Bab 1: Pahlawan Tanpa Nama
Ari berdiri di tengah keramaian, memandangi senyum anak-anak yang berlompatan dengan keceriaan. Sebuah acara amal yang diadakan oleh organisasinya tengah berlangsung, dan ia merasa bangga melihat hasil kerjanya. Organisasi sosial yang dipimpinnya selalu berfokus pada pemberdayaan anak-anak jalanan—memberikan mereka tempat berlindung, pendidikan, dan harapan yang lebih baik. Semua orang di sekitarnya tahu bahwa Ari adalah sosok yang selalu hadir saat dibutuhkan. Ia adalah pahlawan tanpa nama di mata mereka.
Namun, bagi Ari, menjadi pahlawan bukanlah sesuatu yang dirayakan. Bagi sebagian orang, membantu orang lain mungkin terdengar seperti sesuatu yang mulia. Tapi Ari merasa ada yang hilang dalam hidupnya. Dalam kebahagiaan yang ia berikan pada orang lain, ia seringkali merasa kosong. Setiap kali ia melihat keluarga yang bahagia atau pasangan yang saling mencintai, hatinya terasa hampa. Ia sadar bahwa ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk orang lain daripada untuk dirinya sendiri. Ia tahu, cinta sejati seakan menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan.
Di sebuah sudut ruang acara, Ari duduk sejenak, mengatur napas setelah beberapa jam bekerja tanpa henti. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding, mengamati orang-orang di sekitarnya. Ia selalu menjadi pusat perhatian, memimpin kegiatan, dan mengarahkan relawan lainnya. Tak ada yang menyangka bahwa di balik senyum ramahnya, ada kekosongan yang ia rasakan setiap hari.
Ketika ia sedang sibuk menyiapkan beberapa dokumentasi acara, seorang wanita menghampirinya. Ari sedikit terkejut, karena tak ada yang pernah mengganggunya saat ia sedang bekerja. Wanita itu tampak asing, dengan rambut panjang yang tergerai rapi dan mata yang tajam namun penuh ketulusan. Ia mengenakan kaos bertuliskan logo organisasi yang sama, tanda bahwa ia adalah relawan baru.
“Hai, aku Sari. Aku baru saja bergabung dengan tim ini. Kau Ari, kan?” Sari tersenyum ramah, meskipun ada keraguan di matanya.
Ari mengangguk sambil tersenyum. “Iya, aku Ari. Senang bertemu denganmu, Sari. Apa yang bisa aku bantu?”
Sari memandang sekeliling dengan cermat. “Aku ingin membantu di bagian dokumentasi acara, kalau bisa. Aku sudah cukup berpengalaman di bidang ini.”
Ari mengangguk lagi, merasa senang dengan inisiatif Sari. “Tentu, ikut denganku. Kita bisa koordinasi lebih lanjut.”
Mereka mulai bekerja bersama, dan meskipun tidak banyak kata yang terucap, Ari merasa ada sesuatu yang berbeda tentang Sari. Tidak seperti kebanyakan relawan lain yang datang dan pergi dengan cepat, Sari tampak serius dan penuh perhatian terhadap setiap detail. Ia cepat belajar dan tidak merasa canggung di tengah keramaian acara yang padat.
Namun, ada satu hal yang membuat Ari penasaran. Setiap kali ia mencoba mengajak Sari berbicara lebih jauh tentang dirinya, Sari selalu menghindar. Ia tidak banyak berbicara tentang latar belakangnya, dan saat Ari menanyakan tentang keluarganya, Sari hanya menjawab dengan senyum tipis, seolah ia mencoba menutupi sesuatu yang dalam.
Hari itu, setelah acara selesai dan semua orang mulai pulang, Ari merasa sedikit kelelahan. Ia menyempatkan diri untuk duduk di salah satu bangku taman yang ada di area acara. Angin sore yang sejuk membuatnya sedikit terlelap, namun pikirannya tetap tidak bisa tenang. Ia berpikir tentang Sari, wanita yang baru dikenalnya, namun rasanya ada sesuatu yang menarik dirinya untuk lebih mengenal wanita itu.
Saat ia sedang sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya. Ari menoleh, dan melihat Sari dengan wajah yang tidak bisa disembunyikan: seakan ia sedang berjuang melawan sesuatu dalam dirinya.
“Ari, apakah kau pernah merasa… seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupmu?” tanya Sari, suaranya rendah dan penuh keraguan.
Ari terkejut mendengar pertanyaan itu, karena selama ini ia merasa ia satu-satunya yang merasa seperti itu. “Apa maksudmu?” tanyanya, mencoba untuk menjaga nada suaranya tetap netral.
