Bab 1: “Kabar yang Mengubah Segalanya”
Rian duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang menampilkan tumpukan laporan yang harus diselesaikan hari ini. Seperti biasa, tugas-tugas itu menunggu untuk diselesaikan, tapi dia merasa seperti ada yang mengganjal. Suasana kantor yang sunyi, dengan hanya suara ketikan keyboard yang terdengar, membuatnya semakin merasa terisolasi. Pikirannya melayang, mencoba mengingat kembali percakapan dengan ibunya tadi pagi, yang mengingatkan bahwa dia sudah terlalu larut dalam pekerjaan.
“Tapi pekerjaan ini penting, Ma,” gumam Rian pada dirinya sendiri, meski hatinya tidak sepenuhnya yakin.
Tiba-tiba, suara notifikasi di ponselnya mengalihkan perhatian. Rian memeriksa layar ponsel dan melihat sebuah pesan singkat yang tidak dikenal. Tidak ada nama pengirim, hanya sebuah nomor acak yang dia tidak kenal. Rian ragu sejenak, kemudian membuka pesan itu.
“Kamu hanya punya lima hari. Jangan buang waktu.”
Pesan itu sangat singkat dan misterius, meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Rian memeriksa lagi nomor pengirimnya, berharap menemukan petunjuk. Namun, yang dia temui hanya angka-angka acak yang tidak bisa dikenali. Jantungnya mulai berdegup kencang, dan rasa tidak nyaman menyelimutinya.
“Lima hari? Apa maksudnya?” pikir Rian, sambil menatap layar ponselnya dengan bingung. Dia coba memikirkan kemungkinan siapa yang mengirim pesan ini. Mungkin teman lama yang sedang bercanda, atau mungkin seseorang yang salah kirim pesan. Tetapi tidak ada penjelasan yang masuk akal untuk pesan tersebut. Rian pun memutuskan untuk mengabaikannya dan kembali ke pekerjaannya, meskipun perasaan aneh terus mengganggu.
Namun, tidak lama setelah itu, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, pesan yang muncul lebih singkat, tetapi lebih mendalam:
“Jika kamu tidak mulai sekarang, kamu tidak akan punya waktu lagi.”
Rian menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri. Ada sesuatu yang ganjil dengan pesan-pesan ini, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang. Untuk sesaat, dia mempertimbangkan untuk mengabaikan semuanya, berpikir bahwa mungkin itu hanya prank atau kesalahan. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tidak bisa melanjutkan pekerjaan. Sesuatu dalam dirinya merasa tertarik untuk mencari tahu lebih banyak.
Rian memutuskan untuk membalas pesan itu, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut. Dengan cepat, dia mengetikkan jawabannya:
“Siapa ini?”
Beberapa detik berlalu sebelum balasan datang:
“Waktumu sudah dimulai. Lima hari lagi.”
Ponsel Rian terjatuh dari tangannya, hampir membuatnya terjerembab dari kursinya. Ini bukan sekadar pesan acak atau salah kirim. Ada kesan bahwa pesan-pesan ini ditujukan dengan maksud tertentu. Tetapi untuk apa? Mengapa dia? Rian mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar, lebih serius sedang terjadi di balik pesan-pesan tersebut.
Sebelum bisa berpikir lebih lanjut, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, pesan itu berisi sebuah alamat yang tertera di layar. Rian membaca dengan cepat, mencoba mencerna setiap kata yang tertulis.
“Di sini kamu akan menemukan jawabannya. 48 jam.”
Rian menggigit bibirnya. Waktu. Kata itu berulang kali muncul di setiap pesan yang dia terima. Ada tekanan di dalam dirinya yang semakin kuat, tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang harus dia lakukan dengan informasi ini? Mengapa dia yang dipilih? Dan jawabannya ada di alamat yang diberikan, yang terasa asing dan menakutkan baginya.
Rian berdiri dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di ruangan kecil itu. Otaknya dipenuhi dengan pertanyaan, namun tidak ada satu pun jawaban yang memuaskan. Kenapa waktunya hanya lima hari? Apa yang harus dia lakukan dalam waktu yang terbatas itu? Dia merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah permainan yang tidak dia pahami aturannya.
Perasaan cemas dan takut mulai menyelimuti dirinya. Namun, satu bagian dari dirinya berkata untuk tidak terlalu terbawa perasaan. Mungkin ini hanya prank, pikirnya. Tapi ada satu hal yang sulit untuk diabaikan: rasa urgensi yang ditimbulkan oleh pesan-pesan itu. Sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk tidak hanya duduk diam dan berharap ini akan hilang.
Rian menatap ponselnya dengan ragu. Apa yang harus dia lakukan? Dia tahu, jika dia mengabaikan ini, mungkin dia akan kehilangan kesempatan besar. Tapi di sisi lain, dia merasa takut jika dia salah langkah.
