BAB 1: Suara di Malam Hari
Karina menatap keluar jendela apartemennya yang menghadap ke sebuah rumah tua di seberang jalan. Cahaya bulan samar-samar menerangi bangunan itu, memperlihatkan cat dinding yang mengelupas dan jendela-jendela besar yang gelap. Rumah itu tampak seperti telah lama ditinggalkan. Rumput liar tumbuh lebat di halaman, dan pagar besi di depannya berkarat, seolah tak pernah disentuh manusia selama bertahun-tahun.
Namun, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Setiap malam, ketika kota mulai sepi dan hanya suara angin yang berhembus, ia mendengar suara samar dari rumah itu.
Malam ini, suara itu kembali.
Karina yang sedang membaca di sofa langsung menegakkan tubuhnya. Ia mengernyitkan dahi, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu terdengar seperti desiran lembut, nyaris seperti bisikan. Mungkin itu hanya angin, pikirnya. Namun, ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri—ritme suara itu terdengar terlalu teratur, seolah seseorang sedang berbisik tepat di dalam rumah itu.
Ia meletakkan buku yang sedang dibacanya, berjalan perlahan ke arah jendela, dan menyingkap tirai. Pandangannya langsung tertuju ke rumah tua di seberang jalan. Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Namun, saat matanya beralih ke salah satu jendela lantai dua rumah itu, jantungnya berdegup lebih kencang. Sekilas, ia melihat sesuatu—sebuah bayangan samar, berdiri di balik kaca yang retak. Bayangan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum menghilang ke dalam kegelapan.
Karina tersentak mundur, napasnya tercekat. Ia berkedip beberapa kali, memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar imajinasi. Namun, jendela itu kini kosong. Tidak ada apa-apa di sana.
“Ini pasti karena aku terlalu lelah,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Setelah menutup tirai, ia kembali ke sofa dan mengambil buku yang tadi ditinggalkannya. Namun, pikirannya tetap terganggu. Rasa penasaran bercampur ketakutan menjalar di benaknya.
Tepat saat ia hendak menenangkan diri, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas.
Karina menelan ludah. Perlahan, ia bangkit dan mendekati jendela lagi. Dengan hati-hati, ia menyibak tirai sedikit dan mengintip ke luar. Rumah itu tetap sama—gelap dan sepi. Namun, suara aneh itu terus terdengar, seperti seseorang yang sedang berbisik tepat di telinganya, meski tak ada seorang pun di sekitar.
Ia meraih ponselnya dan membuka aplikasi perekam suara. Jika suara ini nyata, ia ingin membuktikannya. Ia merekam selama beberapa menit, lalu memutar ulang hasil rekaman. Awalnya, hanya terdengar suara angin. Namun, setelah beberapa detik, suara lain muncul—desahan lemah yang hampir terdengar seperti… tangisan.
Karina merinding. Tangannya gemetar saat ia menghentikan rekaman. Ada sesuatu yang tidak beres dengan rumah itu.
Pikirannya langsung melayang ke percakapan singkat dengan Bu Rina, tetangga sebelahnya, siang tadi. Wanita tua itu sudah tinggal di apartemen ini selama lebih dari sepuluh tahun dan tampaknya tahu banyak tentang lingkungan sekitar.
“Jangan terlalu sering memperhatikan rumah itu, Nak,” kata Bu Rina tadi sore, saat mereka bertemu di tangga apartemen.
“Maksudnya?” tanya Karina penasaran.
“Rumah itu sudah kosong lama,” jawab Bu Rina, suaranya lebih pelan seolah tak ingin ada yang mendengar. “Tapi kadang-kadang… ada yang masih tinggal di sana.”
Karina mengernyit. “Siapa?”
Bu Rina hanya menggeleng. “Kalau kamu mendengar sesuatu di malam hari, pura-puralah tidak tahu. Itu bukan urusan kita.”
Saat itu, Karina menganggap perkataan wanita tua itu hanya sekadar cerita lama yang dilebih-lebihkan. Namun, setelah apa yang baru saja ia alami, semuanya terasa berbeda.
Ia melirik jam di dinding—sudah hampir pukul dua pagi. Ia tahu ia tidak akan bisa tidur malam ini. Pikirannya terlalu dipenuhi dengan suara aneh itu, dengan bayangan yang ia lihat di jendela tadi.
Sambil berusaha menenangkan diri, ia memutuskan untuk mencari informasi tentang rumah itu di internet. Ia membuka laptopnya dan mulai mengetik alamat rumah tua tersebut. Beberapa hasil pencarian muncul, tetapi salah satu artikel menarik perhatiannya.
**”Kasus Hilangnya Nadira, Gadis yang Menghilang Tanpa Jejak di Rumah Tua”**
Karina mengklik artikel itu dengan jantung berdebar. Artikel tersebut menceritakan tentang seorang gadis bernama Nadira yang tinggal di rumah itu bertahun-tahun lalu. Ia menghilang secara misterius pada suatu malam, dan hingga kini, jasadnya tidak pernah ditemukan.
Jantung Karina semakin berdegup kencang.
Apakah suara yang ia dengar tadi… berasal dari Nadira?
Dan jika benar, siapa bayangan yang ia lihat di jendela tadi?
Angin berhembus kencang di luar, menggoyangkan ranting-ranting pohon. Dari kejauhan, suara aneh itu terdengar lagi, lebih jelas daripada sebelumnya.
Karina menelan ludah, menyadari satu hal—ia mungkin telah membuka pintu ke sebuah misteri yang seharusnya tetap terkubur.*
BAB 2: Rahasia Rumah Tua
Langit malam di kota kecil itu tampak kelabu, dihiasi bulan yang bersembunyi di balik awan. Angin berhembus pelan, menyelusup melalui celah-celah rumah-rumah tua yang berdiri kokoh sejak puluhan tahun lalu. Di antara bangunan-bangunan itu, ada satu rumah yang selalu menarik perhatian siapa pun yang melewatinya—rumah tua di ujung jalan, yang kini nyaris ditelan waktu.
Laras berdiri di depan pagar besi berkarat, menatap rumah itu dengan perasaan campur aduk. Ada sesuatu tentang rumah ini yang membuatnya gelisah, tetapi sekaligus membangkitkan rasa penasaran yang tak tertahankan. Bangunan tua itu berdiri kokoh meski catnya telah mengelupas, jendelanya berdebu, dan tanaman liar tumbuh merambat hingga ke atap.
“Kenapa kau ingin masuk ke sana?” tanya Rian, sahabatnya, dengan nada ragu.
Laras menghela napas. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” jawabnya, matanya masih terpaku pada rumah itu.
Rian menatap Laras dengan curiga. Mereka berdua baru saja pindah ke kota ini beberapa minggu lalu, dan sejak saat itu, Laras tak bisa menghilangkan ketertarikannya pada rumah tua ini. Ia pernah mendengar bisik-bisik dari warga sekitar bahwa rumah itu menyimpan rahasia kelam. Beberapa orang mengatakan pernah melihat bayangan di balik jendela, meski rumah itu sudah lama kosong. Yang lain mengaku mendengar suara-suara aneh saat melewati depan pagar.
“Aku dengar dulu ada keluarga yang tinggal di sini,” kata Laras, suaranya pelan. “Tapi mereka menghilang begitu saja. Tidak ada yang tahu ke mana mereka pergi.”
Rian bergidik. “Lalu kenapa kita harus mencari tahu? Ini bisa jadi urusan orang lain.”
Namun, Laras sudah melangkah mendekat, mendorong pagar yang berkarat dengan hati-hati. Pagar itu berderit nyaring, seolah sudah lama tidak disentuh manusia. Jantungnya berdebar kencang saat ia melangkah masuk ke halaman rumah.
Rumput liar hampir menutupi jalan setapak yang menuju ke pintu depan. Udara di sekitar rumah terasa lebih dingin dibandingkan tempat lain, seperti ada sesuatu yang bersembunyi di dalamnya.
“Laras, ini ide buruk,” bisik Rian, masih berdiri di depan pagar.
Laras tidak menggubrisnya. Ia menaiki tangga kayu yang sudah lapuk, lalu meraih gagang pintu. Anehnya, pintu itu tidak terkunci. Dengan sedikit dorongan, pintu terbuka, memperlihatkan lorong gelap dan berdebu di dalam rumah.
Ruangan itu dipenuhi aroma kayu tua dan debu. Karpet merah kusam masih terbentang di lantai, sementara perabotan antik berdiri diam di tempatnya, tertutup lapisan debu tebal. Seolah-olah rumah ini pernah ditinggalkan dalam keadaan tergesa-gesa.
Laras menyalakan senter dari ponselnya dan berjalan perlahan, menyusuri ruangan demi ruangan. Semua tampak normal—hanya rumah tua yang lama tidak dihuni. Namun, semakin dalam ia melangkah, perasaan tidak nyaman mulai merayapi dirinya.
Ia tiba di sebuah ruang tamu besar. Sebuah lukisan tua tergantung di dinding, gambaran sebuah keluarga yang berdiri dengan ekspresi datar. Ada seorang pria, seorang wanita, dan seorang anak perempuan kecil di tengah-tengah mereka. Mata anak itu tampak kosong, seolah menyimpan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan.
