Bab 1: Rumah yang Terlupakan
Dina menatap rumah tua di ujung jalan dengan perasaan campur aduk. Bangunan itu berdiri menjulang di antara pepohonan yang mulai meranggas, seolah-olah mencoba menyembunyikan rahasia yang telah lama terkubur di dalamnya. Cat temboknya mengelupas, jendela-jendelanya tertutup rapat, dan pagar besinya berkarat. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana, kecuali suara angin yang berdesir melewati celah-celah dinding kayu yang mulai rapuh.
“Jadi ini rumah yang katanya angker itu?” tanya Raka, sahabat Dina sekaligus fotografer yang selalu ikut dalam setiap investigasinya. Ia mengangkat kameranya dan mulai mengambil beberapa gambar.
Dina mengangguk pelan. “Menurut cerita warga, rumah ini sudah kosong lebih dari tiga puluh tahun. Pemiliknya, seorang pria bernama Pak Surya, menghilang tanpa jejak bersama keluarganya. Sejak saat itu, tak ada yang berani mendekat.”
Raka menyeringai. “Dan kita justru datang ke sini? Kamu benar-benar punya rasa ingin tahu yang berlebihan, Din.”
Dina tersenyum kecil, tetapi matanya tetap fokus pada rumah di hadapannya. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik untuk menyelidikinya lebih dalam. Sebagai seorang jurnalis investigasi, ia selalu tertarik pada kisah-kisah yang belum terpecahkan. Apalagi, beberapa warga sekitar bercerita bahwa sering terdengar suara-suara aneh dari dalam rumah pada malam hari—langkah kaki, suara bisikan, bahkan tangisan lirih yang entah dari mana asalnya.
“Ayo masuk,” ajaknya.
Raka menelan ludah. “Kamu yakin? Bagaimana kalau ada sesuatu di dalam?”
“Justru itu yang harus kita cari tahu.” Dina membuka gerbang yang berkarat dan melangkah masuk. Pintu rumah tidak terkunci. Ia mendorongnya perlahan, dan suara berderit tajam langsung memenuhi udara. Bau debu bercampur kelembapan menyambut mereka begitu masuk ke dalam.
Interior rumah itu gelap, hanya sedikit cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah jendela yang berdebu. Perabotan masih ada di tempatnya, meski sudah tertutup debu tebal. Di dinding ruang tamu, terdapat sebuah foto keluarga yang nyaris pudar. Seorang pria dengan senyum tipis, seorang wanita yang berdiri di sampingnya, dan dua anak kecil.
“Ini pasti keluarga Pak Surya,” gumam Dina sambil mengusap bingkai foto itu.
Tiba-tiba, Raka tersentak. “Dina, lihat ini!”
Dina berbalik dan melihat Raka berdiri di depan meja kayu tua. Di atasnya, ada secarik kertas kuning kecokelatan yang tampaknya baru saja diletakkan di sana. Tangannya gemetar saat mengambilnya. Tulisan di atasnya sedikit buram, tetapi masih bisa dibaca:
Pergilah sebelum terlambat.
Mereka saling berpandangan. Dina mencoba mengontrol detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. “Siapa yang meninggalkan ini? Bukankah rumah ini seharusnya kosong?”
Raka mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Mungkin ada orang lain yang masih sering datang ke sini. Atau… seseorang tidak ingin kita ada di sini.”
Suasana mendadak terasa lebih berat. Udara seolah menjadi lebih dingin, dan rumah itu kini terasa lebih menekan daripada beberapa menit yang lalu. Tiba-tiba, terdengar suara pelan dari lantai atas—seperti langkah kaki yang sangat hati-hati.
Dina dan Raka langsung menoleh ke arah tangga tua yang mengarah ke lantai dua. Mereka menahan napas. Suara itu berhenti seketika, seolah menyadari bahwa mereka sedang mendengarkan.
“Kita harus pergi sekarang,” bisik Raka, matanya dipenuhi ketakutan.
Tapi Dina tetap terpaku di tempatnya. Ada sesuatu di sini—sesuatu yang lebih dari sekadar rumah kosong yang terlupakan. Rahasia yang tersembunyi di dalam rumah ini belum sepenuhnya terungkap, dan ia bertekad untuk menemukannya.
Namun, sebelum mereka sempat melakukan sesuatu, pintu utama yang tadi terbuka perlahan menutup sendiri dengan bunyi keras. Seolah-olah rumah ini tidak ingin mereka pergi… atau mungkin tidak ingin mereka keluar hidup-hidup.*
Bab 2: Jejak Misterius
Dina dan Raka saling berpandangan, napas mereka tertahan. Pintu yang tertutup dengan sendirinya membuat bulu kuduk mereka meremang. Dina mencoba mengatur napas, sementara Raka perlahan mundur beberapa langkah.
“Kamu lihat itu, kan?” bisik Raka dengan suara bergetar.
Dina mengangguk. “Ya, dan itu bukan karena angin.”
Mereka berjalan lebih dalam ke dalam rumah, kali ini lebih waspada. Raka menyalakan senter dari ponselnya dan menyinari ruangan yang mereka masuki. Ruangan itu tampak seperti ruang kerja, dengan rak buku besar di salah satu sisi dan meja tua di tengahnya. Di atas meja, terdapat beberapa kertas berserakan, seakan seseorang baru saja meninggalkannya.
Dina mendekati meja itu dan mulai membaca salah satu kertasnya. “Ini… ini seperti laporan keuangan.” Ia mengerutkan kening. “Ada nama Surya di sini. Tapi kenapa laporan ini masih ada di sini setelah bertahun-tahun?”
Raka ikut melihat. “Mungkin ada hubungannya dengan menghilangnya keluarga Surya?”
Sebelum Dina sempat menjawab, suara berderit kembali terdengar. Kali ini berasal dari lantai atas. Mereka berdua menatap langit-langit. Suara langkah kaki kembali terdengar, lebih jelas dan lebih nyata.
Dina menarik napas panjang. “Kita harus ke atas.”
Raka menatapnya seolah ia sudah gila. “Apa kamu serius? Seseorang mungkin masih ada di sana.”
