• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
TERTAWA DI BALIK KACA JENDELA

TERTAWA DI BALIK KACA JENDELA

February 12, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
TERTAWA DI BALIK KACA JENDELA

TERTAWA DI BALIK KACA JENDELA

by MABUMI
February 12, 2025
in Komedi, Romantic
Reading Time: 19 mins read

Bab 1: Suara yang Menarik Perhatian

Ardi baru saja pindah ke sebuah kota kecil yang terletak di ujung jalan setapak. Kota yang dulunya sepi kini mulai ramai dengan pendatang baru. Ia datang ke kota ini untuk mencari suasana baru, setelah merasa jenuh dengan hiruk-pikuk kehidupan di kota besar. Segala yang ada di kota kecil itu terasa baru dan segar baginya. Namun, ada satu hal yang selalu menarik perhatiannya setiap kali ia melintas di jalan utama. Sebuah rumah tua di ujung jalan yang terlihat usang dan sederhana, namun selalu menyimpan sebuah keajaiban—suara tawa yang riang yang berasal dari balik kaca jendela rumah itu.

Suara tawa yang khas dan berulang-ulang itu seakan menjadi magnet yang menarik perhatian Ardi. Setiap kali ia lewat, meskipun ia belum pernah memasuki rumah itu, tawa yang datang dari dalam rumah selalu terdengar begitu jelas. Tawa yang penuh keceriaan dan kebahagiaan, seolah mengajak Ardi untuk bergabung dalam kegembiraan yang terjadi di dalamnya. Suara itu tidak seperti tawa orang yang hanya sedang bercanda, tetapi lebih seperti tawa yang berasal dari kebersamaan, dari seseorang yang sedang merayakan hidup.

Pagi itu, Ardi berjalan lagi melewati jalan yang sama, dan lagi-lagi suara tawa itu menyambutnya. Ia berhenti sejenak di depan rumah, menatap rumah tua itu dengan rasa ingin tahu. Ia tidak bisa lagi menahan rasa penasaran yang sudah beberapa hari ini mengganggu pikirannya. “Siapa yang bisa tertawa sebanyak itu?” pikirnya dalam hati. Suara itu terdengar dari dalam rumah yang tampak sepi, dengan jendela yang terhalang debu dan cat tembok yang mulai pudar dimakan waktu.

Tangan Ardi terangkat secara otomatis, dan tanpa pikir panjang, ia mengetuk pintu rumah itu. Ternyata, meskipun rumah itu terlihat sepi, suara tawa yang datang dari dalam tetap tidak berhenti. Beberapa detik kemudian, pintu rumah terbuka dengan suara berderit pelan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang sudah mulai memutih muncul di hadapannya, tersenyum lebar seakan tidak ada masalah yang perlu dipikirkan. Senyum itu bukan senyum yang terpaksa, tetapi senyum yang tulus, penuh kehangatan.

“Selamat sore, Nak! Ada yang bisa Ibu bantu?” tanya wanita itu dengan suara lembut namun ceria. Ardi yang sedikit terkejut langsung mengangguk dan tersenyum kikuk.

“Selamat sore, Bu. Nama saya Ardi, baru pindah ke sini. Saya hanya ingin tahu, Ibu tinggal di sini sendirian?” tanya Ardi, masih merasa sedikit canggung dengan situasi yang tak terduga ini.

Wanita itu tertawa ringan, suara tawanya semakin menenangkan Ardi. “Oh, tidak! Saya tidak sendirian. Saya tinggal di sini dengan teman-teman saya. Mereka semua ada di dalam. Ayo masuk, Nak! Kami sedang membuat kue dan berbicara. Pasti kamu akan suka.”

Ardi merasa bingung, namun rasa penasaran yang semakin besar membuatnya mengikuti ajakan wanita itu. Ia memasuki rumah yang tampak lebih besar dari luar. Begitu langkahnya melangkah masuk, Ardi merasa seperti memasuki dunia lain yang penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Di dalam, suasananya tidak seperti rumah tua yang biasanya sunyi. Di ruang tamu yang hangat, ada beberapa orang yang sedang duduk mengelilingi meja kecil dengan secangkir kopi dan kue-kue yang baru dipanggang.

“Selamat datang, Nak! Kenalkan, ini teman-teman saya. Ada Pak Jono yang selalu punya cerita lucu, Bu Eni yang pandai membuat kue, dan tentu saja, si kecil Fina yang selalu punya kejutan,” kata wanita itu, yang kemudian diperkenalkan sebagai Bu Nia.

Pak Jono, seorang pria tua dengan rambut putih yang rapi, mengangguk sambil tersenyum lebar. “Ini Fina, si pemberi kejutan,” katanya sambil menunjuk seorang gadis kecil yang duduk di samping meja, yang tertawa dengan ceria.

Ardi yang tadinya canggung mulai merasa nyaman dengan sambutan hangat mereka. Mereka semua mulai bercanda, tertawa, dan berbagi cerita yang membuat Ardi merasa seperti berada di rumah sendiri. Suasana yang riang dan penuh keceriaan itu sangat berbeda dengan kesibukan yang biasa ia rasakan di kota besar. Di sini, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dan tawa itu mengisi setiap sudut rumah.

Tawa Pak Jono yang selalu mengiringi cerita-cerita konyolnya membuat Ardi tak bisa menahan senyum. “Dulu, waktu muda saya, saya pernah tertangkap basah sedang menyanyi di tengah malam,” kata Pak Jono, yang membuat semua orang tertawa. Cerita-cerita ringan yang dibagikan oleh mereka membuat Ardi merasa semakin dekat dengan orang-orang ini, meski ia baru pertama kali bertemu.