Sari menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku hanya merasa… sepertinya aku sudah membantu banyak orang, tetapi aku merasa kosong. Tidak ada yang benar-benar mengerti aku. Semua orang menganggapku kuat karena aku bisa membantu mereka, tetapi mereka tidak tahu apa yang ada di dalam hatiku. Kadang, aku merasa takut untuk membuka diri.”
Ari terdiam, merenungkan kata-kata Sari. Ia merasa ada kesamaan dalam apa yang Sari rasakan dan apa yang ia alami selama ini. Mungkin, di balik sikap kuat dan mandirinya, Sari juga menyimpan keraguan dan ketakutan. Mereka berdua, meskipun dalam dunia yang berbeda, ternyata sama-sama merasa hampa.
“Aku mengerti,” jawab Ari akhirnya. “Kadang kita terlalu fokus untuk membantu orang lain sehingga kita lupa untuk mendengarkan diri kita sendiri.”
Sari menatapnya dengan tatapan yang penuh arti, seolah ia melihat sisi lain dari diri Ari yang selama ini tersembunyi. “Aku rasa, kita punya banyak yang perlu dipelajari dari satu sama lain.”
Malam itu, saat Sari mengucapkan selamat malam dan meninggalkan Ari di bangku taman, Ari merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya. Sesuatu yang ia tidak pernah rasakan sebelumnya. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia mulai merasakan bahwa ada lebih dari sekadar menjadi pahlawan bagi orang lain. Ada cinta yang menunggu untuk ditemukan—mungkin, dengan cara yang paling tak terduga.
Bab 2: Cinta yang Tertunda
Hari-hari setelah pertemuan pertama dengan Sari terasa berbeda bagi Ari. Setiap kali ia memasuki ruang kegiatan atau ruang rapat organisasi, hatinya selalu sedikit berdebar-debar ketika melihat Sari. Wanita itu tampak lebih ceria daripada sebelumnya, meskipun masih terlihat menjaga jarak dengan orang lain. Namun, itu tidak menghentikan Ari untuk berusaha lebih dekat dengannya. Meskipun begitu, ia tidak tahu bagaimana cara memulainya, karena hubungan mereka hanya terbatas pada percakapan singkat di sela-sela rapat dan saat bekerja bersama dalam proyek-proyek kecil.
Ari terus memikirkan Sari setiap kali mereka bekerja bersama, setiap kali ia mendengar tawa kecilnya yang cerah, atau saat Sari menunjukkan perhatian pada anak-anak yang mereka bantu. Ari bisa melihat bahwa Sari memiliki hati yang besar, meski ia tampaknya sangat tertutup dan menyembunyikan perasaan terdalamnya.
Suatu sore, setelah rapat yang panjang, Ari memutuskan untuk mendekati Sari. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-terusan hidup dalam kebingungannya. Jika ada kesempatan, ia ingin tahu lebih banyak tentang Sari—tentang dirinya, tentang masa lalunya, dan mungkin, lebih jauh lagi, tentang kemungkinan cinta.
“Sari,” Ari memanggilnya saat Sari sedang merapikan dokumen di meja, matanya tertuju pada tumpukan kertas yang belum selesai.
Sari menoleh, sedikit terkejut, namun senyumnya tetap terukir di wajahnya. “Ada apa, Ari?”
Ari merasa canggung, namun ia mencoba untuk menenangkan dirinya. “Aku hanya ingin bertanya, mungkin kita bisa berbicara sebentar? Tentang proyek yang akan datang.” Ia menambahkan alasan yang terdengar masuk akal, meskipun dalam hatinya, niatnya lebih dari itu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Sari, dan tidak hanya sekedar proyek.
Sari mengangguk, dan mereka pun berjalan bersama menuju kafe terdekat, tempat yang sering mereka kunjungi setelah rapat atau acara selesai. Suasana yang lebih santai dan tidak terlalu ramai membuat Ari merasa sedikit lebih tenang, namun perasaannya yang mendalam membuatnya merasa gugup.
“Sari, aku penasaran,” Ari mulai berbicara dengan hati-hati, “apa yang membuatmu memilih untuk bekerja di sini? Maksudku, kamu tampaknya sudah sangat sibuk dengan pekerjaan dan kehidupanmu. Kenapa memilih untuk membantu anak-anak seperti ini?”
Sari terdiam sejenak, kemudian memandang ke luar jendela, seakan mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku pernah punya masa kecil yang tidak mudah,” jawabnya, suaranya pelan. “Aku tumbuh besar di keluarga yang tidak stabil. Aku sering merasakan bagaimana rasanya kehilangan harapan. Tapi aku beruntung, ada orang-orang yang peduli dan membantu aku keluar dari kegelapan itu. Aku ingin memberikan kesempatan yang sama bagi anak-anak yang sedang berjuang seperti aku dulu.”
