• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SUARA DARI KEDALAMAN

SUARA DARI KEDALAMAN

March 21, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SUARA DARI KEDALAMAN

SUARA DARI KEDALAMAN

by SAME KADE
March 21, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 19 mins read

BAB 1 – REKAMAN MISTERIUS

1. Malam yang Tenang, Misteri yang Datang

Gulungan ombak perlahan menghantam lambung kapal Lautan Biru, sebuah kapal ekspedisi kecil yang berlabuh di perairan Pulau Seribu. Malam itu tenang, hanya suara angin berbisik di antara tiang-tiang kapal dan sesekali bunyi decitan tali yang tertarik oleh arus laut.

Di dalam kabin sempitnya, Raka duduk termenung. Matanya terpaku pada sebuah benda kecil di meja kayu di hadapannya—sebuah kaset rekaman tua yang ia temukan siang tadi saat melakukan penyelaman di bangkai kapal selam tua di dasar laut.

Tangannya sedikit gemetar saat ia memegang kaset itu. Ada sesuatu yang terasa janggal sejak ia menemukannya. Seperti ada energi yang mengalir dari benda kecil itu, membuat bulu kuduknya berdiri.

Ia menarik napas panjang, lalu memasukkan kaset itu ke dalam tape recorder tua yang ia bawa dalam setiap ekspedisi. Dengan sedikit keraguan, ia menekan tombol “Play”.

2. Suara dari Masa Lalu

Kaset itu berputar dengan suara berdesis. Awalnya hanya ada suara angin, ombak, dan gemuruh samar yang terdengar seperti suara dari dalam air. Raka menyipitkan mata, mencoba menangkap suara-suara yang mungkin tersembunyi di dalam rekaman.

Lalu, terdengar suara napas yang berat, disusul oleh suara seseorang yang berbisik:

“Mereka datang…”

Raka merasakan tubuhnya menegang. Suara itu terdengar seperti berasal dari seseorang yang ketakutan.

“Mereka akan menenggelamkanku…”

Tiba-tiba, suara dalam rekaman berubah menjadi statis keras, seperti ada gangguan yang menyelimuti pesan itu. Raka buru-buru menekan tombol “Pause”, napasnya memburu.

Jantungnya berdebar kencang. Apa maksud suara itu? Siapa yang berbicara?

Matanya melirik ke luar jendela kabin. Malam masih gelap, tetapi entah mengapa ia merasa seperti ada seseorang yang mengawasinya dari luar.

3. Memori yang Kembali

Pikirannya melayang ke siang tadi, saat ia menyelam bersama timnya di bangkai KRI Sagara, kapal selam tua yang dikabarkan hilang misterius 30 tahun lalu. Kapal itu teronggok di dasar laut, sunyi dan dingin seperti kuburan raksasa di bawah air.

Saat menjelajahi lorong-lorong sempitnya, ia menemukan sebuah ruangan kecil yang tampak seperti ruang komunikasi. Di sanalah ia menemukan kaset ini, tersembunyi di dalam laci berkarat, seolah-olah seseorang sengaja menyimpannya agar tak ditemukan.

Namun, yang paling mengganggunya adalah saat ia meninggalkan ruangan itu, ia merasa seperti ada seseorang yang memperhatikannya. Padahal, di dalam kapal itu hanya ada ia dan tim penyelam lainnya.

Sekarang, duduk sendirian di dalam kabin, perasaan itu kembali menghantamnya.

4. Gangguan yang Tak Terduga

Raka menelan ludah, lalu menekan tombol “Play” lagi. Ia harus mendengar rekaman ini sampai akhir.

Namun, begitu suara statis mereda, suara lain terdengar. Kali ini lebih jelas.

“Jika kau mendengar ini… itu berarti aku sudah mati.”

Raka membelalakkan mata. Suara itu lirih, hampir seperti bisikan, tetapi ada ketegasan di dalamnya.

“Jangan percaya mereka. Jangan biarkan mereka menemukannya…”

Suara itu tiba-tiba terpotong, digantikan oleh suara gemuruh yang aneh, seperti sesuatu yang berat sedang bergeser di dalam kapal selam.

Dan kemudian, terdengar suara lain.

Bukan suara manusia.

Suara itu rendah, bergema, seperti sesuatu yang datang dari kedalaman yang tak terjangkau oleh manusia.

Tiba-tiba, lampu kabinnya berkelip-kelip.

Raka tersentak, buru-buru mematikan tape recorder. Dadanya naik turun, napasnya tak beraturan.

Sejak kapan suhu di dalam kabinnya menjadi sedingin ini?

5. Panggilan Tengah Malam

Belum sempat ia menenangkan diri, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja.

Dengan tangan gemetar, ia meraihnya dan melihat layar. Tak ada nama yang tertera. Hanya nomor tak dikenal.

Raka ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya.

“Halo?” suaranya terdengar serak.

Tak ada jawaban. Hanya suara napas pelan di ujung telepon.

“Halo? Siapa ini?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.