Laras menelan ludah. Ia melangkah lebih dekat untuk melihat lukisan itu dengan lebih jelas. Saat itulah ia menyadari sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang—ada bekas goresan di bagian wajah anak perempuan itu, seperti sengaja dicoret dengan sesuatu yang tajam.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari lantai atas.
Laras membeku. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa merasakannya di tenggorokan. Ia menoleh ke belakang, berharap itu hanya angin atau suara kayu tua yang memuai.
“Laras! Kita harus pergi sekarang!” suara Rian terdengar panik dari luar.
Namun, Laras masih terpaku di tempatnya. Ia merasa ada sesuatu—atau seseorang—yang memperhatikannya dari lantai atas.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat ponselnya, menyorotkan cahaya senter ke arah tangga. Tidak ada apa-apa di sana. Tapi entah kenapa, ia merasa semakin terjebak dalam atmosfer mencekam yang menggantung di dalam rumah ini.
Kemudian, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas.
Sebuah bisikan.
Laras tersentak. Ia mundur selangkah, tetapi tubuhnya menabrak sesuatu. Saat ia menoleh, darahnya seakan membeku—lukisan keluarga yang tadi tergantung di dinding kini tergeletak di lantai. Seolah-olah seseorang telah menjatuhkannya dengan sengaja.
Tanpa pikir panjang, Laras berlari keluar rumah, jantungnya berdetak begitu cepat hingga dadanya terasa sesak. Begitu ia melewati pagar, Rian langsung menarik tangannya.
“Kau gila?!” seru Rian. “Kau mendengar itu, kan?”
Laras mengangguk, napasnya masih memburu. “Aku tidak tahu suara apa itu… tapi kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang rumah ini.”
Rian menggeleng keras. “Tidak. Sudah cukup. Kita pergi dari sini dan melupakan semuanya.”
Namun, Laras tidak bisa mengabaikan perasaan yang muncul di dadanya. Rumah itu menyimpan sesuatu—sebuah rahasia yang telah terkubur selama bertahun-tahun. Dan entah kenapa, ia merasa bahwa rumah itu sendiri ingin mengungkapkannya.
Dari balik jendela lantai dua, sepasang mata tampak mengintai mereka dalam keheningan malam.*
BAB 3: Bisikan di Tengah Malam
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Laras duduk di kamarnya dengan buku harian tua milik Maya Hartono di tangannya. Cahaya lampu meja menerangi halaman-halaman kertas yang sudah menguning, sementara angin berhembus pelan melalui celah jendela. Rian, yang tadi bersikeras mengantarnya pulang setelah kejadian di rumah tua itu, kini telah kembali ke rumahnya sendiri.
Laras membuka halaman pertama dan mulai membaca.
_”Aku tidak tahu apakah aku harus menulis ini atau tidak. Tapi sesuatu di dalam rumah ini membuatku takut. Ayah dan ibu bilang itu hanya perasaanku saja, tapi aku yakin aku tidak salah. Ada seseorang—atau sesuatu—yang mengawasiku setiap malam.”_
Laras menelan ludah. Tulisan tangan Maya terlihat tergesa-gesa di beberapa bagian, seolah-olah ia menulisnya dalam keadaan panik.
_”Semalam, aku mendengar bisikan di kamarku. Aku pikir itu suara angin, tapi tidak. Suara itu memanggil namaku. Aku takut… sangat takut.”_
Laras merasakan bulu kuduknya meremang. Ingatannya kembali ke rumah tua itu, ke kamar kecil dengan gambar-gambar krayon yang aneh. Apakah Maya mengalami sesuatu yang lebih dari sekadar imajinasi anak kecil?
Laras menarik napas dalam dan melanjutkan membaca.
_”Aku mencoba memberitahu ayah, tapi dia tidak percaya. Dia bilang aku terlalu banyak membaca cerita menyeramkan. Tapi aku tahu aku tidak berhalusinasi. Aku bisa merasakannya… sesuatu ada di sini.”_
Tiba-tiba, Laras mendengar suara berdesis di luar jendelanya.
“Sssshhh…”
Laras tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke jendela, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya pohon mangga di halaman belakang yang bergoyang tertiup angin.
Mungkin hanya suara angin, pikirnya. Tapi perasaan tidak nyaman itu tetap ada.
Ia kembali menatap buku harian di tangannya dan membalik ke halaman berikutnya. Namun, sebelum ia sempat membaca lebih lanjut, lampu kamar tiba-tiba berkedip-kedip.
“Lampu ini kenapa?” gumamnya.
Kemudian, suara itu terdengar lagi.
“Sssshhh… Laras…”
Kali ini, suara itu jelas memanggil namanya.
Laras terdiam. Dadanya terasa sesak oleh ketakutan. Ia menoleh perlahan ke arah jendela, berharap itu hanya imajinasinya. Tapi di balik kaca jendela, ia melihatnya—bayangan hitam berdiri di luar, menatapnya.
Matanya melebar. Napasnya tercekat.
Dengan gemetar, ia melangkah mundur. Tangannya meraih ponsel dan dengan cepat menelepon Rian.
“Rian… aku melihat sesuatu di jendelaku!” bisiknya panik.
“Apa maksudmu?” suara Rian terdengar setengah mengantuk.
“Ada seseorang di luar! Aku mendengar bisikan! Aku tidak bisa sendiri di sini!”
Rian terdengar mengumpat sebelum berkata, “Tunggu di dalam kamar, jangan keluar. Aku akan ke sana sekarang.”
Laras menutup teleponnya dan berusaha mengatur napasnya. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya imajinasi, bahwa pikirannya sedang bermain-main dengannya setelah membaca buku harian itu.
Tapi kemudian, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Buku harian di tangannya tiba-tiba terbuka sendiri, lembaran-lembarannya berbalik seakan ditiup oleh angin yang tidak terlihat. Halaman berhenti pada sebuah catatan yang ditulis dengan tinta merah tua—seperti darah.
_”Jangan buka pintunya. Mereka akan datang saat kau sendiri.”_
Laras merasa tubuhnya membeku. Ia baru saja akan menutup buku itu ketika terdengar suara ketukan pelan di jendela.
Tok… tok… tok…
Suara itu pelan, tapi cukup untuk membuat napas Laras tercekat.
Dengan tangan gemetar, ia menoleh ke arah jendela. Tidak ada apa-apa di sana. Bayangan hitam yang tadi dilihatnya telah menghilang.
Tapi ketukan itu masih terdengar. Kali ini, berasal dari pintu kamarnya.
Tok… tok… tok…
Laras mencengkeram buku harian itu erat-erat. Ia tidak berani bergerak.
“Laras…” suara lirih terdengar dari balik pintu.
Suara itu terdengar aneh, hampir seperti suara anak kecil, tapi dengan nada yang ganjil—seperti dua suara yang berbicara bersamaan.
“Laras… buka pintunya…”
Tidak. Ia tidak akan membukanya.
Laras meraih ponselnya dan menghubungi Rian lagi, tapi panggilannya tidak tersambung.
Ketukan di pintu semakin keras.
TOK! TOK! TOK!
Kemudian, semuanya menjadi sunyi.
Laras tidak berani bergerak. Ia duduk di lantai dengan punggung menempel ke dinding, buku harian Maya masih dalam genggamannya.
Lalu, suara Rian terdengar dari luar.
“Laras! Aku sudah di depan rumahmu!”
Laras buru-buru bangkit dan berlari menuju pintu kamar. Ia membuka pintu perlahan, memastikan tidak ada siapa-siapa di luar, lalu bergegas menuju pintu depan.
Ketika ia membukanya, Rian berdiri di sana dengan napas terengah-engah. “Apa yang terjadi?”
Laras menatapnya dengan wajah pucat. “Ada sesuatu di sini. Aku mendengar suara-suara. Aku melihat bayangan hitam di jendelaku.”
Rian tidak langsung menjawab. Ia melihat ke dalam rumah, lalu kembali menatap Laras. “Aku pikir kau harus pergi dari rumah ini untuk sementara.”
Laras menggigit bibir. “Tapi…”
“Percayalah padaku,” potong Rian. “Sesuatu sedang memperhatikanmu. Dan aku yakin ini ada hubungannya dengan rumah tua itu.”
Laras menunduk, lalu melihat buku harian di tangannya.
Ia tahu satu hal: ini baru permulaan.*
.
BAB 4: Rahasia di Balik Pintu Terkunci
Malam itu, Laras duduk di ruang tamu rumah Rian, mencoba menenangkan dirinya. Setelah kejadian menyeramkan di rumahnya, Rian bersikeras agar Laras menginap di tempatnya sementara waktu. Meski berada di tempat yang lebih aman, bayangan kejadian tadi malam masih menghantuinya.
Di tangannya, buku harian Maya Hartono masih terbuka. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa semua ini ada hubungannya dengan rumah tua yang mereka datangi.
“Jadi, kau benar-benar melihat bayangan di jendelamu?” tanya Rian sambil duduk di seberangnya.
Laras mengangguk. “Ya, dan aku mendengar bisikan. Juga ketukan di pintu kamarku. Tapi saat aku membuka, tidak ada siapa-siapa.”
Rian menarik napas panjang. “Aku rasa kita harus kembali ke rumah tua itu. Aku punya firasat ada sesuatu yang belum kita temukan.”