Ari mendengarkan dengan seksama, merasakan kedalaman kata-kata Sari. Ia tidak menyangka bahwa di balik sikap mandiri dan kuat yang Sari tunjukkan, ada luka yang begitu dalam. “Aku tidak tahu itu,” Ari berkata pelan. “Aku pikir… aku pikir kamu sangat kuat.”
Sari tersenyum tipis, namun senyum itu tak sepenuhnya mencapai matanya. “Kuat bukan berarti tidak ada luka, Ari. Kadang kita harus belajar untuk bertahan, meskipun dalam kesendirian. Aku rasa itulah yang aku lakukan.” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Aku hanya tidak ingin orang lain melihat kelemahan dalam diriku.”
Ari merasakan perasaan yang lebih dalam dari sekadar simpati. Sari adalah seorang wanita yang tangguh, tetapi di balik ketangguhannya, ada ketakutan yang membuatnya tertutup. Ari ingin lebih banyak berbagi dengan Sari, tetapi ia tahu bahwa ia harus berhati-hati. Ia tidak ingin membuatnya merasa tertekan atau terbebani.
“Aku mengerti,” jawab Ari. “Aku juga sering merasa seperti itu. Kadang, kita terlalu fokus pada apa yang bisa kita berikan kepada orang lain, sehingga kita lupa untuk memberi diri kita sendiri kesempatan untuk merasakan sesuatu yang lebih.”
Sari menatap Ari dengan mata yang penuh makna. “Kau berbicara seolah-olah kau tahu apa yang aku rasakan. Tapi kau terlihat seperti orang yang selalu punya segalanya. Kau selalu hadir untuk orang lain, dan aku rasa tidak ada yang bisa menggoyahkanmu.”
Ari merasa sedikit terkejut mendengar pendapat itu. “Aku juga punya banyak ketakutan, Sari. Aku hanya… lebih memilih untuk menyembunyikannya. Aku sering merasa kosong, meskipun banyak orang yang mengandalkanku.” Ari merasa sedikit lega bisa membuka diri, meskipun hanya sedikit.
Sari tidak mengatakan apa-apa sejenak. Ia hanya memandangi Ari dengan tatapan yang penuh pengertian. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Kita sama, ya?”
Ari menatap Sari dengan intens, merasa ada ikatan yang mulai terjalin di antara mereka. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya, tetapi ia juga merasa ragu. Sari adalah seseorang yang terlukai, dan meskipun ia ingin menawarkan cintanya, ia tidak ingin memaksakan apapun. Ia harus bersabar.
“Mungkin,” jawab Ari dengan nada lembut, “kita bisa saling mendengarkan lebih banyak, Sari.”
Hari itu, setelah percakapan yang cukup mendalam, mereka kembali ke kantor. Ari merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya masih terombang-ambing antara rasa ingin tahu dan kebingungannya tentang perasaannya sendiri. Ia tahu bahwa Sari memiliki masa lalu yang sulit, dan ia ingin menjadi bagian dari proses penyembuhannya, tetapi ia juga tahu bahwa itu bukanlah hal yang bisa dipaksakan.
Malam itu, sebelum tidur, Ari merefleksikan kembali percakapan yang baru saja ia alami. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa datang dengan mudah, dan ia menyadari bahwa ia harus lebih sabar jika ia ingin mendapatkan hati Sari. Ia tidak ingin menjadi pahlawan yang menyelamatkan, tetapi lebih ingin menjadi seseorang yang bisa ada di sampingnya—menjadi teman, menjadi pelindung, dan mungkin, suatu saat nanti, menjadi cinta yang ia cari.
Bab 3: Bimbang Antara Dua Dunia
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun perasaan yang tumbuh dalam hati Ari semakin sulit untuk diabaikan. Setiap kali ia bertemu Sari, ada semacam ketegangan di antara mereka yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ari merasa ada kedekatan yang mulai terbentuk, tetapi di sisi lain, ia juga merasa cemas tentang masa depan hubungan mereka. Sari adalah seorang wanita yang rumit, dan Ari tahu bahwa untuk bisa dekat dengannya, ia harus bisa memahami lebih banyak tentang masa lalu dan ketakutan yang membelenggu Sari.
Pagi itu, setelah sebuah rapat mingguan organisasi yang berjalan cukup lancar, Ari memutuskan untuk mencari waktu sejenak untuk berbicara dengan Sari. Meskipun mereka sering bekerja bersama, mereka belum benar-benar berbicara tentang perasaan mereka satu sama lain. Ari merasa bahwa sudah saatnya untuk mengungkapkan sesuatu, meskipun ia belum sepenuhnya yakin dengan perasaannya.
Sari sedang duduk di sudut ruang rapat, tenggelam dalam tumpukan laporan yang harus ia periksa. Ari mendekatinya perlahan, mencoba mencari cara untuk membuka percakapan.
“Sari,” Ari memulai dengan suara lembut, “bisa bicara sebentar?”