Tiba-tiba, dari ujung telepon terdengar suara yang sama dengan yang ada di rekaman tadi:

“Mereka datang… mereka akan menenggelamkanku…”

Raka langsung menutup telepon dan melemparkannya ke meja.

Ia merasa seperti seseorang sedang mempermainkannya. Tapi siapa? Bagaimana mungkin suara dari rekaman itu bisa muncul dalam panggilan teleponnya?

Ia bangkit, berjalan ke arah jendela, dan mengintip ke luar. Lautan hitam terbentang luas, tak ada tanda-tanda kehidupan di sekelilingnya.

Namun, tiba-tiba ia melihat sesuatu di air.

Bayangan samar, seolah-olah ada seseorang yang mengapung di permukaan laut, mengawasinya.

Raka mundur selangkah, matanya membelalak.

Dan saat ia berkedip—bayangan itu menghilang.

6. Sahabat Lama, Misteri Baru

Panik mulai merayap di benaknya. Ia meraih ponselnya lagi dan menekan nomor Vina, sahabatnya yang juga seorang jurnalis investigasi.

Nada sambung berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara Vina yang mengantuk.

“Raka? Ini tengah malam, ada apa?”

“Vina… aku butuh bantuanmu,” kata Raka, suaranya terdengar goyah.

Vina langsung terjaga. “Kau baik-baik saja? Suaramu terdengar aneh.”

“Aku menemukan sesuatu. Sebuah kaset tua di bangkai KRI Sagara. Dan… ada sesuatu di dalamnya.”

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak tahu, Vina. Tapi aku yakin ada yang tidak beres dengan kapal itu. Dan ada seseorang—atau sesuatu—yang tidak ingin rekaman ini ditemukan.”

Hening sesaat sebelum akhirnya Vina berkata, “Besok aku akan ke sana. Kita harus menyelidiki ini.”

Raka mengangguk, meski ia tahu Vina tak bisa melihatnya. “Baik. Cepatlah datang.”

Namun, saat ia hendak menutup telepon, terdengar suara lain di latar belakang.

Suara napas berat.

Suara yang sama dengan yang ia dengar dalam rekaman.

Raka membeku. “Vina… apa ada orang lain di rumahmu?”

Vina terdengar kebingungan. “Tidak. Aku sendirian. Kenapa?”

Sebelum Raka bisa menjawab, teleponnya tiba-tiba mati, dan lampu kabinnya padam seketika.

Kegelapan menyelimuti sekelilingnya.

Dan di dalam kegelapan itu, ia mendengar sesuatu.

Bisikan.**

BAB 2: BANGKAI KAPAL TANPA NAMA

Air laut terasa semakin dingin saat Arya menyelam lebih dalam, tubuhnya melayang dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya dari helm selamnya. Ia menyesuaikan napasnya, memastikan kadar oksigen dalam batas aman, lalu melirik ke alat pengukur kedalaman di pergelangan tangannya. 30 meter. Masih sedikit lagi sebelum ia mencapai bangkai kapal yang diceritakan Dr. Fajar.

Perlahan, bentuk samar mulai terlihat di hadapannya. Bayangan besar yang tertutup lapisan pasir dan terumbu karang menjulang di bawahnya. Cahaya lampu helmnya menyinari lambung kapal yang mulai berkarat dan dipenuhi ganggang laut.

Namun, sesuatu membuat Arya mengerutkan dahi. Ia menyipitkan mata, mencoba mencari tulisan di badan kapal—nama, kode, atau tanda pengenal lain. Tapi yang ia temukan hanyalah besi kosong tanpa jejak identitas.

Biasanya, kapal memiliki nama atau nomor registrasi yang dicetak di lambungnya. Bahkan jika telah lama tenggelam, setidaknya sisa-sisanya masih bisa terbaca. Namun, kapal ini benar-benar kosong, seolah-olah seseorang telah dengan sengaja menghapus keberadaannya dari sejarah.

Arya menekan tombol komunikasi di helmnya.

“Dr. Fajar, aku sudah melihat bangkai kapalnya. Tapi ada sesuatu yang aneh. Tidak ada nama atau tanda identitas.”

Suara Dr. Fajar terdengar melalui earpiece. “Serius? Seharusnya setiap kapal punya tanda pengenal. Bisa periksa lebih dekat?”

Arya mendekati lambung kapal, menyentuhkan sarung tangannya pada permukaan berkarat itu. Tidak ada goresan, tidak ada bekas cat yang memudar. Kapal ini memang dibuat untuk dilupakan.

Dada Arya mulai terasa berat, entah karena tekanan air atau firasat buruk yang perlahan menyusup ke pikirannya.

“Baiklah, aku akan masuk.”

Ia berenang lebih dekat ke bagian buritan, mencari jalan masuk. Sebuah pintu baja terlihat sedikit terbuka, cukup bagi seseorang untuk menyelinap ke dalam. Ia mengambil pisau selam di ikat pinggangnya, lalu dengan hati-hati menyelipkan tubuhnya masuk ke dalam kegelapan kapal karam itu.