“Justru itu yang harus kita cari tahu,” jawab Dina tegas.
Dengan hati-hati, mereka menaiki tangga kayu yang sudah tua. Setiap langkah yang mereka ambil menimbulkan bunyi berdecit. Saat mereka mencapai lantai dua, mereka melihat sebuah koridor panjang dengan beberapa pintu di kedua sisinya. Salah satu pintu di ujung koridor tampak sedikit terbuka.
Dina melangkah maju, tapi sebelum ia sempat mencapai pintu itu, sesuatu yang mengejutkan terjadi—pintu itu tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat jantung mereka hampir melompat keluar.
“Dina, aku rasa kita harus keluar sekarang juga,” bisik Raka dengan suara bergetar.
Dina menelan ludah. Ia juga merasa ketakutan, tetapi rasa penasarannya jauh lebih besar.
Seseorang ada di sini. Atau sesuatu. Dan ia harus menemukan jawabannya*.
Bab 3: Rahasia Rumah Surya
Dina menghabiskan malamnya dengan membaca ulang catatan yang mereka temukan di rumah Pak Surya. Ada sesuatu yang mengganggunya—sebuah petunjuk samar yang terasa tidak pada tempatnya. Nama Surya muncul di beberapa dokumen bisnis yang ditinggalkan di ruang kerja, tetapi semua catatan tersebut berhenti secara tiba-tiba pada satu tanggal tertentu, seolah-olah ada yang ingin menghapus jejaknya.
Keesokan paginya, Dina dan Raka memutuskan untuk mengunjungi kantor catatan sipil guna mencari lebih banyak informasi tentang keluarga Surya. Mereka disambut oleh seorang pegawai tua yang tampaknya sudah bekerja di sana selama bertahun-tahun.
“Pak Surya?” pria itu mengulang pertanyaan Dina sambil mengerutkan dahi. “Tunggu sebentar, saya akan melihat arsip lama.”
Setelah beberapa menit, pria itu kembali dengan sebuah map cokelat tua. Ia meletakkannya di atas meja dan membukanya perlahan.
“Ini aneh,” gumamnya. “Keluarga Surya tercatat memiliki seorang anak bernama Arman, tetapi… tidak ada catatan kematian atau kepindahan mereka. Seolah-olah mereka menghilang begitu saja.”
Dina dan Raka saling berpandangan. “Apakah ada alamat lain yang tercatat di sini? Mungkin rumah lama mereka sebelum pindah ke rumah di ujung kota?” tanya Dina.
Pria itu mengangguk dan menunjuk pada sebuah alamat di luar kota. Tanpa membuang waktu, mereka segera menuju ke lokasi tersebut. Saat tiba di sana, mereka menemukan sebuah rumah kecil yang terlihat seperti tidak berpenghuni selama bertahun-tahun.
Mereka masuk ke dalam dan menemukan ruangan yang penuh dengan foto-foto lama. Salah satu foto menunjukkan Pak Surya bersama seorang pria lain yang tampak seperti saudara kembarnya.
“Siapa dia?” bisik Raka.
Dina mengambil salah satu foto dan membaliknya. Di bagian belakangnya tertulis sebuah nama: Hasan Surya.
“Mungkin ini saudara kembar Pak Surya,” kata Dina pelan. “Tapi kenapa namanya tidak pernah disebutkan sebelumnya?”
Saat mereka berusaha menggali lebih dalam, Dina menemukan sebuah kotak besi terkunci di bawah lantai kayu. Saat membukanya, mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan—sebuah surat yang ditulis oleh Pak Surya sendiri, dengan satu kalimat yang membuat mereka merinding:
“Jika kau membaca ini, maka rahasia keluarga kami telah terbuka. Segera pergi sebelum semuanya terlambat.”*
Bab 4: Kunci yang Hilang
Malam itu, Dina terus memikirkan isi surat yang mereka temukan di rumah lama Pak Surya. Kalimat terakhirnya begitu menggema di kepalanya: “Jika kau membaca ini, maka rahasia keluarga kami telah terbuka. Segera pergi sebelum semuanya terlambat.”
Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Surya? Kenapa mereka menghilang begitu saja?
Dina memutuskan untuk mencari lebih banyak informasi di arsip kota. Dengan bantuan seorang pustakawan, ia menemukan berita lama tentang keluarga Surya. Sebuah artikel yang terbit lebih dari tiga puluh tahun lalu menyebutkan bahwa Hasan Surya, saudara kembar Pak Surya, terlibat dalam bisnis ilegal yang berkaitan dengan pemalsuan dokumen dan pencucian uang. Namun, sebelum polisi sempat menangkapnya, Hasan menghilang tanpa jejak.
“Bisa jadi Hasan masih hidup,” gumam Dina sambil mencatat beberapa poin penting di bukunya.
Raka yang duduk di sebelahnya menoleh. “Atau mungkin… dia kembali ke rumah itu.”
Pemikiran itu membuat bulu kuduk mereka meremang. Apakah mungkin Hasan adalah sosok yang masih berada di rumah Surya? Atau mungkin seseorang yang ingin menutupi masa lalunya?
Tanpa pikir panjang, mereka kembali ke rumah itu malam harinya. Mereka memeriksa kembali ruang kerja dan mencoba mencari petunjuk lain. Saat Dina menggeser sebuah lukisan di dinding, ia menemukan sebuah kunci kecil yang tergantung di belakangnya.
“Kunci apa ini?” tanya Raka.
Dina mengambilnya dan memperhatikannya dengan seksama. Ada angka yang terukir di permukaannya: 1987.
“Tahun menghilangnya keluarga Surya,” bisiknya.
Dina dan Raka berpandangan. Mereka baru saja menemukan sesuatu yang bisa menjadi jawaban dari misteri ini. Tapi sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka.
Mereka berbalik dengan cepat—dan melihat bayangan seseorang berdiri di ujung ruangan, mengawasi mereka dalam kegelapan.*
Bab 5: Bayangan di Kegelapan
Dina dan Raka berdiri membeku di tempat mereka, mata mereka terpaku pada sosok bayangan yang berdiri di ujung ruangan. Dalam cahaya remang-remang, mereka hanya bisa melihat siluetnya yang tinggi dan kurus, berdiri tanpa bergerak seperti patung. Raka menelan ludah, sementara Dina mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba menjadi berat.