Sari menoleh, matanya yang tajam memperhatikan Ari. “Tentu, ada apa?”
Ari menarik kursi di sebelahnya dan duduk, mencoba untuk tidak terlihat gugup meskipun hatinya berdebar kencang. “Aku ingin berbicara tentang… kita. Maksudku, tentang hubungan kita dalam organisasi ini,” katanya, sedikit menghindar dari topik yang sebenarnya ingin ia bahas.
Sari mengangkat alisnya, tampaknya sedikit terkejut dengan permintaan Ari. “Ada apa dengan hubungan kita?” tanyanya, suara rendah namun penuh ketertarikan.
“Aku merasa,” Ari ragu sejenak, “kita sudah mulai mengenal satu sama lain lebih dekat. Tapi… aku juga merasa ada sesuatu yang menghalangi kita untuk lebih dekat lagi. Aku tidak tahu, Sari. Mungkin aku terlalu terburu-buru, tapi aku merasa kita bisa lebih dari sekedar rekan kerja.”
Sara menatap Ari dengan intens, tetapi wajahnya tetap datar, seolah sedang mencoba mencerna kata-kata Ari. “Apa yang kamu maksud dengan ‘lebih dari sekadar rekan kerja’?” tanyanya dengan hati-hati, seolah takut jika ia salah menafsirkan maksud Ari.
Ari menatap Sari dalam-dalam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang ia rasakan. “Aku merasa ada sesuatu di antara kita, sesuatu yang lebih dari sekedar pertemanan. Mungkin aku salah, tapi… aku merasa kita bisa lebih dekat. Aku hanya ingin tahu apakah kamu merasakannya juga.”
Sari menarik napas panjang dan menunduk sejenak. Wajahnya tampak cemas, dan Ari bisa merasakan ketegangan di udara. “Ari,” katanya akhirnya, suaranya pelan dan penuh pertimbangan. “Kau tahu bahwa aku tidak mudah terbuka tentang perasaan. Aku sudah terlalu banyak terluka di masa lalu, dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk membuka hatiku lagi.”
Ari merasakan sebuah pukulan di dadanya. Kata-kata Sari mengguncangnya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa memaksakan perasaan. “Aku mengerti, Sari,” jawab Ari dengan lembut. “Aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku hanya… merasa perlu untuk jujur tentang apa yang aku rasakan.”
Sari menatapnya dengan mata yang penuh makna. “Aku juga tidak ingin menahanmu, Ari. Tapi aku harus jujur, aku masih takut. Takut membuka hati, takut kehilangan lagi. Aku tidak ingin menjadi beban bagimu.”
Ari merasa hatinya sedikit terperosok mendengar kata-kata Sari. Ia tahu bahwa cinta bukanlah hal yang bisa dipaksakan, dan ia tidak ingin menjadi seseorang yang hanya memberi harapan palsu. Namun, ia juga tahu bahwa jika ia terus menghindar, ia bisa kehilangan kesempatan untuk lebih dekat dengan Sari.
“Aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai beban, Sari,” ujar Ari, dengan tegas. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, tidak hanya sebagai teman atau rekan kerja, tapi juga sebagai seseorang yang peduli padamu.”
Sari terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Ari. “Aku takut, Ari. Takut membuka diri, takut kecewa lagi.”
Ari merasa hatinya sedikit tercabik, namun ia tahu bahwa ini adalah bagian dari proses. Sari membutuhkan waktu, dan Ari harus memberinya ruang untuk itu. “Aku tidak akan memaksamu, Sari. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada, dan aku siap menunggu jika itu yang kamu butuhkan.”
Sari mengangguk perlahan, matanya tampak lebih lembut dari sebelumnya. “Aku tahu, Ari. Aku tahu kamu baik. Tapi aku harus bisa menemukan keberanian untuk membuka hati lagi.”
Ari tersenyum, meskipun sedikit pahit. “Aku akan menunggumu, Sari. Tidak ada yang terburu-buru.”
Setelah percakapan itu, keduanya merasa sedikit lebih lega. Tidak ada janji atau pengakuan cinta yang terucap, tetapi mereka berdua tahu bahwa mereka telah membuat langkah kecil menuju pemahaman yang lebih baik. Ari merasa bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, tetapi juga bukan sesuatu yang bisa dilewatkan begitu saja. Ia ingin memberi Sari waktu, memberi ruang bagi wanita itu untuk membuka dirinya tanpa merasa tertekan.
Namun, Ari juga merasa bingung. Di satu sisi, ia ingin menjadi pahlawan cinta bagi Sari, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin merusak hubungan mereka dengan terburu-buru. Bagaimana caranya menyeimbangkan perasaan pribadi dengan kewajiban sosial yang selama ini ia jalani? Ia merasa terjebak antara dua dunia—dunia yang selalu membutuhkan pahlawan, dan dunia yang menginginkan cinta sejati.
