• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
CINTA SEGITIGA

CINTA SEGITIGA

February 3, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
CINTA SEGITIGA

CINTA SEGITIGA

by MABUMI
February 3, 2025
in Romantic
Reading Time: 11 mins read

Bab 1: Kembali ke Titik Awal

Alya menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Pensil digital di tangannya hanya berputar-putar di antara jari, sementara kanvas virtual tetap kosong. Tenggat waktu semakin dekat, tetapi pikirannya tidak bisa fokus. Entah kenapa, hari ini hatinya terasa gelisah.

“Hari ini pulang cepat nggak?” Suara Adrian terdengar dari telepon yang ia letakkan di meja.

Alya menoleh sekilas. “Sepertinya sih, kalau nggak ada revisi mendadak dari klien.”

“Bagus. Aku mau ajak kamu makan malam. Sudah lama kita nggak makan berdua di luar.”

Alya tersenyum kecil. Adrian, seperti biasa, penuh perhatian meski sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter. “Baiklah, nanti kabari aku tempatnya.”

Percakapan selesai, tetapi kegelisahan dalam diri Alya tetap ada. Ia berusaha mengabaikannya dan kembali menatap laptopnya, namun baru beberapa menit berlalu, ponselnya bergetar lagi.

Sebuah pesan dari nomor yang sudah lama tidak muncul di layar:

“Hei, masih ingat aku?”

Alya mengernyit. Ia membaca pesan itu berulang kali sebelum akhirnya menatap nama pengirimnya. Reza.

Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak menyangka nama itu akan muncul lagi setelah bertahun-tahun. Jari-jarinya sempat ragu sebelum akhirnya membalas.

“Tentu saja. Siapa yang bisa lupa sama kamu?”

Hanya butuh beberapa detik sebelum balasan lain masuk.

“Aku baru pulang dari luar negeri. Mau ketemu?”

Alya terdiam. Reza adalah bagian penting dari masa lalunya. Mereka dulu lebih dari sekadar sahabat—hampir seperti sepasang kekasih, tapi hubungan itu tidak pernah terwujud. Ada perasaan yang tidak tersampaikan, ada janji yang tak sempat ditepati.

Seharusnya ia tidak perlu berpikir lama, tapi hatinya berkata lain. Ia menatap foto Adrian di mejanya—laki-laki yang selalu ada untuknya selama tiga tahun terakhir.

Namun, sebelum ia bisa membuat keputusan, jemarinya sudah mengetik balasan.

“Kapan dan di mana?”

Sore itu, Alya duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Ia menggenggam cangkir kopinya erat, mencoba menenangkan diri. Tidak butuh waktu lama sebelum seseorang masuk dan melangkah ke arahnya.

Reza masih sama seperti dulu—hanya lebih dewasa dan percaya diri. Rambutnya sedikit lebih panjang, wajahnya lebih tegas, tetapi senyumnya masih seperti yang Alya ingat: menawan dan sedikit nakal.

“Hei.”

“Hei,” jawab Alya, suaranya sedikit bergetar.

Reza duduk di depannya, mengamati wajahnya sejenak sebelum tersenyum. “Aku kira kamu bakal nolak ajakanku.”

Alya tertawa kecil, berusaha mengabaikan debaran aneh di dadanya. “Aku juga heran kenapa aku langsung setuju.”

“Karena kita punya urusan yang belum selesai,” kata Reza santai, menyandarkan tubuhnya.

Alya menatapnya tajam. “Kamu tiba-tiba hilang tanpa kabar bertahun-tahun, dan sekarang bilang kita punya urusan belum selesai?”

Reza menghela napas. “Aku nggak hilang. Aku pergi untuk sesuatu yang lebih besar. Tapi aku selalu ingat kamu, Alya.”

Hatinya mencelos. Ia ingin marah, tapi sekaligus rindu. Semua kenangan lama yang pernah ia tutup rapat perlahan terbuka kembali.

“Jadi, kenapa kamu kembali?” Alya mencoba mengendalikan emosinya.

Reza tersenyum. “Karena aku sadar, ada sesuatu yang belum selesai di sini. Dan mungkin, aku kembali untuk menuntaskannya.”

Alya tidak tahu apakah ia siap untuk itu.

Yang ia tahu, hidupnya tidak akan sama lagi setelah hari ini.

Bab 2: Luka Lama yang Terbuka

Alya menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Nama Reza masih terpampang di layar, percakapan mereka tadi siang seolah terus terputar di kepalanya.