“Siapa di sana?” suara Dina terdengar lebih bergetar daripada yang ia harapkan.
Tidak ada jawaban. Bayangan itu tetap diam, seolah sedang menilai mereka dalam keheningan yang menegangkan. Raka meraba-raba kantongnya dan mengeluarkan senter kecil, menyalakannya dengan tangan gemetar. Begitu cahaya menyorot ke arah bayangan itu, mereka melihat sesosok pria tua dengan wajah pucat dan mata cekung menatap mereka tanpa ekspresi.
“Kalian tidak seharusnya ada di sini,” kata pria itu dengan suara serak.
Dina dan Raka saling berpandangan. Dina akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Siapa Anda? Apakah Anda tinggal di sini?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menundukkan kepala sejenak, lalu menghela napas panjang. “Nama saya Pak Herman,” katanya. “Aku penjaga rumah ini. Sudah bertahun-tahun aku mengawasinya.”
Raka mengerutkan kening. “Penjaga? Tapi rumah ini sudah kosong selama puluhan tahun.”
Pak Herman mengangguk. “Kosong bukan berarti tanpa penghuni. Kalian tidak tahu apa yang telah terjadi di sini, bukan? Apa yang menimpa keluarga Surya… adalah sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.”
Dina menggenggam kunci yang mereka temukan di balik lukisan tadi. “Kami hanya ingin tahu kebenarannya. Kami menemukan kunci ini. Apakah Anda tahu kunci ini untuk apa?”
Pak Herman menatap kunci itu lama, seolah-olah kenangan lama kembali berputar di kepalanya. “Kunci itu… membuka sesuatu yang seharusnya tetap tertutup,” katanya pelan. “Kalau kalian benar-benar ingin tahu, aku akan memberitahu kalian, tapi dengan satu syarat: begitu kalian tahu, jangan pernah kembali ke rumah ini.”
Dina dan Raka saling berpandangan lagi. Ada sesuatu yang mengerikan di balik rahasia ini, dan mereka harus siap menerima akibatnya.
**Rahasia Tersembunyi**
Pak Herman akhirnya membawa mereka ke sebuah ruangan tersembunyi di balik rak buku di ruang kerja Pak Surya. Dengan dorongan kecil, rak buku itu bergeser, memperlihatkan sebuah pintu kayu tua yang terkunci. Dina merasakan jantungnya berdegup lebih cepat saat memasukkan kunci yang mereka temukan ke dalam lubang kunci. Dengan sedikit usaha, kunci itu berputar dan pintu terbuka dengan suara berderit yang mengerikan.
Di balik pintu itu, terdapat sebuah ruangan kecil yang nyaris kosong, kecuali satu benda di tengahnya—sebuah peti kayu tua yang terkunci dengan rantai berkarat. Pak Herman melangkah masuk lebih dulu, lalu menatap Dina dan Raka dengan ekspresi serius.
“Peti ini milik Hasan Surya,” katanya. “Saudara kembar Pak Surya. Setelah dia menghilang, peti ini tetap di sini, tersembunyi dari dunia luar. Tidak ada yang tahu apa isinya, dan aku pun tidak berani membukanya. Tapi mungkin kalian ingin tahu?”
Dina merasakan dorongan kuat untuk membuka peti itu. Ia mengeluarkan pisau lipat dari tasnya dan dengan hati-hati merusak gembok tua yang mengunci rantainya. Setelah beberapa kali percobaan, rantai itu akhirnya lepas dan peti pun terbuka perlahan.
Di dalamnya, mereka menemukan tumpukan dokumen tua, surat-surat, serta sebuah buku harian dengan sampul hitam lusuh. Dina mengambil buku itu dan membuka halaman pertamanya. Tulisan tangan yang tergores di sana membuat bulu kuduknya berdiri:
*“Aku, Hasan Surya, menulis ini sebagai pengakuan terakhirku. Jika kau membaca ini, maka aku mungkin sudah tidak ada. Tapi ingatlah, kebenaran tidak akan pernah bisa terkubur selamanya.”*
Raka menelan ludah. “Ini… semacam pengakuan?”
Dina terus membaca, lembar demi lembar. Hasan menuliskan bagaimana ia dan Pak Surya terlibat dalam bisnis ilegal yang berbahaya. Mereka menggunakan rumah ini sebagai tempat persembunyian untuk operasi rahasia mereka. Namun, ketika keadaan mulai memburuk dan polisi mulai mencurigai mereka, Pak Surya mencoba keluar dari bisnis itu dan menghilang bersama keluarganya. Tapi Hasan tidak bisa menerima pengkhianatan itu.
Dalam halaman terakhir, ada pengakuan yang membuat mereka terkejut:
*“Aku telah melakukan sesuatu yang mengerikan. Aku tidak bisa membiarkan Surya dan keluarganya pergi begitu saja. Mereka tahu terlalu banyak. Aku… aku harus mengakhirinya sendiri.”*
Mata Dina membelalak. “Jadi… Hasan membunuh keluarganya sendiri?”
Pak Herman mengangguk pelan. “Malam itu, warga sekitar melaporkan mendengar jeritan dari rumah ini, tetapi ketika polisi datang keesokan paginya, tidak ada siapa pun. Pak Surya, istrinya, dan kedua anak mereka menghilang tanpa jejak. Hasan pun tidak pernah ditemukan.”
Raka menggigit bibirnya. “Lalu… kalau begitu, siapa yang meninggalkan surat peringatan itu di meja? Siapa yang masih berkeliaran di rumah ini?”
Pak Herman menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi aku sering mendengar langkah kaki di malam hari. Bisikan di lorong-lorong. Kadang aku melihat bayangan seseorang di jendela.”
Suasana ruangan itu tiba-tiba terasa lebih dingin. Seolah ada sesuatu yang mengawasi mereka.
Tiba-tiba, pintu yang tadi mereka buka tertutup dengan keras, membuat mereka tersentak.
