Bab 1: Kehadiran yang Tak Terduga
Ardi membuka pintu ruang kerjanya dengan langkah cepat. Setumpuk laporan dan email menunggu untuk diselesaikan, dan rapat dengan klien besar akan dimulai dalam waktu setengah jam. Seperti biasa, Ardi ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Ia duduk di mejanya, menyusun dokumen dengan rapi, dan membuka laptop untuk memeriksa presentasi yang sudah disiapkan semalaman. Semua harus sempurna. Ini adalah kesempatan besar, dan dia tidak bisa membiarkan apapun mengganggu rencananya.
Namun, di saat yang sama, ponselnya bergetar. Ardi melihat layar dan mendapati pesan dari klien yang akan datang. Mereka memberitahukan bahwa anak mereka yang berusia sekitar enam tahun akan menemani mereka ke kantor. Sang ibu, yang mengetahui betapa sibuknya jadwal Ardi, meminta agar anaknya hanya menunggu di ruang tunggu dan tidak mengganggu pekerjaan. Ardi, yang sudah terbiasa menghadapi situasi yang tak terduga, mengangguk pada dirinya sendiri, mengabaikan sedikit kerisauan yang muncul. Pekerjaan adalah prioritas utama.
Namun, kenyataan berkata lain. Tak lama setelah itu, Ardi mendengar suara langkah kecil yang terdengar di lorong kantor. Seperti suara lonceng, langkah-langkah itu mulai mendekat. Ketika Ardi menoleh ke pintu, matanya tertuju pada sosok seorang bocah kecil, mengenakan kaos dan celana pendek, dengan ekspresi penasaran yang terlukis jelas di wajahnya.
“Sama-sama, ya,” kata ibu bocah tersebut sambil memberikan senyum singkat sebelum berlalu. Ardi hanya bisa tersenyum canggung. Anak itu sudah melangkah masuk tanpa ragu, matanya memandangi ruangan dengan penuh rasa ingin tahu.
“Eh, kamu mau kemana?” tanya Ardi, mencoba berusaha tetap tenang meskipun kekacauan sudah mulai terasa.
Bocah itu hanya mengangkat bahu, seolah tidak ada yang lebih penting selain petualangan baru di kantor. Dia mulai berjalan menuju meja resepsionis dengan langkah ceria. Ardi, yang belum sempat mengatur presentasi untuk klien, merasa cemas dan sedikit panik. “Coba deh, kalau bisa, duduk di ruang tunggu, ya?” ujarnya dengan nada sabar, meskipun terdengar sedikit tertekan.
Namun, bocah itu sudah jauh melangkah. Sebelum Ardi bisa mengatakan lebih banyak, anak tersebut sudah mengambil beberapa alat tulis di meja resepsionis, lalu langsung menuju ke ruang kerjanya. Di dalam hati, Ardi mulai merasa seolah dunia mulai berputar lebih cepat dari biasanya.
Dengan cepat, Ardi berusaha mengatur ulang pikirannya. “Oke, tenang. Fokus, Ardi. Semua masih bisa diselesaikan,” katanya pada dirinya sendiri. Namun, keheningan sejenak yang tadinya melingkupi ruang kerja kini hilang begitu saja. Bocah itu sudah mulai menarik kabel dari komputer di meja kerjanya, berusaha mengendalikannya dengan satu tangan. Ardi menahan napas, berharap kabel tersebut tidak terlepas dan merusak semuanya.
“Jangan!” Ardi berteriak tanpa sadar, membuat bocah itu berhenti sejenak. “Itu kabel komputer, nak. Jangan digigit!” ujarnya sambil berjalan cepat menuju meja. Tetapi, bocah itu hanya tertawa kecil dan kemudian melanjutkan aktivitasnya.
“Apakah ini mimpi buruk?” Ardi mulai merasakan pening di kepalanya. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Anak itu tidak mempedulikan keadaan sekitarnya dan terus menjelajahi meja-meja yang ada di sekitar kantor. Benda-benda yang tertata rapi di atas meja kini berantakan. Ardi merasa seolah-olah semuanya mulai kacau, dan rapat yang akan dimulai sebentar lagi semakin dekat.