Laras ragu sejenak, tapi bagian dalam dirinya setuju. Jika ada jawaban, maka itu pasti ada di rumah tua tersebut.
***
Esok paginya, mereka kembali ke rumah tua yang telah terbengkalai itu. Matahari masih tinggi, namun suasana rumah itu tetap terasa suram. Udara di dalamnya lebih dingin dibandingkan di luar, seolah-olah menyimpan sesuatu yang tidak terlihat.
Mereka berjalan perlahan melewati ruang tamu yang berdebu, menuju lorong yang mengarah ke kamar kecil yang sebelumnya mereka temukan. Tapi kali ini, perhatian Laras tertuju pada sesuatu yang belum ia sadari sebelumnya—sebuah pintu kayu tua di ujung lorong, tertutup rapat dengan gembok besar yang berkarat.
“Lihat itu,” kata Laras, menunjuk pintu tersebut.
Rian mengernyit. “Aku tidak ingat melihat pintu itu waktu pertama kali kita ke sini.”
Laras mendekati pintu itu dengan hati-hati. Ada ukiran angka di permukaannya, sebagian besar sudah pudar. Ia menyentuh kayunya yang terasa kasar dan lembap.
“Kita harus membukanya,” bisik Laras.
“Bagaimana caranya? Gemboknya sudah berkarat, tapi tetap kuat,” kata Rian sambil memeriksa kunci besi yang menggantung di pintu.
Laras berpikir sejenak, lalu mengeluarkan buku harian Maya dari tasnya. Ia membuka halaman-halaman dengan cepat, mencari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk.
Di salah satu halaman, ia menemukan tulisan yang mencurigakan:
_”Ayah selalu melarangku mendekati pintu itu. Tapi aku tahu ada sesuatu di baliknya. Aku pernah menguping dari luar, dan aku mendengar suara tangisan. Aku takut, tapi juga penasaran.”_
Laras menunjukkan tulisan itu kepada Rian.
“Jika Maya mendengar suara tangisan di balik pintu ini, berarti ada sesuatu yang penting di dalamnya,” katanya.
Rian melihat sekeliling, lalu menemukan sebuah batang besi tua yang tergeletak di lantai. Ia mengangkatnya dan mencoba mencongkel gembok dengan hati-hati. Butuh beberapa kali percobaan sebelum akhirnya besi itu patah dan gembok terbuka dengan suara berderak.
Mereka saling bertukar pandang sebelum Rian meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan.
Pintu itu terbuka dengan suara berdecit nyaring, mengungkapkan kegelapan di dalamnya.
Laras menyalakan senter ponselnya dan mengarahkan cahaya ke dalam ruangan. Ruangan itu kecil dan tampak seperti gudang, dengan rak-rak kayu berdebu yang berisi kotak-kotak tua. Namun, di sudut ruangan, sesuatu menarik perhatian mereka—sebuah kursi kayu kecil dengan rantai yang masih tergantung di lengan kursinya.
Laras merasakan dadanya sesak. “Rian… kursi itu…”
Rian melangkah mendekat, lalu menunduk untuk melihat sesuatu yang tertulis di dinding di belakang kursi itu. Tulisan itu tampak tercoret-coret dengan kasar:
_”Bebaskan aku.”_
Tiba-tiba, suara bisikan terdengar di telinga Laras.
*”Laras… jangan pergi…”*
Laras tersentak dan mundur dengan napas tersengal. “Aku mendengar suara itu lagi!”
Rian memandang sekeliling dengan wajah tegang. “Aku juga mendengar sesuatu…”
Suara seretan terdengar dari belakang mereka. Laras menoleh dan melihat salah satu kotak kayu perlahan bergeser sendiri, seolah-olah ada sesuatu di dalamnya yang ingin keluar.
“Rian… kita harus pergi!” kata Laras dengan suara gemetar.
Namun, sebelum mereka bisa berlari keluar, pintu di belakang mereka tertutup dengan keras.
BRAK!
Laras menjerit. Mereka terperangkap.
Cahaya senter ponselnya mulai redup, dan suasana di ruangan itu terasa semakin berat, seakan-akan udara sendiri menekan tubuh mereka.
Kemudian, suara langkah kaki terdengar di lantai kayu, mendekat ke arah mereka.
Langkah itu tidak terlihat, hanya terdengar.
Laras memejamkan mata dan menggenggam tangan Rian erat-erat. “Apa yang harus kita lakukan?” bisiknya ketakutan.
Rian mencoba menarik pintu, tetapi pintu itu tidak bergerak sama sekali.
Kemudian, suara bisikan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas.
*”Jangan tinggalkan aku di sini… Aku masih di sini…”*
Laras merasa tubuhnya gemetar hebat. Ia tahu satu hal—rahasia yang terkunci di dalam rumah ini jauh lebih mengerikan dari yang mereka bayangkan.*
BAB 5: Lukisan Terakhir Sang Maestro
Suasana di dalam ruangan kecil itu semakin mencekam. Laras dan Rian berdiri membeku di tengah kegelapan, hanya diterangi cahaya redup dari senter ponsel Laras yang berkedip-kedip, seolah enggan tetap menyala di tempat ini.
Bisikan itu telah menghilang, tetapi udara masih terasa berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengawasi mereka. Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang.
“Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama,” bisik Rian sambil mencoba sekali lagi menarik pintu. Kali ini, pintu itu terbuka dengan suara berderak pelan.
Tanpa berpikir panjang, mereka berlari keluar dari ruangan gelap itu, kembali ke lorong rumah tua yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Saat mereka melangkah menuju ruang utama, mata Laras tertuju pada sesuatu yang sebelumnya tidak ia sadari—sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding ruang tamu.
“Lihat itu,” kata Laras sambil menunjuk lukisan tersebut.
Rian mengerutkan kening. “Aku tidak ingat melihat lukisan itu waktu pertama kali kita ke sini.”
Mereka mendekati lukisan tersebut. Gambar dalam kanvas itu menggambarkan seorang pria tua dengan mata tajam dan senyum samar, duduk di depan sebuah jendela besar yang setengah tertutup oleh tirai merah. Tapi yang membuat bulu kuduk Laras meremang bukanlah wajah pria itu, melainkan bayangan gelap yang tampak samar di balik tirai, seperti seseorang yang sedang mengintip dari luar.
“Aku merasa ada yang tidak beres dengan lukisan ini,” kata Laras dengan suara pelan.
Rian meneliti bingkai lukisan yang terlihat lebih baru dibandingkan furnitur lain di rumah ini. “Ini seperti bukan berasal dari zaman yang sama dengan bagian rumah ini,” gumamnya.
Laras merasakan sesuatu yang aneh saat menatap mata pria dalam lukisan itu. Seolah-olah tatapannya bergerak mengikuti mereka.
“Apa mungkin ini ada hubungannya dengan pemilik rumah ini?” tanya Laras.
Rian mengangguk. “Aku pernah membaca bahwa rumah ini dulunya milik seorang pelukis terkenal, Raden Adipura. Ia menghilang secara misterius bertahun-tahun lalu, tak ada yang tahu ke mana perginya.”
Laras menelan ludah. “Kalau begitu, bisa jadi ini adalah lukisan terakhirnya sebelum ia menghilang.”
Mereka saling bertatapan. Jika benar lukisan ini adalah karya terakhir sang maestro, apakah itu berarti lukisan ini menyimpan rahasia tentang kepergiannya?
***
Malam itu, Laras membawa foto lukisan tersebut ke rumah Rian dan mulai mencari informasi lebih lanjut.
Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan sebuah artikel lama dari arsip berita lokal. Judulnya membuat jantungnya berdetak lebih cepat:
**”Lukisan Terakhir Sang Maestro: Karya yang Tak Pernah Selesai dan Misteri di Baliknya.”**
Laras membaca keras-keras:
*”Raden Adipura, maestro lukisan terkenal, dikabarkan menghilang secara misterius setelah menyelesaikan sebuah lukisan di rumahnya yang kini terbengkalai. Lukisan tersebut diyakini sebagai karya terakhirnya sebelum kepergiannya yang tidak terjelaskan. Beberapa orang percaya bahwa lukisan itu memiliki sesuatu yang tersembunyi—entah pesan rahasia atau bahkan lebih dari sekadar karya seni. Sampai hari ini, misteri di balik lukisan tersebut tetap belum terpecahkan.”*
Laras menatap Rian dengan ekspresi serius. “Aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi dalam lukisan itu.”
Rian menatap layar ponsel Laras, lalu berkata, “Kalau memang lukisan ini menyimpan sesuatu, kita harus melihatnya lebih dekat.”
***
Keesokan harinya, mereka kembali ke rumah tua tersebut, kali ini dengan tekad yang lebih kuat.
Di dalam rumah, suasana masih sama suramnya seperti sebelumnya. Mereka berdiri di depan lukisan itu, memperhatikannya dengan lebih teliti.
“Aku ingin mencoba sesuatu,” kata Rian. Ia mengeluarkan ponselnya dan menyalakan lampu senter, mengarahkannya ke permukaan lukisan.
Laras memperhatikan dengan cermat. “Ada sesuatu yang aneh…” bisiknya.