“Kita harus pergi dari sini,” kata Pak Herman dengan suara bergetar.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, terdengar suara lirih, seperti seseorang berbisik di telinga mereka:
*“Kalian seharusnya tidak membukanya…”*
Lampu di ruangan itu berkelap-kelip. Angin dingin entah dari mana mulai berhembus. Dan dari sudut ruangan, sesuatu mulai bergerak di kegelapan.
Dina tahu, mereka telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.*
Bab 6: Teror dari Masa Lalu
Dina, Raka, dan Pak Herman berdiri terpaku di ruangan sempit itu. Suara bisikan tadi masih terngiang di telinga mereka, dan bayangan samar yang bergerak di sudut ruangan semakin jelas. Dina menyalakan senter ponselnya, tetapi cahaya itu hanya mampu menembus sebagian kecil kegelapan. Apa pun yang bersembunyi di sana tampak tidak terpengaruh.
“Kita harus keluar sekarang,” bisik Pak Herman, suaranya terdengar gemetar.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pintu yang sebelumnya tertutup rapat tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Udara dingin mengalir masuk, membawa serta aroma lembap dan anyir yang menusuk hidung. Dina mencoba menenangkan dirinya dan memberi isyarat pada Raka untuk tetap tenang.
“Siapa pun yang ada di sini, kami tidak ingin mencari masalah,” kata Dina lantang. “Kami hanya ingin tahu kebenaran tentang keluarga Surya.”
Tak ada jawaban, hanya keheningan yang mencekam. Lalu, suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Seseorang—atau sesuatu—sedang bergerak mendekati mereka.
Pak Herman menatap Dina dan Raka dengan ekspresi putus asa. “Kita harus pergi. Sekarang!”
Tanpa pikir panjang, mereka bertiga berlari keluar dari ruangan itu. Dina membawa buku harian Hasan Surya erat-erat di dadanya. Pintu menuju ruang kerja yang tadi terbuka kini tertutup lagi dengan suara keras di belakang mereka, seolah ada sesuatu yang berusaha menghalangi mereka untuk keluar.
Mereka terus berlari menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Namun, tepat saat mereka mencapai lantai bawah, lampu-lampu di rumah itu mulai berkedip-kedip. Bayangan-bayangan di dinding bergerak dengan sendirinya, seakan memiliki nyawa.
“Apa yang terjadi?!” seru Raka panik.
Pak Herman menarik tangan mereka. “Cepat keluar!”
Namun, sebelum mereka bisa mencapai pintu depan, sesuatu yang tak kasat mata mendorong mereka mundur. Dina terjatuh ke lantai, rasa sakit menjalar di lengannya. Raka dengan sigap membantunya bangkit, sementara Pak Herman mencoba membuka pintu dengan paksa.
Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar dari tangga. Mereka menoleh dengan napas tertahan—dan melihat sosok pria berjas hitam berdiri di atas tangga, menatap mereka dengan mata kosong.
“Hasan…” gumam Pak Herman dengan wajah pucat.
Dina membeku. Pria itu tampak seperti Hasan Surya dalam foto-foto lama yang mereka lihat, tetapi ada sesuatu yang aneh. Kulitnya terlalu pucat, matanya cekung seperti tidak memiliki nyawa, dan tubuhnya tidak sepenuhnya solid, seolah-olah dia adalah bayangan dari masa lalu.
“Kenapa kalian membuka peti itu?” tanya sosok itu dengan suara serak. “Kalian seharusnya tidak datang ke sini… Kalian telah membangunkan mereka.”
“Mereka?” tanya Raka dengan suara gemetar. “Siapa mereka?”
Sosok Hasan tidak menjawab. Sebagai gantinya, suara tangisan lirih terdengar dari berbagai sudut rumah. Dina merasa dadanya semakin sesak. Ia menoleh ke sekeliling, mencari sumber suara itu, tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan-bayangan hitam yang mulai bermunculan dari dinding.
“Kita benar-benar harus keluar dari sini!” teriak Pak Herman.
Dina mencoba bergerak, tetapi langkahnya terasa berat, seakan ada sesuatu yang menahannya. Raka berusaha menariknya, namun tiba-tiba, seluruh ruangan berguncang hebat. Lukisan-lukisan jatuh dari dinding, jendela pecah, dan angin kencang berputar-putar di dalam rumah.
Di tengah kekacauan itu, sosok Hasan perlahan mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Dina. “Kebenaran tidak akan menyelamatkan kalian. Pergilah… sebelum mereka mengambil kalian juga.”
Pak Herman akhirnya berhasil membuka pintu depan dengan sekali tarikan kuat. Tanpa membuang waktu, mereka bertiga berlari keluar dari rumah itu, menembus udara malam yang dingin. Begitu mereka melewati pagar, suara gemuruh tiba-tiba berhenti. Rumah itu kembali sunyi, seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.
Mereka bertiga terengah-engah, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Dina memandang ke belakang, ke arah rumah yang berdiri tegak dalam kegelapan. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ini belum selesai.
“Apa yang baru saja kita lihat…?” tanya Raka dengan suara bergetar.
Pak Herman menggeleng lemah. “Mereka yang telah pergi… tidak pernah benar-benar pergi.”
Dina meremas buku harian di tangannya. Ia tahu satu hal: jawaban dari semua misteri ini ada di dalam buku ini. Dan ia tidak akan berhenti sampai menemukan kebenarannya.
Namun, yang tidak ia sadari, dari balik jendela lantai dua rumah itu, sepasang mata mengawasi mereka dalam diam, menunggu…*
Bab 7: Petunjuk dari Kegelapan
Malam semakin larut, tetapi pikiran Dina tak kunjung tenang. Setelah peristiwa mengerikan di rumah Surya, mereka kembali ke rumah Pak Herman untuk berdiskusi. Namun, bayangan-bayangan yang mereka lihat di sana masih jelas tergambar dalam ingatannya. Ia duduk di kursi tua di ruang tamu, menatap buku harian Hasan Surya yang ada di pangkuannya.
“Apa kita benar-benar aman sekarang?” tanya Raka sambil melirik ke arah jendela, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.
Pak Herman menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Tapi kita sudah melangkah terlalu jauh untuk berhenti sekarang.”