Tapi tiba-tiba, bocah itu berhenti. Dia menatap Ardi dengan serius dan berkata, “Aku nggak tahu kalau kantor bisa seseru ini!” Ardi, yang terpukul oleh pernyataan itu, hanya bisa tertawa lelah. “Ya, memang. Tapi kalau bisa, bisa nggak main-main di tempat lain?”
Namun, bocah itu sudah melanjutkan petualangannya. Ia berlari ke arah ruang rapat, menarik kursi dengan keras, dan mulai mengacak-acak semua alat tulis di meja konferensi. Ardi merasa kewalahan. Tidak hanya rapat dengan klien besar yang menunggu, tapi sekarang ia juga harus menjaga agar bocah itu tidak melakukan hal-hal yang lebih parah lagi.
“Sabar, sabar,” gumam Ardi dalam hati. Dia berusaha menenangkan diri, mencoba untuk tetap berpikir jernih. Sementara itu, bocah kecil itu masih saja berlarian dengan ceria, seolah tidak ada masalah besar yang sedang terjadi. Semua orang di kantor mulai melihat ke arah ruang kerjanya, beberapa tampak tersenyum geli, namun sebagian lainnya menahan tawa karena situasi yang semakin konyol.
Tiba-tiba, Ardi mendapat ide. “Ayo, kamu suka gambar kan?” tanyanya dengan harapan bisa mengalihkan perhatian bocah itu. “Coba gambar di sini.” Ardi memberikan beberapa kertas dan pensil warna yang biasanya digunakan untuk mencatat di ruang rapat.
Bocah itu menerima kertas dan pensil itu dengan senang hati, lalu duduk di pojok ruang kantor. Ardi merasa sedikit lega, karena setidaknya bocah itu tidak mengacaukan dokumen penting lagi. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Tiba-tiba, dia mendengar suara berisik dari belakang. “Ardi, kamu benar-benar bisa menangani ini?” suara teman sekerjanya, Dika, terdengar sambil tertawa di balik pintu.
Ardi hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya hari ini aku butuh lebih dari sekadar laporan dan presentasi,” katanya sambil tersenyum kecut. Namun, di dalam hatinya, dia tahu satu hal: hari itu akan menjadi cerita yang tak terlupakan.
Bab 2: Kekacauan Dimulai
Setelah Ardi berhasil mengalihkan perhatian bocah kecil itu dengan pensil dan kertas, dia merasa sedikit lega, meskipun tetap harus berurusan dengan tumpukan pekerjaan yang menunggu. Dia kembali ke meja kerjanya, memfokuskan diri pada presentasi yang harus dia selesaikan. Namun, ketenangan yang sempat ada hanya berlangsung sesaat. Tak lama setelah itu, dia mendengar suara langkah kaki kecil yang mulai mendekat.
Ketika Ardi menoleh, dia melihat bocah itu sudah berdiri di samping meja, memegang beberapa alat tulis yang dia temukan. “Apa kamu mau menggambar lagi?” Ardi mencoba bersikap sabar, berharap bisa meredakan situasi. Bocah itu hanya menggelengkan kepala dan langsung mengarahkan pandangannya ke arah laptop Ardi.
“Wah, komputer! Aku bisa main game nggak?” tanya bocah itu dengan mata berbinar. Ardi yang sudah mulai merasa stres langsung mengernyitkan dahi. Sebuah ketakutan muncul di dalam hatinya. Jika bocah itu mulai menekan tombol sembarangan, komputer ini bisa rusak. Rapat besar tinggal beberapa menit lagi, dan Ardi belum mempersiapkan segala sesuatunya.
“Tidak, kamu nggak bisa main game di sini,” jawab Ardi dengan nada sedikit lebih tegas dari sebelumnya. “Ini komputer kerja, kamu bisa gambar di kertas itu dulu.”
Namun, bocah itu sudah tidak mendengarkan. Dengan cepat, dia sudah duduk di kursi depan meja Ardi dan mulai menekan tombol-tombol keyboard tanpa pandang bulu. Ardi yang merasa cemas langsung menghampiri, “Hei, jangan tekan tombol itu! Itu penting!” Tetapi bocah itu malah tertawa dan terus menekan-nekan keyboard. Ardi berusaha menjaga ketenangannya, namun sedikit demi sedikit dia merasa kewalahan.