Rian mengarahkan cahaya ke sudut bawah lukisan. Ada goresan samar yang hampir tidak terlihat oleh mata telanjang. Ia menyentuhnya perlahan, dan tanpa diduga, bagian cat di sana terasa lebih tipis dibandingkan area lainnya.
“Sepertinya ada sesuatu di baliknya,” kata Rian.
Laras menelan ludah. “Kita harus mencari cara untuk melihatnya lebih jelas.”
Setelah mencari di sekitar rumah, mereka menemukan pisau kecil berkarat di atas meja tua. Dengan hati-hati, Rian mulai mengikis lapisan cat yang tampaknya lebih tipis itu.
Perlahan-lahan, sesuatu mulai terlihat di baliknya—sebuah tulisan kecil yang tersembunyi di bawah lapisan cat.
Laras membacanya dengan suara gemetar.
*”Aku dikurung. Aku tidak bisa keluar. Jika kau menemukan ini, tolong bebaskan aku.”*
Jantung Laras berdebar keras. Tulisan itu tampak seperti pesan terakhir seseorang.
“Apakah ini pesan dari Raden Adipura sebelum menghilang?” tanya Laras.
Rian menatap lukisan itu dengan mata penuh teka-teki. “Atau… mungkin ini bukan sekadar pesan. Mungkin dia masih ada di sini, di rumah ini.”
Laras merasakan bulu kuduknya meremang.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari dinding di belakang mereka.
Tok… Tok… Tok…
Mereka berpaling, menatap dinding tua itu dengan napas tertahan.
Ketukan itu terdengar lagi.
Seakan seseorang dari dalam dinding itu sedang meminta untuk dikeluarkan.*
BAB 6: Simfoni Kematian
Dentingan piano tua di ruang tengah bergema pelan, membelah keheningan rumah yang sudah lama ditinggalkan. Nada-nada sumbang yang dimainkan oleh angin seakan membentuk melodi aneh yang menggetarkan bulu kuduk Laras dan Rian.
Mereka berdiri di depan dinding tempat ketukan misterius itu terdengar malam sebelumnya. Rian, dengan tangan gemetar, mengarahkan senter ke dinding kayu yang tampak rapuh.
“Apa menurutmu ada sesuatu di balik dinding ini?” tanya Laras dengan suara lirih.
Rian mengangguk. “Bukan hanya sesuatu. Aku rasa seseorang pernah berada di sana.”
Laras menelan ludah. “Maksudmu… ada mayat di balik dinding ini?”
Rian tak langsung menjawab. Ia mengamati lebih dekat dan menyadari ada celah kecil di antara papan kayu. Dengan hati-hati, ia menyelipkan ujung obeng yang mereka bawa dan mulai mencongkel papan itu sedikit demi sedikit.
Krek!
Sebuah papan tua runtuh, memperlihatkan celah yang cukup besar untuk mengintip ke dalamnya. Udara dingin menyergap wajah mereka, disertai aroma apek yang menusuk hidung.
Cahaya senter Rian menyorot ke dalam ruang sempit di balik dinding, dan mereka melihat sesuatu yang membuat napas mereka tercekat.
Kerangka manusia.
Tersembunyi di dalam ruang sempit itu, tulang-belulang yang tersisa masih mengenakan pakaian yang telah lapuk dimakan waktu. Namun, yang lebih mengejutkan adalah benda yang tergeletak di sampingnya—sebuah biola tua dengan senar yang putus.
Laras menutup mulutnya, berusaha menahan rasa mual. “Siapa dia…?”
Rian menelan ludah, lalu mengamati biola itu lebih dekat. Ada ukiran kecil di bagian leher instrumen yang tampak masih terbaca meskipun sudah usang.
**”Untuk Raden Adipura—Maestro Terakhir.”**
Jantung Laras berdegup lebih cepat. “Jadi… ini dia?”
Rian mengangguk, matanya dipenuhi keterkejutan. “Sepertinya kita baru saja menemukan sisa-sisa tubuh Raden Adipura.”
***
Mereka duduk di lantai berdebu, mencoba mengatur napas setelah penemuan mengerikan itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?” Laras mengusap keringat dinginnya.
Rian masih memandangi kerangka di balik dinding. “Menurut berita yang kita baca, Raden Adipura menghilang secara misterius setelah menyelesaikan lukisan terakhirnya. Tapi sekarang kita tahu bahwa dia tidak pernah meninggalkan rumah ini. Dia dikurung… atau mungkin dibunuh.”
Laras menggeleng. “Tapi kenapa? Dan siapa yang bisa melakukan ini padanya?”
Tiba-tiba, suara lirih seperti gesekan senar biola menggema di udara.
Sreeet… sreeet…
Mereka menoleh ke arah ruang tengah, tempat piano tua berdiri membisu di sudut ruangan.
“Aku tidak suka ini,” gumam Laras.
Mereka bangkit perlahan dan berjalan ke arah piano. Rumah itu seakan hidup kembali, memainkan melodi kematian yang tak kasatmata.
Saat mereka tiba di depan piano, Rian melihat sesuatu di atas tuts yang tertutup debu tebal—sebuah lembaran musik tua. Ia mengambilnya dengan hati-hati dan membaca judulnya.
**”Simfoni Kematian”**
Laras mengernyit. “Apa ini?”
Rian meneliti lembaran itu. “Ini seperti partitur lagu yang belum selesai. Mungkin ini karya terakhir Raden Adipura sebelum dia menghilang.”
Laras menelan ludah. “Maksudmu sebelum dia dikurung… atau dibunuh?”
Rian mengangguk pelan. “Mungkin ada sesuatu dalam lagu ini yang membuatnya dibungkam.”
***
Malam semakin larut, tetapi mereka masih terjebak dalam misteri yang belum terpecahkan. Laras duduk di kursi tua dekat piano, sementara Rian mencoba mencari petunjuk lain di dalam rumah.
Tak lama kemudian, angin dingin bertiup masuk dari jendela yang terbuka sedikit. Lembaran musik di tangan Laras terjatuh ke lantai. Saat ia membungkuk untuk mengambilnya, matanya menangkap sesuatu di bawah piano—sebuah kotak kecil yang tampak tersembunyi di dalam celah kayu.
“Lihat ini!” serunya.
Rian segera kembali dan membantu menarik kotak itu keluar. Kotaknya terkunci, tetapi ada ukiran di atasnya:
**”Hanya dengan alunan yang benar, rahasia akan terbuka.”**
Laras dan Rian saling berpandangan.
“Apa ini ada hubungannya dengan lagu Simfoni Kematian?” tanya Laras.
Rian mengangguk. “Mungkin kita harus memainkan lagu ini.”
Laras menatap piano tua itu dengan ragu. Tangannya gemetar saat ia menyentuh tuts-tuts yang dingin dan berdebu. Dengan napas tertahan, ia mulai memainkan not pertama dari lembaran musik itu.
Nada pertama terdengar… lalu yang kedua…
Saat ia mencapai bagian tengah lagu, suara aneh mulai terdengar—seperti bisikan yang mengikuti setiap nada yang dimainkan.
Rian merinding. “Aku tidak suka ini, Laras.”
Namun, Laras merasa seolah ada sesuatu yang memandu jemarinya. Ia terus bermain, dan ketika ia mencapai nada terakhir…
Klik!
Kotak kecil di atas piano terbuka sendiri.
Di dalamnya, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah mereka berdesir—sebuah jurnal tua dengan halaman yang telah menguning.
Laras membuka halaman pertama, dan di sana tertulis:
*”Aku tahu mereka akan datang untukku. Musikku adalah kunci, tetapi juga kutukan. Jika kau menemukan ini, berarti rahasiaku telah terungkap. Hati-hati, karena mereka mungkin masih ada di sini.”*
Laras dan Rian saling berpandangan dengan wajah pucat.
Siapa “mereka” yang dimaksud?
Dan apakah mereka benar-benar masih ada di rumah ini?*
BAB 7: Pintu ke Dunia Lain
Laras menelan ludah saat membaca tulisan dalam jurnal tua itu. Jantungnya berdetak kencang, sementara Rian masih terpaku menatap kata-kata terakhir di halaman pertama:
*”Hati-hati, karena mereka mungkin masih ada di sini.”*
“Apa maksudnya, Rian? Siapa ‘mereka’?” tanya Laras, suaranya bergetar.
Rian menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Tapi aku yakin semua ini berhubungan dengan menghilangnya Raden Adipura.”
Ia membalik beberapa halaman berikutnya dengan hati-hati. Tulisan tangan di dalamnya tampak tergesa-gesa, seakan ditulis dalam keadaan panik.
*”Aku telah menemukan sesuatu yang seharusnya tidak kulihat. Sebuah pintu… bukan pintu biasa. Aku pikir itu hanya bagian dari rumah ini, tetapi aku salah. Pintu itu membawa ke tempat yang tidak seharusnya ada di dunia ini.”*
Laras merinding. Ia memandangi sekeliling ruangan dengan waspada. Rumah tua ini memang menyimpan banyak rahasia, tetapi sebuah pintu ke tempat lain? Itu terdengar mustahil.
Rian mengarahkan senter ke bagian bawah jurnal, di mana terdapat sketsa kasar.
“Itu… seperti peta,” gumamnya.