Dalam kebingungannya, Ari tahu satu hal dengan pasti: untuk mencintai Sari, ia harus sabar. Cinta sejati tidak datang dalam semalam, dan jika ia ingin bersama Sari, ia harus siap menunggu, meskipun itu artinya harus menahan keinginan dan harapan yang tak terungkapkan.
Bab 4: Langkah Penuh Keraguan
Minggu-minggu berlalu, dan meskipun Ari merasa ada kemajuan dalam hubungannya dengan Sari, perasaan yang terus tumbuh di dalam dirinya justru menjadi lebih rumit. Setiap kali mereka bertemu, Ari merasakan kedekatan yang semakin kuat, namun masih ada jarak yang tak bisa dijelaskan. Sari, dengan segala ketutupannya, seakan terus menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam dari dirinya. Ari tidak tahu apakah itu ketakutannya atau keraguannya, tetapi satu hal yang ia yakini: ia harus lebih sabar.
Hari itu, setelah acara besar yang mereka selenggarakan, Ari merasa lelah. Matanya terasa berat, dan ia merasa perlu beberapa saat untuk mengistirahatkan tubuhnya. Semua orang di kantor sudah pulang, dan hanya tersisa dirinya dan Sari yang masih berada di ruang kerja. Mereka berdua duduk di meja masing-masing, menyelesaikan laporan dan evaluasi acara. Namun, ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.
Tiba-tiba, Sari berdiri dari tempat duduknya, menatap Ari dengan tatapan yang serius. “Ari,” katanya dengan suara pelan, “aku pikir sudah saatnya kita bicara lebih jujur.”
Ari merasa jantungnya berdebar, dan seketika ia menatap Sari dengan cemas. “Apa maksudmu?” tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
Sari berjalan mendekat, lalu duduk di kursi yang berada tepat di sebelah Ari. “Aku tahu kau punya perasaan lebih dari sekedar teman terhadapku. Aku bisa merasakannya. Tapi aku juga merasa tidak bisa memberikan apa yang kau harapkan dariku,” kata Sari, suaranya terdengar penuh ketegangan.
Ari terdiam. Ia sudah menduga bahwa perasaan Sari mungkin masih terhalang oleh masa lalu, tetapi mendengarnya secara langsung membuat hatinya terombang-ambing. “Sari,” Ari mencoba berbicara pelan, “aku tidak mengharapkan apa-apa darimu. Aku hanya ingin kita bisa saling mengerti, saling mendukung. Tidak ada tekanan. Aku tahu, perasaan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.”
Sari menunduk, terlihat begitu rapuh. “Aku tahu itu, Ari. Tapi aku takut. Aku takut jika aku membuka hatiku untukmu, aku akan menghancurkan semuanya. Aku takut kalau aku tidak bisa menjadi seperti yang kau harapkan.”
Ari merasa hati kecilnya teriris. Ia tahu bahwa Sari tidak mudah percaya, dan ia mengerti ketakutan itu. “Sari,” katanya dengan lembut, “aku tidak pernah berharap kamu menjadi sesuatu yang bukan dirimu. Aku hanya ingin kamu menjadi diri sendiri. Aku di sini, bukan untuk memaksakan sesuatu, tetapi untuk memahami kamu lebih baik.”
Sari terdiam, matanya memandang lantai seolah mencari kekuatan. Ari bisa merasakan betapa beratnya beban yang dipikul oleh Sari, meskipun ia tidak tahu sepenuhnya apa yang ada di dalam hatinya. Ketakutan, kekecewaan, dan luka-luka masa lalu seakan menghalangi wanita itu untuk membuka diri sepenuhnya.
“Kenapa kamu takut, Sari?” tanya Ari dengan hati-hati. “Apa yang sebenarnya membuatmu merasa tidak layak mendapatkan cinta?”
Sari mengangkat wajahnya, matanya yang lembab memandang Ari dengan penuh keraguan. “Aku pernah jatuh cinta sebelumnya, Ari. Aku pernah percaya sepenuhnya pada seseorang, dan pada akhirnya aku ditinggalkan. Aku merasa seperti aku tidak pernah cukup. Aku merasa seperti aku selalu memberikan semuanya, tetapi tetap saja tidak cukup.”
Ari merasa sakit hati mendengar cerita itu. Ia tahu bahwa Sari telah melalui begitu banyak rasa sakit dan kehilangan. Namun, ia juga tahu bahwa cinta bukanlah sesuatu yang harus dibayar dengan harga pengorbanan yang tak terhingga. “Sari,” kata Ari dengan tegas, “cinta bukan tentang memberikan segalanya dan berharap itu cukup. Cinta itu tentang menerima, memberi tanpa syarat, dan tumbuh bersama. Kamu tidak perlu merasa terjebak dalam kesalahan masa lalu.”