Saat Ardi berusaha mengalihkan perhatian bocah itu, dia mendengar suara sesuatu yang jatuh ke lantai. “Aduh!” serunya, melihat bocah itu sudah menggoyang-goyangkan meja konferensi. Kursi yang tadinya tertata rapi, kini sudah bergeser jauh, dan beberapa bolpoin jatuh berserakan di lantai. Ardi yang sudah tidak bisa menahan diri lagi langsung mengambil napas dalam-dalam dan mencoba berbicara dengan suara lebih lembut.
“Dengar, kamu nggak bisa main-main di sini. Kalau kamu mau bermain, ayo ke ruang tamu,” ujarnya. Tetapi bocah itu malah berdiri dan mulai berjalan menuju meja resepsionis, menarik kabel-kabel yang menghubungkan komputer ke printer. Ardi mulai merasa jantungnya berdegup lebih kencang, khawatir ada yang akan rusak. “Sebaiknya kamu duduk saja dulu,” pinta Ardi, berusaha tetap sabar meskipun dia merasa sangat tertekan.
Tak lama kemudian, seorang rekan kerja Ardi, Dina, yang melihat kekacauan ini mulai tertawa. “Ardi, kamu kelihatan seperti orang tua yang sibuk mengawasi anak kecil di kantor,” katanya sambil tersenyum. Ardi hanya bisa menggelengkan kepala dan tertawa lelah. “Ini pertama kali aku kerja sambil jadi babysitter,” jawabnya, mencoba meredakan rasa cemasnya.
Namun, kekacauan itu belum berakhir. Bocah itu, yang tampaknya semakin penasaran, mulai melompat ke atas meja rapat. Tanpa memperhatikan sekeliling, dia mulai membuka file dan menyeret beberapa dokumen penting yang sedang disiapkan Ardi untuk presentasi nanti. “Aduh, itu penting!” teriak Ardi, bergegas menghampiri dan mencoba merapikan dokumen-dokumen yang hampir berantakan.
“Sori, Kak,” kata bocah itu dengan wajah polos, namun ekspresinya justru membuat Ardi semakin frustasi. Tanpa ragu, Ardi mulai merapikan dokumen-dokumen yang berserakan sambil mengingatkan dirinya untuk tetap tenang. “Ini cuma sementara. Nggak ada yang lebih penting selain bisa menyelesaikan rapat ini.”
Ardi kemudian duduk kembali di kursinya, mencoba untuk kembali fokus pada laptop. Namun, ketenangannya terganggu lagi ketika bocah itu tiba-tiba berlari ke ruang rapat dan membuka pintu dengan keras. “Kapan aku bisa ikut rapat?” tanyanya dengan wajah penuh harap. Ardi terkejut dan buru-buru menutup pintu ruang rapat, berusaha menjaga agar tidak ada yang terlewat.
“Sabar, ya. Nanti setelah rapat selesai, kamu bisa ikut,” jawab Ardi dengan sedikit keringat dingin di pelipisnya. Rapat yang sangat penting itu hanya tinggal beberapa menit lagi, dan dia mulai merasakan tekanan yang luar biasa.
Di luar ruang rapat, suasana semakin riuh. Beberapa karyawan mulai memperhatikan bocah itu yang mulai bermain-main dengan barang-barang di meja resepsionis, sementara yang lain sibuk menahan tawa. Ardi hanya bisa menahan diri agar tidak kehilangan kendali. Dia merasa frustasi, tetapi tak bisa berbuat banyak selain mencoba untuk bertahan hingga rapat dimulai.
Saat klien yang akan dia hadapi akhirnya datang, Ardi merasa sedikit lega. Mereka terlihat agak bingung dengan situasi yang sedang terjadi, tetapi tidak mengatakan apa-apa. “Ini… agak… berbeda dari yang saya bayangkan,” ujar kliennya, tersenyum canggung melihat bocah kecil yang masih berlarian.
Ardi tersenyum kaku, berusaha untuk tetap profesional. “Maaf, ada sedikit kejadian tak terduga di kantor pagi ini,” katanya sambil mempersilakan klien untuk duduk. Sementara itu, bocah itu sudah kembali ke meja resepsionis, mengacak-acak segala hal yang dia temui. Ardi berusaha mengalihkan perhatian klien dan mulai memperkenalkan presentasi yang sudah dia persiapkan.
