• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
DETAK JAM YANG MEMBISU

DETAK JAM YANG MEMBISU

March 21, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
DETAK JAM YANG MEMBISU

DETAK JAM YANG MEMBISU

by SAME KADE
March 21, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 18 mins read

Bab 1: Jam yang Henti Berfungsi

Pagi itu, udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya. Meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit, menyinari dedaunan yang basah oleh embun, Ardi masih merasa ada sesuatu yang tak tepat di dalam rumah tua itu. Rumah yang dulu penuh tawa, kini terasa sunyi. Dinding-dindingnya yang sudah mulai memudar, lantai kayu yang berderit, dan aroma kayu tua yang seolah enggan pergi, semuanya mengingatkannya pada masa kecilnya yang perlahan hilang dalam ingatan.

Di ruang tamu yang luas, sebuah jam dinding tua terpasang dengan gagah, seakan menjadi saksi bisu dari setiap perjalanan waktu yang ada dalam rumah ini. Jam itu sudah ada sejak kakek Ardi pertama kali membangun rumah ini. Kakek Ardi adalah sosok yang selalu mengingatkan dirinya tentang pentingnya menghargai waktu. Jam itu, dengan suara detaknya yang khas, selalu menjadi teman bagi setiap percakapan, selalu ada di latar belakang kehidupan mereka.

Namun kini, suara detak yang biasa mengiringi hari-hari Ardi, sudah tidak terdengar lagi. Ketika Ardi duduk di meja makan pagi itu, pandangannya tertuju pada jam dinding yang tergantung di dinding dekat pintu. Meski jarum jam bergerak, suara detaknya yang biasa memenuhi ruang itu hilang tanpa jejak. Sebuah keheningan yang membekap, seperti waktu yang berhenti.

Ardi merasa sesuatu yang aneh. Meski ia tidak tahu kapan tepatnya, ia menyadari bahwa sejak beberapa minggu lalu, suara detak itu memang menghilang. Pada awalnya, ia tidak terlalu memperhatikan. Mungkin karena kesibukan dan rutinitas hidup yang terus berjalan, ia hanya merasa ada kekosongan kecil di dalam dirinya. Tetapi, kini, kekosongan itu semakin terasa nyata, bahkan lebih mencekam.

Ardi mengalihkan pandangannya ke sisi lain ruang tamu. Kakeknya, yang dahulu adalah seorang pria yang selalu penuh semangat, kini telah tiada. Ia meninggal dua tahun lalu, meninggalkan Ardi dengan kenangan tentang bagaimana kakeknya selalu duduk di kursi favoritnya, sambil sesekali mengelus jam dinding itu dengan penuh cinta. Ardi selalu ingat bagaimana kakeknya bercerita tentang masa kecilnya, dan betapa ia menghargai setiap detak waktu yang berlalu.

Setiap kali kakek berbicara, jam itu selalu terdengar berdetak dengan penuh ketenangan, seakan waktu tidak pernah tergesa-gesa, meskipun hari terus bergulir. Detakan itu adalah pengingat, pengingat bahwa hidup tidak selamanya terulur, bahwa ada batasan yang harus dihargai. Begitu banyak pelajaran yang kakeknya sampaikan melalui suara detak itu, dan Ardi merasa bahwa bagian dari dirinya hilang bersamaan dengan hilangnya suara tersebut.

Hari ini, seolah-olah ada perasaan yang menggelisahkan dalam diri Ardi. Ia mengatur ulang gelas kopi di depannya tanpa bisa benar-benar menikmati minumannya. Ia merasa semakin terisolasi dalam pikirannya sendiri. Bahkan suara-suara kecil dalam rumah ini terasa semakin jauh, semakin asing. Ardi menyadari bahwa bukan hanya suara jam yang hilang, tetapi juga banyak bagian dari dirinya yang seolah terhenti sejak kakeknya meninggal. Tidak ada lagi obrolan malam tentang kehidupan, tidak ada lagi tawa riang yang memenuhi ruangan.

Ardi menatap kembali jam itu, matahari yang kini mulai lebih terik seakan memantulkan cahaya yang membuat bayangannya semakin jelas di dinding. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada jam itu, pada kenangan yang ia coba pertahankan. Ia bangkit dari kursinya dan melangkah mendekat ke dinding, di mana jam itu tergantung. Tangan Ardi meraih gagang jam dan mencoba untuk memutar jarum jam seperti yang biasa dilakukan kakeknya.

Namun, saat ia memutar jarum jam itu, ia sadar sesuatu yang sangat mencolok—jam itu tak lagi mengeluarkan suara seperti biasanya. Hanya ada keheningan yang mencekam. Hanya ada suara detak jantung Ardi yang semakin keras seiring kegelisahannya. Ia merasa ada yang salah, dan ia tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengembalikan keadaan seperti dulu.

Jam itu masih berfungsi dengan baik, jarumnya bergerak seperti biasa. Namun, detak itu, detak yang selalu hadir dalam setiap detik waktu, hilang tanpa sebab. Ardi menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa frustasi yang semakin membebani dadanya. Ia tahu, meskipun jarum jam bergerak, waktu tetap bergerak, tapi tanpa suara itu, ia merasa seakan segala sesuatu kehilangan maknanya. Detakan itu bukan hanya tanda bahwa waktu berjalan; detakan itu adalah pengingat bahwa ia harus menghargai setiap momen dalam hidupnya. Tanpa detakan itu, ia merasa kosong.