Tawa mereka bukan tawa kosong, tetapi tawa yang muncul dari kebersamaan. Ardi merasa seolah ia sudah lama mengenal mereka. Ada sesuatu yang berbeda di rumah ini. Meski rumah ini tampak sederhana dan jauh dari kesan modern, tapi ada kehangatan yang membuat Ardi merasa diterima. Ada perasaan aman yang langka di dunia luar yang penuh kesibukan.

“Kenapa kalian selalu tertawa di sini?” tanya Ardi, setelah beberapa lama ikut tertawa bersama mereka.

Bu Nia tersenyum lembut, mata penuh kehangatan. “Karena hidup ini terlalu berharga untuk dilewatkan tanpa tawa, Nak. Kami semua memiliki cerita dan kenangan yang kadang menyakitkan, tapi tawa adalah cara kami untuk melupakan dan menikmati hidup. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk tertawa.”

Ardi terdiam, merenungkan kata-kata itu. Ia mulai menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk memikirkan hal-hal besar, mencemaskan masa depan, dan berusaha mengontrol setiap bagian dari hidupnya. Di sini, di balik kaca jendela rumah tua yang sederhana, ia merasa ada kebahagiaan yang begitu sederhana namun berarti. Ia tidak perlu menjadi sempurna untuk menikmati hidup. Tawa mereka mengajarkan Ardi bahwa hidup ini bisa lebih ringan jika kita belajar untuk tidak terlalu serius dan menikmati setiap momen yang ada.

Malam itu, setelah beberapa jam bersama mereka, Ardi merasa seperti menemukan dunia baru. Ia berpamitan dengan Bu Nia dan teman-temannya, dengan janji untuk datang lagi. Ia pulang dengan perasaan lebih ringan, hatinya terasa hangat, dan tawa yang ia dengar ta

di masih terngiang di telinganya.

Bab 2: Pertemuan Pertama

Ardi tidak bisa berhenti memikirkan rumah tua yang ia kunjungi beberapa hari lalu. Suara tawa yang riang dari dalam rumah itu terus bergema di kepalanya, bahkan setelah ia pulang dan kembali ke rutinitas sehari-hari. Setiap kali ia melewati rumah itu, ia merasakan semacam dorongan untuk kembali dan merasakan kebahagiaan yang mengalir begitu alami dari orang-orang di sana. Tawa mereka yang tulus, penuh kehangatan, seolah mengundang Ardi untuk lebih mengenal mereka.

Sejak kunjungan pertamanya, Ardi merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Di kota besar yang sibuk, ia terbiasa dengan kesepian yang mengintai di tengah keramaian. Teman-teman yang sibuk dengan urusan masing-masing, kehidupan yang dipenuhi dengan pekerjaan, dan sedikitnya momen untuk menikmati kebersamaan yang sebenarnya. Rumah itu memberi Ardi rasa yang berbeda—sesuatu yang lebih sederhana, namun jauh lebih mengena.

Pada sore itu, Ardi merasa gelisah. Ia sudah beberapa hari tidak mendatangi rumah itu lagi, dan rasanya ada yang kurang. Keinginan untuk tahu lebih banyak tentang orang-orang di dalamnya semakin kuat. Ia pun memutuskan untuk kembali. “Mungkin ini saat yang tepat untuk mengenal mereka lebih dekat,” pikirnya.

Begitu ia sampai di depan rumah, tawa yang sama terdengar lagi. Kali ini, ia tidak merasa canggung lagi. Ardi mengetuk pintu dengan lebih percaya diri, berharap dapat berbicara lebih lama dengan mereka. Begitu pintu terbuka, Bu Nia muncul dengan senyum cerahnya, seperti yang pertama kali ia temui.

“Ah, Ardi! Senang sekali kamu datang lagi. Masuk, masuk! Hari ini ada banyak cerita seru!” seru Bu Nia dengan penuh semangat, mengundang Ardi masuk.

Di dalam rumah, suasana masih tetap sama—hangat, penuh tawa, dan penuh keceriaan. Pak Jono sudah duduk di kursi kayu dengan secangkir teh hangat, sementara Bu Eni sedang sibuk di dapur, mengaduk adonan untuk membuat kue. Fina, gadis kecil yang ceria, sedang berlari-lari kecil sambil tertawa bahagia. Begitu Ardi melangkah masuk, Fina langsung berlari ke arahnya dan memeluk kakinya.

“Selamat datang, Kak Ardi!” kata Fina sambil tertawa riang, membuat Ardi tersenyum.

“Wah, terima kasih Fina. Semangat sekali ya!” jawab Ardi, sedikit terkejut dengan sambutannya yang begitu hangat.

“Mari duduk, Nak. Pak Jono baru saja menceritakan cerita lucu tentang masa mudanya,” kata Bu Nia sambil mempersilakan Ardi duduk di kursi yang kosong.

Ardi duduk dan mulai bergabung dalam percakapan. Pak Jono melanjutkan ceritanya tentang bagaimana ia suatu waktu terjebak dalam sebuah situasi konyol saat masih muda, di mana ia tanpa sengaja mengenakan pakaian yang salah ke sebuah pertemuan penting. Cerita itu begitu menggelikan hingga semua orang tertawa terbahak-bahak. Ardi, yang awalnya agak canggung, tak bisa menahan diri dan ikut tertawa. Meski tidak terlalu mengenal Pak Jono, ia merasa seolah sudah lama berada di sini, dalam kebersamaan yang begitu nyaman.