Pada akhirnya, Rian memutuskan untuk pergi ke alamat yang disebutkan dalam pesan itu. Ada sesuatu yang menariknya untuk menyelesaikan teka-teki ini, meski dia tidak tahu apa yang akan dia temui di sana.
“Satu-satunya cara untuk tahu adalah mencobanya,” katanya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan bahwa dia tidak sedang berhadapan dengan bahaya yang tak terduga.
Dia mengambil jaketnya, menutup laptopnya, dan bergegas keluar dari kantor. Waktu terus berputar, dan Rian tahu, dalam lima hari ke depan, hidupnya akan berubah selamanya. Tapi apakah itu perubahan yang baik a
tau buruk, hanya waktu yang bisa memberi tahu.
Bab 2: “Misi yang Terselubung”
Rian mengemudikan mobilnya dengan penuh ketegangan, pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna semua yang terjadi. Pesan-pesan misterius yang ia terima masih terngiang di telinganya, dan meskipun ia berusaha untuk tidak panik, ada perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Dia merasa seolah sedang terjebak dalam sebuah permainan besar yang tidak ia pilih, namun kini sudah terperangkap di dalamnya.
Setelah mengemudi sekitar setengah jam, Rian akhirnya sampai di alamat yang diberikan. Itu adalah sebuah bangunan tua yang terletak di ujung jalan sepi, jauh dari keramaian kota. Bangunan itu terlihat seperti gudang tua, dengan dinding yang kotor dan jendela-jendela yang sudah lama tidak dibersihkan. Di sekitarnya hanya ada beberapa pohon besar yang tampak rapuh, menciptakan suasana yang agak suram. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar tempat itu, dan suasananya terasa mencekam.
Rian merasa ragu sejenak. Ini bukanlah tempat yang ramah. Tidak ada yang mengundang seseorang untuk datang ke sini. Namun, perasaan ingin tahu yang mendalam mendorongnya untuk keluar dari mobil. Dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, dan berjalan menuju pintu besar yang terlihat sudah lama tidak digunakan.
Begitu ia membuka pintu, ada suara berderak yang membuatnya semakin merasa was-was. Di dalam, hanya ada lampu temaram yang memberikan sedikit penerangan, dan udara yang terasa berat seolah menahan napasnya. Rian melangkah hati-hati, mencari tahu apa yang sebenarnya ada di sini. Tidak ada orang yang terlihat, hanya beberapa meja kosong dan rak-rak yang sudah berdebu.
Namun, saat ia melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, ia mendengar suara langkah kaki di kejauhan. Rian berhenti dan menahan napas, menunggu dengan cemas. Langkah itu semakin mendekat, dan dari balik bayangan muncul sosok seorang pria berpakaiannya yang sangat rapi, dengan wajah yang tidak terlalu muda, namun penuh ketegasan.
“Rian?” suara pria itu menggema di ruangan sepi, membuat jantung Rian berdebar. Dia mengangguk ragu.
“Siapa Anda?” tanya Rian, mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang.
Pria itu tersenyum samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. “Saya yang mengirim pesan-pesan itu. Dan kamu… sudah memilih untuk datang. Itu keputusan yang tepat.”
Rian merasa semakin bingung. “Pesan? Apa maksudnya semua ini? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Pria itu mendekat, menatapnya dengan tajam. “Saya tahu ini semua membingungkan. Tapi kamu harus mempercayai saya. Misi ini bukan hanya tentang kamu, ini tentang semua orang yang ada di sekitar kamu. Kamu punya waktu yang sangat terbatas, dan jika kamu ingin tahu lebih banyak, kamu harus mengikuti petunjuk saya.”
Misi? Rian merasa seperti mendengar kata itu diulang-ulang dalam benaknya, namun ia masih belum bisa mengerti sepenuhnya. “Petunjuk? Apa petunjuk itu?”
Pria itu mengeluarkan sebuah amplop dari balik jasnya dan memberikannya kepada Rian. “Ini adalah petunjuk pertama. Kamu harus membuka ini dan melakukan apa yang ada di dalamnya. Waktu sudah mulai berjalan, Rian. Lima hari itu bukan hanya angka kosong.”
Rian menerima amplop itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia merasa ada yang sangat penting, tapi juga sangat menakutkan, tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dengan hati-hati, ia membuka amplop tersebut dan mengeluarkan selembar kertas yang berisi beberapa kalimat yang tertulis dengan tinta hitam tebal.
“Pergilah ke alamat berikutnya, dan temui orang yang akan memberimu kunci. Jangan ragu, jangan terlambat.”
Kata-kata itu hanya menambah kebingungannya. “Siapa yang akan memberi saya kunci? Apa yang saya cari?” tanya Rian, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.