“Karena aku sadar, ada sesuatu yang belum selesai di sini.”

Apa maksudnya? Apakah Reza benar-benar kembali untuk menyelesaikan sesuatu dengannya? Ataukah ini hanya sapaan biasa dari seorang teman lama yang sekadar ingin bernostalgia?

Ia menghela napas panjang. Ia tahu tidak seharusnya terlalu memikirkan pertemuan itu, tetapi hatinya berkata lain. Sudah tiga tahun ia menjalani hidup yang tenang bersama Adrian, namun kemunculan Reza menggoyahkan sesuatu dalam dirinya yang telah lama ia kubur.

“Kenapa melamun?”

Alya tersentak. Adrian sudah berdiri di ambang pintu apartemennya dengan sebungkus makanan di tangan. Ia tersenyum, tapi sorot matanya seolah memperhatikan Alya dengan lebih saksama.

“Kamu kelihatan capek,” lanjutnya sambil menaruh makanan di meja.

Alya cepat-cepat menyembunyikan ponselnya di balik bantal. “Iya, agak pusing karena kerjaan.”

Adrian duduk di sampingnya, membuka bungkusan makanan yang ia bawa. “Makanya, ini aku bawain makanan enak biar kamu nggak stres.”

Alya tersenyum tipis. Adrian selalu seperti itu, penuh perhatian dan tahu bagaimana menenangkannya. Tapi entah kenapa, malam ini pikirannya tetap tidak bisa lepas dari Reza.

—

Keesokan harinya, Alya kembali ke studio desain tempatnya bekerja. Namun, baru beberapa jam ia berkutat dengan proyek ilustrasinya, sebuah pesan dari Reza kembali masuk.

“Lagi sibuk?”

Alya menggigit bibirnya. Haruskah ia membalas? Atau lebih baik mengabaikan saja? Tapi sebelum pikirannya bisa menetapkan pilihan, jemarinya sudah mengetik.

“Sedikit. Kenapa?”

“Aku di dekat kantormu. Mau makan siang bareng?”

Alya menatap jam. Sudah hampir tengah hari, dan ia memang belum makan apa-apa. Lagi pula, ini hanya makan siang, tidak ada yang salah dengan bertemu teman lama, bukan?

Setengah jam kemudian, mereka sudah duduk di sebuah restoran kecil dekat kantornya. Reza terlihat santai, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku.

“Kamu masih suka pesen nasi goreng, kan?” tanya Reza setelah melihat menu.

Alya tertegun. “Kamu masih ingat?”

Reza tertawa. “Tentu saja. Aku bahkan masih ingat kamu selalu nggak suka kalau ada potongan timun di piringmu.”

Alya mendengus kecil, merasa sedikit canggung tapi juga tersentuh. Sudah lama sekali sejak ada seseorang yang memperhatikannya sampai sedetail itu.

Obrolan mereka mengalir dengan mudah, seolah tidak ada tahun-tahun yang terlewat di antara mereka. Reza bercerita tentang hidupnya di luar negeri, tentang pekerjaannya, tentang bagaimana ia akhirnya memutuskan untuk kembali.

“Aku sebenarnya nggak pernah lupa Indonesia,” kata Reza, memainkan sendoknya. “Tapi ada satu hal yang membuatku selalu ingin kembali.”

Alya mengernyit. “Apa itu?”

Reza menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Kamu.”

Jantung Alya berdegup kencang. Ia membuka mulut untuk bicara, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.

“Reza…”

“Aku tahu,” potong Reza cepat. “Aku terlambat. Kamu sudah punya Adrian sekarang. Aku nggak ada hak buat mengganggu hidupmu.”

Alya merasa dadanya sesak. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menyangkal, tapi ada juga bagian yang tak bisa memungkiri bahwa mendengar kata-kata itu dari Reza membuat hatinya bergetar.

Sebelum ia sempat menjawab, ponselnya berbunyi. Adrian.

Alya menatap layar ponselnya lama sebelum akhirnya mengangkat. “Halo?”

“Alya, kamu di mana?” Suara Adrian terdengar hangat seperti biasa, tapi ada sedikit nada khawatir di dalamnya.

“Aku… lagi makan siang di luar.”

“Oh. Aku pikir kamu masih di kantor, tadi aku mau mampir.”

Alya merasa bersalah seketika. “Maaf, aku nggak bilang dulu…”

“Tidak apa-apa. Nanti aku jemput sore ini, ya?”