Sari mengangguk pelan, meskipun ada keraguan yang masih terlihat di matanya. “Aku tahu, Ari. Aku hanya… takut gagal lagi.”
Ari meraih tangan Sari dengan lembut, memberikan penghiburan yang tak terucap melalui sentuhannya. “Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan. Kita hanya bisa berjalan bersama-sama dan saling mendukung. Aku tidak akan meninggalkanmu, Sari. Aku di sini bukan untuk menciptakan tekanan, tetapi untuk menjadi bagian dari perjalananmu, apapun itu.”
Sari menatap Ari dengan mata yang kini sedikit lebih lembut. Ia menghela napas panjang, seakan mencoba melepaskan sedikit beban yang selama ini dipikulnya. “Aku ingin percaya padamu, Ari. Aku ingin belajar untuk mencintai tanpa rasa takut.”
Ari merasa hatinya meleleh mendengar kata-kata Sari. Ia tahu bahwa ini bukanlah perjalanan yang mudah, tetapi ia siap untuk berjalan bersamanya. “Kamu tidak perlu terburu-buru. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku akan selalu ada di sini, menunggumu.”
Setelah percakapan itu, keduanya kembali melanjutkan pekerjaan mereka, meskipun ada perubahan yang terasa di udara. Ketegangan yang semula ada mulai menghilang, digantikan dengan rasa saling pengertian yang lebih dalam. Ari tahu bahwa jalan ke depan tidak akan mudah, tetapi ia merasa sedikit lebih yakin. Mereka tidak perlu langsung memiliki semua jawaban sekarang, yang penting adalah mereka telah membuka ruang untuk lebih jujur satu sama lain.
Hari itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Ari merasa ada sedikit harapan yang tumbuh dalam hatinya, meskipun ia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Cinta sejati tidak datang dengan mudah, dan ia siap untuk menghadapi segala keraguan dan ketakutan yang ada di depan.
Bab 5: Menyusun Kepingan Cinta
Setelah percakapan yang penuh emosi di malam itu, hubungan antara Ari dan Sari mulai memasuki fase yang lebih tenang. Meskipun masih ada banyak ketidakpastian, keduanya merasa ada langkah maju dalam saling memahami. Namun, meskipun keduanya tahu bahwa perasaan itu ada, mereka tetap berada dalam zona yang aman, tidak segera melangkah lebih jauh. Ari menghormati keputusan Sari untuk mengambil waktu dan ruang, namun ia juga tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin kuat dalam hatinya.
Minggu demi minggu berlalu, dan keduanya semakin sering bekerja bersama. Ada banyak momen kecil yang membuat Ari semakin yakin bahwa Sari memiliki perasaan yang sama, meskipun sulit bagi wanita itu untuk mengungkapkannya. Setiap kali Ari mencoba mendekat, Sari masih tetap menjaga jarak, tetapi kini ada tatapan hangat yang sulit disembunyikan di mata Sari. Itu memberi harapan bagi Ari, meskipun ia tahu bahwa mereka masih harus berjuang dengan ketakutan dan keraguan masing-masing.
Pagi itu, setelah sebuah rapat kecil yang berjalan lancar, Ari memutuskan untuk mengajak Sari keluar sebentar, mungkin untuk sekadar berbicara lebih pribadi tanpa tekanan pekerjaan yang terus membayangi mereka. Mereka berjalan bersama menuju kafe kecil yang terletak tak jauh dari kantor, tempat yang sering mereka kunjungi untuk menikmati kopi bersama setelah hari yang panjang.
Sari tampak sedikit cemas, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. “Kau terlihat seperti punya sesuatu yang ingin kau katakan, Ari,” katanya sambil menatap ke arah jalan yang sibuk.
Ari menatapnya dengan senyum tipis. “Aku hanya ingin berbicara lebih banyak denganmu, Sari. Aku merasa kita sudah cukup lama berjalan bersama tanpa benar-benar berbicara tentang apa yang sebenarnya kita rasakan. Tentang perasaan kita.”
Sari menghentikan langkahnya sejenak dan menatap Ari. Ada keheningan sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk pelan. “Aku tahu, Ari. Aku merasa ada banyak hal yang belum aku ungkapkan. Aku takut, tapi aku rasa aku harus mulai jujur dengan diriku sendiri, dan denganmu.”
Mendengar itu, hati Ari terasa sedikit lebih ringan. “Sari, aku tidak akan menuntut apa-apa. Aku hanya ingin kita bisa lebih terbuka. Aku merasa ada perasaan di antara kita, tapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk lebih mendalam tanpa kamu merasa terbebani.”