Pria itu mengangkat bahunya. “Saya tidak bisa memberi tahu lebih banyak. Tapi ingat, setiap langkah yang kamu ambil sangat menentukan. Semua ini akan berakhir dalam lima hari. Dan jika kamu gagal, segalanya akan berubah selamanya.”
Rian merasa seperti sedang terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Setiap jawaban yang ia dapat justru menambah lebih banyak pertanyaan. “Tapi saya tidak mengerti. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa saya?”
“Karena kamu adalah orang yang tepat untuk misi ini,” jawab pria itu dengan suara yang tenang, namun penuh keyakinan. “Mungkin kamu tidak melihatnya sekarang, tapi beberapa hari lagi kamu akan tahu apa yang dimaksud.”
Rian merasa seolah berada di ujung jurang, dengan keputusan yang harus diambil secepat mungkin. Semua ini terasa seperti permainan yang tidak ada aturannya, dan ia hanya bisa mengikuti arus tanpa tahu apakah ia akan berhasil atau malah tersesat.
“Jangan khawatir,” kata pria itu, sambil melangkah mundur. “Kami akan memantau langkahmu. Pastikan kamu tidak mengabaikan petunjuk berikutnya. Semuanya ada di tanganmu.”
Sebelum Rian bisa mengatakan apa-apa lagi, pria itu sudah menghilang ke dalam kegelapan. Rian berdiri sendirian di ruang yang terasa semakin hampa, amplop itu masih ada di tangannya, dan langkah kaki pria tadi semakin jauh terdengar. Ia mendalamkan napas dan mencoba menenangkan dirinya.
Lima hari. Waktu yang terasa begitu singkat, namun juga sangat panjang. Apa yang akan terjadi setelah lima hari ini? Dan apakah dia akan menemukan jawaban yang selama ini ia cari?
Dengan hati yang penuh ketidakpastian, Rian menatap kertas di tangannya, memutuskan untuk melangkah lagi. Petunjuk itu ada di tangannya, dan tak ada jalan lain selain mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan untuknya. Waktu terus berputar, dan Rian tahu satu hal pasti: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Bab 3: “Lima Hari yang Menghimpit”
Rian duduk di ruang tamu apartemennya, menatap kosong ke arah dinding putih yang membosankan. Di meja, amplop dari pria misterius itu tergeletak, menunggu untuk dibuka. Waktu terus berjalan, dan meskipun lima hari terasa seperti waktu yang lama, Rian merasa seperti dikejar-kejar oleh jam yang berdetak. Rasanya, detik demi detik adalah sebuah beban yang semakin berat, seperti ada sesuatu yang menunggu untuk menghancurkannya jika ia tidak segera bergerak.
Dia memandangi kertas yang berisi alamat yang harus dia tuju—tempat yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Sudah lebih dari dua jam sejak ia pulang ke apartemennya, namun ia tidak bisa membuat dirinya untuk bergerak. Kegelisahan merayap di dalam dirinya, mencengkeram setiap pemikiran yang coba ia tangkis. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dia yang dipilih untuk misi ini? Dan lebih penting lagi, apa yang akan terjadi jika dia gagal?
Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya sejenak. Rian mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar. Itu adalah nama ibunya. Ia terdiam sejenak, ragu untuk mengangkatnya. Waktu yang semakin menipis membuatnya tidak bisa menikmati hal-hal kecil seperti percakapan dengan ibunya. Tapi dia tahu, ibunya pasti khawatir padanya. Mengabaikan panggilan itu akan membuatnya semakin gelisah.
Rian akhirnya menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga. “Halo, Ma.”
“Rian, kamu sudah pulang?” Suara ibunya terdengar penuh kehangatan, namun ada kecemasan yang terpendam di sana.
“Iya, Ma. Baru saja sampai,” jawab Rian, berusaha terdengar normal, meski hatinya bergejolak.
“Dari tadi aku coba hubungi kamu. Kok lama banget? Ada apa, sayang? Kamu kelihatan lelah banget tadi pagi. Jangan terlalu banyak kerja, ya.”
Rian tertawa kecil, berusaha menyembunyikan ketegangan yang terasa jelas. “Iya, Ma. Kerja aja kayak biasa. Semua baik-baik saja kok. Tenang aja.”
Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa apa yang terjadi sekarang jauh dari “baik-baik saja.” Ada sebuah rahasia besar yang disembunyikan darinya, dan ibunya tidak tahu apa yang sedang dia alami. Rian merasa semakin terisolasi, seolah seluruh dunia di luar sana berjalan tanpa mengetahui pertempuran batinnya.
“Iya, Ma, aku akan makan dulu. Telepon lagi nanti, ya.”