Namun, di dalam hatinya, Ardi mulai bertanya-tanya apakah hari ini bisa berakhir tanpa lebih banyak kejadian tak terduga. Meski demikian, dia tahu bahwa apapun yang terjadi, dia harus tetap menjaga profesionalismenya, meskipun dalam situasi yang semakin sulit ini.
Bab 3: Ujian Kesabaran
Ardi duduk di kursinya dengan napas yang tertahan. Di luar ruang rapat, klien besar yang seharusnya menjadi prioritas utamanya sudah duduk menunggu, sementara bocah kecil itu masih berlarian tanpa henti. Sungguh, Ardi tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Dia berusaha mengumpulkan tenang, berusaha menyelesaikan presentasi yang sudah hampir setengah jadi di laptop. Tapi di dalam pikirannya, satu hal yang jelas terasa: situasi ini mulai di luar kendali.
Dari ruang rapat, Ardi bisa mendengar bocah itu berlarian ke sana kemari. Suara tangannya yang memukul-mukul meja, lalu tiba-tiba terdengar sebuah benda terjatuh. “Aduh, apa lagi sekarang?” gumam Ardi dalam hati, berusaha menekan kecemasannya. Dia bergegas keluar untuk mengecek keadaan, hanya untuk melihat bocah itu sedang asyik menarik kabel dari printer ke meja resepsionis.
“Eh! Jangan itu!” serunya, mencoba menenangkan bocah itu. “Kamu nggak boleh main-main dengan kabel-kabel seperti itu.” Namun, bocah itu hanya menatapnya dengan mata lebar dan senyum penuh ceria. “Aku cuma mau lihat apa yang ini bisa dicabut.”
Ardi memijat pelipisnya yang mulai terasa sakit. Rasanya, semua pekerjaan yang sudah disiapkan semalaman seperti hancur dalam sekejap. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Klien sudah ada di ruang rapat, dan bocah itu tampaknya tidak bisa berhenti mengacaukan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bahkan saat Ardi berusaha memfokuskan diri pada rapat yang akan segera dimulai, bocah itu kembali menambah kekacauan dengan membuka lemari arsip yang ada di sudut kantor.
“Kenapa ini harus terjadi sekarang?” Ardi berpikir, berusaha tetap sabar meskipun dalam hati ia mulai merasa frustrasi. Dia kembali ke meja kerjanya, berusaha fokus pada layar laptop. Namun, beberapa kali ia terpaksa menoleh untuk melihat bocah itu yang kini asyik bermain-main dengan papan tulis dan spidol, menulis di atasnya tanpa peduli bahwa ini bukan ruang bermain.
Seketika, Ardi merasa seperti berada di tengah badai. Tugas utamanya adalah untuk menjalankan presentasi yang telah disiapkan dengan cermat, tetapi bocah itu selalu ada di belakang, seperti bayangan yang mengganggu. Ardi berusaha keras untuk tetap tenang, mencoba untuk menyelesaikan presentasi dengan sisa-sisa waktu yang semakin menipis. Namun setiap beberapa detik, bocah itu kembali muncul, mengguncang pintu ruang rapat, bertanya apakah dia bisa ikut.
“Tidak, kamu harus menunggu di sana,” jawab Ardi, berusaha tegas meskipun sebenarnya hatinya sudah hampir menyerah. Dia berlari menuju pintu ruang rapat dan menutupnya perlahan, berharap bisa melanjutkan pekerjaan dengan sedikit kedamaian. Tapi dia tahu, selama bocah itu masih ada, kedamaian itu hanya sebuah ilusi.
Tiba-tiba, Ardi mendengar suara dari meja resepsionis. Sepertinya bocah itu mulai mengobrak-abrik tumpukan kertas di atas meja. Beberapa berkas yang penting mulai berterbangan. “Aduh! Itu dokumen klien!” seru Ardi, semakin panik. Dengan cepat, dia berlari ke meja resepsionis untuk mengambil kertas yang berserakan, namun dia terlambat. Bocah itu sudah lebih dulu mengumpulkan beberapa kertas dan mulai menggambar di atasnya.
“Sori, Kak, aku cuma lagi iseng,” kata bocah itu dengan polos.
Ardi tidak bisa lagi menahan tawa. Di satu sisi, dia merasa cemas dan frustrasi, tapi di sisi lain, tingkah bocah itu begitu polos dan tanpa beban. Dia mencoba menenangkan diri sejenak dan kembali berpikir rasional. “Oke, ini hanya masalah sementara. Setelah rapat selesai, semua ini akan berakhir.”