Saat cerita mulai melambat, Bu Eni membawa kue-kue yang baru dipanggang dan menaruhnya di meja. “Ini kue tradisional, Ardi. Kalau kamu suka, bisa bawa pulang,” kata Bu Eni sambil tersenyum ramah.

Ardi mencoba sepotong, dan rasanya luar biasa. Kue itu lembut, manis, dan penuh cita rasa yang mengingatkannya pada masa kecilnya, saat ia sering menikmati kue buatan neneknya di rumah. Rasanya begitu menghangatkan hati.

“Wah, enak sekali, Bu Eni! Terima kasih!” kata Ardi dengan antusias, yang membuat Bu Eni tersenyum bangga.

“Senang kamu suka, Nak. Di sini, setiap orang bisa merasa seperti keluarga,” jawab Bu Eni dengan lembut.

Setelah makan, percakapan kembali mengalir. Kali ini, Ardi mulai merasa lebih terbuka. Ia mulai bercerita tentang dirinya—tentang bagaimana ia pindah ke kota ini untuk mencari suasana baru setelah merasa jenuh dengan rutinitas di kota besar. Ia menceritakan tentang pekerjaannya, tentang bagaimana ia merasa kesepian meskipun dikelilingi oleh banyak orang.

Pak Jono mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan nada penuh humor, ia berkata, “Jangan khawatir, Nak. Kamu sudah berada di tempat yang tepat. Di sini, kita semua saling mendukung. Tawa itu penting, karena setiap tawa membawa energi positif, dan kamu pasti akan menemukannya di sini.”

Ardi tersenyum, sedikit merasa lebih ringan setelah mendengar kata-kata itu. Fina kemudian menyela percakapan dengan menunjuk ke luar jendela. “Lihat, Kak Ardi! Burung itu terbang!” serunya ceria.

Ardi menoleh ke luar jendela dan melihat burung-burung terbang di langit senja. Suasana yang damai itu semakin membuatnya merasa nyaman. Ia tidak merasa seperti orang asing lagi. Meski baru beberapa kali bertemu, ia merasa seperti bagian dari keluarga baru ini.

Setelah beberapa waktu, Ardi berpamitan untuk pulang. Bu Nia mengantarnya sampai pintu dengan senyum lebar. “Jangan ragu untuk datang lagi, Nak. Kami selalu ada di sini untuk kamu.”

Ardi mengangguk, merasa hangat dengan sambutan yang tulus. “Terima kasih, Bu Nia. Saya senang bisa bertemu dengan kalian semua. Ini benar-benar pengalaman yang luar biasa.”

Sesampainya di rumah, Ardi merasa hatinya penuh kebahagiaan. Walaupun kota ini kecil, ia mulai merasa bahwa ia telah menemukan sesuatu yang sangat berarti. Tawa yang ia dengar di balik kaca jendela itu bukan hanya suara kebahagiaan, tapi juga sebuah tanda bahwa hidup tidak perlu terlalu serius. Di sana, di rumah sederhana itu, ia belajar untuk menikmati hidup dengan cara yang lebih ringan dan penuh tawa.

Bab 3: Dunia di Balik Kaca

Hari-hari berlalu, dan Ardi semakin sering mengunjungi rumah Bu Nia. Setiap kali ia datang, suasana di dalam rumah itu selalu mengundang tawa dan kebahagiaan. Tawa yang tidak hanya mengisi udara, tetapi juga menyentuh hati, membuat Ardi merasa lebih ringan dan lebih bahagia. Di rumah itu, Ardi menemukan dunia yang berbeda dari yang ia kenal. Dunia yang dipenuhi dengan kebersamaan, tawa, dan kehangatan yang jarang ia temui di kota besar tempat ia tinggal sebelumnya.

Setiap kali ia berkunjung, ia selalu disambut dengan senyum lebar Bu Nia, cerita lucu dari Pak Jono, dan kejutan-kejutan kecil dari Fina. Bu Eni yang selalu sibuk di dapur dengan kue-kue lezatnya juga menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana itu. Ardi merasa semakin nyaman berada di antara mereka. Mereka tidak hanya menyambutnya sebagai tamu, tetapi juga sebagai bagian dari keluarga mereka yang besar.

Hari itu, seperti biasa, Ardi datang untuk menghabiskan sore bersama mereka. Begitu masuk ke dalam rumah, Ardi langsung disambut oleh suara tawa riang dari Pak Jono, yang sedang menceritakan cerita lucu tentang pengalamannya saat menjadi guru. Semua orang tampak terbahak-bahak mendengarnya, dan Ardi yang baru masuk pun tak bisa menahan diri untuk ikut tertawa. Tawa itu begitu menular, seolah-olah semua masalah dalam hidupnya menguap begitu saja.

Pak Jono bercerita, “Dulu, waktu saya masih muda, saya pernah memberikan ujian kepada murid-murid saya. Salah satu dari mereka menjawab soal matematika dengan cara yang paling konyol yang pernah saya lihat. Alih-alih menjawab dengan rumus yang benar, dia malah menulis, ‘Karena X, maka jawabannya adalah Nasi Goreng!’” Semua orang pun tertawa terbahak-bahak, dan Ardi merasa seperti tak ada beban di dunia ini.

