan menyuruhmu diam. Tapi kau harus tahu, begitu kau melawan… nama kita akan hancur. Nama keluarga kita akan tercatat sebagai pengkhianat, bukan pahlawan.”

Ayudya menggenggam tangan ibunya. “Biarlah. Lebih baik nama kita hancur… daripada kita hidup dalam kebohongan.”

Beberapa jam kemudian, Ayudya bertemu dengan Raka di ruang rahasia di balik altar tua permaisuri. Raka selamat dari pengejaran, bersembunyi di terowongan bawah istana sejak malam sebelumnya.

Ia memandang Ayudya dengan mata yang menyimpan letih dan keteguhan. “Kita harus segera bertindak. Gulungan ini… cukup untuk menggoyang sebagian anggota Dewan.”

Ayudya menatap lambang kerajaan di dinding batu. “Aku akan minta ayah bicara di depan umum. Di alun-alun. Di tengah rakyat.”

“Berani?”

“Tak ada lagi nama yang bisa kusembunyikan. Termasuk nama ibuku.”

Raka mendekat. “Jika ini gagal, nyawa kita tak akan diselamatkan oleh gelar apa pun.”

Ayudya mengangguk. “Tapi jika berhasil… mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah, kejujuran akan berdiri lebih tinggi dari silsilah.”

Di luar, lonceng malam berdentang tiga kali.

Nama sudah tak lagi melindungi. Tapi kebenaran—meski rapuh—masih bisa menjadi pedang.

Bab 10: Benteng Terakhir

Langit pagi di ibu kota kerajaan tampak muram, seperti menahan napas. Awan gelap bergulung perlahan, dan di antara kepulan kabut tipis, terlihat siluet megah istana utama yang berdiri angkuh di atas bukit. Tapi keangkuhan itu mulai goyah. Di jalan-jalan, bisik-bisik sudah berubah menjadi suara. Di pasar, para pedagang mulai bertanya-tanya mengapa jumlah penjaga bertambah. Dan di ruang-ruang tersembunyi istana, revolusi bernafas dalam sunyi.

Ayudya berdiri di depan cermin perunggunya, mengenakan pakaian tradisi warna merah tanah, bukan kain kebesaran kerajaan. Di dadanya, tersemat bros perak—lambang Pratama. Ia sudah tidak lagi tampil sebagai Putri yang lembut atau simbol perdamaian keluarga kerajaan. Ia kini menjadi suara dari semua yang selama ini dibungkam.

Di belakangnya, Raka berdiri sambil menggenggam gulungan rahasia yang akan dibacakan di hadapan rakyat. Di dalamnya, terdapat daftar nama pengkhianat, perjanjian kelam, serta surat asli dari Pratama yang membongkar segala manipulasi Mahapatih Aryaseta.

“Ini adalah dinding terakhir,” ujar Raka. “Setelah ini, tidak ada jalan mundur.”

Ayudya menatapnya lewat bayangan di cermin. “Aku tidak akan mundur. Kita akan berdiri di depan rakyat. Kalau mereka percaya, kita menang. Kalau tidak… biarlah kebenaran gugur bersama kita.”

Di ruang dalam istana, Mahapatih Aryaseta menerima laporan dari pengintainya.

“Putri akan mengumumkan pengkhianatan di alun-alun tengah. Raja Parama memberi izin.”

Aryaseta mengerutkan kening. “Raja sudah sepenuhnya berpihak, rupanya.”

Ia melangkah ke jendela, menatap lapangan luas di kaki bukit, tempat rakyat biasa berkumpul untuk menyambut perayaan kerajaan. Kali ini, tidak ada panggung hiburan. Hanya satu podium kayu, satu mimbar kecil, dan suara-suara yang menunggu untuk didengar.

“Bersiaplah,” katanya datar. “Jika mereka membuka mulut, kita buka darah.”

Menjelang siang, lonceng istana berdentang delapan kali. Seluruh rakyat mulai berkumpul di alun-alun. Tak seperti biasanya, tak ada pengawal kerajaan yang menjaga ketat—mereka ditarik ke bagian belakang istana. Tapi rakyat tahu, suasana ini tidak biasa. Ada sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu besar.

Ayudya melangkah ke podium, ditemani Raka dan tiga orang loyalis Pratama yang masih hidup dalam bayangan. Mereka membawa salinan gulungan asli, berjaga-jaga jika sesuatu terjadi pada naskah utama. Wajah Ayudya tenang, namun tatapannya tajam.

Ia mengambil napas panjang, lalu mulai bicara.

“Saudara-saudari rakyat Tanah Pusaka. Hari ini aku berdiri bukan sebagai Putri. Bukan sebagai anak Ratu Indira. Tapi sebagai manusia yang masih percaya pada kejujuran.”