Mereka meneliti gambar tersebut. Peta itu menggambarkan denah rumah dengan tanda khusus di satu sudut, tepat di belakang ruang piano.
“Apakah ini… menunjukkan keberadaan pintu itu?” Laras bertanya.
“Tidak ada salahnya kita memeriksanya,” jawab Rian, mencoba menahan rasa takutnya.
***
Mereka berjalan dengan hati-hati menuju area yang ditunjukkan dalam peta. Ruangan itu terletak di bagian belakang rumah, dipenuhi perabotan tua yang tertutup kain putih berdebu.
Di antara tumpukan barang, ada sebuah lemari kayu besar yang tampak lebih tua dari perabotan lain. Warnanya pudar, dan ada ukiran aneh di permukaannya—seperti simbol yang tidak mereka kenali.
“Apakah ini pintunya?” tanya Laras.
Rian menyorotkan senter ke sekeliling lemari. Tidak ada pegangan, tidak ada celah, hanya ukiran yang tampak semakin menyeramkan saat diperhatikan lebih lama.
“Aku rasa ini bukan lemari biasa,” kata Rian. Ia mengingat tulisan dalam jurnal, lalu mencoba menyentuh ukiran di tengahnya.
Saat jarinya menyentuh simbol itu, tiba-tiba udara di sekitar mereka berubah. Ruangan terasa lebih dingin, dan entah dari mana, terdengar suara pelan—seperti bisikan.
Laras mundur selangkah. “Rian… aku tidak suka ini.”
Tapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, lemari itu bergetar.
Krekk…
Perlahan, lemari itu terbuka dengan sendirinya. Bukan ke dalam, bukan ke luar, tetapi seperti terbelah menjadi dua, memperlihatkan lorong gelap yang seakan tidak memiliki ujung.
Laras dan Rian membeku di tempat mereka berdiri.
“Ini… bukan mungkin. Ini tidak masuk akal,” gumam Laras.
Rian menelan ludah, mencoba memahami apa yang mereka lihat. Lorong itu tampak tak berujung, seolah mengarah ke tempat lain. Udara di dalamnya lebih dingin daripada ruangan tempat mereka berdiri, dan ada aroma yang tidak bisa mereka jelaskan—seperti bau tanah basah bercampur sesuatu yang asing.
“Apa kita harus masuk?” tanya Laras, suaranya penuh keraguan.
Rian menatap ke dalam lorong itu, lalu kembali melihat jurnal di tangannya. Di halaman terakhir yang terbuka, ada satu kalimat yang tampaknya ditulis dengan sangat tergesa-gesa.
*”Sekali kau masuk, kau mungkin tidak akan pernah bisa kembali.”*
Rian menutup jurnal itu dengan cepat. “Aku tidak yakin ini ide bagus.”
Namun, sebelum mereka bisa mengambil keputusan, sesuatu di dalam lorong bergerak.
Bayangan.
Samar-samar, sosok gelap muncul di kejauhan, seolah berdiri diam, menatap mereka.
Laras mencengkeram lengan Rian. “Rian… ada sesuatu di sana.”
Rian mundur perlahan, tangannya gemetar. “Kita harus pergi. Sekarang juga.”
Namun, saat mereka hendak berbalik, suara itu datang lagi.
Bisikan.
Tapi kali ini, suara itu lebih jelas, dan berasal dari dalam lorong.
*”Jangan pergi…”*
***
Laras dan Rian berlari secepat mungkin meninggalkan ruangan itu. Mereka tidak peduli lagi dengan jurnal, tidak peduli dengan misteri yang belum terpecahkan.
Satu hal yang mereka tahu: ada sesuatu di balik pintu itu.
Dan sesuatu itu… tahu mereka ada di sana.*
.
BAB 8: Konspirasi Bayangan Hitam
Laras menatap langit malam dari jendela kamar rumah tua itu. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuat bulu kuduknya meremang. Bayangan hitam yang mereka lihat di dalam lorong tadi masih terngiang di benaknya.
Di sampingnya, Rian duduk dengan kepala tertunduk, jemarinya terus membolak-balik halaman jurnal tua yang mereka temukan. Hatinya gelisah, pikirannya penuh tanda tanya.
*”Siapa mereka?”*
*”Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?”*
“Laras,” suara Rian memecah keheningan. “Kita tidak bisa mengabaikan ini. Kita harus mencari tahu siapa yang menulis jurnal ini dan apa hubungan bayangan hitam itu dengan rumah ini.”
Laras menghela napas. “Aku tahu, Rian. Tapi aku takut. Apa yang kita lihat tadi bukan hal yang bisa dijelaskan dengan logika.”
“Tapi justru karena itu kita harus mencari tahu,” Rian berujar mantap. “Bayangan itu bukan hanya entitas yang kebetulan muncul. Aku yakin ada seseorang—atau sesuatu—yang mengendalikannya.”
***
Mereka memutuskan untuk kembali ke ruang kerja tua tempat mereka menemukan jurnal itu. Ruangan itu dipenuhi dengan buku-buku berdebu, meja kayu besar, dan rak yang hampir runtuh karena dimakan usia.
Rian menyalakan senter, menyorot ke sekitar. “Kalau ada catatan lain tentang apa yang terjadi di rumah ini, pasti ada di sini.”
Mereka mulai menggeledah laci-laci meja. Kertas-kertas lama berserakan, sebagian sudah hancur dimakan waktu.
Sampai akhirnya, Laras menemukan sebuah map cokelat yang tersembunyi di balik tumpukan buku.
“Rian, lihat ini!” serunya.
Rian mendekat. Ia mengambil map itu dan membuka isinya. Di dalamnya terdapat beberapa lembar foto hitam-putih yang tampak diambil puluhan tahun lalu.
Foto pertama menunjukkan sekelompok orang berdiri di depan rumah ini. Wajah mereka buram, tetapi salah satu dari mereka tampak mengenakan jubah hitam panjang.
Foto kedua memperlihatkan ruang bawah tanah rumah ini. Ada simbol aneh yang digambar di lantai, dan di tengahnya, seorang pria tampak berdiri dengan ekspresi ketakutan.
Foto terakhir adalah yang paling mengerikan. Itu adalah gambar seseorang yang tampak seperti bayangan hitam. Sosok itu tidak memiliki wajah, hanya siluet gelap dengan mata putih kosong.
Laras menelan ludah. “Apa… apa maksudnya semua ini?”
Rian mengambil selembar kertas lain yang terdapat dalam map itu. Ada tulisan tangan yang nyaris pudar:
*”Mereka ada di mana-mana. Aku telah melihatnya. Jika kau menemukan ini, pergilah sebelum terlambat. Jangan biarkan mereka tahu kau tahu.”*
Jantung Laras berdegup kencang. “Siapa yang menulis ini?”
Rian mengamati tulisan itu. “Aku tidak tahu… tapi yang jelas, seseorang ingin kita tidak berada di sini.”
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pelan dari luar ruangan.
Tok. Tok. Tok.
Mereka membeku.
Suara itu datang dari lorong.
Tok. Tok. Tok.
Semakin keras.
Laras menggenggam lengan Rian dengan erat. “Apa kita harus membuka pintu?” bisiknya.
Rian menggeleng. “Jangan. Kita tidak tahu siapa—atau apa—yang ada di luar sana.”
Namun sebelum mereka bisa bergerak, pintu terbuka perlahan dengan sendirinya. Engselnya berderit menyeramkan.
Di luar, lorong gelap membentang. Tidak ada siapa pun.
Hanya… bayangan hitam.
Sosok itu berdiri diam, tubuhnya samar seperti asap, tetapi matanya bersinar putih menyeramkan.
Laras menahan napas. Rian merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Lalu, bayangan itu bergerak.
Dengan kecepatan tak terduga, ia melesat ke arah mereka.
Laras menjerit. Rian menariknya mundur tepat sebelum bayangan itu mencapai mereka. Ia menghempaskan map cokelat yang mereka pegang, membuat kertas-kertas di dalamnya berhamburan ke lantai.
Namun, saat bayangan itu menyentuh salah satu foto, sesuatu yang aneh terjadi.
Bayangan itu tiba-tiba berhenti.
Matanya yang putih kosong kini menatap langsung ke arah foto tersebut.
Rian sadar. “Laras! Foto itu!”
Dengan tangan gemetar, Laras mengambil foto yang memperlihatkan simbol aneh di ruang bawah tanah. Saat ia mengangkatnya, bayangan itu mulai bergetar, seolah-olah tersiksa.
“Ini… ini pasti kelemahannya!” seru Rian.
Ia meraih foto lain dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Bayangan itu mengeluarkan suara geraman rendah sebelum tiba-tiba menghilang dalam kepulan asap hitam.
Laras jatuh terduduk, napasnya memburu. “Apa yang baru saja terjadi?”
Rian masih menatap kosong ke arah tempat bayangan itu menghilang. “Aku tidak tahu… tapi aku yakin ini semua bukan kebetulan.”
Ia menatap foto yang masih dipegangnya. Ada sesuatu yang dituliskan di baliknya.
*”Mereka bukan manusia. Mereka adalah bayangan yang diciptakan dari rahasia kelam. Jika kau menemukan ini, cari jawaban di ruang bawah tanah.”*
Laras dan Rian saling berpandangan.