Dina membuka buku harian itu dan kembali membaca lembaran yang sudah mulai rapuh. Setiap tulisan yang tertulis di sana seperti mengandung beban emosional yang kuat, seolah-olah Hasan menuangkan rasa bersalahnya ke dalam kata-kata.
*“Aku tahu Surya tidak akan pernah memaafkanku. Tapi aku tidak punya pilihan. Jika aku tidak melakukannya, mereka akan mengambilku juga.”*
Dina berhenti membaca dan menatap Pak Herman. “Siapa yang dimaksud Hasan dengan ‘mereka’?”
Pak Herman menggeleng. “Aku tidak tahu pasti. Tapi dulu, ada desas-desus tentang sebuah kelompok yang terlibat dalam hal-hal gelap. Mereka mengendalikan banyak hal di kota ini dari balik bayangan. Jika Surya mencoba keluar dari bisnis itu, bukan mustahil jika ia dan keluarganya menjadi korban.”
Raka bergidik. “Jadi, kau pikir kelompok ini masih ada? Bisa saja mereka yang menghantui rumah itu, bukan?”
Pak Herman terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin. Tapi aku lebih takut jika yang kita hadapi bukan manusia biasa.”
Dina menelan ludah. “Maksudmu… roh mereka masih terjebak di sana?”
Pak Herman menatapnya dalam-dalam. “Kau melihatnya sendiri, kan? Kau dengar suaranya. Kau rasakan kehadirannya. Apa menurutmu itu hanya imajinasi?”
Dina terdiam. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang nyata di rumah itu—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
**Pencarian di Arsip Kota**
Keesokan harinya, Dina dan Raka memutuskan untuk mencari lebih banyak informasi di arsip kota. Jika Hasan dan Surya benar-benar terlibat dengan kelompok rahasia, pasti ada catatan yang bisa menghubungkan mereka dengan kejadian-kejadian mencurigakan di masa lalu.
Mereka tiba di gedung arsip yang sudah tua dan sepi. Seorang petugas tua dengan kacamata tebal menyambut mereka dengan tatapan curiga.
“Kami ingin mencari informasi tentang keluarga Surya,” kata Dina, berusaha terdengar santai.
Petugas itu menghela napas dan menunjuk ke rak tinggi yang dipenuhi berkas-berkas lama. “Bagian kriminal dan kasus hilang ada di rak sebelah sana. Tapi jangan berharap menemukan sesuatu dengan mudah. Banyak dokumen lama yang hilang atau sengaja dihapus.”
Mereka segera bekerja, membuka berkas demi berkas. Setelah hampir satu jam mencari, Raka menemukan sesuatu yang mencurigakan.
“Dina, lihat ini!” serunya sambil menyerahkan sebuah laporan polisi.
Dina membaca dengan saksama. Laporan itu bertanggal sekitar dua minggu sebelum keluarga Surya menghilang. Isinya mencatat penemuan mayat seorang pria tak dikenal di dekat rumah Surya. Tubuhnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan, dengan tanda-tanda penyiksaan.
“Ini tidak disebutkan di berita mana pun,” kata Dina heran.
“Mungkin karena seseorang sengaja menutupi kejadian ini,” kata Raka. “Dan lihat ini—salah satu saksi yang terakhir melihat pria ini adalah Hasan Surya.”
Dina merasakan bulu kuduknya berdiri. “Jadi Hasan mungkin tahu lebih banyak dari yang ia tulis di buku hariannya. Mungkin pria ini adalah anggota kelompok yang mencoba menghentikan Surya… atau justru peringatan bagi Hasan.”
Tiba-tiba, petugas arsip datang dengan ekspresi tegang. “Kalian harus pergi sekarang.”
Dina dan Raka saling berpandangan. “Apa ada masalah, Pak?” tanya Raka.
Petugas itu menoleh ke arah pintu dan berbisik, “Ada seseorang yang datang mencarimu. Aku tidak tahu siapa mereka, tapi mereka tidak terlihat ramah. Jika kalian ingin tetap hidup, pergilah dari sini sekarang.”
Tanpa banyak bertanya, mereka segera mengemas dokumen yang mereka temukan dan bergegas keluar dari gedung. Dari sudut mata, Dina melihat dua pria berbadan besar berdiri di dekat pintu masuk, mengenakan jas hitam dengan wajah tanpa ekspresi.
“Cepat, Raka,” bisik Dina sambil menariknya ke arah jalan kecil di samping gedung.
Mereka berlari secepat mungkin, melewati gang-gang sempit hingga akhirnya mencapai jalan utama. Nafas mereka tersengal-sengal, tetapi mereka berhasil lolos.
“Siapa mereka?” tanya Raka dengan napas terengah.
Dina menggenggam buku harian dan laporan polisi yang ia bawa erat-erat. “Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti: kita semakin dekat dengan sesuatu yang sangat berbahaya.”
Raka menghela napas panjang. “Apa langkah kita selanjutnya?”
Dina menatap rumah Pak Herman di kejauhan. “Kita harus kembali ke rumah Surya. Semua jawaban ada di sana.”*
Bab 8: Kembali ke Rumah Surya
Malam itu, setelah kejadian di arsip kota, Dina dan Raka kembali ke rumah Pak Herman dengan perasaan was-was. Mereka tahu bahwa apa pun yang sedang mereka ungkap bukanlah sesuatu yang seharusnya ditemukan dengan mudah. Orang-orang misterius yang mengikuti mereka tadi adalah bukti bahwa ada pihak yang ingin agar rahasia ini tetap terkubur.
Pak Herman menatap mereka dengan wajah penuh kekhawatiran. “Kalian benar-benar dikejar?”
Dina mengangguk, masih memegang erat buku harian Hasan Surya dan laporan polisi yang mereka temukan. “Ada dua pria berjas hitam yang mencurigakan. Mereka seperti sedang mengawasi kami.”
Pak Herman menghela napas panjang. “Aku sudah menduga. Jika ini memang berhubungan dengan kelompok gelap yang dulu mengendalikan kota ini, kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang sangat berbahaya.”
Raka bersandar di kursi dengan wajah lelah. “Tapi kita tidak bisa berhenti sekarang. Semua petunjuk mengarah kembali ke rumah Surya. Kita harus kembali ke sana dan mencari apa yang benar-benar terjadi.”