“Iya,” jawab Alya cepat, sebelum menutup telepon.

Ketika ia menoleh ke Reza, laki-laki itu hanya tersenyum kecil.

“Kamu masih punya pilihan, Alya,” kata Reza pelan. “Aku cuma ingin kamu tahu itu.”

Alya tidak tahu apa yang lebih membuatnya takut—kata-kata Reza, atau perasaan dalam dirinya yang mulai goyah.

Bab 3: Ketika Hati Mulai Goyah

Alya berjalan menuju mobil Adrian dengan langkah ragu. Sejak siang tadi, pikirannya masih berkecamuk, terjebak antara masa lalu dan masa kini. Pertemuan dengan Reza menyisakan perasaan yang sulit dijelaskan—seperti pintu lama yang tiba-tiba terbuka kembali setelah bertahun-tahun tertutup rapat.

Adrian menunggunya di depan mobil, tersenyum seperti biasa. “Capek, ya?” tanyanya sambil membukakan pintu.

Alya hanya mengangguk kecil, lalu masuk ke dalam mobil. Biasanya, ia akan bercerita tentang harinya tanpa perlu ditanya. Tapi malam ini, ia merasa sulit untuk mengatakan apa pun.

Adrian meliriknya sekilas sebelum menyalakan mesin. “Kamu kenapa? Ada yang mengganggu pikiranmu?”

Alya tersentak. Adrian memang selalu peka terhadap perubahan sikapnya. Ia menggigit bibir, ragu apakah harus jujur atau tidak.

“Nggak apa-apa, cuma agak capek sama kerjaan,” jawabnya akhirnya.

Adrian tidak langsung menanggapi, hanya mengangguk kecil dan mulai menyetir. Tetapi Alya bisa merasakan bahwa ia tidak sepenuhnya percaya.

Setelah makan malam bersama Adrian, Alya pulang ke apartemennya sendiri. Ia pikir dengan mengalihkan fokus pada pekerjaannya, pikirannya akan lebih tenang. Namun, setiap kali ia mencoba menggambar, wajah Reza selalu muncul di kepalanya.

“Aku cuma ingin kamu tahu bahwa kamu masih punya pilihan.”

Kata-kata Reza terngiang-ngiang di telinganya.

Alya menghela napas dan mengambil ponselnya. Jemarinya mengetik pesan tanpa sadar.

“Reza, kita bisa bicara lagi?”

Tidak butuh waktu lama sebelum balasan masuk.

“Kapan pun kamu mau.”Esoknya, Alya bertemu Reza lagi di sebuah taman kota yang cukup sepi. Reza duduk di bangku kayu, mengenakan jaket denim dengan tangan diselipkan ke dalam saku. Begitu melihat Alya datang, ia tersenyum lebar.

“Aku nggak nyangka kamu bakal ngajak ketemu secepat ini,” katanya santai.

Alya duduk di sampingnya, menarik napas dalam sebelum berbicara. “Aku cuma… butuh kepastian. Kamu kenapa tiba-tiba muncul dan bilang semua itu?”

Reza menoleh, menatap Alya dengan tatapan serius. “Karena aku nggak bisa bohong sama diri sendiri. Aku pikir aku bisa melupakan perasaan ini selama bertahun-tahun. Tapi nyatanya, aku masih merasakan hal yang sama sejak terakhir kali kita bertemu.”

Alya menunduk. “Tapi aku sudah bersama Adrian.”

“Aku tahu.” Reza tersenyum kecil. “Aku nggak di sini buat merebut kamu dari dia. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku masih ada. Kalau kamu merasa ada sesuatu yang kurang dalam hubunganmu sekarang, aku ingin kamu mempertimbangkan aku lagi.”

Alya menggigit bibirnya. Ini tidak semudah yang Reza kira. Adrian adalah seseorang yang baik, yang selalu ada untuknya, yang memberinya kenyamanan. Tapi Reza… Reza adalah bagian dari masa lalu yang selalu terasa belum selesai.

“Alya,” panggil Reza pelan. “Aku cuma mau tanya satu hal. Kamu bahagia dengan Adrian?”

Alya terdiam. Ini adalah pertanyaan yang seharusnya mudah dijawab, tetapi malam ini rasanya begitu sulit.Saat pulang, Adrian sudah menunggunya di depan apartemen.

“Kamu dari mana?” tanyanya dengan nada yang lebih serius dari biasanya.