“Kau tidak akan pernah berhenti, kan?” gumam Ardi pelan, berbicara pada jam itu. Suara Ardi terdengar sangat kecil, hampir tak terdengar. Ia berharap seolah-olah jam itu akan menjawabnya, memberikan penjelasan mengapa suara detak itu bisa hilang begitu saja.

Namun, tentu saja, jam itu tetap membisu. Tidak ada jawaban.

Ardi kembali duduk di kursinya, menatap kosong ke depan. Ia merasa bingung. Mengapa suara detak itu bisa menghilang? Apakah ini tanda bahwa waktu itu sendiri juga mulai kehilangan maknanya? Ataukah ini adalah cara bagi hidupnya untuk menunjukkan bahwa kenangan akan terus mengalir meski suara-suara di sekitarnya mulai hilang?

Jam dinding itu, yang begitu penuh makna bagi Ardi, kini hanya menjadi sebuah benda mati yang tak bisa lagi mengingatkan dirinya tentang pentingnya waktu. Ia merasakan kesepian yang dalam, yang lebih dalam daripada sekadar keheningan yang ada di sekitarnya. Kesepian yang datang dari dalam dirinya sendiri, dari bagian dirinya yang sudah lama tidak ia temui, dari kenangan yang kini terasa semakin jauh.

Setiap detik yang berlalu semakin mengingatkan Ardi pada kenyataan bahwa hidup ini terus berlanjut, meskipun ada banyak bagian yang hilang dalam prosesnya. Waktu tidak pernah berhenti, meski terkadang kita ingin menghentikannya—seperti saat kita ingin kembali ke masa lalu yang penuh dengan kehangatan dan suara detakan jam yang tidak pernah bosan.

Tetapi kenyataannya, detak itu sudah hilang. Dan Ardi tahu, seiring waktu, ia harus belajar menerima kenyataan itu. Ia hanya bisa berharap, mungkin suatu hari nanti, suara detak itu akan kembali, entah dalam bentuk apa.

Sambil menatap jam itu sekali lagi, Ardi berbisik, “Aku rindu.”

Keheningan tetap melingkupi ruangan, dan suara detak yang dulu ada, kini menjadi kenangan yang hanya bisa ia simpan dalam hatinya.***

Bab 2: Suara yang Hilang

Pagi yang kelabu itu terasa lebih dingin dari sebelumnya. Ardi duduk di meja makan, mata terfokus pada secangkir kopi yang telah lama dingin. Rumah tua itu terasa semakin sunyi setiap harinya, seolah-olah kehidupan di dalamnya ikut pudar seiring dengan waktu yang terus berjalan. Seminggu berlalu sejak peristiwa pagi ketika ia pertama kali menyadari bahwa jam dinding itu tak lagi berdetak. Beberapa kali ia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa mungkin itu hanya hal kecil yang tidak terlalu penting. Namun, semakin lama ia merasakan, semakin dalam rasa kehilangan yang mengganggu pikirannya.

Jam dinding itu, yang dulu menjadi simbol keberlanjutan waktu dalam kehidupannya, kini terasa seperti beban. Setiap kali ia masuk ke ruang tamu, pandangannya selalu tertuju pada jam itu, dan setiap kali itulah ia merasa ada yang hilang. Detak jam itu telah menjadi bagian dari dirinya, bagian yang mengingatkan pada masa-masa yang lebih sederhana dan penuh kebersamaan.

Pagi itu, Ardi memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Ia tidak bisa lagi membiarkan dirinya terjebak dalam kebisuan yang semakin menyelimuti rumah ini. Sejak kakeknya meninggal, rumah ini memang terasa berbeda. Meskipun ia selalu tahu bahwa kehilangan adalah bagian dari hidup, entah mengapa kali ini ia merasa begitu berat. Kakeknya adalah sosok yang sangat berarti bagi Ardi—seseorang yang selalu mengajarkan arti kehidupan, pentingnya waktu, dan bagaimana menghargai setiap momen yang ada.

Dulu, ketika kakeknya masih hidup, mereka selalu menghabiskan waktu bersama, duduk berdua di ruang tamu, mendengarkan suara detakan jam dinding yang selalu menemani percakapan mereka. Kakeknya akan bercerita tentang masa muda, tentang perjalanan hidup, dan tentang bagaimana setiap detik yang berlalu membawa pelajaran baru. Ardi sangat menyukai momen-momen itu, momen-momen di mana suara jam dinding itu mengisi ruang dan memberikan rasa kedamaian dalam dirinya.

Namun kini, suara itu hilang, dan meskipun Ardi terus mencoba merasakannya dalam ingatannya, keheningan itu tetap menyelimutinya. Ia tidak bisa menahan perasaan kosong yang terus mengganggu dirinya. Suara detakan itu, yang dulunya begitu akrab, kini terasa seperti kenangan yang semakin memudar.

Pikirannya terhenti sejenak, menyadari bahwa ia telah berlama-lama melamun. Ardi menghela napas dan bangkit dari kursinya, melangkah menuju ruang tamu. Setiap langkah terasa berat, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berada dalam keadaan ini. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi pada jam itu, meskipun ia tahu, di dalam hatinya, bahwa masalahnya lebih dari sekadar detakan yang hilang. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mengikatnya pada kenangan dan waktu yang telah berlalu.