Sari tersenyum, meskipun senyumnya sedikit ragu. “Aku tahu kamu baik, Ari. Tapi, kau tahu kan, aku tidak bisa begitu saja membuka hati. Aku pernah terluka. Sangat terluka. Dan rasa takut itu selalu menghantui aku. Aku takut kecewa lagi.”
Ari mengangguk, merasakan betapa dalamnya ketakutan yang dirasakan Sari. “Aku tidak bisa mengubah masa lalumu, Sari. Tapi aku di sini, bukan untuk menjadi bagian dari luka itu. Aku di sini untuk membantu kamu menyembuhkan, untuk menjadi teman, dan jika waktu memungkinkannya, menjadi lebih dari itu.”
Sari menatap Ari dengan tatapan yang penuh makna, seakan mencari keberanian dalam dirinya sendiri. “Aku ingin percaya padamu, Ari. Tapi aku masih merasa takut. Aku takut kalau kita hanya akan berakhir seperti cerita-cerita sebelumnya, di mana semuanya berakhir dengan kepedihan.”
Ari meraih tangan Sari dengan lembut, memberikan kenyamanan yang tidak terucapkan. “Aku paham, Sari. Aku tidak akan menekanmu. Tidak ada yang terburu-buru. Kita bisa mengambil langkah kecil, bersama-sama. Jika kita saling menjaga, aku yakin kita bisa melewati semua ketakutan itu.”
Ada keheningan yang lebih lama kali ini, namun bukan keheningan yang canggung. Sari tampak mulai membuka hatinya sedikit demi sedikit, meskipun masih ada rasa ragu yang menghalangi. Mereka akhirnya duduk di meja di kafe, menikmati kopi mereka dalam diam. Ari tidak merasa perlu berbicara lebih banyak. Kadang, kebersamaan yang tenang lebih berarti daripada kata-kata.
Namun, saat mereka duduk bersama, Ari merasakan ada perubahan kecil dalam diri Sari. Meskipun ia tidak mengatakan apa-apa lebih lanjut, ada cara pandangannya yang sedikit lebih lembut, sedikit lebih terbuka. Ari merasa bahwa mereka sedang menuju tempat yang lebih baik, meskipun prosesnya lambat.
“Sari,” Ari akhirnya memulai percakapan lagi, “aku ingin kita bisa berbicara lebih sering tentang ini. Tidak ada tekanan, tidak ada yang perlu disembunyikan. Kita bisa berbicara tentang ketakutan kita, tentang apa yang kita inginkan, dan tentang apa yang bisa kita berikan satu sama lain.”
Sari menghela napas panjang, seolah membuang semua kecemasan yang terpendam. “Aku ingin mencoba, Ari. Aku ingin belajar untuk percaya lagi. Bukan hanya pada kamu, tetapi juga pada diriku sendiri. Aku tahu aku harus mengatasi ketakutanku, tapi itu bukan hal yang mudah.”
Ari tersenyum, merasa sedikit lega. “Tidak ada yang mudah, Sari. Cinta itu bukan soal mencari kesempurnaan. Cinta itu tentang menerima kekurangan dan belajar bersama. Aku di sini, tidak hanya untukmu, tapi untuk diri kita berdua.”
Sari mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya, senyum yang tulus menghiasi wajahnya. “Terima kasih, Ari. Mungkin… mungkin kita memang bisa mencoba.”
Hari itu berakhir dengan perasaan yang lebih ringan di antara keduanya. Meskipun belum ada jaminan apa-apa, ada sedikit harapan yang terbangun. Ari tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi setidaknya, mereka telah mulai menyusun kepingan-kepingan cinta mereka yang tersebar. Mungkin itu tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi dengan setiap langkah kecil, mereka mulai belajar untuk saling percaya, saling membuka hati.
Bab 6: Pertaruhan Hati
Pagi itu, cuaca mendung seolah mencerminkan perasaan yang tengah dirasakan Ari. Meskipun ia merasa ada kemajuan dalam hubungannya dengan Sari, sebuah keraguan masih terus menggerogoti pikirannya. Mereka sudah lebih sering berbicara, lebih sering menghabiskan waktu bersama, tetapi perasaan itu masih tetap terbendung. Ari tahu bahwa mereka tidak bisa terus terjebak dalam kebimbangan ini. Ia harus membuat keputusan.
Hari itu, setelah berhari-hari saling mendekat, Ari memutuskan untuk berbicara secara terbuka dengan Sari. Sudah cukup banyak waktu yang mereka habiskan bersama, dan Ari merasa kini adalah saat yang tepat untuk mengambil langkah yang lebih pasti. Ia tidak ingin lagi hidup dalam ketidakpastian, takut akan kemungkinan yang tidak pernah terungkapkan.
Mereka bertemu di taman kota setelah bekerja. Pemandangan sekitar cukup indah, dengan pepohonan yang berayun pelan di bawah angin sepoi-sepoi. Suasana yang tenang ini seharusnya bisa memberi mereka waktu yang tepat untuk berbicara. Ari duduk di bangku taman, menunggu Sari yang datang beberapa menit setelahnya.