Alya merasa sedikit panik, tetapi berusaha tetap tenang. “Habis ketemu teman lama.”

Adrian mengamati wajahnya sejenak sebelum berkata, “Teman lama atau… seseorang dari masa lalu?”

Jantung Alya berdegup lebih cepat. “Kenapa kamu bertanya begitu?”

Adrian tersenyum tipis, tetapi ada kekecewaan di matanya. “Karena aku bisa merasakan ada sesuatu yang berubah dalam cara kamu melihatku akhir-akhir ini.”

Alya tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menunduk, menyadari bahwa hatinya memang sedang goyah.

Bab 4: Pilihan yang Menyakitkan

Alya duduk di sofa apartemennya, memeluk bantal sambil menatap layar ponsel. Pesan dari Reza yang terakhir belum ia balas. Begitu juga panggilan tak terjawab dari Adrian. Ia merasa terjebak dalam pusaran perasaan yang semakin membingungkan.

“Aku cuma mau tanya satu hal. Kamu bahagia dengan Adrian?”

Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya. Selama ini, ia selalu merasa nyaman bersama Adrian. Tetapi, apakah kenyamanan itu sama dengan kebahagiaan?

Pikiran Alya terus berputar hingga akhirnya ia tertidur di sofa.Pagi harinya, Alya terbangun dengan kepala berat. Ia melirik jam—sudah hampir siang. Tidak biasanya ia bangun terlambat seperti ini. Ketika ia meraih ponselnya, ada satu pesan baru dari Adrian.

“Bisa ketemu nanti malam? Ada yang ingin aku bicarakan.”

Alya menggigit bibirnya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Malam itu, Alya dan Adrian bertemu di restoran yang biasa mereka kunjungi. Tetapi kali ini, suasananya terasa berbeda. Adrian duduk dengan ekspresi serius, jemarinya saling bertaut di atas meja.

Alya merasa dadanya semakin sesak.

“Aku nggak mau bertele-tele,” kata Adrian akhirnya. “Kamu masih mencintaiku?”

Alya tersentak. Ini adalah pertanyaan yang lebih sulit dari yang ia kira.

“Aku…” Suaranya tercekat. Ia menatap Adrian, mencoba mencari jawaban dalam dirinya sendiri.

Adrian menghela napas, lalu berkata lebih pelan, “Aku tahu tentang Reza.”

Alya menegang. “Apa maksudmu?”

“Aku melihatmu dengannya kemarin.”

Darah Alya seakan membeku. “Adrian, aku—”

“Aku nggak marah,” potong Adrian cepat. “Aku cuma ingin tahu satu hal: jika dia tidak kembali, apakah kamu akan tetap merasa ragu seperti sekarang?”

Alya tidak bisa menjawab. Ia tahu Adrian berhak marah, tetapi laki-laki itu tetap tenang. Itu yang membuatnya merasa lebih bersalah.

“Kamu tahu, Alya?” lanjut Adrian, suaranya sedikit bergetar. “Aku selalu mencoba jadi yang terbaik untukmu. Aku pikir kita sudah bahagia. Tapi kalau ternyata hati kamu masih menyimpan orang lain, aku nggak mau memaksakan hubungan ini.”

Alya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Adrian, aku…”

“Aku cuma mau kamu jujur,” kata Adrian dengan nada lembut, tetapi tegas.

Alya menunduk, jari-jarinya mencengkeram rok yang ia kenakan. Ia tahu ia harus mengambil keputusan. Tapi apakah ia siap menghadapi konsekuensinya?Malam itu, setelah berpisah dengan Adrian, Alya berjalan tanpa tujuan. Tanpa sadar, kakinya membawanya ke tempat Reza pernah mengajaknya bertemu.

Dan di sanalah dia.

Reza berdiri di bawah lampu jalan, seperti sedang menunggunya. Begitu melihat Alya, ia tersenyum kecil. “Aku tahu kamu akan datang.”

Alya mendekat, dadanya masih sesak. “Aku baru saja bertemu Adrian.”

Reza mengangguk pelan. “Dan?”

Alya menghela napas panjang. “Aku harus membuat keputusan.”

Reza menatapnya dengan sabar. “Dan aku akan menerima apa pun yang kamu pilih.”

Alya menutup mata sejenak. Hatinya berbisik sesuatu yang selama ini ia coba abaikan.

Sekarang, saatnya ia menentukan jalan yang benar-benar ia inginkan.