Sesampainya di ruang tamu, Ardi berhenti sejenak dan menatap jam dinding itu. Jam yang kini tampak semakin usang. Warna cat yang mulai pudar, goresan-goresan kecil pada permukaan kayunya, dan suara jarum jam yang bergerak pelan, semuanya mengingatkan Ardi pada kakeknya. Ia ingat betul bagaimana kakeknya selalu merawat jam itu dengan penuh perhatian, memastikan setiap bagian berfungsi dengan baik, dan bagaimana kakeknya akan memulai setiap percakapan dengan suara detakan jam yang menenangkan.

Ardi mendekati jam itu, dan tanpa berpikir panjang, ia mulai membuka penutup belakang jam. Ia tahu, meskipun ia tidak begitu paham tentang mekanisme jam, ada sesuatu yang mengganggu dirinya. Sesuatu yang membuatnya merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, seiring hilangnya suara detakan itu.

Dengan hati-hati, ia mulai memeriksa bagian dalam jam. Gear-gear kecil yang berputar, roda pengatur waktu, dan berbagai bagian lain tampak masih utuh, meskipun sedikit berkarat. Ardi mengangkat sedikit penutup logam untuk melihat lebih jelas. Begitu ia menatap lebih dalam, ia merasa ada yang aneh—meskipun semua bagian tampak berfungsi dengan baik, suara detakan yang dulu selalu terdengar tak pernah hadir kembali. Ia mencoba menggerakkan roda pengatur waktu, memastikan bahwa mekanisme jam bergerak dengan lancar, namun tetap saja, keheningan yang mendalam itu tetap terasa.

“Tapi kenapa?” gumam Ardi. Ia merasa kebingungannya semakin dalam. Apakah jam ini rusak tanpa sebab? Ataukah ada yang salah dengan dirinya, yang membuat ia begitu tergantung pada suara itu?

Saat itu, sebuah bayangan melintas dalam pikirannya. Ia teringat akan kata-kata kakeknya beberapa tahun lalu, yang pernah berkata, “Waktu berjalan tanpa mengenal henti, Ardi. Detak jam itu bukan hanya suara, itu adalah tanda bahwa setiap momen dalam hidup kita tak akan pernah kembali. Kita harus belajar untuk menghargai setiap detiknya.”

Kata-kata itu menggema dalam benaknya, seolah-olah kakeknya sedang berbicara langsung kepadanya. Ardi terdiam, matanya tertuju pada jam dinding itu. Mungkin, ia mulai berpikir, kehilangan suara detakan itu bukan hanya soal jam yang rusak, tetapi lebih kepada sesuatu yang hilang dalam dirinya—sesuatu yang telah ia lupakan seiring berjalannya waktu.

Ardi teringat kembali akan kehidupannya beberapa tahun terakhir. Setelah kakeknya meninggal, ia merasa semakin terisolasi. Meskipun hidupnya terus berjalan, ada sesuatu yang tak lagi berjalan dengan baik dalam dirinya. Ia mulai bekerja lebih keras, berusaha melupakan kesedihan dan rasa kehilangan yang ia rasakan. Tetapi meskipun segala sesuatu tampak berjalan normal, ia merasa ada kekosongan yang tidak bisa ia isi dengan apa pun. Ia merasa seperti hidupnya berjalan tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas, seperti jarum jam yang berputar tanpa suara.

Kini, dengan jam itu yang juga berhenti berdetak, ia merasakan betapa rapuhnya dirinya. Seolah-olah ia telah kehilangan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan kembali, meskipun ia berusaha keras untuk memperbaikinya.

Ardi menarik napas dalam-dalam dan menutup kembali bagian belakang jam. Mungkin ia tidak akan pernah tahu mengapa jam itu berhenti berdetak. Mungkin jam itu memang tidak akan pernah kembali berfungsi seperti dulu. Tapi satu hal yang ia tahu pasti adalah, hidupnya harus terus berjalan, meski tanpa detak itu. Mungkin, seperti jam itu, ia juga harus menemukan cara untuk melanjutkan hidupnya, meskipun dalam keheningan.

Ia berdiri, berjalan mundur selangkah dari jam itu, dan dengan satu kali pandangan terakhir, ia meninggalkan ruang tamu. Saat ia melangkah menuju pintu, ia merasakan sesuatu yang baru—mungkin bukan jawaban yang ia cari, tetapi sebuah pemahaman bahwa hidup tidak selalu bergantung pada suara-suara yang kita kenal. Ada banyak cara untuk mengukur waktu, dan banyak cara untuk menghargai setiap detiknya.

“Terima kasih, Kakek,” bisik Ardi pelan, sebelum menutup pintu ruang tamu dengan hati yang sedikit lebih ringan.**

Bab 3: Menghentikan Waktu

Setelah beberapa minggu berlalu, keheningan yang ditinggalkan oleh jam dinding itu semakin mengganggu Ardi. Ia merasa terperangkap dalam ruang yang sama, dengan waktu yang terus berjalan, tetapi tanpa adanya tanda nyata bahwa hidupnya bergerak maju. Semua perasaan yang muncul akibat hilangnya detakan jam itu semakin mendalam, dan Ardi merasa seolah ada yang tertinggal dalam dirinya. Seiring berjalannya waktu, semakin sulit baginya untuk bertahan dalam kebisuan yang memeluknya.