Rahasia rumah ini semakin dalam dari yang mereka kira.
Dan kini, mereka tahu harus ke mana selanjutnya.*
BAB 9: Pengejaran Kegelapan
Laras dan Rian berdiri di hadapan pintu besi besar yang terkunci rapat. Di bawah cahaya senter yang lemah, mereka bisa melihat detail kecil yang sebelumnya tak terlihat: goresan-goresan halus di sekitar engsel pintu, yang tampaknya telah dilakukan dengan tangan yang terburu-buru. Seperti sebuah pesan yang tertinggal oleh seseorang yang ingin agar pintu ini tidak terbuka.
“Tunggu, Rian,” kata Laras dengan suara yang bergetar. “Kita sudah tahu apa yang ada di balik pintu itu, tapi apakah kita benar-benar siap untuk menghadapinya?”
Rian menatap pintu itu dengan serius. Matanya yang biasanya cerah kini dipenuhi keraguan. “Tidak ada jalan kembali, Laras. Kita sudah terlalu dalam. Kita tidak bisa mundur sekarang.”
Laras menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Mereka berdua tahu betul bahwa langkah berikutnya akan membawa mereka lebih dalam ke dalam misteri yang membayangi rumah tua ini.
“Tapi kita tidak tahu apa yang akan kita temui di dalam sana,” jawab Laras, suaranya lebih tenang namun tetap penuh kecemasan. “Apa yang kita lihat tadi—bayangan hitam itu—bukanlah sesuatu yang bisa kita sepelekan.”
Rian mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita harus mencari jawaban. Jika kita berhenti di sini, semua yang kita temui selama ini akan sia-sia.”
Dengan satu tarikan napas panjang, Rian memutar kunci yang dia temukan di salah satu laci meja kerja. Kunci itu berbentuk kuno, dengan lekukan-lekukan yang aneh di sepanjang permukaannya. Kunci itu berkilau samar di bawah cahaya senter, seolah mengingatkan mereka bahwa ini adalah pintu yang harus dibuka untuk mengungkap rahasia gelap yang tersembunyi di baliknya.
Ketika kunci itu berputar dalam lubang kunci, sebuah suara berderit keras memecah keheningan malam. Pintu itu perlahan terbuka, mengeluarkan bau apek yang sudah lama terpendam di dalam ruangan gelap.
Begitu pintu terbuka sepenuhnya, mereka disambut oleh lorong sempit yang dipenuhi debu tebal. Dindingnya terbuat dari batu tua yang berlumut, dan lampu-lampu gas yang tergantung di atas kepala mereka mulai menyala, memberikan cahaya redup yang tidak cukup untuk menghalau kegelapan.
“Aku tidak tahu apa yang akan kita temui di sini,” Laras berbisik, hampir tidak terdengar di tengah kesunyian yang mencekam. “Tapi aku rasa ini adalah awal dari akhir.”
Rian menatapnya, lalu mengangguk. “Kita harus bergerak cepat.”
Mereka berjalan perlahan memasuki lorong itu. Setiap langkah terdengar begitu keras di telinga mereka, bergaung seakan-akan dinding-dinding itu bisa mendengar dan merespon langkah mereka. Mereka tidak tahu berapa lama mereka berjalan, tetapi lorong itu seakan tak ada habisnya. Setiap belokan dan tikungan hanya membawa mereka lebih dalam ke dalam kegelapan.
Tiba-tiba, sebuah suara gemerisik terdengar dari dalam kegelapan. Laras menoleh dengan cepat, mencari sumber suara itu. Rian juga berhenti sejenak, memeriksa sekeliling mereka. Namun, tidak ada apapun yang terlihat.
“Rian… ada sesuatu yang salah,” bisik Laras, suaranya penuh ketegangan. “Aku merasa seperti kita sedang diawasi.”
“Jangan khawatir, Laras,” jawab Rian, meskipun nada suaranya lebih keras dari yang diinginkannya. “Itu hanya bayangan.”
Tapi Laras tidak merasa begitu. Ada sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang menjalari setiap sudut ruangan ini, mengikuti langkah mereka. Setiap kali mereka berhenti, seakan-akan suara langkah mereka bertambah, menciptakan gema yang semakin memekakkan telinga.
“Rian, kita tidak sendirian,” katanya, lebih yakin kali ini. “Ada sesuatu di sini.”
Rian merasa keringat dingin mulai merembes di pelipisnya. Ia menoleh ke belakang, berharap tidak ada apa-apa yang mengikuti mereka. Namun yang ia lihat hanya lorong gelap yang tak berujung. Tidak ada bayangan, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Mereka terus berjalan, sampai akhirnya mereka sampai di ujung lorong. Di sana, sebuah pintu kecil terbuka lebar, memperlihatkan ruang yang lebih besar. Ruangan itu gelap dan sunyi, tetapi suasana yang lebih berat terasa di udara.
Laras dan Rian melangkah masuk ke dalam ruang itu, dan betapa terkejutnya mereka ketika menemukan sebuah ruang bawah tanah yang tersembunyi di balik pintu itu.
Langit-langitnya rendah dan dipenuhi dengan sarang laba-laba yang menutupi sebagian besar dinding. Di tengah ruangan, ada meja besar dengan berbagai benda aneh yang tergeletak di atasnya: lilin-lilin yang sudah mencair, buku-buku tua yang terikat dengan kulit, serta simbol-simbol yang tampaknya terkait dengan ilmu hitam.
Tapi di sudut ruangan, ada sesuatu yang lebih menarik perhatian mereka: sebuah gambar besar tergantung di dinding, menampilkan gambaran gelap dari sosok manusia yang sedang dikelilingi oleh bayangan-bayangan hitam. Bayangan itu tampak hidup, berputar-putar seakan menari-nari di sekeliling tubuh manusia dalam lukisan itu.
“Ini… ini bukan lukisan biasa,” Laras berkata, dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Ada sesuatu yang jahat di sini.”
Rian mengangguk, tubuhnya terasa kaku oleh ketakutan. “Aku rasa kita sudah menemukan pusat dari semuanya.”
Tiba-tiba, suara gemerisik kembali terdengar, lebih keras kali ini, seperti sesuatu yang mendekat.
Laras dan Rian saling berpandangan, saling mengerti bahwa mereka harus bertindak cepat. Mereka mulai bergerak menuju pintu yang terletak di sisi lain ruangan, tetapi saat mereka mendekatinya, pintu itu tiba-tiba tertutup dengan keras.
Kegelapan mengelilingi mereka, dan mereka tahu—pengejaran ini belum berakhir. Kegelapan itu telah menemukan mereka, dan kini mereka harus menghadapi konspirasi yang telah lama terpendam di dalam rumah tua ini.*
BAB 10: Kebenaran yang Terkubur
Laras dan Rian berdiri di hadapan peti kayu tua yang baru saja mereka temukan di ruang bawah tanah. Peti itu terbuat dari kayu oak gelap yang terlihat usang dan telah terabaikan selama bertahun-tahun, namun ada sesuatu yang aneh dengan permukaannya. Terdapat ukiran-ukiran halus yang membentuk pola-pola rumit di sepanjang sisi peti, seolah ingin menceritakan kisah yang tersembunyi. Sebuah tanda yang tidak bisa diabaikan, menandakan bahwa benda di dalamnya lebih dari sekadar barang biasa.
Laras menatap peti itu dengan hati berdebar. “Apa kita benar-benar siap untuk membuka ini?” tanyanya, suaranya bergetar. Mereka sudah melewati banyak hal di rumah tua ini, dan setiap petunjuk yang mereka temui tampaknya membawa mereka lebih dekat pada sesuatu yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Sesuatu yang tersembunyi begitu lama, terlupakan, dan kini siap untuk terungkap.
Rian menghela napas panjang, matanya tetap terkunci pada peti itu. “Ini satu-satunya cara kita bisa menemukan kebenaran. Selama ini kita hanya mengejar bayangan, larut dalam teka-teki tanpa akhir. Kita harus membuka ini.”
Dengan hati-hati, mereka mendekati peti itu. Tangan Laras sedikit gemetar saat ia meraih pegangan peti yang terbuat dari logam kuno. Rian membantu, dan bersama-sama mereka menarik penutup peti dengan perlahan. Suara kayu berderit terdengar keras di ruang yang sunyi, menambah ketegangan yang sudah meliputi mereka.
Saat penutup peti terbuka, mereka menemukan sebuah tumpukan surat-surat lama yang telah menguning. Di atasnya, sebuah kotak kecil terbuat dari perak yang telah tergores oleh waktu, memancarkan kilau samar di bawah cahaya senter mereka. Kotak itu tampak sederhana, tetapi ada aura misterius yang menyertainya.
Laras meraih kotak itu dengan hati-hati, lalu membuka tutupnya. Di dalamnya, terdapat sebuah kunci besi tua yang tampaknya sangat berat, terbungkus dengan kain hitam. “Apa ini?” tanya Laras, memandangi kunci itu dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ini kunci untuk apa?” Rian bergumam, merasa semakin bingung. “Ini sepertinya bukan hanya sebuah kunci biasa.”
Laras memegang kunci itu erat-erat, dan merasakan sesuatu yang aneh. Ada rasa dingin yang menyelimuti tangan mereka, dan seolah-olah kunci itu mengandung kekuatan yang tak terlihat, menuntun mereka menuju sesuatu yang lebih gelap dan lebih dalam lagi.