Setelah cerita itu selesai, Bu Nia mengajak Ardi untuk duduk di meja makan. “Hari ini aku buatkan minuman khas, Nak. Coba deh, rasakan, ini teh herbal yang bisa buat tenang,” kata Bu Nia sambil menyuguhkan secangkir teh hangat. Ardi mengambil cangkir itu dan mencium aromanya yang menenangkan.

“Wah, enak sekali, Bu Nia. Rasanya bisa buat kepala jadi lebih ringan,” kata Ardi sambil menyesap teh itu perlahan.

Bu Eni yang mendengar pujian itu tersenyum bangga. “Teh ini bisa meredakan stres dan membantu pikiran jadi lebih jernih. Di sini, kita selalu percaya bahwa yang terbaik untuk tubuh adalah yang alami dan penuh perhatian,” ujarnya.

Ardi mengangguk, merenungkan kata-kata Bu Eni. Ia merasa seperti menemukan tempat yang benar-benar berbeda dari kehidupannya yang dulu. Di sini, mereka hidup dengan cara yang lebih sederhana, namun penuh makna. Tawa, makanan, dan kebersamaan adalah hal-hal yang mereka hargai. Setiap pertemuan menjadi lebih dari sekadar kumpul-kumpul biasa—itu adalah cara mereka untuk merayakan hidup, untuk merasakan kebahagiaan meskipun dalam kesederhanaan.

“Kenapa kalian selalu bisa tertawa, meskipun hidup kalian tidak mudah?” Ardi tiba-tiba bertanya, membuka perasaan yang selama ini terpendam. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar cerita-cerita lucu dan kebahagiaan yang tampak di luar. Ardi merasa bahwa di balik tawa itu pasti ada pengalaman hidup yang mendalam, yang membuat mereka bisa tetap tersenyum.

Pak Jono berhenti sejenak, menatap Ardi dengan serius namun tetap dengan senyum di wajahnya. “Tawa itu bukan hanya tentang lelucon, Nak. Tawa adalah cara kami untuk tetap bertahan, untuk menemukan cahaya meskipun dalam kegelapan. Hidup ini memang penuh dengan ujian, namun kita memilih untuk tidak terjebak dalam kesedihan. Kita memilih untuk tertawa dan menikmati hidup, karena kita tahu bahwa tawa itu adalah kekuatan yang bisa menyembuhkan.”

Ardi terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Pak Jono. Ia mulai menyadari bahwa tawa yang ia dengar setiap kali datang ke rumah itu bukan hanya sekadar suara kebahagiaan. Itu adalah simbol dari kekuatan mereka untuk menghadapinya, untuk bertahan, dan untuk saling mendukung.

Fina, yang sejak tadi duduk di samping meja sambil menggambar, tiba-tiba mengangkat kepala dan berkata, “Aku punya cerita, Kak Ardi!” Fina mengerutkan keningnya, seolah-olah serius sekali. Semua orang menoleh dan menunggu cerita dari Fina.

“Ada seekor kucing yang sangat pemalu, tapi setiap kali ia mendengar suara tawa, ia merasa lebih berani. Suatu hari, dia mengikuti suara tawa itu dan akhirnya menemukan teman-teman baru. Mereka bermain bersama setiap hari, dan kucing itu tak lagi takut,” kata Fina dengan ekspresi serius, lalu tertawa kecil.

Semua orang pun tertawa mendengar cerita lucu dari Fina yang polos dan menggemaskan. Ardi merasa terharu. Cerita itu, meskipun sederhana, memiliki makna yang mendalam. Tawa, seperti yang dia dengar dari semua orang di rumah ini, adalah sesuatu yang membawa orang lebih dekat satu sama lain. Itu adalah kekuatan untuk mengatasi rasa takut dan kecemasan, untuk menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun.

Setelah beberapa lama, suasana kembali menjadi lebih santai. Ardi merasa semakin nyaman, merasa seolah-olah ia tidak lagi menjadi orang luar di sini. Di balik kaca jendela rumah tua itu, ia menemukan dunia yang penuh dengan tawa, kebersamaan, dan cinta yang tulus. Ardi sadar, hidupnya yang penuh dengan rutinitas dan tekanan kini terasa lebih ringan setiap kali ia datang ke rumah itu.

Ardi pun berjanji pada dirinya sendiri untuk datang lagi. Ia tahu bahwa setiap kunjungan ke rumah itu memberikan sesuatu yang berharga—tawa yang menyembuhkan dan kebahagiaan yang sejati. Di sini, Ardi belajar untuk lebih menghargai kebahagiaan yang datang dari hal-hal sederhana dan untuk tidak terlalu serius dalam menghadapi hidup. Ia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya, seolah-olah rumah itu adalah tempat di mana ia bisa menemukan kedamaian di tengah hiruk-pikuk dunia luar.

Bab 4: Membuka Mata

Ardi semakin sering mengunjungi rumah Bu Nia. Setiap kunjungan memberikan perasaan yang berbeda—sesuatu yang lebih ringan dan penuh kedamaian. Di luar sana, di tengah kota yang sibuk, ia merasa seolah-olah berlarian mengejar waktu, tetapi di sini, di rumah itu, ia menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar pencapaian atau kesibukan. Di sini, ia menemukan ketenangan, kebersamaan, dan—yang terpenting—rasa syukur.

Suatu sore, setelah sebuah minggu yang penuh dengan rapat dan deadline yang menumpuk, Ardi datang ke rumah Bu Nia dengan langkah yang agak lelah. Begitu memasuki rumah itu, aroma teh herbal yang menenangkan langsung menyambutnya. Bu Nia yang sedang duduk di ruang tamu mengangguk ke arahnya, memberi tanda untuk duduk.