Dina mengangguk setuju. “Aku rasa jawaban terakhir ada di rumah itu. Dan kali ini, kita tidak boleh lari.”
**Malam yang Menegangkan**
Mereka menunggu hingga tengah malam sebelum kembali ke rumah Surya. Langit gelap tanpa bulan, hanya diterangi lampu jalan yang remang-remang. Jalan menuju rumah itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya, seakan-akan seluruh dunia telah tertidur kecuali mereka.
Pak Herman mengendarai mobil tua mereka ke depan gerbang rumah Surya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam, namun perasaan mencekam kembali menyelimuti mereka begitu mereka melangkah keluar dari mobil.
“Kita harus hati-hati,” bisik Pak Herman. “Jangan sampai kita terperangkap lagi seperti kemarin.”
Dina membuka gerbang perlahan, engselnya berderit nyaring di tengah keheningan malam. Mereka bertiga berjalan memasuki halaman, langkah mereka tertahan oleh dedaunan kering yang berserakan di tanah.
Begitu mereka mencapai pintu utama, Dina merasakan hawa dingin yang aneh menyelimutinya. Raka menelan ludah, lalu mencoba membuka pintu. Kali ini, pintunya tidak terkunci.
Mereka bertiga masuk dengan hati-hati, senter di tangan Dina menerangi kegelapan di dalam rumah. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Namun, atmosfernya tetap mencekam.
“Kita harus kembali ke ruang bawah tanah,” bisik Dina. “Di sanalah kita menemukan peti dan suara aneh itu kemarin.”
Mereka berjalan melewati ruang tamu yang berdebu, menuju pintu menuju ruang bawah tanah. Ketika Dina mencoba memutarnya, pintu itu seolah-olah lebih berat dari sebelumnya. Namun, dengan sedikit usaha, pintu itu akhirnya terbuka, mengeluarkan suara deritan yang menyeramkan.
Tangga kayu tua berderit di bawah langkah mereka. Begitu mereka sampai di bawah, senter Dina menyoroti ruangan yang sama seperti sebelumnya—tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Di lantai, tepat di depan peti yang kemarin mereka temukan, ada bekas goresan yang tampaknya baru. Seperti ada sesuatu yang diseret melintasi lantai.
“Seseorang sudah ada di sini sebelum kita,” bisik Raka dengan napas tertahan.
Dina berlutut, menyentuh bekas goresan itu. “Atau sesuatu…”
Pak Herman menyipitkan mata, lalu mendekati peti yang kini sedikit bergeser dari posisi semula. Dengan hati-hati, ia meraih pinggirannya dan mencoba membukanya.
Saat peti itu terbuka, hawa dingin menyeruak keluar. Di dalamnya, tidak ada mayat atau benda lain seperti yang mereka duga, tetapi hanya selembar kertas tua yang tampak kusam dan rapuh.
Dina mengambil kertas itu dengan hati-hati, lalu membacanya dengan suara gemetar.
*“Aku sudah melakukan apa yang mereka minta. Aku menyerahkan Surya. Aku pikir itu akan cukup untuk membuat mereka melepaskanku. Tapi aku salah. Mereka akan kembali, dan kali ini, aku yang akan menjadi korban. Jika ada yang menemukan catatan ini, tolong jangan percaya siapa pun. Semuanya telah dikendalikan sejak awal.”*
Dina menutup mulutnya, merasakan ketakutan yang merayapi tubuhnya. “Hasan menyerahkan Surya kepada mereka… tapi siapa mereka sebenarnya?”
Pak Herman menatap kertas itu dalam-dalam. “Kita masih belum tahu sepenuhnya. Tapi aku yakin, jika kita terus menggali, kita akan menemukan jawaban yang lebih gelap dari yang kita bayangkan.”
Raka menggeleng, tubuhnya gemetar. “Tapi bagaimana jika mereka masih ada? Jika mereka tahu kita sudah sejauh ini, mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari atas.
Mereka semua membeku di tempat.
Seseorang ada di dalam rumah bersama mereka.
Dina mematikan senternya, memberi isyarat agar mereka semua tetap diam. Langkah kaki itu semakin mendekat, suara kayu berderit di lantai atas membuat suasana semakin mencekam.
Kemudian, terdengar suara berbisik. Suara yang sama seperti yang mereka dengar di ruang kerja Hasan Surya.
*“Kalian tidak seharusnya ada di sini…”*
Pak Herman menggenggam lengan Dina dan Raka dengan erat. “Kita harus keluar. Sekarang.”
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pintu ruang bawah tanah tiba-tiba tertutup dengan keras, mengunci mereka di dalam kegelapan yang menyesakkan.*
Bab 9: Kebenaran yang Terkubur
Pintu ruang bawah tanah tertutup dengan keras, membuat mereka bertiga terperangkap dalam kegelapan pekat. Dina menahan napasnya, jantungnya berdetak begitu cepat hingga ia bisa mendengarnya sendiri. Raka meraih ponselnya dengan tangan gemetar, mencoba menyalakan senter.
“Sial! Tidak ada sinyal!” bisiknya panik.
Pak Herman berusaha meraba-raba di dinding, mencari saklar atau pegangan yang bisa digunakan untuk membuka pintu. Namun, yang ia rasakan hanyalah dinding dingin dan lembab.
Dina menelan ludah. “Kita harus tetap tenang. Kita sudah sejauh ini, kita tidak boleh panik.”
Dari atas, langkah kaki terdengar semakin mendekat. Suara itu perlahan berubah menjadi seretan. Seperti sesuatu yang berat sedang digeser melintasi lantai kayu di atas mereka.
“Siapa pun itu, dia tahu kita ada di sini,” bisik Raka, suaranya penuh ketakutan.
Tiba-tiba, suara keras menggema di ruang bawah tanah, seolah ada sesuatu yang jatuh dari langit-langit. Senter ponsel Raka menerangi sudut ruangan. Di sana, mereka melihat sesuatu yang membuat tubuh mereka membeku.