Namun, meski berusaha menenangkan diri, Ardi tidak bisa mengabaikan perasaan kesal yang semakin mendalam. Setiap kali bocah itu bergerak, ia merasa segala sesuatunya semakin berantakan. Presentasi yang semula sudah hampir sempurna kini tampak seperti mimpi buruk yang terancam gagal. Rapat yang harusnya menjadi momen profesional dan krusial, malah berubah menjadi sebuah komedi yang tidak diinginkan.
Tak lama setelah itu, seorang rekan kerja Ardi, Dina, datang untuk memberikan dukungan. Melihat situasi yang tidak kalah kacau, Dina hanya bisa tersenyum lebar. “Ardi, kamu harus coba lihat sisi lucunya. Ini lebih seperti episode reality show daripada rapat bisnis,” ujarnya sambil tertawa ringan.
Ardi yang mulai kelelahan hanya bisa tersenyum kecut. “Ini sudah di luar kendali, Dina. Aku nggak tahu lagi apa yang harus dilakukan.”
Dina mendekat dan membantu Ardi merapikan dokumen-dokumen yang berserakan di meja. “Sabar aja, deh. Klienmu juga mungkin nggak akan terlalu masalah. Lagipula, kalau bocah itu jadi bikin suasana lebih ringan, siapa tahu malah jadi nilai tambah buat kamu.”
Ardi menghela napas panjang, mencoba untuk kembali menenangkan diri. “Ya, semoga aja begitu,” jawabnya pelan, namun dalam hatinya, dia merasa sangat tertekan.
Saat klien yang sudah menunggu di ruang rapat mulai menanyakan kapan rapat dimulai, Ardi langsung kembali ke ruang rapat. Dia berusaha fokus pada presentasi yang sudah disiapkan. “Oke, ini harus berjalan lancar,” pikirnya, sambil menatap layar laptop. Namun, suara dari luar ruang rapat—suara langkah kecil dan tawa bocah itu—terus mengganggu konsentrasinya.
Setelah beberapa saat, Ardi memutuskan untuk berhenti sejenak, mencoba melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda. Apa yang seharusnya menjadi halangan besar kini terasa seperti sebuah ujian sabar. Satu hal yang Ardi tahu pasti, hari ini akan menjadi pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan.
Dengan sedikit senyum yang mulai terbit di wajahnya, Ardi melangkah masuk ke ruang rapat, bertekad untuk menyelesaikan segalanya meskipun dunia di sekitarnya terasa lebih kacau dari yang dia bayangkan.
Bab 4: Perubahan yang Tak Terduga
Ardi duduk dengan tenang di meja rapat. Klien besar yang telah ia persiapkan dengan begitu matang kini duduk di hadapannya, menatapnya dengan penuh perhatian. Di luar ruang rapat, suara bocah kecil itu mulai mereda, tapi kehadirannya masih terasa. Ardi mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, dan berharap bisa menjalankan rapat ini tanpa gangguan lebih lanjut.
“Baiklah, mari kita mulai,” Ardi berkata dengan penuh percaya diri, meskipun hatinya masih sedikit berdebar. Klien yang duduk di depan meja mengangguk, dan Ardi pun memulai presentasinya. Dengan penuh keyakinan, ia mulai menjelaskan mengenai proposal yang sudah disusun. Namun, semakin ia berbicara, semakin ia merasa ketegangan di sekitarnya mulai mengendur. Bocah itu, yang awalnya terus bermain dan mengacaukan segala sesuatu, kini diam saja di ruang tunggu.
“Sepertinya, kita bisa lanjutkan dengan topik utama,” Ardi melanjutkan dengan lebih santai, menyadari bahwa beberapa menit terakhir terasa lebih tenang dari yang ia bayangkan. Dengan memanfaatkan kesempatan ini, ia mulai menampilkan slide demi slide, menjelaskan detail rencana kerja yang telah disiapkan dengan seksama.
Namun, entah kenapa, setiap kali ia melihat layar laptop, pandangannya selalu teralihkan pada suara-suara kecil yang datang dari luar ruang rapat. Kadang terdengar tawa bocah itu, kadang terdengar dia berbicara dengan resepsionis kantor. Ardi bisa merasakan bagaimana perasaan klien yang semakin terperangkap dalam situasi ini. Mereka mungkin merasa tidak nyaman, tapi tetap berusaha terlihat profesional.