“Sepertinya hari ini cukup melelahkan, ya, Nak?” kata Bu Nia dengan penuh pengertian.

Ardi hanya mengangguk, duduk di kursi yang sudah tersedia. Ia merasa lelah, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa nyaman begitu berada di sini, di rumah yang hangat ini. Pak Jono sedang asyik bercerita dengan suara keras, diikuti dengan tawa lebar dari Fina yang sedang bermain dengan mainan boneka.

“Cerita Pak Jono kali ini pasti lucu, ya?” Ardi berkata, mencoba untuk meresapi suasana yang penuh tawa itu.

Bu Nia tersenyum. “Pak Jono selalu punya cara untuk membuat kita tertawa. Ini yang dia lakukan setiap hari—membuat hari-hari yang biasa menjadi luar biasa dengan canda dan tawa.”

Ardi mengamati Pak Jono yang sedang bercerita dengan ekspresif, membuat Fina dan Bu Eni tertawa terbahak-bahak. Di balik canda itu, Ardi mulai menyadari satu hal yang selama ini ia lupakan dalam hidupnya: kebahagiaan bukan hanya datang dari pencapaian atau materi, tetapi dari cara kita melihat hidup—dari cara kita menghargai hal-hal kecil yang ada di sekitar kita.

Setelah beberapa lama, Pak Jono berhenti bercerita dan berpaling ke Ardi. “Nak, kamu kelihatan seperti membutuhkan sedikit istirahat. Kenapa nggak duduk sebentar dan nikmati suasana di sini? Kami selalu siap menemani.”

Ardi terdiam. Kata-kata Pak Jono seperti menyentuh hatinya. Di tempat kerja, ia selalu merasa terburu-buru, selalu ada yang harus dikejar, seperti ada sesuatu yang hilang jika ia tidak mencapai targetnya. Tetapi di sini, di rumah Bu Nia, ia merasa seolah-olah waktu berjalan lebih lambat—lebih bermakna. Mereka tidak sibuk dengan pencapaian, tetapi sibuk dengan kebersamaan.

Ia memutuskan untuk keluar sejenak ke halaman rumah. Langit senja yang indah menambah ketenangan suasana. Di kejauhan, burung-burung terbang kembali ke sarangnya, sementara angin sore berhembus lembut. Ardi duduk di bangku kayu yang terletak di bawah pohon besar di halaman depan, meresapi setiap hembusan angin yang membawa ketenangan.

Tidak lama kemudian, Fina datang mendekat dan duduk di samping Ardi. Gadis kecil itu memandang langit dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Kak Ardi, kamu suka lihat langit juga, kan?” tanya Fina dengan polos.

Ardi tersenyum dan mengangguk. “Iya, Fina. Langit itu indah, ya? Rasanya seperti ada begitu banyak kemungkinan di sana.”

Fina menatap langit beberapa saat, lalu berkata, “Aku suka kalau langit berwarna oranye. Itu artinya ada sesuatu yang baik yang akan datang.”

Ardi tertawa pelan, mendengar perkataan Fina yang mengingatkannya pada cara berpikir anak-anak—tanpa beban, penuh harapan. “Kamu benar, Fina. Kadang kita perlu melihat langit dengan cara yang sederhana seperti itu.”

Tiba-tiba, Pak Jono muncul di halaman dan duduk di samping mereka. “Apa yang kalian bicarakan, Nak?” tanyanya sambil tersenyum.

“Kami sedang berbicara tentang langit, Pak Jono. Fina bilang kalau langit oranye berarti sesuatu yang baik akan datang,” jawab Ardi.

Pak Jono tertawa kecil. “Wah, Fina memang selalu punya cara pandang yang menarik. Kamu tahu, Nak, langit itu sering memberi kita pelajaran yang berharga. Terkadang, kita terlalu sibuk menatap ke bawah, ke masalah yang ada di depan mata kita, sehingga kita lupa untuk melihat ke atas, ke langit yang luas, dan menyadari bahwa hidup ini penuh dengan kemungkinan.”

Ardi terdiam sejenak, meresapi kata-kata Pak Jono. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengubah cara pandangnya. Selama ini, ia terlalu fokus pada masalah dan pekerjaan, terlalu sibuk mengejar target, hingga ia lupa untuk melihat ke sekitar dan merasakan keindahan hidup yang sebenarnya. Di sini, di rumah yang penuh dengan tawa ini, Ardi merasa dia kembali diberi ruang untuk bernapas, untuk menikmati hidup tanpa tekanan.

Pak Jono melanjutkan, “Kehidupan ini seperti langit yang berubah-ubah, Nak. Terkadang mendung, terkadang cerah. Tapi itu semua bagian dari perjalanan. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menikmati setiap saat, meskipun di tengah-tengah awan gelap sekalipun.”

Ardi mengangguk pelan, merenung. Ia mulai merasa ada yang salah dalam cara dia menjalani hidupnya sebelumnya. Ia terlalu terfokus pada hal-hal besar, pada pencapaian yang tampaknya penting, namun ternyata membuatnya jauh dari kebahagiaan sejati. Di rumah ini, Ardi belajar untuk menghargai setiap momen kecil, untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri, dan untuk tidak melupakan arti dari sebuah tawa yang tulus.