Mereka melanjutkan untuk membuka tumpukan surat yang ada di dalam peti. Sebuah surat yang lebih menonjol dari yang lain menarik perhatian mereka. Surat itu tampaknya sudah usang, namun tulisan di atasnya masih terlihat jelas. Laras meraih surat itu dengan hati-hati dan mulai membacanya, suara lembutnya terputus-putus, namun kata-kata di dalam surat itu memberikan petunjuk penting.
*”Aku tahu bahwa aku tidak punya banyak waktu lagi, dan aku tidak bisa lagi bersembunyi dari kebenaran yang terkubur dalam kegelapan ini. Rumah ini adalah penjara bagi mereka yang ingin menyembunyikan rahasia kelam, dan aku adalah penjaga yang telah ditugaskan untuk melindungi sesuatu yang sangat berbahaya. Kunci ini akan membawa siapa pun yang menemukannya menuju pintu yang seharusnya tidak pernah dibuka. Aku mohon, jika kamu menemukannya, jangan pernah membuka apa yang ada di baliknya. Itu adalah kunci untuk dunia yang lebih kelam daripada yang bisa kamu bayangkan.”*
Laras membaca surat itu berulang kali, mencoba mencerna setiap kata yang tertulis di atasnya. Rian menatapnya dengan serius. “Jadi ini tentang rumah ini? Tentang apa yang ada di balik pintu yang kita buka kemarin?” tanyanya dengan nada yang penuh keraguan.
“Sepertinya begitu,” jawab Laras, suaranya hampir berbisik. “Ada sesuatu yang sangat buruk tersembunyi di sini, sesuatu yang sudah sangat lama terkubur.”
Mereka terdiam sejenak, membiarkan ketegangan yang ada di udara merasuk dalam-dalam. Mereka tahu bahwa mereka telah menemukan potongan besar dari teka-teki yang telah lama terabaikan. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah mereka akan cukup kuat untuk menghadapi kebenaran yang terkubur begitu dalam?
Rian menghela napas, kemudian berkata dengan mantap, “Kita sudah sejauh ini. Kita tidak bisa mundur. Kita harus mengetahui kebenaran ini, tidak peduli apa pun yang harus kita hadapi.”
Laras menatap Rian, merasa keraguan dan ketakutan yang sama. Namun, pada saat yang sama, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk terus maju. Apa yang mereka temui selama ini—bayangan hitam, suara aneh, dan konspirasi yang terungkap satu per satu—adalah petunjuk-petunjuk yang membawa mereka ke titik ini. Mereka tidak bisa berhenti sekarang.
“Kita buka,” kata Laras dengan suara yang lebih pasti. “Apa pun yang ada di sana, kita hadapi bersama.”
Rian mengangguk, dan mereka berdua mempersiapkan diri untuk melanjutkan pencarian mereka. Mereka memutuskan untuk mencari pintu yang disebutkan dalam surat itu—pintu yang terhubung dengan kunci yang baru saja mereka temukan. Kunci itu pasti mengarah pada sebuah ruang tersembunyi, sebuah tempat yang tidak seharusnya diketahui oleh siapa pun.
Langkah mereka menuju ruang bawah tanah semakin mantap, meskipun mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil semakin membawa mereka mendekat pada kebenaran yang mengerikan. Kunci yang mereka temukan bukan hanya kunci untuk membuka pintu; itu adalah kunci untuk membuka sebuah dunia yang telah lama terkubur dalam kegelapan.
Ketika mereka tiba di ujung lorong yang gelap, mereka bisa merasakan sebuah getaran di udara, sesuatu yang tidak bisa mereka lihat, tetapi bisa mereka rasakan. Rian mengambil napas dalam-dalam dan dengan tangan yang sedikit gemetar, ia memasukkan kunci ke dalam lubang kunci yang terletak di pintu besar di depan mereka.
Penutupan waktu yang panjang seakan memecah kesunyian ketika kunci berputar, dan pintu itu perlahan terbuka. Di balik pintu itu, mereka tahu bahwa kebenaran yang terkubur selama ini akhirnya akan terungkap. Tapi pada saat yang sama, mereka juga tahu bahwa kebenaran itu mungkin lebih gelap dan lebih mengerikan daripada yang bisa mereka bayangkan.
Pintu terbuka sepenuhnya, dan kegelapan menyambut mereka. Kebenaran yang terkubur selama ini akhirnya muncul ke permukaan, dan mereka harus siap menghadapi apa pun yang menunggu di dalam sana.*
BAB 11: Pertarungan Terakhir
Udara di ruang itu terasa begitu berat, seolah setiap tarikan napas yang mereka ambil semakin menambah ketegangan yang melingkupi. Laras dan Rian berdiri di depan sebuah pintu besar yang baru saja mereka buka, di hadapan mereka terbentang sebuah ruang gelap yang tak bisa dilihat dengan jelas, meskipun senter mereka menerangi sedikit sudut-sudut ruang yang sepi itu. Dari balik bayangan yang merayap, mereka dapat merasakan kehadiran sesuatu yang sangat besar dan berbahaya—sesuatu yang telah mereka kejar sejak awal mereka memasuki rumah tua ini.
Laras menggenggam erat tangan Rian, merasa kegelisahan merayap di dalam hatinya. Di balik pintu ini, kebenaran yang mereka cari seharusnya ada—tapi juga ada ancaman yang tersembunyi, lebih gelap dari yang mereka bayangkan. Semua petunjuk, semua keanehan yang mereka temui, akhirnya mengarah pada satu titik ini. Di balik pintu ini, tersembunyi rahasia yang tak hanya akan mengubah hidup mereka, tetapi juga mungkin mengubah dunia yang mereka kenal.
“Rian, kita sudah sampai di sini,” bisik Laras, suara lirih namun penuh ketegasan. “Kita tidak bisa mundur lagi.”
Rian menatap Laras, merasakan ketegangan yang sama. “Kita harus siap menghadapi apa pun yang ada di dalam sana. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang semua orang.”
Mereka melangkah maju, memasuki ruang yang lebih gelap daripada yang mereka bayangkan. Suara langkah kaki mereka terdengar sepi, hanya diiringi oleh suara detak jantung yang semakin keras. Mereka tahu bahwa sesuatu sedang menunggu mereka. Semua perjalanan ini—semua yang telah mereka hadapi—mengarah pada pertempuran terakhir ini. Semua kebohongan, semua konspirasi, dan kegelapan yang terpendam selama ini akan terungkap dalam waktu yang sangat singkat.
Sekitar sepuluh langkah lebih dalam, mereka akhirnya mencapai ujung ruang itu, di mana sebuah meja batu besar berdiri di tengah-tengah. Di atas meja itu terbaring sebuah buku tebal yang tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang telah rusak. Buku itu memancarkan cahaya samar, seolah ada kekuatan misterius yang menyertainya.
Laras merasa kecurigaan dan ketakutannya semakin kuat. “Itu dia,” katanya dengan suara bergetar. “Buku itu… mungkin semua jawaban ada di dalamnya.”
Namun, sebelum mereka bisa mendekat untuk mengambil buku itu, suara rendah terdengar dari kegelapan di sekeliling mereka, memecah keheningan.
“Jangan coba mendekat.”
Suara itu begitu dalam dan mengerikan, hampir seperti bisikan dari dalam tanah. Rian dan Laras terdiam sejenak, menyadari bahwa mereka tidak sendirian. Dari balik bayangan gelap, sosok seorang pria muncul, mengenakan jubah hitam yang compang-camping. Wajahnya tersembunyi dalam bayangan, tetapi matanya—mata yang berkilat tajam—terlihat jelas, memancarkan keangkeran yang luar biasa.
Pria itu berdiri di depan mereka, seolah menjaga buku yang ada di atas meja itu. “Apa yang kalian cari? Kebenaran? Atau kehancuran?”
Laras menatapnya dengan curiga. “Siapa kamu?” tanyanya, suara penuh tantangan.
Pria itu tersenyum, sebuah senyuman yang tidak mengandung kebahagiaan, tetapi lebih kepada penghinaan. “Aku adalah penjaga kebenaran yang kau cari. Dan kebenaran itu… tidak bisa diterima oleh orang sepertimu.”
Rian mengangkat tangannya, bersiap untuk melangkah maju. “Kami datang ke sini untuk mengungkap apa yang telah disembunyikan selama ini. Kamu tidak akan bisa menghentikan kami.”
Namun, sebelum Rian bisa melangkah lebih jauh, pria itu melambaikan tangan, dan seketika ruangan itu dipenuhi dengan energi yang begitu kuat. Suara gemuruh memenuhi udara, dan cahaya yang semula redup berubah menjadi sangat terang, seakan matahari tiba-tiba terbit di tengah malam. Rian dan Laras merasakan tubuh mereka terhempas ke belakang, terjepit oleh kekuatan tak terlihat yang menahan mereka di tempat.
“Ini bukan sekadar pertarungan fisik,” suara pria itu bergema di udara. “Ini adalah ujian keberanian dan jiwa. Hanya mereka yang siap menghadapinya yang bisa melangkah lebih jauh.”