Pagi itu, Ardi bangun dengan tekad yang kuat. Ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Ia tidak bisa lagi membiarkan dirinya terperangkap dalam perasaan kosong yang menghantuinya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan, sesuatu yang harus ia temukan kembali—seperti sebuah misteri yang menunggu untuk dipecahkan. Ardi yakin bahwa untuk mengembalikan ketenangan dalam dirinya, ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan jam dinding itu.

“Kalau aku bisa memperbaikinya, mungkin aku juga bisa memperbaiki diriku sendiri,” gumam Ardi pada dirinya sendiri, meski ia tahu bahwa ini bukan hanya sekadar tentang jam itu. Ini tentang menemukan kembali sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ia merasa bahwa jam itu, lebih dari sekadar benda mati, memiliki kekuatan untuk mengingatkannya pada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang telah ia lupakan—tentang menghargai waktu, tentang mengingatkan dirinya untuk hidup dengan lebih penuh.

Dengan tekad yang bulat, Ardi berjalan menuju ruang tamu. Ia menatap jam dinding itu untuk beberapa saat, mencoba mengumpulkan pikirannya. Jam itu masih tergantung di tempat yang sama, dengan jarum-jarum yang terus bergerak tanpa suara. Ia bisa merasakan getaran kesunyian di sekelilingnya. Kakek Ardi selalu berkata bahwa jam itu adalah pengingat yang tak tampak, bahwa waktu bukan hanya sebuah angka atau angka-angka yang terus berputar, melainkan tentang makna yang terkandung dalam setiap detik yang berlalu.

Ardi mulai membuka tutup belakang jam dengan hati-hati. Mesin jam yang dulu begitu familier kini terasa asing di tangannya. Mungkin karena ia belum pernah benar-benar memahami cara kerja jam itu, atau mungkin karena sekarang, segala sesuatunya tampak lebih rumit dari yang ia kira. Bagian dalam jam itu penuh dengan roda gigi kecil yang berputar, pegas yang bergerak, dan mekanisme rumit lainnya. Ia menarik napas panjang dan mulai memeriksa setiap bagian dengan seksama.

Satu per satu, ia membersihkan debu yang menempel di setiap komponen mesin. Ia tidak tahu apakah ini akan berhasil, tapi ia merasa perlu mencoba. Sementara tangannya bekerja, pikirannya kembali melayang. Ardi teringat bagaimana kakeknya selalu sabar dan teliti dalam merawat jam itu. Kakeknya, dengan sikap penuh kebijaksanaan, selalu menyarankan agar Ardi lebih memperhatikan detik-detik kehidupan, seperti ia memperhatikan jam yang ada di hadapannya.

“Saat kita terburu-buru, kita seringkali melewatkan banyak hal yang penting,” ujar kakek suatu waktu, ketika Ardi bertanya mengapa ia sangat menghargai setiap detik yang berlalu.

Ardi memutar roda pengatur waktu, berharap bisa mendengar suara detakan yang sudah lama hilang. Ia mencoba untuk memaksakan diri, tetapi tak ada perubahan. Tidak ada suara yang keluar. Hanya ada keheningan yang semakin dalam.

Ia merasa putus asa, hampir merasa seperti ia sedang berjuang melawan sesuatu yang tak bisa ia ubah. Tapi ia tahu, sesuatu dalam dirinya masih mendorongnya untuk terus berusaha. Ada semacam panggilan yang mendorongnya untuk tidak menyerah begitu saja, bahkan jika itu tampak mustahil. Ardi sadar, ini bukan hanya soal memperbaiki jam itu. Ini tentang memperbaiki dirinya, tentang menghadapi kenyataan bahwa kadang-kadang kita harus menghadapi ketidakmampuan kita untuk mengendalikan segalanya.

“Kenapa kau berhenti, Kakek?” bisik Ardi, seolah kakeknya bisa mendengarnya. “Kenapa semua ini harus berakhir?”

Namun, tentu saja, hanya ada keheningan yang menjawab. Jam itu tidak mengeluarkan suara, dan meskipun Ardi berusaha keras untuk memperbaikinya, tak ada yang berubah. Keputusasaan mulai merayap dalam hatinya, dan ia hampir saja menyerah ketika tiba-tiba ia teringat kata-kata kakek yang lain: “Waktu tidak akan berhenti, Ardi. Bahkan ketika suara detak itu hilang, waktu akan tetap berjalan.”

Ardi terdiam sejenak, menyadari bahwa meskipun jam itu tak lagi berbunyi, waktu tetap terus berjalan. Ia mulai memahami bahwa apa yang kakeknya maksudkan bukan hanya sekadar tentang jam atau suara detakan yang hilang. Ini adalah pelajaran hidup—bahwa meskipun kita merasa kehilangan sesuatu yang berharga, kita harus belajar untuk terus berjalan. Waktu tidak akan menunggu kita, dan kehidupan tidak akan berhenti hanya karena kita merasa hampa.