Kerumunan mulai tenang. Semua mata tertuju padanya.

“Aku membawa pesan dari masa lalu. Dari seorang prajurit yang dibuang karena membela kebenaran. Namanya Pratama. Mungkin kalian tak mengenalnya, tapi namanya hidup dalam semua cerita yang pernah dihapus oleh mereka yang berkuasa.”

Raka menyerahkan gulungan padanya. Ayudya mulai membacakan daftar nama dan bukti pengkhianatan. Sorakan kecil terdengar saat nama-nama familiar disebut—beberapa di antaranya adalah pemilik tanah, jenderal, bahkan penasihat spiritual istana.

Namun, saat Ayudya menyebut nama terakhir… suasana berubah sunyi.

“Dan di antara mereka… adalah ibuku sendiri. Ratu Indira.”

Wajah rakyat memucat. Sebagian menatapnya tak percaya. Tapi Ayudya tak gentar.

“Ini bukan pengkhianatan pada keluarga. Ini adalah janji bahwa tidak ada darah, tidak ada nama, tidak ada gelar yang lebih tinggi dari kebenaran.”

Saat ia hendak menutup pidatonya, panah meluncur dari atas menara.

Namun, sebelum panah itu mencapai podium, seorang pria berpakaian hitam melompat dari samping dan menangkisnya dengan pedang.

Itu Wira.

Ia masih hidup.

“Teruskan!” teriaknya pada Ayudya. “Kebenaran sudah dimulai!”

Kekacauan mulai terjadi. Prajurit bayangan Mahapatih mulai menyerbu alun-alun. Tapi sesuatu yang tidak mereka duga terjadi: sebagian besar penjaga kerajaan justru berpihak pada rakyat. Mereka melindungi podium, membentuk perisai hidup di sekitar Ayudya dan Raka.

Di istana, Mahapatih Aryaseta mendengar kabar itu dan membalikkan meja marmernya dengan amarah membuncah.

“Ini pengkhianatan penuh! Tangkap Raja! Bakar naskah itu!”

Namun, pasukan utama yang seharusnya tunduk padanya, tidak bergerak.

Karena di tengah istana, berdiri Raja Parama—tanpa mahkota, namun dengan mata yang kembali tajam seperti dua puluh tahun lalu.

“Permainanmu selesai, Aryaseta,” katanya lirih. “Benteng terakhir bukan istana. Tapi hati rakyat. Dan kau tak pernah memilikinya.”

Hari itu, sejarah ditulis ulang. Bukan dengan darah, tapi dengan keberanian. Rakyat mulai bersorak, bukan karena kemenangan, tapi karena kebenaran akhirnya memiliki wajah.

Wajah seorang Putri. Dan seorang anak prajurit.

Bab 11: Hari Ketika Matahari Tak Terbit

Pagi itu, matahari tidak muncul.

Langit yang biasanya menyibak kabut fajar dengan sinar lembut, kini bergelayut pekat. Awan hitam menggantung tak bergerak, dan angin membawa bau tanah basah yang tak biasa. Seperti tanda dari alam bahwa sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar badai.

Ayudya terbangun dengan firasat aneh. Di luar, burung-burung yang biasa berkicau di atap istana hilang entah ke mana. Suasana terasa hampa. Sepi yang bukan sekadar sunyi, tapi semacam ketegangan sebelum gempa.

“Raka belum kembali,” ujar salah satu pengawal kepercayaannya.

Ia merasakan jantungnya turun ke perut. Raka pergi malam sebelumnya untuk mengamankan para saksi yang akan bersaksi dalam persidangan Mahapatih Aryaseta. Ia pergi bersama Wira dan dua pengawal lainnya. Tapi sampai fajar—atau ketiadaan fajar—belum ada satu pun kabar.

Ayudya berdiri di balkon menatap langit. “Ini bukan cuaca biasa,” bisiknya.

Dan ia benar.

Sementara itu, jauh di bawah tanah, di lorong-lorong peninggalan kuno di bawah kota, Raka terbangun dalam kegelapan. Kepalanya terasa berat, dan suara gemeretak rantai terdengar di sekelilingnya. Ia tak bisa bergerak. Tangan dan kakinya terikat ke kursi kayu kasar.

Di hadapannya, berdiri seseorang yang seharusnya sudah tiada.

Ratu Indira.

Tapi wajahnya berbeda—dingin, keras, tanpa kelembutan seorang ibu.

“Maafkan aku, Raka,” katanya. “Kau terlalu cepat maju. Dan Putriku… terlalu naif.”

Raka mencoba bicara, tapi mulutnya tersumpal kain. Indira mendekat, melepaskannya perlahan.