Bab 5: Cinta atau Kebiasaan?

Ala duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang tampak kelabu. Angin sepoi-sepoi berhembus, tetapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya. Sejak pertemuannya dengan Adrian dan Reza, pikirannya terus berputar tanpa henti.

“Aku harus membuat keputusan.”

Kata-kata itu mudah diucapkan, tetapi sulit diwujudkan.

Adrian adalah bagian dari hidupnya selama tiga tahun terakhir—seseorang yang selalu ada untuknya, memberinya rasa aman dan stabilitas. Bersamanya, segalanya terasa tenang. Tapi di sisi lain, Reza membawa kembali bagian dari dirinya yang dulu ia kira sudah hilang—kebebasan, tawa, dan sesuatu yang lebih mendebarkan.

Apakah yang ia rasakan pada Adrian masih cinta? Atau hanya kebiasaan?

Alya memejamkan mata, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya sendiri.

Pagi harinya, Alya memutuskan untuk mengambil cuti sejenak dari pekerjaannya. Ia butuh waktu untuk berpikir dengan jernih. Tanpa sadar, ia justru mengarahkan mobilnya ke sebuah tempat yang penuh kenangan: kafe kecil yang dulu sering ia kunjungi bersama Reza saat mereka masih kuliah.

Ketika ia masuk, aroma kopi yang familiar langsung menyambutnya. Tempat itu masih sama seperti dulu, hanya saja sekarang ada beberapa perubahan kecil.

Saat Alya duduk di sudut kafe, seseorang menghampirinya.

“Aku nggak nyangka kita bakal bertemu di sini,” suara itu membuat Alya menoleh.

Reza berdiri di sampingnya, tersenyum kecil.

Alya terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kamu masih sering ke sini?”

Reza mengangguk. “Kadang. Tempat ini selalu mengingatkanku pada kita.”

Alya menunduk, mengaduk kopinya dengan pelan. “Reza… Aku masih bingung.”

Reza menarik kursi di depannya, duduk dengan tenang. “Aku nggak mau mendesak kamu. Aku cuma ingin kamu jujur sama perasaanmu sendiri.”

Alya menggigit bibirnya. “Aku sayang sama Adrian. Aku nyaman dengannya. Tapi aku juga nggak bisa membohongi diriku kalau kamu masih punya tempat di hatiku.”

Reza menatapnya dengan penuh pengertian. “Alya, cinta bukan cuma soal kenyamanan. Tapi juga tentang siapa yang benar-benar bisa membuatmu bahagia.”

Alya menelan ludah. Ia tahu Reza benar. Tapi apakah ia siap meninggalkan sesuatu yang stabil demi sesuatu yang belum pasti?

Sore harinya, Alya bertemu Adrian di taman kota. Laki-laki itu sudah menunggunya di bangku kayu dengan ekspresi tenang, meskipun matanya menunjukkan sedikit kegelisahan.

“Kamu sudah membuat keputusan?” tanya Adrian tanpa basa-basi.

Alya menarik napas dalam. “Aku… masih bingung, Adrian.”

Adrian menatapnya lama sebelum tersenyum kecil. “Aku sudah tahu jawabannya.”

Alya terkejut. “Maksudmu?”

“Kamu nggak perlu bilang apa-apa, Alya. Dari cara kamu berbicara, dari cara kamu menatapku, aku bisa melihat bahwa hatimu sudah berpihak pada Reza,” kata Adrian dengan nada lembut.

Alya terdiam.

Adrian melanjutkan, “Aku bisa jadi pasangan yang baik, tapi aku nggak bisa memaksamu untuk tetap mencintaiku kalau hatimu sudah ada di tempat lain.”

Mata Alya mulai berkaca-kaca. “Adrian… aku nggak pernah ingin menyakitimu.”

“Aku tahu.” Adrian tersenyum, meskipun ada kesedihan di matanya. “Dan karena aku mencintaimu, aku ingin kamu bahagia. Jika kebahagiaan itu bukan denganku, aku rela melepaskanmu.”

Alya menutup wajahnya dengan tangan, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

Adrian menghela napas, lalu berdiri. “Aku akan baik-baik saja, Alya. Kamu juga harus yakin dengan keputusanmu.”

Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia pergi.

Alya tetap duduk di bangku, merasa hatinya hancur meskipun ini adalah pilihannya sendiri.

Sekarang, hanya ada satu hal yang harus ia lakukan: menemui Reza.