Seiring berjalannya presentasi, Ardi semakin merasa gugup. Sebentar-sebentar ia mendengar suara ketukan di pintu dan suara bocah itu berlarian di luar. “Apakah ini akan berakhir dengan baik?” Ardi bertanya-tanya dalam hati. “Atau malah semakin parah?”
“Ardi, apa yang kamu pikirkan tentang pengembangan proyek ini?” tanya salah satu klien, mengalihkan perhatiannya. Ardi segera menanggapi dengan penuh semangat, memberikan penjelasan tentang tahapan dan strategi yang akan diambil dalam proyek tersebut. Ia berusaha keras untuk mempertahankan ketenangan, meskipun kegelisahan semakin terasa di dalam dirinya. Klien yang satu ini tampaknya cukup tertarik, namun Ardi tetap merasa ada hal lain yang mengganggu fokusnya.
Tiba-tiba, suara pintu ruang rapat terbuka sedikit, dan bocah itu muncul kembali dengan wajah penuh senyum. “Kak Ardi, boleh nggak aku ikut rapat?” tanya bocah itu sambil melompat-lompat ceria. Ardi yang terkejut hampir kehilangan konsentrasi. Klien yang duduk di depan meja tampak sedikit bingung, tetapi Ardi dengan cepat menutup pintu kembali.
“Maaf, dia… hanya anak dari klien kami,” Ardi berkata terburu-buru, mencoba menjelaskan sambil tersenyum canggung. “Dia hanya ingin melihat bagaimana rapat berjalan.”
Namun, meskipun situasi mulai canggung, bocah itu malah berlari ke meja konferensi dan mulai menarik-narik beberapa kabel dan alat tulis yang ada di meja. Ardi hampir tidak bisa menahan diri. “Aduh!” gumamnya pelan.
Dengan cepat, dia bangkit dari kursi dan menuju ke meja, mencoba mengembalikan situasi yang mulai kacau. Bocah itu, yang tampaknya tidak tahu harus berbuat apa, malah duduk di kursi dan mulai menggambar di atas kertas yang ada di meja rapat. Ardi, meskipun frustasi, mencoba menahan diri dan kembali fokus pada presentasi.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Ardi memutuskan untuk melanjutkan rapat. Ia mematikan layar presentasi dan mulai mengalihkan perhatian klien dengan pembicaraan mengenai rincian lebih lanjut dari proposal yang telah disiapkan. Ardi menghindari melihat ke arah bocah itu, berharap dia tidak melakukan hal-hal yang lebih parah lagi.
Namun, tiba-tiba Ardi merasa seperti ada yang berubah. Klien, yang awalnya tampak agak canggung, mulai menunjukkan senyum tipis. “Sebenarnya, saya cukup suka dengan cara kamu mengelola situasi ini, Ardi,” kata klien yang pria. “Meski ada sedikit gangguan dari si kecil, kami melihat bahwa kamu tetap tenang dan mampu melanjutkan presentasi dengan profesional.”
Ardi merasa terkejut. Apa yang baru saja dikatakan kliennya terasa berbeda dengan apa yang dia bayangkan. Biasanya, dalam situasi seperti ini, klien akan kecewa, merasa terganggu, dan lebih memilih untuk berbalik pergi. Tetapi ternyata, hal yang sebaliknya justru terjadi. Klien terlihat lebih santai, bahkan mereka mulai berbicara lebih terbuka tentang proyek yang akan datang.
“Terima kasih,” jawab Ardi dengan rendah hati, merasa sedikit lega. “Kami memang berusaha memberikan yang terbaik meskipun ada halangan yang tidak terduga.”
Saat bocah itu akhirnya duduk di meja konferensi, tidak melakukan banyak hal lagi selain menggambar, Ardi merasa suasana sedikit lebih terkendali. Bahkan, klien mulai tertarik pada ide-ide yang Ardi sampaikan. Pembicaraan menjadi lebih lancar, dan ide-ide yang selama ini hanya tertulis di dalam dokumen mulai dijelaskan dengan penuh semangat.