“Kenapa… Anda di sini?” tanya Raka, napasnya berat. “Anda mengaku bersalah… Ayudya mempercayai Anda.”

Indira tersenyum pahit. “Aku hanya membiarkan sejarah mengalir. Tapi yang tidak kau tahu, Mahapatih Aryaseta bukan pemimpin utama dari rencana ini. Ia… hanyalah wajah dari sesuatu yang lebih besar.”

Raka menatapnya, tak percaya. “Anda… Anda yang mengatur semuanya?”

Indira menatapnya dengan sorot mata tajam. “Aku lelah menjadi simbol. Aku lelah menjadi bayangan. Aku ingin menjadi penguasa. Dan itu hanya bisa tercapai jika nama-nama besar seperti ayahmu disingkirkan.”

Di atas tanah, Ayudya mulai gelisah. Ia memerintahkan pasukan untuk mencari Raka dan Wira. Namun, satu per satu para saksi juga mulai menghilang. Di antara kabar yang datang, salah satunya menyebut bahwa salah satu gerbang kota telah dibuka malam sebelumnya. Tanpa izin.

Ia kembali ke ruang pribadi ayahnya. Raja Parama sedang duduk termenung di dekat perapian yang padam.

“Ayah,” katanya tegas, “seseorang sedang bergerak dalam bayangan. Kita pikir Mahapatih adalah pusat dari semua ini. Tapi mungkin… bukan hanya dia.”

Parama menatap putrinya lelah. “Ada yang lebih tua dari pengkhianatan. Dan lebih dalam dari kekuasaan.”

“Ayah tahu sesuatu, bukan?”

Raja menarik napas dalam. “Sebelum Aryaseta, ada dewan bayangan. Kelompok kecil yang percaya bahwa kekuasaan harus diwariskan lewat kekuatan, bukan darah. Indira… pernah hampir menjadi pemimpinnya. Tapi aku menghentikannya. Kukira aku berhasil. Kukira… cinta mengubahnya.”

Ayudya menggenggam dadanya. “Dia menculik Raka.”

“Kalau begitu,” kata Parama lirih, “kita akan kehilangan lebih dari sekadar nama hari ini.”

Sore menjelang. Tapi langit masih gelap.

Di balairung tua, Ratu Indira mengadakan pertemuan rahasia bersama sisa-sisa kekuatan lama. Mereka adalah bekas penasihat, bangsawan tua, dan para prajurit bayangan yang masih setia padanya. Di meja besar, terbentang peta kerajaan. Semua titik pengaruh baru Ayudya ditandai. Dan satu tanda khusus ada di utara—tempat benteng terakhir kekuasaan Pratama dulu berdiri.

“Kita akan bangkit dari utara,” kata Indira. “Dan kali ini… tidak akan ada darah keluarga yang menghentikan kita.”

Malam tiba, tapi fajar tak pernah datang. Di kota, penduduk mulai menyalakan lentera. Suasana genting dan ketakutan menyebar. Pasukan dikerahkan untuk menjaga alun-alun, tapi suasana berubah seperti kota dalam pengepungan.

Ayudya berdiri di gerbang istana, mengenakan pakaian perang peninggalan nenek buyutnya—seorang pejuang perempuan terakhir yang dicatat dalam sejarah. Ia memegang pedang kecil, bukan untuk bertarung, tapi untuk menegaskan bahwa ia akan berdiri sampai akhir.

“Bersiap,” ujarnya pada panglima utama. “Jika dia—ibuku—datang, kita akan hadapi dengan kepala tegak.”

Bab 12: Bayang-Bayang yang Tersisa

Hujan turun sepanjang malam, membasahi tanah yang semalam dibakar oleh kebencian dan peluru. Kabut menggantung rendah di atas dataran, menutupi puing-puing istana tua yang sebagian runtuh akibat pertempuran. Asap masih mengepul dari bagian timur kota, tempat pasukan Indira terakhir bertahan sebelum akhirnya menyerah—atau lenyap dalam kehancuran.

Ayudya berdiri di depan gerbang utara, tempat bekas tembok besar kini retak dan hancur. Tanah di sekitarnya hitam, bukan karena malam, tapi karena bara dan abu yang belum dingin. Di tangannya, tergenggam sisa gulungan tua—dokumen terakhir dari Pratama yang sempat diselamatkan dari api.

Ia tak menangis.

Ia tak sempat.

Raka masih hilang.

Di bawah reruntuhan benteng tua yang tersembunyi, Raka perlahan membuka matanya. Tubuhnya terluka parah, namun nafasnya masih terjaga. Wira, yang juga selamat, duduk di sampingnya, memeluk lutut dan memandang dinding dengan tatapan kosong.