Ia kembali menatap jam itu, kali ini dengan perasaan yang lebih tenang. Mungkin memang detak itu sudah hilang, dan mungkin itu adalah bagian dari proses. Mungkin saat ini waktunya untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua hal dapat kita kendalikan, termasuk waktu itu sendiri. Waktu akan terus bergerak, bahkan jika kita merasa terhenti.

Ardi menutup kembali bagian belakang jam dengan lembut, merasa ada sebuah pemahaman baru yang mulai tumbuh dalam dirinya. Ia berdiri dan memandang jam dinding itu satu kali lagi. Tidak ada suara detakan yang terdengar, namun ia merasa bahwa sesuatu dalam dirinya telah berubah. Mungkin ia tidak bisa mengembalikan suara itu, tapi ia bisa menghargai waktu yang ada, bahkan dalam keheningan.

Saat itu, Ardi teringat lagi tentang bagaimana kakeknya dulu selalu mengajarkan untuk menghargai setiap detik, tidak peduli betapa sederhana atau sulitnya hidup. Kakek selalu berkata, “Kita tidak tahu berapa lama waktu kita akan bertahan. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkannya sebaik-baiknya.”

Mungkin itu adalah inti dari pelajaran yang harus ia terima. Jam itu mungkin telah berhenti berbunyi, namun Ardi kini menyadari bahwa hidupnya masih terus bergerak, dan ia harus mulai memanfaatkannya dengan cara yang lebih bermakna. Keheningan yang kini mengisi ruang ini bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Itu adalah ruang kosong yang memberi kesempatan untuk belajar dan menemukan diri sendiri.

Dengan langkah yang lebih ringan, Ardi meninggalkan ruang tamu dan menuju ke luar rumah. Meski suara detak jam itu telah hilang, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan berhenti. Ada banyak hal yang masih bisa ia lakukan, banyak detik yang bisa ia manfaatkan. Mungkin, dalam keheningan ini, ia mulai menemukan kembali apa yang ia butuhkan untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.***

Bab 4: Menyentuh Kenangan

Sudah sebulan sejak Ardi memutuskan untuk menerima kenyataan bahwa jam dinding tua itu tidak akan lagi berdetak. Meski suara detakan yang biasa menemani hari-harinya kini telah menghilang, ada perubahan yang terjadi dalam dirinya. Perubahan yang lebih halus dan tidak tampak secara langsung, tetapi terasa dalam setiap langkah yang diambilnya. Ardi merasa bahwa meskipun jam itu berhenti, hidupnya tidak harus berhenti bersama dengan keheningan itu. Namun, ia juga menyadari bahwa masih ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya pulih—sebuah kesenjangan yang ia tidak bisa jelaskan, sebuah rasa kehilangan yang terus mengganggu pikirannya.

Pada suatu sore yang cerah, Ardi memutuskan untuk mengunjungi tempat yang sudah lama tidak ia datangi: rumah keluarga dari pihak ibunya. Rumah itu terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari yang sering membuatnya merasa tertekan. Rumah keluarga ibunya adalah tempat yang penuh kenangan, tempat di mana ia dan ibunya sering menghabiskan waktu bersama ketika ia masih kecil. Ketika kakeknya masih hidup, mereka sering mengunjungi rumah itu bersama-sama.

Namun, sejak ibunya pindah ke luar negeri beberapa tahun yang lalu, rumah itu hampir tidak pernah ia kunjungi lagi. Bahkan, ada kalanya Ardi merasa tidak nyaman kembali ke sana, seakan-akan kenangan masa kecilnya akan menyeretnya kembali ke masa yang tidak ingin ia ingat. Tetapi hari itu, entah mengapa, ia merasa bahwa mengunjungi tempat itu adalah langkah yang tepat untuknya. Mungkin, di tempat yang penuh kenangan itu, ia bisa menemukan sesuatu yang telah hilang dalam dirinya.

Ardi mengemudikan mobilnya melewati jalanan kota yang semakin padat. Meskipun ia merasa sedikit canggung untuk kembali ke tempat itu, ada sebuah dorongan dalam dirinya yang membuatnya terus melaju. Ia merasa bahwa mungkin, di rumah itu, ia bisa menemukan sesuatu yang dapat membantunya mengisi kekosongan yang ia rasakan sejak kakeknya meninggal dan sejak jam dinding itu berhenti berdetak.

Setibanya di rumah keluarga ibunya, Ardi berhenti sejenak di depan pintu gerbang. Rumah itu tampak lebih tua dari yang ia ingat, dengan dinding yang mulai pudar dan taman yang tidak terawat. Namun, meskipun rumah itu terlihat sedikit terlupakan, ada sesuatu yang mengingatkannya pada masa kecilnya. Aroma tanah basah, suara angin yang berdesir di antara pepohonan, dan cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah daun—semuanya membangkitkan kenangan yang dulu tersembunyi dalam benaknya.

Ardi melangkah keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu depan. Tangan kirinya menyentuh gagang pintu yang terasa dingin, dan saat ia membuka pintu itu, suara berderit yang lama tak terdengar kembali memecah keheningan. Rumah itu tampak sepi, seolah-olah waktu berhenti di sini, seperti halnya jam dinding yang berhenti berdetak.