Sebuah tangan pucat mencuat dari balik peti tua, jari-jarinya kaku dan terlihat seperti membiru. Dina merasakan tenggorokannya tercekat.
Pak Herman menarik mereka ke belakang. “Kita harus keluar dari sini sekarang juga!”
Dina menguatkan dirinya dan mendekati peti itu dengan senter. Ia bisa melihat bahwa tangan itu berasal dari sesosok tubuh yang terjebak di dalam peti. Tubuh yang sudah lama membusuk.
“Ini… Hasan Surya?” gumam Dina.
Raka berusaha membuka peti lebih lebar, dan mereka melihat wajah yang sudah hampir hancur, tetapi masih cukup jelas untuk dikenali dari foto-foto lama. Hasan Surya tidak pernah kabur dari kota ini. Ia dibunuh dan disembunyikan di rumahnya sendiri.
“Jadi ini yang mereka tutupi selama ini…” bisik Pak Herman. “Hasan tidak menyerahkan Surya kepada mereka. Dia yang disingkirkan.”
Namun sebelum mereka bisa mencerna lebih jauh, suara dari atas berubah menjadi hentakan keras, seolah seseorang—atau sesuatu—sedang berusaha masuk ke ruang bawah tanah.
“Kita harus menemukan jalan keluar lain!” seru Raka panik.
Dina mengamati sekeliling dengan senter. “Dinding ini, ada sesuatu yang aneh dengan bagian belakangnya!” Ia mengetuknya dan suara kosong terdengar.
Pak Herman bergegas mendekat. “Bantu aku mendorongnya!”
Mereka bertiga mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong dinding kayu tersebut. Perlahan, panel kayu itu bergeser, membuka sebuah lorong gelap yang menuju ke bawah tanah lebih dalam.
“Ini satu-satunya jalan kita,” kata Dina. “Ayo sebelum mereka menemukan kita!”
Mereka bertiga masuk ke dalam lorong sempit itu, menutup panel di belakang mereka. Gelap pekat menyelimuti, dan hawa lembab semakin menusuk. Dengan hanya cahaya senter ponsel sebagai penerangan, mereka berjalan menyusuri lorong yang sepertinya sudah lama tidak digunakan.
Di ujung lorong, mereka menemukan tangga batu yang menurun. Raka menelan ludah. “Ke mana ini mengarah?”
Pak Herman memeriksa dinding sekeliling. “Sepertinya lorong ini sudah ada sejak lama. Bisa jadi ini jalan rahasia yang digunakan Hasan.”
Mereka menuruni tangga dengan hati-hati. Suara dari ruang bawah tanah masih samar-samar terdengar dari kejauhan, membuat mereka semakin ingin menjauh.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang lebih luas. Dindingnya dipenuhi rak-rak kayu tua, dan di tengahnya ada meja besar dengan berbagai dokumen berdebu. Dina mengambil salah satu kertas dan membacanya.
“Ini bukti… semua transaksi, semua catatan gelap yang dilakukan orang-orang di kota ini. Hasan Surya mengumpulkan semuanya!”
Pak Herman menyipitkan mata, membaca salah satu dokumen. “Jadi ini alasan dia dibunuh. Dia tahu terlalu banyak.”
Tiba-tiba, suara dari belakang mereka membuat tubuh mereka menegang.
“Dan sekarang, kalian tahu terlalu banyak juga.”
Mereka berbalik dengan cepat, melihat siluet seseorang berdiri di ujung ruangan dengan senter menyala. Sosok itu perlahan melangkah maju, memperlihatkan wajahnya. Wajah yang tidak asing bagi Pak Herman.
“Pak Rudi…?” Pak Herman bergumam tak percaya.
Pria itu tersenyum tipis, namun matanya tajam penuh ancaman. “Aku sudah memperingatkan kalian. Tapi kalian tidak mendengarkan.”
Dina mundur selangkah. “Apa yang terjadi di kota ini? Siapa yang membunuh Hasan Surya?”
Pak Rudi menghela napas. “Hasan melakukan kesalahan. Dia menggali sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Sama seperti kalian sekarang.”
Raka mengepalkan tangannya. “Jadi kau juga bagian dari mereka?”
Pak Rudi menatap mereka dingin. “Aku hanya menjalankan tugasku. Sama seperti orang-orang sebelumku. Sama seperti orang-orang setelahku. Kota ini sudah dikendalikan sejak lama, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.”
Pak Herman melangkah maju. “Kami bisa membawa semua ini ke polisi. Semua bukti ini cukup untuk—”
“Polisi?” Pak Rudi tertawa sinis. “Mereka bekerja untuk kami. Tidak ada yang akan percaya pada cerita kalian. Dan kalian tidak akan pernah keluar dari tempat ini.”
Dina menatap Raka dan Pak Herman. Mereka harus segera bertindak.
“Lari!” teriak Dina.
Mereka bertiga berhamburan menuju pintu di sisi lain ruangan, sementara Pak Rudi berusaha menghalangi mereka. Raka dengan cepat mendorong rak kayu hingga roboh, membuat Pak Rudi kehilangan keseimbangan.
Mereka menemukan pintu tua dan mendorongnya sekuat tenaga. Di baliknya, ada tangga menuju ke atas. Mereka bergegas menaikinya, mendengar suara Pak Rudi yang berteriak marah di belakang mereka.
Ketika mereka mencapai pintu di ujung tangga, Dina memutar kenopnya dan mendorongnya. Pintu terbuka, dan mereka keluar ke sebuah gang di belakang rumah Surya.
Mereka akhirnya berhasil melarikan diri.
Namun, mereka tahu ini belum selesai.
Mereka sudah menggali terlalu dalam, dan orang-orang yang mengendalikan kota ini tidak akan tinggal diam.*
Bab 10: Pelarian Terakhir
Dina, Raka, dan Pak Herman berlari menyusuri gang sempit di belakang rumah Surya. Nafas mereka terengah-engah, dan tubuh mereka masih dipenuhi debu dari ruang bawah tanah yang baru saja mereka tinggalkan. Pak Rudi dan orang-orangnya pasti masih mengejar mereka. Tidak ada waktu untuk berhenti.
“Kita harus segera ke tempat yang aman!” seru Pak Herman, sambil terus berlari.