Beberapa menit kemudian, rapat berjalan dengan lebih lancar. Suasana yang tadinya penuh kekacauan berubah menjadi lebih produktif. Klien mulai menunjukkan ketertarikan pada proposal yang disampaikan, bahkan beberapa ide baru pun mulai muncul selama diskusi. Ardi merasa sedikit lega, meskipun masih ada kekhawatiran di dalam dirinya.
Namun, satu hal yang tidak dapat dipungkiri—hari ini adalah pengalaman yang tidak akan ia lupakan. Dari gangguan kecil bocah itu, Ardi belajar untuk lebih tenang dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan. Tanpa disadari, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dulu, ia mungkin akan merasa marah dan cemas dengan hal-hal tak terduga. Tetapi sekarang, Ardi menyadari bahwa kadang-kadang, sesuatu yang di luar kendali bisa membawa dampak yang lebih besar daripada yang dia duga.
Ketika rapat akhirnya selesai, Ardi mengucapkan terima kasih kepada klien, merasa puas meskipun ada banyak kejadian tak terduga. Ia kembali ke meja kerjanya, merasa sedikit lebih ringan. Ternyata, situasi yang penuh kekacauan ini bisa berakhir dengan baik, bahkan jika itu tidak berjalan sesuai rencana.
“Jadi, hari ini benar-benar berbeda, ya?” Ardi berkata dalam hati, sambil melirik bocah kecil itu yang masih sibuk menggambar di meja. Tanpa disadari, senyum mulai mengembang di wajahnya. Dia merasa, kadang-kadang, perubahan yang tak terduga justru bisa membawa kebahagiaan yang tak disangka-sangka.
Bab 5: Kejutan di Balik Ketegangan
Hari itu terasa sangat panjang bagi Ardi. Setelah rapat yang penuh dengan kejutan dan tantangan, dia hanya bisa duduk di meja kerjanya dengan kepala sedikit pening, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Bocah kecil yang datang tanpa pemberitahuan memang membawa kekacauan, tetapi entah mengapa, ada sesuatu yang menyegarkan dalam segala kehebohan tersebut. Ardi merasa bahwa dirinya kini lebih kuat dalam menghadapi hal-hal tak terduga.
Di luar, suasana kantor kembali normal. Beberapa rekan kerja mulai kembali ke meja mereka setelah rapat besar yang dihadiri klien selesai. Tetapi, bagi Ardi, rasa lelah belum juga hilang. Beberapa kali dia menghela napas dalam-dalam, berharap bisa menyelesaikan tugas-tugas kecil yang tertunda. Presentasi yang sudah hampir selesai, laporan yang perlu dikirim, dan email yang terus menumpuk—semua itu menanti di depannya.
Namun, di tengah-tengah kepenatannya, Ardi merasakan ada yang berbeda. Bocah itu, yang sejak tadi mengganggu suasana, kini duduk tenang di sudut ruang kantor, menggambar dengan penuh konsentrasi di atas kertas. Ardi menatap bocah itu sejenak. Tidak ada suara gaduh, tidak ada lompatan-lompatan energik yang mengguncang meja atau berlari ke sana kemari. Untuk pertama kalinya hari itu, ada ketenangan di ruang kantor. Sepertinya bocah itu, yang tadi membawa kekacauan, sekarang menjadi simbol ketenangan yang tak terduga.
Ardi tersenyum kecil melihat pemandangan itu, dan untuk sesaat, semua stres yang ada terasa menghilang begitu saja. Dia kembali ke pekerjaannya, berusaha fokus pada email yang harus segera dikirimkan kepada klien yang lain. Tidak ada yang tahu betapa dalamnya ketegangan yang dirasakannya pagi ini, tetapi ada sesuatu dalam diri Ardi yang merasa lebih ringan setelah melalui segalanya. Mungkin karena dia baru saja menghadapi sebuah ujian sabar yang besar, dan, alih-alih menyerah, dia justru merasa lebih siap menghadapi tantangan lainnya.
Namun, saat Ardi mulai membuka laptop dan melanjutkan pekerjaan, tiba-tiba pintu kantor terbuka dengan keras. Bocah itu muncul lagi, membawa sesuatu yang tampaknya penting. “Kak Ardi, lihat ini!” serunya, berlari menghampiri meja. Ardi yang terkejut langsung melihat bocah itu membawa sebuah kertas yang penuh dengan gambar warna-warni. Gambar itu ternyata adalah gambar sebuah rumah, dengan banyak detail yang menunjukkan imajinasi anak kecil yang luar biasa.