Ia masuk ke dalam dan memandang sekeliling. Ruang tamu yang luas, dengan sofa yang sudah sedikit pudar warnanya, lampu gantung yang terpasang di langit-langit, dan meja kayu di tengah ruangan, semuanya masih tampak seperti yang ia ingat. Di atas meja itu, ada sebuah album foto yang terbuka. Ardi mendekatinya dan melihat foto-foto lama yang tertata rapi di dalam album. Foto-foto itu menggambarkan hari-hari bahagia ketika keluarga besar mereka berkumpul. Kakeknya, ibunya, dan dia sendiri yang masih kecil—semuanya tersenyum bersama di halaman rumah ini.

Ardi merasakan suatu kehangatan dalam dirinya saat melihat foto-foto itu. Meskipun wajahnya kecil dan polos, ia bisa merasakan kembali kebahagiaan yang pernah ia rasakan di masa itu. Ia bisa mendengar suara tawa kakeknya, bisa merasakan pelukan hangat dari ibunya, dan yang terpenting, ia bisa merasakan detakan jam yang selalu mengiringi setiap momen bahagia mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, semua itu hanya tinggal kenangan.

Tanpa sadar, matanya berkaca-kaca. Ardi menundukkan kepala, mencoba mengontrol perasaannya. Ia tahu, ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kenangan, meskipun kenangan itu begitu kuat dan mengikatnya. Tetapi, di sisi lain, ia merasa bahwa kenangan itu adalah bagian dari dirinya yang tak bisa diabaikan begitu saja. Seperti jam yang berhenti berdetak, kenangan itu juga berhenti seiring berjalannya waktu, tetapi ia tahu bahwa kenangan-kenangan itu akan selalu ada, meskipun tak bisa kembali lagi.

Ardi melanjutkan langkahnya ke ruang makan, tempat di mana mereka biasa duduk bersama saat makan malam. Di sana, di atas meja kayu yang besar, ada sebuah buku catatan tua yang selalu disimpan oleh kakeknya. Buku itu adalah tempat di mana kakeknya menuliskan berbagai catatan penting, baik itu tentang kehidupan sehari-hari, hal-hal yang harus dikerjakan, atau bahkan kata-kata bijak yang selalu menginspirasi Ardi.

Dengan hati-hati, Ardi membuka halaman-halaman buku itu. Tulisan tangan kakeknya yang rapi dan teratur terlihat jelas di setiap halaman. Ardi menemukan beberapa catatan yang pernah dibaca kakeknya untuknya—kata-kata yang penuh makna dan kebijaksanaan, tentang menghargai waktu, tentang menjalani hidup dengan penuh rasa syukur, dan tentang pentingnya menghormati setiap momen yang diberikan kepada kita.

Satu catatan yang paling mengena di hatinya adalah tulisan yang berbunyi, “Waktu tidak bisa kita kendalikan, Ardi. Tapi kita bisa mengendalikan cara kita menghargai waktu itu. Jangan biarkan detak jam itu berlalu sia-sia. Setiap detik memiliki makna, meskipun kita seringkali tidak menyadarinya.”

Ardi menutup buku itu perlahan, merasakan beratnya kata-kata itu. Ia tahu, inilah yang sebenarnya ia butuhkan—sebuah pengingat bahwa meskipun jam itu tidak lagi berdetak, hidupnya masih penuh dengan makna. Waktu terus berjalan, dan ia harus menemukan cara untuk menghargainya, meskipun dalam keheningan.

Tiba-tiba, suara pintu belakang terbuka, dan Ardi terkejut melihat sosok ibunya yang keluar dari dapur dengan senyuman lebar di wajahnya.

“Ardi!” serunya, dan langkah-langkah cepatnya menghampiri Ardi. “Aku kira kamu sudah lupa jalan pulang!”

Ardi tersenyum lembut. “Tidak, Bu. Aku hanya… butuh sedikit waktu untuk sendiri.”

Ibunya menatapnya dengan lembut, seolah bisa membaca perasaan yang sedang dipendam oleh anaknya. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Kadang kita butuh kembali ke tempat yang penuh kenangan untuk mengingat siapa kita sebenarnya.”

Mereka duduk bersama di ruang makan, berbicara tentang masa lalu, tentang kakek, dan tentang bagaimana hidup terus bergerak meski terkadang kita merasa hilang arah. Ibunya menceritakan beberapa kenangan tentang Ardi yang membuatnya tersenyum. Ia merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara, seperti ada bagian dari dirinya yang terisi kembali.

Namun, saat mereka berbicara, Ardi menyadari sesuatu. Meskipun jam dinding itu berhenti berdetak dan kenangan itu tak bisa kembali, ia memiliki pilihan. Ia bisa terus hidup dalam kesedihan, atau ia bisa belajar untuk menghargai waktu yang masih ia miliki. Seperti kakeknya yang selalu bijak, Ardi kini memahami bahwa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan untuk menjalani hidup dengan cara yang lebih penuh makna.**

Bab 5: Melangkah Maju

Setelah kembali dari rumah keluarga ibunya, Ardi merasa ada sebuah titik terang yang mulai menyinari kehidupannya yang gelap. Percakapan dengan ibunya dan kenangan yang ia temui di rumah itu memberikan sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam beberapa waktu terakhir—rasa kedamaian. Meski jam dinding yang dulu begitu akrab di telinganya tak lagi berdetak, Ardi mulai menyadari bahwa detak waktu tidak selalu terdengar dengan suara. Kadang, detak itu terasa di dalam hati kita sendiri, dalam setiap pilihan yang kita buat, dan dalam setiap langkah yang kita ambil ke depan.