“Tapi ke mana?” Dina melihat ke belakang, memastikan mereka tidak diikuti. Jalanan sepi, tetapi perasaan diawasi tak kunjung hilang.
Raka berpikir cepat. “Ke rumah Pak Herman! Kita bisa berlindung di sana dan mencari cara untuk membawa bukti ini ke orang yang bisa dipercaya.”
Pak Herman menggeleng. “Rumahku bukan tempat yang aman. Mereka pasti sudah memperhitungkan itu.”
Dina menggigit bibirnya. Mereka kehabisan pilihan. Satu-satunya tempat yang terpikirkan olehnya adalah kantor polisi, tapi setelah mendengar pernyataan Pak Rudi bahwa mereka sudah mengendalikan aparat hukum, itu bukan pilihan yang bijak.
Tiba-tiba, Raka berhenti dan menunjuk ke sebuah bangunan tua di ujung gang. “Kita bisa bersembunyi di sana sementara waktu!”
Tanpa ragu, mereka bergegas masuk ke dalam bangunan itu. Ruangan di dalamnya kosong dan gelap, namun cukup untuk membuat mereka tidak terlihat dari luar.
Mereka duduk terengah-engah, mencoba mengatur nafas. Dina mengeluarkan buku catatan yang mereka temukan di rumah Surya. “Kita harus mencari cara untuk mengungkap semua ini. Hasan Surya dibunuh karena tahu terlalu banyak, dan sekarang kita juga dalam bahaya.”
Pak Herman menatap Dina dengan serius. “Masih ada satu orang yang mungkin bisa membantu kita.”
“Siapa?” tanya Raka.
“Pak Fadli. Dia mantan kepala polisi yang pernah bekerja sebelum kelompok ini mengambil alih. Dia tinggal di luar kota sekarang, tetapi aku masih punya kontaknya.”
Dina dan Raka saling berpandangan. Ini mungkin satu-satunya harapan mereka. “Bagaimana kita bisa ke sana?”
“Kita harus keluar dari kota malam ini juga,” kata Pak Herman. “Jika kita tetap di sini, mereka pasti akan menemukan kita.”
Mereka sepakat untuk bergerak secepatnya. Keluar dari bangunan, mereka menuju ke garasi tempat Pak Herman menyimpan mobil tuanya. Meski mesin mobil itu tua dan berbunyi nyaring saat dihidupkan, ini adalah satu-satunya kendaraan yang mereka miliki.
Saat mereka mulai berkendara keluar kota, ketegangan semakin meningkat. Jalanan sepi, hanya diterangi lampu jalan yang redup. Tapi ketenangan itu pecah saat sebuah mobil hitam mulai mengikuti mereka dari belakang.
“Mereka menemukan kita!” seru Raka.
Dina melihat ke kaca spion, mobil itu semakin mendekat. “Apa yang harus kita lakukan?”
Pak Herman menggertakkan giginya. “Kita tidak bisa melawan mereka. Kita harus membuat mereka kehilangan jejak.”
Dengan cepat, Pak Herman membelokkan mobil ke jalan kecil yang lebih sepi. Mobil mereka melaju dengan kecepatan tinggi, melewati persimpangan demi persimpangan, mencoba menghindari pengejar mereka.
Namun, mobil hitam itu tetap mengikuti. Bahkan semakin mendekat.
Raka menggertakkan giginya. “Mereka terlalu cepat! Kita harus melakukan sesuatu.”
Dina melihat sekilas peta di ponselnya. “Di depan ada jalan berbatu yang mengarah ke area perbukitan. Jika kita bisa masuk ke sana, mereka akan kesulitan mengejar dengan mobil mereka.”
Pak Herman segera membelokkan mobil menuju jalan berbatu tersebut. Ban mobil berguncang hebat saat melintasi jalan tak rata, namun mobil hitam di belakang mereka mulai melambat.
Setelah beberapa menit menempuh jalan yang sulit itu, akhirnya mobil hitam menghilang dari pandangan. Pak Herman menarik napas lega. “Kita berhasil…”
Mereka terus berkendara menuju luar kota. Setelah beberapa jam, mereka tiba di sebuah rumah kecil di pinggiran desa. Pak Herman mengetuk pintu dengan cepat, dan seorang pria paruh baya dengan wajah lelah membuka pintu. Matanya melebar saat melihat siapa yang datang.
“Herman?”
“Kita butuh bantuanmu, Fadli.”
Pak Fadli mengamati mereka bertiga sebelum mengangguk dan membuka pintu lebih lebar. “Cepat masuk. Ceritakan semuanya.”
Setelah masuk, mereka duduk di ruang tamu. Dina memberikan semua dokumen yang mereka bawa, dan Pak Fadli membacanya dengan saksama. Wajahnya semakin serius setiap kali ia membalik halaman.
“Aku sudah lama menduga bahwa kelompok ini masih beroperasi,” gumamnya. “Tapi aku tidak pernah punya cukup bukti untuk membuktikan keterlibatan mereka.”
“Sekarang kita punya,” kata Dina. “Tapi kita tidak tahu siapa yang bisa dipercaya.”
Pak Fadli menghela napas. “Aku masih punya beberapa kontak di kepolisian pusat yang belum terpengaruh oleh mereka. Jika kita bisa membawa bukti ini ke sana, kita punya kesempatan untuk menjatuhkan mereka.”
“Tapi bagaimana caranya? Mereka pasti akan mencoba menghentikan kita,” kata Raka.
Pak Fadli tersenyum tipis. “Aku tahu jalan pintas menuju kota berikutnya tanpa melewati pos pemeriksaan utama. Tapi kita harus segera pergi sebelum mereka menemukan kita.”
Tanpa membuang waktu, mereka kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju kota berikutnya. Perjalanan ini menentukan segalanya.
Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, Dina merasa harapan mulai muncul kembali. Mereka mungkin sudah menggali terlalu dalam, tetapi mereka juga semakin dekat untuk mengungkap kebenaran yang selama ini dikubur.
Namun, pertanyaannya sekarang adalah: apakah mereka akan berhasil? Atau apakah mereka akan menjadi korban berikutnya?
——-THE END——-