“Ini untuk kamu, Kak Ardi!” kata bocah itu dengan ceria, menunjukkan gambar tersebut dengan bangga. “Ini rumah untuk kamu, di mana kamu bisa kerja tanpa gangguan!”
Ardi terkekeh melihat gambar itu. Di atas gambar rumah yang sederhana, terlihat gambar Ardi sedang duduk di meja dengan komputer, sementara bocah itu berdiri di sampingnya, memegang pensil dan gambar lain di tangannya. Tanpa sadar, Ardi tertawa geli. Meskipun dia merasa begitu lelah, ada kebahagiaan yang muncul dari kejutan kecil ini. Bocah itu, yang selama ini membuatnya kesal, kini memberinya kado yang sangat tulus.
“Dari mana kamu dapat ide gambar ini?” tanya Ardi, masih tersenyum.
“Dari pikiranku sendiri,” jawab bocah itu dengan polos. “Aku pikir, Kak Ardi harus punya tempat kerja yang nyaman, jadi aku bikin rumah untuk Kak Ardi yang nggak ada gangguannya!”
Ardi merasa tersentuh dengan niat baik bocah itu. Betapa dia hanya berpikir bahwa bocah itu hanya datang untuk mengganggu, tetapi di balik kekacauan itu, ada hal-hal kecil yang justru memberi kebahagiaan tersendiri. Bocah itu, dengan cara yang tidak terduga, telah mengajarkan Ardi satu hal penting—bahwa kadang-kadang kita terlalu sibuk mengejar kesempurnaan dan pekerjaan, sehingga kita lupa menikmati momen kecil yang ada di sekitar kita.
Sambil mengamati gambar itu, Ardi merasa ada kehangatan yang mengalir di dalam dirinya. Apa yang selama ini dianggap gangguan, sekarang terasa seperti sesuatu yang berharga. Mungkin, selama ini Ardi terlalu fokus pada hasil dan lupa menikmati proses. Bocah itu, meskipun tidak sengaja, telah mengingatkannya untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.
“Aku suka gambarnya, terima kasih,” kata Ardi, lalu menyodorkan tangan untuk memberi tepukan di kepala bocah itu. Bocah itu tersenyum lebar dan dengan bangga melompat-lompat, terlihat puas dengan respons Ardi.
Ardi menyadari satu hal setelah kejadian ini. Mungkin hari ini bukanlah hari yang sempurna. Semua pekerjaan yang tertunda, rapat yang tidak terduga, dan kebingungannya seolah bertabrakan, namun bocah itu mengajarkan bahwa kehidupan tidak selalu harus sesuai rencana. Kadang-kadang, gangguan dan kekacauan adalah bagian dari hal yang lebih besar yang perlu kita nikmati. Kadang, hidup perlu sedikit kekacauan agar kita bisa menemukan kebahagiaan yang tidak terduga.
Dengan gambar yang kini terpasang di meja kerjanya, Ardi kembali duduk dan menatap layar laptopnya. Pekerjaan yang ada masih banyak, tetapi sekarang dia merasa lebih siap untuk menaklukkannya. Dia tahu bahwa meskipun ada gangguan, ada sesuatu yang lebih berharga dari hasil pekerjaan itu sendiri—proses, kebahagiaan kecil, dan momen tak terduga yang bisa membuat segala sesuatunya terasa lebih ringan.
Beberapa jam berlalu, dan Ardi akhirnya menyelesaikan email-email yang tertunda, merapikan berkas-berkas yang berserakan, dan mengatur kembali jadwal kerjanya. Hari itu akhirnya berakhir, tetapi Ardi merasa lebih bersemangat dari sebelumnya. Mungkin, di masa depan, dia akan lebih terbuka untuk menerima segala kekacauan yang datang. Mungkin, dia akan belajar bahwa kadang-kadang, dari kekacauan itu, akan muncul hal-hal yang lebih berharga daripada yang pernah dibayangkan.
Ardi melihat bocah itu yang kini duduk di sudut kantor, menggambar dengan tenang. “Terima kasih,” bisiknya pelan, merasa seolah dunia memberinya kejutan kecil yang akan selalu diingat.
————————–THE END———————