Malam itu, Ardi duduk di meja kerjanya, merenung. Di atas meja, buku catatan tua milik kakeknya terbuka di halaman yang sama, dengan tulisan-tulisan bijak yang seolah berbicara langsung kepadanya. Kata-kata kakeknya bergema di benaknya, “Setiap detik adalah hadiah. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa makna.” Ia kini memahami lebih dalam makna kata-kata itu. Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali, tetapi yang bisa ia lakukan adalah menjalani sisa waktunya dengan lebih penuh kesadaran.

Hari-hari Ardi kini dipenuhi dengan rutinitas yang sedikit berbeda. Ia mulai bekerja dengan penuh fokus, berusaha untuk tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesendirian atau kebisuan yang sempat menyelimutinya. Ia juga mulai mengunjungi lebih banyak tempat, berinteraksi dengan teman-teman lama, dan kembali menikmati kegiatan yang dulu sering ia lupakan. Ia tidak ingin lagi terjebak dalam kenangan atau rasa kehilangan yang begitu dalam. Ada banyak hal yang masih harus ia lakukan, dan ia mulai merasa bahwa setiap detik itu penting.

Namun, ada satu hal yang masih mengganggunya. Meskipun ia mulai merasa lebih tenang, Ardi merasa ada sesuatu yang belum ia selesaikan. Jam dinding itu, yang dulu menjadi bagian dari rutinitasnya, kini terasa seperti sebuah simbol dari perjalanan hidupnya yang terhenti sejenak. Ia ingin kembali mendengar detakan itu, meskipun ia tahu bahwa suara itu tidak akan mengembalikan waktu yang telah berlalu. Tapi ada keinginan yang kuat dalam dirinya untuk menyelesaikan apa yang sudah ia mulai—untuk menemukan makna dari keheningan yang kini mengisi ruang rumahnya.

Pada suatu pagi, Ardi memutuskan untuk mencoba lagi. Ia kembali ke ruang tamu, tempat di mana jam dinding itu tergantung. Suara jam yang berhenti berdetak masih menghantuinya, tetapi kali ini ia tidak merasa takut atau tertekan. Sebaliknya, ia merasa seperti ada kesempatan baru yang menanti di balik keheningan itu. Ia membuka kembali penutup belakang jam itu, memeriksa bagian dalam dengan lebih teliti. Namun kali ini, bukan hanya sekadar ingin memperbaiki jam itu, tetapi untuk merasakan detik-detik yang ada di dalamnya. Ia ingin mengerti mengapa detakan itu begitu penting baginya, meskipun ia tahu bahwa jam itu tidak bisa mengembalikan waktu yang hilang.

Di dalam dirinya, Ardi mulai memahami bahwa hidupnya tidak harus bergantung pada jam atau suara detak untuk memberi makna. Meskipun jam itu berhenti, hidupnya terus berjalan. Waktu akan terus mengalir, tanpa peduli apakah kita mendengar detakannya atau tidak. Yang terpenting, menurut Ardi, adalah bagaimana kita memilih untuk menjalani waktu itu. Jam itu mungkin berhenti, tetapi waktunya masih ada.

Selama beberapa jam, Ardi mencoba untuk memperbaiki jam itu, mengutak-atik bagian-bagian kecil dengan sabar. Ada sesuatu yang menenangkan dalam proses ini. Ia merasa seperti ia sedang kembali terhubung dengan dirinya sendiri, dengan masa lalu, dan dengan kenangan yang seringkali ia hindari. Ketika akhirnya ia berhasil menggerakkan roda pengatur waktu dan mendengar suara detakan pertama kali setelah berbulan-bulan, hatinya terasa penuh.

Suara itu tidak keras, tetapi lembut dan mantap. Detakan jam itu, meskipun tidak seperti yang dulu, membawa rasa damai yang Ardi cari. Bukan hanya karena suara itu, tetapi karena ia kini tahu bahwa ia telah menemukan cara untuk menerima perubahan, untuk menerima kehilangan, dan untuk tetap melanjutkan hidup. Jam itu mungkin tidak akan pernah menjadi seperti semula, tetapi itu bukan berarti ia tidak bisa menemukan makna dalam keheningan yang ditinggalkannya.

Saat sore tiba, Ardi keluar rumah untuk berjalan-jalan di sekitar taman dekat rumahnya. Udara sore itu terasa segar, dan matahari yang hampir tenggelam memberikan cahaya hangat yang menenangkan. Ia merasa lebih ringan dari sebelumnya, seolah-olah bebannya sedikit demi sedikit terangkat. Di tengah perjalanan, ia berhenti sejenak dan menatap langit yang berwarna oranye keemasan. Ia berpikir tentang segala sesuatu yang telah ia lalui—tentang kakeknya, tentang kehilangan, dan tentang jam yang berhenti berdetak.