Rian mengakhiri panggilan itu dan meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja. Hatinya terasa sesak. Dia tidak bisa memberitahu ibunya yang terkasih tentang apa yang sedang dia alami. Semua ini terasa begitu absurd, tetapi entah kenapa, setiap detik yang berlalu semakin memaksanya untuk mengikuti apa yang telah dimulai.
Setelah berpikir sejenak, Rian akhirnya memutuskan untuk membuka amplop yang tergeletak di atas meja. Di dalamnya, ada sebuah potongan kertas yang lebih kecil, hanya berisi dua kalimat:
“Ke tempat berikutnya. Temui dia tepat pukul tiga sore.”
“Jangan terlambat.”
“Temui dia…” Rian bergumam, mencoba memahami apa maksud dari kalimat itu. Dalam hatinya, rasa penasaran mulai mengalahkan ketakutan. Siapa orang yang dimaksud? Dan mengapa dia harus menemui seseorang di waktu yang sangat spesifik?
Rian melihat jam dinding yang berdetak pelan, menunjukkan pukul dua. Ada sedikit ketegangan yang membuatnya ragu. Mengapa harus pukul tiga? Dan siapa orang itu? Dia mencoba mengingat-ingat apakah ada yang mengirimkan petunjuk lebih lanjut, namun tidak ada. Rian merasa semakin tertekan. Waktu terus berjalan, dan setiap detiknya membuatnya merasa lebih dekat dengan sebuah pengungkapan yang tidak ia inginkan.
Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi. Dalam langkahnya, ada perasaan cemas yang menggelayuti. Dia tahu bahwa jika ia tidak mengikuti petunjuk ini, konsekuensinya bisa sangat besar. Meskipun begitu, ada bagian dari dirinya yang bertanya, apakah ia sedang terjebak dalam permainan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Mobil Rian meluncur dengan kecepatan sedang, melewati jalan-jalan kota yang semakin sepi menjelang sore. Setiap detik yang berlalu semakin terasa menekan. Pikiran-pikiran berkecamuk di benaknya—apakah ini semua hanya kebetulan? Apakah ia benar-benar harus terlibat lebih jauh dalam semua ini? Namun, suara pria misterius itu, yang terdengar di benaknya, terus mengingatkannya bahwa waktunya sangat terbatas.
Tiba di tujuan, Rian memarkirkan mobil di pinggir jalan. Tempat yang ditunjukkan dalam petunjuk itu adalah sebuah gedung tinggi yang cukup mewah, meski tidak begitu ramai. Pintu utama tampak tertutup, namun ada seorang penjaga di luar yang menyapanya dengan dingin. “Ada urusan apa, Tuan?”
Rian merasa sedikit canggung, tapi ia memberanikan diri. “Saya… ada janji untuk bertemu dengan seseorang.”
Penjaga itu memandangnya sebentar, lalu mengangguk pelan dan membuka pintu untuknya. “Lantai atas. Pukul tiga, tepat.”
Rian mengangguk, lalu melangkah masuk dengan langkah pasti. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam gedung terasa sangat berbeda. Ada suasana formal dan penuh aturan yang tak terucapkan di sini. Rian merasakan ketegangan di setiap sudut ruangan, meskipun tampaknya tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi.
Setiap langkah yang ia ambil semakin membuatnya merasa dekat dengan apa yang seharusnya ia temui. Saat jam di tangannya menunjukkan pukul tiga tepat, pintu di ujung koridor terbuka. Seorang pria berjas rapi berdiri di sana, menatapnya dengan mata tajam yang penuh arti.
“Selamat datang, Rian. Sudah lama kita menunggu kedatanganmu.”
Rian merasa seperti baru saja memasuki dunia yang sangat asing—suatu dunia di mana waktu bukan lagi sekadar angka, tapi sebuah ancaman yang menunggu untuk menelan hidupnya.
Bab 4: “Pertemuan yang Menentukan”
Pintu terbuka dengan perlahan, seakan menyambut kedatangan Rian ke dunia yang tak terduga ini. Di dalam ruangan itu, suasana terasa dingin dan penuh ketegangan. Ruangan tersebut besar dan minim furnitur, hanya ada sebuah meja besar di tengah, dengan dua kursi yang menghadap satu sama lain. Di belakang meja, duduk seorang pria berjas hitam yang tampak sangat tenang, matanya yang tajam memandang Rian tanpa menunjukkan emosi.
Rian berhenti sejenak di pintu, merasakan udara yang terasa semakin berat. Ia menatap pria itu, mencoba membaca ekspresinya. Namun, wajah pria itu seolah tak terbaca. Rian merasa ada yang sangat ganjil tentangnya—tidak ada tanda-tanda ketegangan, hanya ketenangan yang menakutkan. Seakan-akan dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Silakan masuk, Rian. Kami sudah menunggu Anda,” ujar pria itu dengan suara yang dalam, namun penuh kontrol.