Fina yang sedang duduk di sebelah mereka dengan ceria tiba-tiba berkata, “Kak Ardi, kalau langit lagi cerah, kamu harus tertawa keras-keras. Biar awannya ikut senang!”

Ardi tertawa mendengar perkataan Fina. “Baiklah, Fina. Aku akan ingat itu,” jawabnya dengan penuh semangat.

Pak Jono menyengir, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Ayo, Nak, mari kita kembali ke dalam. Terkadang, senyum itu lebih kuat daripada apa pun.”

Ardi berdiri dan mengikuti Pak Jono ke dalam rumah. Di dalam rumah, suasana sudah kembali riuh dengan tawa. Kali ini, Ardi merasa seperti bagian dari mereka—bagian dari kebahagiaan yang sederhana. Ia merasa lebih ringan, lebih bebas, dan lebih siap untuk menghadapi dunia luar dengan cara yang baru. Dengan tawa yang tulus, ia merasa bisa mengatasi segala tantangan yang ada, seperti langit yang tetap indah meski terkadang penuh dengan awan.

Saat itu, Ardi tahu bahwa ia telah menemukan sebuah dunia yang mengajarkannya banyak hal tentang hidup. Sebuah dunia yang penuh dengan tawa dan kebersamaan, yang jauh lebih berarti dari sem

ua kesibukan dan pencapaian yang pernah ia kejar.

Bab 5: Ketika Hati Mulai Tertawa

Hari-hari terus berlalu, dan Ardi merasa semakin terhubung dengan keluarga Bu Nia. Mereka bukan hanya sekedar orang-orang yang ia temui di luar dunia kerjanya, tetapi sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Setiap kali ia datang, selalu ada kebahagiaan yang hangat dan tawa yang mengalir tanpa henti. Di rumah itu, ia belajar lebih banyak tentang makna kebersamaan, tentang arti sejati dari tawa, dan tentang bagaimana kehidupan bisa berjalan lebih ringan jika dijalani dengan hati yang terbuka.

Sore itu, Ardi datang lagi setelah seharian penuh beraktivitas di kantor. Meski tubuhnya lelah, pikirannya justru merasa lebih segar begitu ia melangkah memasuki rumah Bu Nia. Aroma kopi yang sedap dan wangi teh herbal menyambutnya begitu ia melangkah masuk. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Ardi selain duduk santai di ruang tamu ini, ditemani dengan cerita lucu dan kehangatan yang hanya bisa ia rasakan di rumah ini.

Pak Jono sudah duduk dengan santai di kursinya, sementara Fina dan Bu Nia sedang berbicara tentang kejadian lucu di sekolah. Bu Eni, seperti biasa, sibuk di dapur, menyiapkan camilan sore untuk semua orang.

“Ardi, kamu kelihatan lebih segar hari ini. Ada yang istimewa?” tanya Bu Nia sambil memandangnya dengan senyum ramah.

Ardi tersenyum, merasa hangat dengan sambutannya. “Sepertinya ada. Rasanya hari ini bisa lebih ringan karena bisa datang ke sini.”

Pak Jono yang mendengar hal itu langsung tertawa kecil. “Oh, tentu saja! Di sini kita punya resep rahasia untuk membuat semua orang merasa lebih ringan—canda dan tawa! Tidak ada yang bisa mengalahkan itu!”

Ardi hanya tertawa mendengar candaan Pak Jono, tetapi ia merasakannya dengan tulus. Di sini, di rumah ini, memang semua terasa lebih mudah. Semua beban yang biasa menumpuk di kepalanya seakan menguap begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah itu. Kehangatan yang diberikan oleh semua orang, terutama Pak Jono, membuat Ardi merasa diterima apa adanya. Tidak ada tuntutan, tidak ada ekspektasi—hanya tawa dan kebahagiaan.

Fina yang tiba-tiba muncul dengan sebuah boneka baru di tangannya menarik perhatian Ardi. “Kak Ardi, lihat! Ini boneka kucing baru aku. Nama dia Lilo!” kata Fina dengan bangga, menunjukkan boneka kecil yang lucu itu.

Ardi tertawa melihat tingkah Fina yang lucu. “Lilo ya? Bonekanya lucu sekali, Fina. Kamu pasti sangat sayang sama dia.”

Fina mengangguk sambil memeluk bonekanya erat-erat. “Iya, Kak Ardi. Lilo selalu bikin aku tertawa. Kalau aku sedih, dia selalu ngajak aku main dan aku langsung lupa kalau aku lagi sedih.”

Tiba-tiba, Ardi merasa sebuah pencerahan. “Fina, kamu tahu nggak? Kadang kita bisa merasa lebih baik cuma dengan melakukan hal-hal kecil seperti itu. Tertawa, meskipun itu hanya karena boneka, bisa bikin hati kita jadi lebih ringan,” ujar Ardi sambil tersenyum pada Fina.

Fina yang mendengarnya mengangguk dengan serius, lalu berkata, “Betul, Kak Ardi! Jadi aku nggak perlu takut sedih, karena Lilo selalu ada buat bikin aku senang.”

Ardi terdiam, merenung sejenak. Mendengar perkataan Fina yang sederhana namun penuh makna membuat Ardi tersentak. Selama ini, ia sering merasa terbebani oleh hidup, seolah segala sesuatunya harus dilakukan dengan sempurna, tanpa ruang untuk kesalahan atau bahkan untuk tawa. Tetapi di rumah ini, ia mulai melihat bahwa hidup tidak selalu harus begitu serius. Kadang, kebahagiaan datang dari hal-hal yang sederhana—dari tawa, dari kebersamaan, dan dari hal-hal kecil yang membuat hati kita merasa lebih ringan.