“Dia melarikan diri,” gumam Wira. “Ratu Indira. Tepat sebelum segalanya meledak.”

“Ke mana?” tanya Raka dengan suara parau.

Wira hanya menggeleng.

Mereka terperangkap di lorong bawah tanah yang tertutup puing. Jalan satu-satunya ke luar terhalang. Tapi ada celah kecil yang mungkin bisa dilewati jika mereka cukup kuat—atau cukup nekat.

“Kau masih punya sesuatu yang ingin kau lakukan?” tanya Wira.

Raka terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.

“Ayudya harus tahu aku masih hidup. Dan… aku ingin bertanya padanya satu hal.”

Wira menghela napas, lalu mulai menggeser batu demi batu.

Di istana sementara yang didirikan di balai rakyat, Ayudya menerima para penyintas. Beberapa luka, beberapa kehilangan keluarga, beberapa hanya ingin tahu siapa yang akan memimpin setelah semua ini.

“Tuan Putri,” ujar salah satu tetua, “apakah Anda akan mengambil tahta?”

Ayudya menatap mereka dengan mata lelah. “Apa yang tersisa dari tahta itu?” tanyanya pelan. “Hanya dinding dan darah.”

“Tapi rakyat butuh pemimpin,” ujar yang lain. “Setelah semua ini, kami butuh wajah untuk dipercaya.”

Ayudya menunduk. Ia tak pernah menginginkan kekuasaan. Tapi ia juga tahu—jika ia menolak, kekosongan akan mengundang bayangan lain.

Sore itu, ia menulis surat yang akan dikirim ke seluruh wilayah kerajaan.

Isi suratnya singkat.

“Bukan darah yang harus memimpin. Tapi nurani. Aku hanya akan berdiri di antara kalian. Jika kalian memilihku untuk itu, maka aku bukan Putri. Aku hanya Ayudya.”

Malam menjelang. Langit masih abu-abu. Tapi di kejauhan, cahaya api unggun mulai muncul satu per satu. Di puncak bukit timur, terlihat seseorang berjalan tertatih, membawa pedang kayu dan mengenakan jubah lusuh.

Itu Raka.

Wira menyusul dari belakang.

Penjaga istana segera memberi tahu Ayudya, yang saat itu sedang memeriksa reruntuhan perpustakaan tua. Saat ia melihat sosok Raka yang kembali, hatinya hampir pecah.

Tapi ia tak berlari.

Ia hanya berjalan perlahan. Dan saat mereka berhadapan, keduanya terdiam cukup lama sebelum akhirnya Ayudya berkata:

“Apakah semuanya selesai?”

Raka menggeleng. “Belum. Masih ada bayang-bayang yang tersisa.”

Di malam yang sama, di pinggiran utara, seorang perempuan tua duduk di balik tenda lusuh. Wajahnya sebagian tertutup kain, dan matanya menatap bintang yang tak terlihat.

Ratu Indira.

Ia selamat. Tapi tidak dengan kekuasaan. Tidak dengan pengaruh. Ia kini hanya sosok pelarian, diburu oleh masa lalu yang ia bentuk sendiri.

Seorang anak kecil mendekatinya, menawarkan roti kering. Ia menerimanya, dan untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, ia menangis. Bukan karena kalah. Tapi karena sadar bahwa seluruh hidupnya telah ia tukar untuk kekosongan.

Keesokan harinya, rakyat berkumpul di alun-alun untuk pertama kali tanpa tekanan. Di sana, Ayudya berdiri—tanpa mahkota, tanpa pakaian kebesaran. Di sampingnya, Raka. Dan di belakang mereka, rakyat yang mulai membentuk dewan baru—bukan dari darah biru, tapi dari hati yang pernah dilukai.

“Bayangan tidak bisa dihapus,” ujar Ayudya dalam pidatonya. “Tapi kita bisa memilih untuk tidak tinggal di dalamnya.”

Dan meski bayang-bayang masih tersisa, cahaya akhirnya tahu ke mana harus pulang.***

Source: Shifa Yuhananda
Tags: BayangBayangMasaLaluCahayaDalamKegelapanDramaKerajaanFiksiSejarahGelapDanMisteriusIntrikPolitikPahlawanDalamBayanganPutriPejuangWanitaTangguh
Previous Post

Tetangga Melihat Fans Manchester United Lumur Tahi Kucing ke Wajah

Next Post

BAYANGAN TERAKHIR

Next Post
BAYANGAN TERAKHIR

BAYANGAN TERAKHIR

LENTERA DI UJUNG LORONG

LENTERA DI UJUNG LORONG

LANGKAH YANG TERTINGGAL

LANGKAH YANG TERTINGGAL

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In