Rian mengangguk dan melangkah maju, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa cemasnya ia. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti langkah yang berat. Ada sesuatu yang semakin membuatnya tertekan. Ia merasa seperti bagian dari sebuah teka-teki besar yang tak dapat ia pecahkan.
Pria itu tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Rian duduk. Rian mengikuti gerakannya dan duduk di kursi yang dihadapkan kepadanya. Pria itu tidak segera berbicara, hanya memandang Rian dengan pandangan yang penuh arti, seolah menunggu sesuatu.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Rian, memecah keheningan yang membungkus ruangan itu. Suaranya sedikit bergetar, tetapi ia berusaha untuk terdengar tenang. “Kenapa saya yang dipilih? Apa yang sebenarnya saya harus lakukan?”
Pria itu menghela napas, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. “Semua ini dimulai jauh sebelum kamu menerima pesan pertama,” jawabnya dengan tenang. “Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi kamu sudah terpilih sejak awal. Kamu hanya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dan sekarang, waktu yang telah diberi kepadamu mulai habis.”
Rian merasa semakin bingung. “Terpilih? Maksud Anda apa? Ini tentang pesan-pesan itu, kan? Semua ini terasa seperti permainan. Tapi saya tidak tahu apa yang sebenarnya harus saya lakukan!”
Pria itu menyandarkan tubuhnya pada kursi, matanya tetap tidak lepas dari Rian. “Ini lebih dari sekadar permainan, Rian. Ini adalah ujian, ujian untuk melihat siapa yang cukup kuat untuk melangkah lebih jauh. Kamu harus membuat pilihan yang tepat, atau semuanya akan berakhir dengan sangat buruk.”
Rian merasa serangan rasa takut menyelimuti dirinya. “Tapi siapa yang membuat ujian ini? Apa yang akan terjadi jika saya gagal?”
Pria itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Kami yang mengatur ujian ini. Kami adalah kelompok yang melibatkan orang-orang seperti kamu—orang yang memiliki potensi, orang yang bisa mengubah arah takdir. Tapi ada aturan yang harus dipatuhi. Waktu adalah elemen paling penting dalam ujian ini, dan kamu hanya punya lima hari untuk membuktikan bahwa kamu pantas melanjutkan ke tahap berikutnya.”
Rian menelan ludah, tidak bisa menyembunyikan rasa cemas yang semakin membesar. “Tapi saya tidak tahu apa yang harus saya buktikan. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini!”
Pria itu tersenyum tipis, kali ini senyum yang terasa lebih misterius daripada sebelumnya. “Kamu tidak perlu tahu semuanya sekarang. Semua yang perlu kamu lakukan adalah mengikuti petunjuk kami. Jika kamu berhasil melewati ujian ini, kamu akan mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Tapi jika gagal… kita tidak akan berbicara lebih lanjut tentang itu.”
Sesuatu yang sangat berharga. Kata-kata itu berputar-putar di kepala Rian. Apa yang bisa lebih berharga daripada ini? Lebih berharga daripada hidupnya? Rian merasa sangat terpojok, terjebak dalam situasi yang tidak ia mengerti. Namun, satu hal yang ia tahu adalah bahwa ia tidak bisa mundur. Waktu sudah berjalan, dan jika ia berhenti sekarang, semuanya mungkin akan berakhir dengan cara yang sangat buruk.
“Lima hari,” kata pria itu lagi, kali ini dengan lebih tegas. “Kamu masih punya waktu. Tapi waktu itu akan sangat cepat habis. Dan begitu habis, tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.”
Rian terdiam, mencoba mencerna kata-kata pria itu. Waktu yang sangat terbatas. Lima hari. Semuanya terasa begitu mendesak, seperti sebuah ancaman yang terus menerus menekan dirinya. Dia tidak bisa lagi berpikir terlalu lama, tidak bisa menunggu terlalu lama untuk memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
“Jika kamu ingin tahu lebih banyak, kamu harus mengikuti petunjuk yang akan kami berikan. Jangan ragu, jangan terlambat. Semua itu akan mengarah pada satu titik—titik yang menentukan apa yang akan terjadi setelah ujian ini selesai.”
Pria itu berdiri dan melangkah menuju meja, mengambil sebuah kotak kecil dari dalam laci. Ia meletakkannya di atas meja di depan Rian. “Ini adalah petunjuk selanjutnya. Kamu harus membuka kotak ini pada waktu yang tepat. Jika kamu membuka kotak ini terlalu cepat atau terlambat, semuanya bisa gagal.”
Rian menatap kotak itu dengan rasa penasaran yang semakin besar. Apa isi kotak ini? Apa yang akan terjadi jika ia membuka kotak itu dengan cara yang salah? Dan apa yang akan terjadi jika ia mengikuti setiap langkah ini dengan benar?