Namun, saat itu juga, ia merasakan sebuah pencerahan. Kehilangan itu, meskipun terasa berat, adalah bagian dari perjalanan hidup. Seperti jam dinding yang berhenti, hidup juga bisa mengalami titik henti, namun itu tidak berarti segalanya berakhir. Ardi menyadari bahwa meskipun waktu yang lalu tidak dapat dikembalikan, ia masih memiliki waktu untuk membuat perubahan, untuk belajar dari masa lalu, dan untuk menjalani sisa hidupnya dengan lebih penuh arti.

Sesampainya di rumah, Ardi duduk di ruang tamu dengan senyum di wajahnya. Jam dinding itu berdetak kembali, meskipun tidak sekeras dulu. Namun, suara itu bukanlah yang terpenting. Yang terpenting adalah bagaimana ia telah belajar untuk menghargai waktu yang dimilikinya—tanpa perlu bergantung pada suara detakan untuk mengingatkan dirinya akan arti kehidupan.

Ardi merasa bahwa ia kini siap untuk melangkah maju. Waktu yang telah berlalu tidak bisa kembali, dan mungkin itu adalah hal yang harus diterima. Tetapi ia tahu bahwa setiap detik yang tersisa adalah kesempatan untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Waktu itu sendiri adalah hadiah, dan Ardi kini siap untuk memanfaatkannya sebaik-baiknya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang ia cintai.

Detakan jam itu mungkin tidak terdengar lagi dengan jelas, tetapi Ardi tahu bahwa hidupnya akan terus berjalan. Dan itu adalah hal yang paling berharga—waktu yang masih ada.***

Prolog

Jam dinding itu selalu berdetak dengan ritme yang menenangkan. Suara detakan yang lembut namun pasti, mengisi setiap sudut ruang rumah Ardi. Seperti sebuah irama yang mengatur waktunya, memberikan rasa stabilitas dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Detakan itu menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari, sebuah pengingat bahwa waktu terus berjalan, bahwa setiap detik memiliki maknanya. Tidak ada yang lebih konstan dalam hidup selain waktu, dan jam dinding tua milik kakeknya adalah simbol dari hal itu.

Namun, suatu pagi, suara detakan itu berhenti. Tanpa peringatan, tanpa alasan yang jelas. Hanya ada keheningan, yang perlahan merayapi setiap sudut rumah dan menembus hati Ardi. Suara yang selama ini menjadi teman di setiap pagi, setiap malam, tiba-tiba menghilang, meninggalkan ruang kosong yang tak bisa dijelaskan. Jam itu tidak berbunyi lagi, dan Ardi tidak tahu mengapa. Ia mencoba memutar roda pengatur waktu, membersihkan mesin, dan memeriksa bagian dalam jam dengan teliti. Tetapi meskipun ia telah mencoba segalanya, suara itu tak pernah kembali.

Keheningan itu mengganggu lebih dari yang ia bayangkan. Tanpa suara jam yang berdetak, segala sesuatu terasa kehilangan ritmenya. Hidup Ardi mulai terasa seperti perjalanan yang terhenti, tanpa arah yang jelas. Di tengah kebisuan yang tiba-tiba menyelimuti, ia mulai merasa kehilangan—tidak hanya jam itu, tetapi juga sesuatu dalam dirinya yang telah lama terabaikan. Sesuatu yang kini terasa hilang, tidak bisa dijangkau, namun selalu ada di sana, mengintai di balik setiap detik yang berlalu.

Ardi mencoba untuk mengabaikan rasa hampa itu, melanjutkan kehidupannya seperti biasa. Namun semakin ia mencoba mengabaikan keheningan yang ada, semakin keras ia merasakannya. Suara detakan yang hilang seakan membawa Ardi pada perjalanan batin yang tak terduga. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, mengapa sesuatu yang begitu sederhana bisa begitu mengganggu? Apa yang sebenarnya hilang dalam dirinya? Dan mengapa, meskipun ia merasa terperangkap dalam waktu yang terhenti, ia tidak bisa berhenti memikirkan suara yang tidak pernah terdengar lagi?

Perjalanan ini, yang dimulai dengan sebuah jam yang berhenti berdetak, membawa Ardi pada pencarian yang lebih dalam—bukan hanya untuk memperbaiki jam itu, tetapi untuk menemukan kembali bagian-bagian dari dirinya yang telah lama terlupakan. Dalam keheningan itu, ia mulai menyadari bahwa detakan jam itu bukan sekadar suara, melainkan sebuah pengingat tentang bagaimana ia menjalani hidup, bagaimana ia menghargai waktu yang dimilikinya, dan bagaimana ia memaknai setiap momen yang berlalu.

Ardi tahu, meskipun jam itu tak lagi berbunyi, waktu tetap akan terus berjalan. Namun, apakah ia akan bisa menemui makna di balik keheningan itu? Ataukah ia akan terperangkap dalam kehilangan yang tak pernah berakhi.***

——————THE END ——————–

 

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #Fiksi#Kenangan#NovelIndonesia#Waktu3. #Kehilangan
Previous Post

NADA HATI YANG HILANG

Next Post

SILUET DI LORONG TERLARANG

Next Post
SILUET DI LORONG TERLARANG

SILUET DI LORONG TERLARANG

SUARA DARI KEDALAMAN

SUARA DARI KEDALAMAN

RAHASIA TERPENDAM MALAM KELAM

RAHASIA TERPENDAM MALAM KELAM

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In