Bab 6: Awal yang Baru

Alya berdiri di depan sebuah rumah dengan hati berdebar. Tangannya menggenggam ponsel erat, seolah mencari keberanian terakhir sebelum melangkah lebih jauh. Ini adalah keputusan yang telah ia buat, dan tidak ada lagi jalan untuk mundur.

Rumah itu sederhana, dengan pekarangan kecil yang dipenuhi tanaman hijau. Jendela di lantai dua terbuka, dan suara gitar samar-samar terdengar dari dalam. Tanpa ragu lagi, Alya mengetuk pintu.

Tidak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka, dan Reza muncul di hadapannya. Tatapannya sedikit terkejut, tetapi dengan cepat berubah menjadi lembut.

“Kamu datang,” katanya pelan, seolah masih tidak percaya.

Alya mengangguk. “Aku datang.”

Mereka saling menatap dalam keheningan, membiarkan angin sore menjadi satu-satunya suara yang mengisi ruang di antara mereka. Alya tahu ini bukan keputusan yang mudah, dan luka yang ia tinggalkan pada Adrian masih membekas dalam hatinya. Tapi ia juga tahu bahwa terus bertahan dalam hubungan yang tidak lagi seutuhnya ia inginkan hanya akan menyakiti mereka berdua.

“Aku sudah bicara dengan Adrian,” ujar Alya akhirnya.

Reza menatapnya dengan penuh perhatian. “Bagaimana reaksinya?”

Alya menghela napas. “Dia menerimanya. Dengan cara yang jauh lebih dewasa daripada yang aku harapkan.”

Reza tersenyum tipis. “Aku selalu tahu dia orang baik.”

Alya mengangguk. “Iya. Dan aku sangat menghargainya untuk itu.”

Sejenak, mereka kembali terdiam. Lalu Reza bertanya, “Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang?”

Alya menatap matanya dalam-dalam. “Aku ingin mencoba lagi. Aku ingin tahu apakah masih ada kita di masa depan.”

Reza menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum dan berkata, “Aku juga ingin itu.”

Hari-hari berlalu, dan perlahan-lahan, Alya mulai membangun kisahnya yang baru bersama Reza. Mereka tidak terburu-buru, tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu.

Suatu sore, mereka duduk di kafe favorit mereka, berbicara tentang banyak hal.

“Aku masih ingat pertama kali kita ke sini,” kata Reza sambil mengaduk kopinya.

Alya tersenyum. “Kita duduk di meja yang sama.”

Reza tertawa. “Dan kamu marah karena baristanya salah tulis namamu di gelas.”

Alya tertawa mengingat kejadian itu. “Aku ingat! Mereka menulisnya jadi ‘Alia’, bukan Alya!”

Tawa mereka bercampur dengan suara pengunjung lain di kafe itu. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, tetapi dengan hati yang lebih dewasa.

“Alya,” panggil Reza pelan.

Alya menoleh.

Reza menatapnya dengan serius. “Aku tahu keputusan ini nggak mudah buatmu. Aku juga tahu mungkin masih ada bagian dalam dirimu yang merasa bersalah pada Adrian. Tapi aku janji, aku akan melakukan yang terbaik untuk tidak mengecewakanmu lagi.”

Alya tersenyum, meraih tangan Reza di atas meja. “Aku tidak mencari yang sempurna, Reza. Aku hanya ingin seseorang yang mau berjuang bersamaku.”

Reza menggenggam tangannya lebih erat. “Dan aku akan jadi orang itu.”

Alya merasa dadanya menghangat.

Mungkin cinta bukan hanya tentang memilih antara masa lalu dan masa kini. Tapi tentang siapa yang bersedia berjalan bersama di masa depan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alya merasa yakin bahwa ia telah memilih dengan benar.

————————THE END——————–

 

Source: Gustian Bintang
Tags: cinta segitigaDerama percintaanpilihan hidup
Previous Post

DIBALIK PINTU YANG TERTUTUP

Next Post

Fans Manchester United Menyimpan Tahi di Lemari Kamar

Next Post
Fans Manchester United Makan Tahi dari Toko Kucing

Fans Manchester United Menyimpan Tahi di Lemari Kamar

mengajar mendusa untuk self-love

mengajar mendusa untuk self-love

Gara-Gara Tahi Kucing, Bapak Fans Manchester United Mengendus Anjing

Gara-Gara Tahi Kucing, Bapak Fans Manchester United Mengendus Anjing

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In