“Jangan khawatir. Kamu akan tahu kapan waktu yang tepat,” kata pria itu, seperti membaca pikirannya. “Tapi ingat, semuanya akan bergantung pada pilihan yang kamu buat. Jangan sampai salah langkah.”
Rian mengangguk pelan, meski hatinya dipenuhi kecemasan. Lima hari. Waktu itu terasa seperti pedang yang menggantung di atas kepalanya, siap untuk menebasnya kapan saja jika ia membuat kesalahan. Tapi ia tidak punya pilihan selain melangkah maju.
Petunjuk itu ada di tangannya. Kotak itu adalah jawabannya—atau mungkin hanya pertanyaan lain yang harus ia pecahkan. Dengan satu nafas panjang, Rian menutup matanya dan memutuskan untuk membuka kotak itu.
Bab 5: “Kunci dari Ketidakpastian”
Rian duduk kaku di kursinya, menatap kotak kecil yang terletak di depannya. Waktu seakan berhenti saat ia memikirkan langkah selanjutnya. Kotak itu tampak biasa, bahkan terlalu biasa, tetapi entah kenapa Rian merasakan sebuah ketegangan yang luar biasa mengiringinya. Rasanya seperti ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya, sesuatu yang dapat mengubah segalanya.
Di luar, suara langkah kaki mulai terdengar di lorong. Seseorang sedang mendekat. Rian tahu ia tidak punya banyak waktu. Lima hari itu terus berdetak, dan jika ia tidak melakukan apa yang harus dilakukan, maka semuanya akan sia-sia. Ia menatap kotak itu lagi, mencoba menemukan petunjuk dari bentuk dan desainnya yang sederhana. Tak ada tulisan atau simbol apapun yang menandakan isinya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Rian meraih kotak itu. Terasa ringan, namun entah kenapa ia merasa ada berat di pundaknya, seperti beban yang semakin bertambah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka kotak tersebut.
Pukul tiga. Waktu sudah hampir habis.
Dengan perlahan, ia membuka tutup kotak itu. Begitu tutup kotak terangkat, Rian menemukan sebuah kunci kecil di dalamnya. Kunci itu terlihat biasa saja, tidak ada yang istimewa. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam bentuknya—seperti kunci yang sangat tua, dengan desain yang rumit dan sedikit berkarat di bagian pinggirnya. Rian memutar kunci itu di tangannya, merasa bingung dan cemas. Apa yang bisa dibuka dengan kunci ini? Apa yang harus ia lakukan dengan benda yang sepertinya tidak berguna ini?
Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara pintu yang terbuka mengejutkannya. Seorang pria berjas rapi masuk ke ruangan. Rian mengenalinya—pria yang pertama kali mengarahkan dirinya menuju ruang ini, yang memberinya petunjuk pertama.
“Apakah kamu sudah membukanya?” tanya pria itu dengan nada datar, matanya tertuju pada kunci kecil yang masih ada di tangan Rian.
Rian mengangguk, meskipun ia merasa sangat bingung. “Ini hanya sebuah kunci. Apa yang harus saya lakukan dengan ini?”
Pria itu berjalan mendekat, tidak menunjukkan ekspresi, namun ada ketegangan yang mengalir di antara mereka. “Kunci itu adalah titik awal, Rian. Kunci ini akan membuka lebih dari sekadar pintu. Itu akan membuka rahasia yang harus kamu pecahkan. Kamu harus menemukan tempat yang tepat untuk menggunakannya.”
Rian merasa semakin terpojok. “Tempat yang tepat? Di mana?”
Pria itu tidak langsung menjawab, malah mengalihkan pandangannya ke jendela yang menghadap ke luar gedung. “Tempat yang tepat bukanlah tempat yang bisa kamu temukan dengan mudah. Kamu harus mengikuti petunjuk berikutnya. Dan waktu tidak akan menunggu.”
Rian merasakan rasa takut yang semakin menekan dirinya. Semua ini terasa sangat abstrak, dan setiap langkah yang ia ambil hanya semakin membingungkan. Seolah-olah ada kekuatan yang mengendalikan segala sesuatunya, dan ia hanya menjadi pion dalam permainan yang lebih besar dari dirinya.
“Petunjuk berikutnya?” tanya Rian, suaranya sedikit gemetar. “Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
Pria itu memandangnya dengan serius, seakan menilai setiap kata yang keluar dari mulut Rian. “Kamu harus pergi ke sebuah tempat. Sebuah tempat yang kamu kenal. Di sana, kamu akan menemukan apa yang kamu cari—dan di sana kamu akan tahu apa arti kunci ini.”