Setelah beberapa saat, Bu Nia mengajak Ardi untuk duduk bersama di meja makan. “Ayo, Ardi, cobalah kue yang baru saya buat. Kue ini bisa membantu pikiran lebih jernih,” kata Bu Nia dengan senyum lembut.

Ardi pun duduk dan menikmati kue itu. Rasanya memang enak sekali. “Bu Nia, rasanya luar biasa. Seperti bisa membuat saya lebih tenang,” ujar Ardi sambil tersenyum.

“Ya, memang seperti itu,” jawab Bu Nia. “Kue ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang bagaimana kita menciptakan kebahagiaan dari hal-hal sederhana. Hidup itu tidak harus rumit, Nak. Kita bisa menemukan kebahagiaan dari tawa, dari makanan, atau dari kebersamaan. Semua itu bisa membawa kita pada kedamaian.”

Ardi mendengarkan dengan penuh perhatian. Kata-kata Bu Nia begitu sederhana, namun begitu dalam. Ia merasa seolah-olah sebuah beban yang selama ini ia bawa di dalam hatinya mulai sedikit demi sedikit terangkat. Di sini, di rumah ini, ia mulai belajar bahwa kebahagiaan tidak perlu dicari di tempat yang jauh. Kebahagiaan bisa ditemukan di dalam diri kita, di antara orang-orang yang kita cintai, dan di dalam setiap momen yang kita nikmati.

Saat makan malam tiba, suasana semakin akrab. Fina sibuk bercerita tentang sekolahnya, sementara Pak Jono menceritakan pengalaman lucunya sebagai seorang guru. Semua orang saling bercanda, tertawa bersama, dan Ardi merasa seolah-olah dirinya sudah menjadi bagian dari cerita itu. Tertawa bersama mereka membuatnya merasa lebih ringan, lebih hidup, dan lebih siap menghadapi hari-hari ke depan.

Setelah makan, Ardi duduk sejenak di ruang tamu, mengamati semua orang di sekitarnya. Ia merasa sangat beruntung bisa mengenal mereka, merasa diberkati karena menemukan dunia yang penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Tawa yang bukan hanya sekedar suara, tetapi juga kekuatan untuk terus bertahan, untuk melihat kehidupan dengan cara yang lebih ringan.

Pak Jono yang duduk di samping Ardi tersenyum lebar. “Kamu tahu, Nak, tawa itu bukan hanya tentang hal-hal lucu. Tawa itu tentang bagaimana kita bisa menerima hidup ini apa adanya, bagaimana kita bisa merasa cukup dengan yang ada dan tetap bahagia.”

Ardi menatap Pak Jono, lalu tertawa pelan. “Saya mulai paham, Pak Jono. Tawa itu memang bisa mengubah banyak hal. Saya merasa lebih baik hanya dengan berada di sini.”

Pak Jono menyengir. “Itulah kekuatan tawa, Nak. Kadang kita terlalu keras pada diri sendiri, lupa untuk menikmati momen yang ada. Di sini, kita belajar untuk hidup lebih santai, lebih bahagia.”

Ardi mengangguk, merasa hatinya semakin ringan. Ia tahu bahwa kini, di balik kaca jendela rumah ini, ia telah menemukan lebih dari sekadar tawa. Ia telah menemukan cara untuk melihat hidup dengan mata hati, dengan kebahagiaan yang datang dari hal-hal sederhana. Tawa itu memang bisa mengubah dunia—terutama dunia dalam dirinya.

Bab 6: Pencerahan dalam Canda

Malam itu, suasana di rumah Bu Nia terasa berbeda. Biasanya, setelah makan malam, rumah ini dipenuhi tawa dan cerita lucu yang datang dari mulut Pak Jono, tapi kali ini ada keheningan yang menggelayuti ruangan. Fina yang biasanya riang sudah tertidur lebih awal, dan Bu Nia serta Pak Jono terlihat lebih serius dari biasanya. Ardi duduk di sudut ruang tamu, mencoba membaca suasana, tetapi hatinya sedikit gelisah.

Setelah beberapa menit, Pak Jono yang biasanya tak bisa diam memecah keheningan. “Ardi, kamu tahu nggak, dalam hidup ini ada banyak hal yang tidak kita sadari. Kadang kita merasa lelah dan terjebak dalam rutinitas, padahal kebahagiaan itu ada di depan mata kita, di setiap detik yang kita jalani,” katanya dengan suara rendah.

Ardi menatap Pak Jono, masih tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud. “Apa maksudnya, Pak?” tanyanya pelan.

Pak Jono tersenyum bijak. “Terkadang kita terlalu sibuk mengejar sesuatu yang besar, kita terlalu fokus pada tujuan, sampai-sampai kita lupa menikmati perjalanan itu sendiri. Kita sering kali lupa untuk tertawa, bahkan saat kita berada dalam kesulitan. Padahal, tawa itu bisa jadi obat yang menyembuhkan.”

Ardi terdiam, merasa seperti ada sesuatu yang terlewat dalam hidupnya. Selama ini, ia begitu fokus pada pekerjaan dan kesibukannya. Semua yang ia lakukan rasanya hanya untuk mencapai sesuatu—pencapaian, jabatan, atau mungkin pengakuan. Ia merasa ada yang hilang, tetapi ia tidak tahu apa itu. Di rumah Bu Nia, di tengah tawa dan canda, Ardi merasa seperti ada yang berbeda—sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang tidak bisa ia ukur dengan standar kehidupan modern yang selama ini ia ikuti.