Laras dan Rian merasa tubuh mereka terikat oleh energi yang tak kasat mata, dan seolah terjebak dalam jaringan tak terlihat. Mereka berjuang untuk bebas, tetapi kekuatan pria itu terlalu besar. Namun, Laras tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah begitu saja. Mereka telah terlalu jauh, dan tidak ada yang bisa menghentikan mereka sekarang.
“Rian,” bisik Laras, “kita harus melawan dengan cara kita sendiri.”
Rian menatap Laras, dan dalam sekejap, mereka saling memahami. Mereka tidak bisa melawan kekuatan itu dengan kekuatan fisik saja. Mereka harus mencari cara lain, cara yang lebih dalam dan lebih cerdas. Laras mengambil napas dalam-dalam, mencoba meresapi setiap detik yang berlalu, mencari petunjuk dari lingkungan mereka.
Tiba-tiba, Laras melihat sebuah pola pada dinding di sekitar mereka, sebuah simbol yang pernah mereka lihat sebelumnya—simbol yang muncul di dalam buku yang mereka temukan di ruang bawah tanah. Tanpa berpikir panjang, Laras menunjuk ke arah simbol itu. “Itu dia, Rian! Simbol itu!”
Rian mengangguk, dan bersama-sama mereka mulai mencari cara untuk menggunakan simbol itu, berusaha menemukan celah dalam energi yang menghalangi mereka. Mereka merasa kekuatan itu mulai melemah sedikit demi sedikit, dan akhirnya, setelah perjuangan yang melelahkan, mereka berhasil.
Dengan sekuat tenaga, mereka mengubah posisi mereka, menembus kekuatan yang menahan mereka, dan bergerak menuju meja batu tempat buku itu terbaring. Namun, pria itu masih berdiri di sana, matanya berkilat tajam, menunggu mereka.
“Jika kalian berani mengambil buku itu,” kata pria itu, “kalian harus siap untuk membayar harganya.”
Laras dan Rian saling berpandangan, dan dalam tatapan itu, mereka tahu bahwa pertempuran terakhir ini belum selesai. Buku itu hanya sebagian dari kebenaran yang mereka cari. Namun, mereka harus menghadapi konsekuensinya—apa pun itu.
Dengan langkah mantap, Laras maju dan meraih buku itu. Begitu ia menyentuhnya, suara gemuruh kembali terdengar, dan pria itu tersenyum dengan cara yang aneh. Kebenaran ini akan terungkap, tetapi harga yang harus dibayar akan sangat mahal.
Pertarungan terakhir baru saja dimulai.*
BAB 12: Cahaya di Balik Jendela
Cahaya keemasan mulai menyinari ruang gelap yang penuh dengan ketegangan, memecah kegelapan yang selama ini menyelimuti. Setelah perjuangan keras melawan kekuatan misterius yang melindungi buku itu, Laras dan Rian kini berdiri di ambang pintu menuju kebenaran yang lebih besar, yang jauh melampaui apa yang pernah mereka bayangkan. Buku yang mereka ambil itu kini tergeletak di tangan Laras, seolah berbisik untuk mereka membuka lembar demi lembar, untuk menggali lebih dalam rahasia yang ada di dalamnya.
Namun, meskipun buku itu tampak seperti kunci dari semua misteri yang telah mereka hadapi, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Di dalam hati mereka, keduanya tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Cahaya yang menerobos masuk ke ruang itu bukan hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri mereka—sebuah cahaya yang timbul karena keinginan untuk mengungkap kebenaran, meski berisiko mengorbankan nyawa mereka.
Di balik jendela besar yang terletak di sebelah kanan mereka, langit terlihat cerah, seolah dunia luar tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam rumah tua ini. Jendela itu tampak tidak biasa. Pada malam-malam sebelumnya, Laras dan Rian sering merasakan ada sesuatu yang mengintai dari baliknya, seolah ada sesuatu yang menunggu mereka. Tapi sekarang, dengan buku itu di tangan mereka, jendela itu tampak memancarkan cahaya yang berbeda—cahaya yang membawa harapan, namun juga ketakutan.
Laras menatap jendela itu, perasaan cemas dan penasaran bercampur dalam dirinya. “Rian, lihat… cahaya itu. Apa artinya?” tanyanya, suara bergetar namun penuh tekad.
Rian mengikuti arah pandang Laras dan melihat cahaya yang memancar melalui jendela, seolah mengundang mereka untuk mendekat. “Aku rasa, kita harus membuka jendela itu. Mungkin itu adalah pintu menuju akhir dari semua ini.”
Dengan langkah hati-hati, mereka mendekati jendela besar itu. Saat Laras membuka jendela, angin malam yang dingin menerobos masuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang busuk. Di luar, di bawah cahaya bulan yang pudar, mereka melihat sebuah pemandangan yang tak terduga. Sebuah taman yang sepertinya telah lama terlupakan, dengan patung-patung yang tampak rusak dan semak-semak yang tumbuh liar, menutupi jalan setapak yang dulu terlihat rapi.
Namun, apa yang membuat mereka terkejut adalah kehadiran seorang pria berdiri di tengah taman itu. Wajahnya terlihat samar dalam cahaya bulan, namun gerakannya begitu tenang dan terarah, seolah dia sudah menunggu kedatangan mereka. Laras merasa ada sesuatu yang aneh dengan sosok itu, dan hatinya mulai berdegup kencang. “Siapa dia?” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Pria itu kemudian melangkah maju, dan saat dia semakin dekat, Laras dan Rian menyadari bahwa pria itu mengenakan pakaian yang sangat mirip dengan pakaian yang dikenakan oleh penjaga yang mereka temui di ruang bawah tanah—pria yang telah mencoba menghentikan mereka sebelumnya.
“Tunggu, ini tidak mungkin,” Rian berkata, hampir tidak percaya. “Dia… dia sama dengan pria yang ada di ruang bawah tanah.”
Pria itu akhirnya berhenti tepat di bawah cahaya bulan, dan wajahnya kini terlihat jelas. Mata pria itu berkilat, tajam, namun tidak terlihat jahat. Justru ada kedamaian dalam tatapan itu, meskipun di dalam hati Laras dan Rian, ada perasaan aneh yang tidak bisa mereka ungkapkan.
“Aku tahu kalian akan sampai di sini,” kata pria itu dengan suara yang dalam, namun tenang. “Dan aku tahu bahwa kalian telah menemukan kunci untuk membuka segalanya.”
Laras dan Rian saling memandang, bingung. “Kunci? Apa maksudmu?” tanya Laras, suaranya penuh keraguan.
Pria itu mengangguk pelan. “Buku itu adalah kunci untuk membuka tabir rahasia yang selama ini tersembunyi. Tapi untuk benar-benar memahami apa yang telah kalian temukan, kalian harus melihat dunia ini melalui mata yang berbeda. Dunia ini bukan hanya dunia yang kalian kenal.”
Rian menatap pria itu, mencoba mencerna kata-katanya. “Apa yang kau maksud dengan melihat dunia ini dengan cara yang berbeda?”
Pria itu tersenyum samar. “Lihatlah jendela itu dengan lebih teliti. Lihatlah bukan hanya dunia di luar, tetapi apa yang ada di baliknya.”
Laras merasa seperti ada yang hilang, seolah ada potongan puzzle yang masih belum cocok. Tanpa sadar, ia melangkah lebih dekat ke jendela dan menatap ke luar dengan seksama. Tiba-tiba, cahaya bulan yang semula pudar itu berubah menjadi lebih terang, dan di balik cahaya itu, dia melihat bayangan yang bergerak dengan cepat. Seseorang—atau sesuatu—berjalan di taman itu, tetapi bukan seperti manusia. Bayangan itu bergerak seperti sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dan jauh lebih kuat daripada apa pun yang pernah mereka hadapi.
Rian melihat ke arah yang sama, dan seketika dia merasakan getaran yang begitu kuat di tubuhnya. “Laras… apa itu?” suaranya hampir serak, penuh ketakutan.
Pria itu tetap berdiri, tidak terpengaruh oleh ketegangan yang melanda Laras dan Rian. “Itulah yang selama ini kalian cari. Itu adalah kebenaran yang terpendam, sebuah bayangan yang telah lama menunggu untuk keluar.”
Laras menggenggam buku itu dengan lebih erat, menyadari bahwa mereka kini berada di ambang sebuah kenyataan yang jauh lebih gelap dan rumit daripada yang bisa mereka bayangkan. Cahaya yang mereka lihat dari balik jendela itu bukan hanya simbol dari harapan atau pencerahan—melainkan sebuah pintu menuju dunia lain, sebuah dunia yang penuh dengan bahaya dan kegelapan yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya.
Dengan satu gerakan cepat, pria itu melangkah mundur ke dalam taman yang gelap, menunggu mereka untuk mengikuti. “Hanya dengan mengikuti cahaya ini kalian akan tahu siapa kalian sebenarnya, dan apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Laras dan Rian saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya, mereka merasakan keberanian yang lebih besar daripada ketakutan yang mereka rasakan. Mereka tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan mereka, dan mungkin juga awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Tanpa kata, mereka melangkah ke luar, menatap dunia yang penuh dengan misteri, untuk mengungkap kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik jendela.***
———-the end———–