“Maaf kalau aku telat,” kata Sari sambil duduk di samping Ari. Ada senyum tipis di wajahnya, tetapi ada sesuatu yang membuat Ari merasakan ketegangan yang masih tersisa di udara.
“Tak masalah,” jawab Ari, mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa berat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Sari, aku merasa kita sudah banyak menghabiskan waktu bersama, berbicara dan mulai lebih terbuka. Tapi aku merasa… aku masih bingung.”
Sari menatapnya, matanya sedikit terkejut. “Bingung? Bingung tentang apa?”
Ari menatap ke depan, lalu mengalihkan pandangannya ke Sari. “Aku merasa ada perasaan antara kita, dan aku yakin kamu juga merasakannya. Tapi aku juga merasa kita terus terjebak dalam ketakutan dan keraguan. Aku… aku tidak ingin terus hidup seperti ini.”
Sari terdiam, wajahnya tampak serius. “Ari,” katanya pelan, “aku tahu kamu baik, dan aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku masih merasa takut. Aku takut kalau aku membuka hati lagi, aku akan terluka. Aku takut jika kita melangkah lebih jauh, kita akan berakhir dengan rasa sakit yang lebih dalam.”
Ari mendengus pelan, merasa hatinya sedikit tertohok. Namun, ia tahu bahwa itu adalah kenyataan yang harus dihadapi. “Aku paham, Sari. Aku tahu kamu merasa seperti itu. Tapi aku juga merasa bahwa kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi jika kita tidak mencoba. Aku hanya ingin kita bisa saling memberi kesempatan, untuk menjalani ini bersama-sama.”
Sari menunduk, seolah mencerna kata-kata Ari. “Aku tidak tahu, Ari. Aku takut kehilanganmu. Aku takut kalau akhirnya aku akan membuat keputusan yang salah.”
Ari meraih tangan Sari dengan lembut, memberikan ketenangan meskipun ia sendiri juga merasa cemas. “Sari, aku tidak akan pergi begitu saja. Aku tidak akan membuat keputusan terburu-buru. Aku hanya ingin kita saling memberi kesempatan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi kita bisa berusaha bersama-sama.”
Ada keheningan yang panjang di antara mereka. Sari terdiam, seolah sedang berjuang dengan dirinya sendiri. Ari menunggu, memberi ruang bagi Sari untuk berpikir, tanpa memaksanya. Ia tahu bahwa Sari membutuhkan waktu, tetapi ia juga tidak bisa terus menunggu dalam ketidakpastian.
Akhirnya, Sari mengangkat wajahnya, matanya tampak lebih lembut dari sebelumnya. “Aku ingin mencoba, Ari. Aku ingin kita memberi kesempatan untuk lebih dekat. Aku tahu itu tidak akan mudah, dan aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi aku ingin kita mencoba. Aku ingin belajar untuk mencintai lagi.”
Ari merasa hatinya meleleh mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa ini bukanlah keputusan yang mudah bagi Sari, dan ia sangat menghargai keberanian wanita itu untuk membuka hati. “Terima kasih, Sari,” katanya dengan penuh kelegaan. “Aku tidak akan pernah menuntut apa-apa darimu. Aku hanya ingin kita bisa berjalan bersama-sama, dengan kejujuran dan saling pengertian.”
Sari mengangguk pelan, senyum kecil muncul di wajahnya. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Ari. Tapi aku ingin kita melangkah bersama, meskipun kita tidak tahu apa yang ada di depan.”
Ari tersenyum, merasakan rasa lega yang mendalam. “Kita tidak perlu tahu semuanya sekarang, Sari. Kita hanya perlu berjalan bersama, langkah demi langkah.”
Hari itu, mereka berdua duduk bersama, berbicara tentang banyak hal, mulai dari hal-hal ringan hingga kepercayaan dan ketakutan yang selama ini mereka simpan. Ari merasa bahwa percakapan itu adalah titik balik bagi mereka berdua. Tidak ada lagi ketakutan yang terlalu besar untuk dihadapi bersama. Meskipun masa depan tetap penuh ketidakpastian, mereka berdua sepakat untuk menjalani hari-hari mereka dengan lebih terbuka.
Sari masih merasa cemas, tetapi ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia merasa bahwa jika ia bersama Ari, ia mungkin bisa menghadapi segala ketakutannya. Ia mungkin bisa belajar untuk percaya lagi.
Ari tahu bahwa ini adalah pertaruhan hati. Tidak ada yang tahu apakah ini akan berhasil, tetapi satu hal yang pasti: ia siap untuk memberikan segalanya, demi
kesempatan untuk bersama dengan Sari.
————————–THE END———————