Rian merasa semakin tidak yakin dengan segala yang terjadi. Tempat yang ia kenal? Apa maksudnya? Kunci ini pasti ada hubungannya dengan tempat itu, tetapi apa? Apakah ini benar-benar ujian yang harus ia jalani, ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disembunyikan dari dirinya?
“Di mana tempat itu?” tanya Rian, berusaha mengungkapkan rasa penasarannya yang semakin besar.
Pria itu menunduk sejenak, seolah berusaha mencari jawaban yang tepat. “Tempat itu tidak jauh dari sini. Tepatnya, kamu sudah pernah ke sana sebelumnya. Kamu hanya perlu membuka mata dan hati untuk melihat petunjuk yang ada di sekitarmu.”
Rian mencoba mencerna kata-kata pria itu. Apa maksudnya dengan ‘tempat yang sudah pernah kamu kunjungi’? Tempat yang sudah ia kenal? Apa itu berarti ia harus kembali ke tempat-tempat yang selama ini ia anggap biasa? Ada begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya, dan setiap detik yang berlalu membuatnya semakin bingung.
“Jangan terlalu lama berpikir. Kamu tidak punya banyak waktu,” ujar pria itu lagi, membuat Rian tersentak. “Lima hari itu bukan hanya angka, Rian. Itu adalah waktu yang akan menentukan segalanya. Kamu harus cepat.”
Rian merasakan tekanan yang luar biasa. Ia tahu bahwa ia tidak bisa membuang-buang waktu lebih lama lagi. Ia harus segera bertindak, meskipun ia belum tahu apa yang sedang ia hadapi. Rasa cemas dan takut menggerogoti setiap sendinya, namun ia tahu satu hal: tidak ada jalan mundur. Jika ia tidak melakukan apa yang harus dilakukan sekarang, semuanya bisa berakhir dengan cara yang sangat buruk.
Setelah pria itu meninggalkan ruangan, Rian duduk sejenak, merenung. Kotak kecil dan kunci itu masih ada di tangannya. Ia mengingat setiap langkah yang telah ia ambil sejauh ini—setiap petunjuk yang diberikan padanya, dan setiap kata yang diucapkan oleh pria-pria misterius itu. Semuanya terasa seperti sebuah teka-teki besar, dan Rian merasa berada di dalamnya tanpa bisa keluar.
Dengan satu keputusan bulat, Rian mengangkat kunci itu dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Ia tahu sekarang saatnya untuk pergi. Tempat yang sudah ia kenal—apa pun itu—menunggu untuk diungkap. Ia hanya berharap bahwa ia akan menemukan jawabannya sebelum waktu habis.
Rian berdiri dan melangkah keluar dari ruangan, dengan langkah yang lebih pasti dari sebelumnya. Segala ketakutannya kini terfokus pada satu tujuan: menemukan tempat yang tepat untuk menggunakan kunci itu. Waktu terus berjalan, dan segalanya akan bergantung pada pilihan yang ia buat selanjutnya.
Bab 6: “Jalan yang Terbuka”
Langkah kaki Rian terasa berat saat meninggalkan gedung itu. Setiap detik semakin terasa menekan, seakan seluruh dunia menontoninya, menunggu keputusan apa yang akan ia buat selanjutnya. Di dalam saku jaketnya, kunci kecil itu berdesir, seakan memberi isyarat bahwa waktu semakin mendekati akhirnya. Lima hari—hanya lima hari lagi, dan semuanya akan selesai. Tetapi selesai seperti apa? Rian masih bingung, merasa seperti ia terjebak dalam sebuah labirin tanpa peta.
Ia memutuskan untuk kembali ke tempat pertama yang terlintas dalam pikirannya. Tempat yang sudah ia kenal baik. Namun, saat ia melaju dengan mobilnya melalui jalan-jalan kota yang familiar, pikirannya terus melayang, bertanya-tanya tentang arti sebenarnya dari semua ini. Apa yang harus ia temukan? Apa yang tersembunyi di balik petunjuk yang diberikan padanya? Dan yang paling penting—apakah dia akan sampai pada titik yang tepat sebelum waktu habis?
Mobilnya melaju perlahan, menembus kepadatan lalu lintas kota. Suasana luar tampak tenang, hampir kontras dengan kegelisahan yang ada dalam dirinya. Rian mencoba mengingat-ingat tempat yang pernah ia kunjungi. Tempat yang dianggap biasa. Tetapi ketika ia melihat sebuah kafe kecil di sudut jalan, sebuah ingatan tiba-tiba muncul di benaknya. Kafe itu—tempat ia dan sahabatnya, Tio, sering menghabiskan waktu berjam-jam mengobrol tanpa arah, tempat mereka tertawa, berbagi cerita, dan merencanakan hal-hal besar yang mereka harap bisa dicapai. Itu adalah tempat yang tidak pernah ia pikirkan kembali, sampai saat ini.