“Jadi, Pak, maksudnya adalah kita harus lebih santai dan menikmati hidup?” tanya Ardi, mulai mengerti sedikit.

Pak Jono mengangguk, lalu beralih menatap Bu Nia. “Iya, Nak. Kadang kita terlalu terbebani dengan apa yang seharusnya kita capai, sehingga kita lupa untuk menikmati hal-hal kecil. Lihat saja di sekitar kita. Setiap momen itu berharga, apalagi kalau kita bisa berbagi tawa.”

Ardi melihat Bu Nia yang tersenyum lembut. Bu Nia tidak berkata apa-apa, tetapi tatapannya penuh makna. Seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun hanya dengan kehadirannya, semua terasa cukup. Ardi merasa nyaman dan tenang berada di sini, di tengah keluarga kecil yang penuh kasih ini.

Kemudian, Bu Nia berbicara dengan suara lembut. “Ardi, kamu sudah cukup keras pada diri sendiri. Kamu sudah berjuang dengan keras untuk segala hal, tetapi jangan lupakan dirimu sendiri. Jangan sampai kamu lupa bahwa hidup ini juga tentang bagaimana kita mencintai diri kita sendiri, bukan hanya tentang apa yang bisa kita capai. Cinta itu bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk diri sendiri.”

Ardi merasa kata-kata Bu Nia menyentuh hatinya. Selama ini, ia merasa tidak pernah cukup. Ia selalu berusaha lebih keras, mencari cara untuk menjadi lebih baik, lebih sukses. Namun, dalam proses itu, ia sering kali melupakan dirinya sendiri. Ia terlalu keras pada diri sendiri, terlalu terfokus pada apa yang belum tercapai. Padahal, ia sadar, kebahagiaan tidak bisa diukur dengan pencapaian semata.

Ia teringat kembali kata-kata Fina beberapa waktu lalu, tentang tawa dan bagaimana hal itu bisa mengubah perasaan. Mungkin memang benar, seperti yang dikatakan oleh Pak Jono dan Bu Nia—kebahagiaan itu ada di dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar, tetapi dari kebersamaan, dari menghargai waktu yang kita miliki, dan dari tawa yang bisa menenangkan hati.

Tanpa sadar, Ardi menghela napas panjang. Ia merasa lebih ringan, seolah sebuah beban yang selama ini menggelayuti dirinya mulai terlepas sedikit demi sedikit. “Terima kasih, Pak, Bu,” katanya, suara pelan namun penuh makna. “Saya rasa saya mulai paham sekarang. Mungkin saya terlalu fokus pada hal-hal besar dan lupa untuk menikmati hidup dengan cara yang sederhana.”

Pak Jono tersenyum. “Begitulah, Nak. Kita terlalu sering terjebak dalam keinginan untuk lebih, padahal hidup ini sudah sempurna dengan caranya sendiri. Kita hanya perlu membuka mata, hati, dan… tentu saja, tertawa.”

Di luar, malam semakin larut. Cahaya dari lampu jalanan menyinari halaman rumah Bu Nia, menciptakan bayangan-bayangan lembut di dinding. Angin malam berhembus perlahan, menambah kesejukan suasana.

Ardi melangkah ke luar rumah, berdiri di halaman yang sepi. Ia mengangkat wajahnya ke langit, menatap bintang-bintang yang tersebar di angkasa. Ia merasa ada kedamaian yang mengalir dalam dirinya. Tidak ada lagi rasa terburu-buru untuk mencapai sesuatu. Tidak ada lagi perasaan kosong yang terus mengganggu pikirannya. Di sini, di tempat yang penuh dengan tawa dan kebahagiaan ini, ia merasa cukup.

Fina tiba-tiba muncul di sampingnya. “Kak Ardi, kenapa diam aja? Ayo, ikut main sama aku! Kita bisa tertawa bareng,” kata Fina sambil menggoyang-goyangkan boneka Lilo di tangannya.

Ardi tertawa kecil, merasa hangat melihat keceriaan Fina. “Baiklah, Fina. Aku ikut kamu,” jawabnya, merasa hatinya semakin ringan.

Malam itu, Ardi tahu bahwa hidupnya mulai berubah. Ia tidak lagi melihat dunia hanya melalui kaca jendela yang tertutup rapat, yang membatasi pandangannya. Ia mulai melihat dunia dengan cara yang baru—dengan mata hati yang terbuka, dengan kesadaran bahwa hidup ini lebih dari sekadar pencapaian dan target.

Ia kembali ke dalam rumah, bergabung dengan mereka yang telah menunggunya. Tawa dan canda kembali mengisi malam itu, mengalir tanpa henti, seperti sebuah aliran yang tak pernah kering. Dan Ardi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasa bahwa hidupnya penuh—penuh dengan tawa, cinta, dan kebahagiaan yang datang dari hal-hal sederhana.

———————–THE END———————

Source: SAHRI JAM ARIF
Tags: kebahagiaankeluargatawa
Previous Post

CINTA DI ANTARA DUA NASI PADANG

Next Post

PUSING PUSING ASMARA

Next Post

PUSING PUSING ASMARA

DI ANTARA DUA WAKTU

DI ANTARA DUA WAKTU

MERTUA VS MENANTU

MERTUA VS MENANTU

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In