Ia melambatkan laju mobil dan berhenti di depan kafe tersebut. Kafe itu tampak sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di dalamnya, tetapi suasananya terasa sangat familiar. Rian keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu kaca yang setengah terbuka. Saat ia melangkah masuk, bau kopi yang harum menyambutnya, membawa kenangan masa lalu yang hampir terlupakan. Suara mesin kopi dan percakapan lembut di dalam kafe memberi rasa damai yang kontras dengan kegelisahan yang meliputi dirinya.
Dia melihat-lihat sejenak, mencoba mencari sesuatu yang menonjol, sesuatu yang bisa memberikan petunjuk lebih lanjut. Namun, seperti yang ia duga, tidak ada yang terlihat berbeda dari biasanya. Kafe itu masih seperti dulu—tempat yang penuh dengan kenangan manis. Tapi di sinilah dia, harus menemukan jawaban.
Dengan perasaan ragu, Rian mendekati meja yang ada di pojok ruangan, tempat biasanya Tio duduk. Begitu dia duduk di sana, matanya secara otomatis tertuju pada meja kayu yang sudah berusia tua itu. Tidak ada yang aneh, kecuali ada sebuah amplop putih tergeletak di sana, tampak tidak ada yang menandainya. Tanpa berpikir panjang, Rian mengambil amplop tersebut dan membuka lipatannya. Di dalamnya, ada selembar kertas yang bertuliskan kalimat yang cukup singkat, namun penuh makna:
“Temukan apa yang tersembunyi di balik layar. Waktu sudah hampir habis.”
Rian merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Layar? Apa maksudnya? Kafe ini tidak memiliki layar besar, hanya layar-layar kecil yang biasa digunakan untuk menu atau informasi di sudut-sudut tertentu. Namun, di satu sudut kafe itu, ada layar televisi kecil yang menampilkan berita sore. Rian mengalihkan pandangannya ke arah layar itu, dan saat itulah ia melihatnya—sebuah simbol kecil yang muncul di pojok layar. Itu adalah simbol yang belum pernah ia lihat sebelumnya, sebuah lingkaran yang terhubung dengan garis vertikal dan horizontal, membentuk tanda yang sangat sederhana namun misterius.
Dengan cepat, Rian berdiri dan berjalan menuju televisi. Ia memeriksa simbol tersebut, memandangi layar itu dengan penuh perhatian. Tanda itu ada di sana, hampir tidak terlihat oleh orang lain. Rian bertanya-tanya apakah ini adalah petunjuk terakhir yang ia butuhkan. Dengan hati-hati, ia meraih remot televisi dan mengganti saluran, berharap menemukan lebih banyak petunjuk.
Saat ia mengganti saluran ke stasiun yang berbeda, layar tiba-tiba menampilkan gambar yang tidak biasa—sebuah gambar hitam putih dari sebuah jalanan kosong, dengan cahaya yang remang-remang. Di bawah gambar itu tertulis sebuah alamat dan waktu. Waktu yang sama dengan waktu yang diberikan kepadanya: “Pukul tiga sore, lima hari dari sekarang.” Ini adalah tempat yang baru, tempat yang berbeda. Dan di sana, Rian tahu, ia harus berada.
Dia merasa perasaan cemas yang mendalam menguasainya. Apakah ini jebakan? Tetapi apa pilihan yang ia miliki selain mengikuti petunjuk yang diberikan? Kunci kecil itu, yang masih ada di sakunya, terasa semakin berat. Adakah koneksi antara alamat itu dan kunci yang dia pegang?
Rian menatap kertas yang ia temukan di amplop. “Temukan apa yang tersembunyi di balik layar.” Petunjuk ini jelas mengarah pada televisi. Namun, layar televisi itu hanya memberi informasi yang lebih jelas tentang tempat yang harus ia tuju. Tanpa berpikir panjang, Rian menulis alamat tersebut di ponselnya dan mengingatnya sebaik mungkin.
Ketika ia siap untuk pergi, pelayan kafe yang ramah mendekat. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Rian tersenyum tipis, meski ia tahu jawabannya sudah jelas. “Tidak, terima kasih,” jawabnya. “Saya hanya… sedang mencari sesuatu.”
Setelah membayar untuk kopi yang belum sempat ia sentuh, Rian berjalan keluar dari kafe. Semuanya terasa semakin nyata—jalan yang terbuka di depannya sekarang menuntunnya pada sesuatu yang lebih besar dari apa yang bisa ia bayangkan.
Waktu terus berjalan, dan dia tahu bahwa pilihan yang akan ia buat selanjutnya akan menentukan arah hidupnya. Dengan setiap langkah yang ia ambil, Rian semakin mendekati titik di mana takdirnya akan diputuskan.
———————–THE END———————