Begitu berada di dalam, Arya merasakan sesuatu yang berbeda. Air di sini lebih dingin dibandingkan bagian luar. Lampu helmnya menyapu sekeliling, mengungkap lorong sempit yang dipenuhi serpihan kayu dan kabel-kabel yang menjuntai dari langit-langit.

Tangannya menyentuh dinding, merasakan tekstur kasar dari karat yang mulai menggerogoti logam. Ia melangkah lebih dalam, menyusuri koridor yang mengarah ke ruang kemudi.

Saat melewati salah satu pintu, ia mendengar sesuatu.

Ting… ting… ting…

Arya membeku. Suara dentingan halus itu datang dari dalam kapal, bergema samar di air. Ia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Namun, lorong itu kosong.

Ia menelan ludah dan melanjutkan perjalanan.

Ketika ia tiba di ruang kemudi, ia menemukan kursi kapten masih berada di tempatnya, miring ke samping. Panel kontrol sudah hancur, tombol-tombolnya berkarat. Peta laut yang sebagian besar telah larut masih menempel di dinding. Namun, di meja dekat kemudi, ada sesuatu yang aneh.

Buku catatan.

Arya berenang mendekat, meraihnya perlahan. Kertasnya sudah rapuh, namun beberapa halaman masih bisa dibaca. Ia membuka salah satu lembarannya dan matanya membesar saat melihat tulisan tangan yang tercetak di sana.

“Kita tidak seharusnya ada di sini. Sesuatu ada di dalam air.”

Arya merasa bulu kuduknya meremang meski ia berada dalam air.

Ia membalik halaman berikutnya.

“Mereka mulai mendengar suara-suara. Bisikan di malam hari. Kami mengira itu hanya suara laut… sampai salah satu dari kami hilang.”

Ia merasakan napasnya semakin cepat. Siapa yang menulis ini? Apa maksudnya dengan suara-suara?

Tiba-tiba, sesuatu bergerak di sudut matanya. Arya menoleh.

Bayangan.

Sekilas, ia melihat sesuatu melintas di ujung lorong. Sesuatu yang bergerak cepat, terlalu cepat untuk bisa dikenali.

Tangannya menggenggam pisau selamnya lebih erat.

“Dr. Fajar…” suaranya terdengar lebih bergetar dari yang ia harapkan. “Aku merasa ada sesuatu di sini.”

“Tenang, Arya. Mungkin hanya ikan atau bayanganmu sendiri.”

Tapi Arya tahu itu bukan ikan.

Ia melangkah perlahan menuju lorong yang gelap. Setiap gerakan terasa semakin berat. Ia bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.

Saat ia mencapai ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu lain. Tertulis samar di atasnya: RUANG MESIN.

Tanpa alasan yang jelas, ia merasakan dorongan kuat untuk membuka pintu itu.

Pintu ruang mesin berat, tetapi akhirnya terbuka dengan suara berderit yang menyeramkan.

Di dalam, ruangan itu gelap gulita. Cahaya dari helmnya hanya cukup untuk menampilkan bagian tengah ruangan—sebuah generator tua yang tertutup karat.

Namun, sesuatu menarik perhatiannya.

Di lantai, ada rantai besar yang melilit sesuatu. Arya berenang mendekat dan menyadari bahwa rantai itu digunakan untuk mengunci sebuah peti besi besar.

Peti itu tampak tua, lebih tua dari usia kapal itu sendiri. Rantainya berkarat, tapi gemboknya masih utuh.

Arya menyorotkan lampunya lebih dekat. Ada ukiran aneh di permukaan peti itu, seperti simbol-simbol yang tidak ia kenali. Namun, di antara goresan itu, ada sesuatu yang bisa ia baca.

“JANGAN DIBUKA.”

Jantung Arya berdegup lebih kencang.

Ia mengulurkan tangan, meraba gembok yang mengunci peti itu. Saat jari-jarinya menyentuhnya…

BRUK!

Sebuah suara keras menggema di dalam ruang mesin.

Arya terlonjak mundur, menoleh ke belakang. Tidak ada apa-apa. Namun, ia bisa merasakan sesuatu di sekitarnya—sesuatu yang tak kasat mata, tetapi nyata keberadaannya.

Lalu, suara itu terdengar lagi.

Bisikan.

Pelan. Samar.

Seperti seseorang berbisik langsung ke dalam helmnya.

“Jangan buka… jangan biarkan dia keluar…”

Arya terpaku. Napasnya tersengal-sengal. Ia tahu bahwa komunikasinya hanya terhubung ke tim di permukaan. Tidak mungkin ada suara lain yang bisa masuk ke dalam helmnya.

Namun, suara itu jelas. Terlalu nyata.

Tiba-tiba, sesuatu bergerak di sudut matanya lagi. Kali ini, ia melihatnya lebih jelas—sesosok bayangan melayang perlahan di dalam ruangan.

Bayangan itu tidak memiliki wajah. Tidak memiliki bentuk yang jelas.

Namun, ia bisa merasakan tatapan dingin yang menusuk ke dalam dirinya.

Arya ingin berteriak, tetapi suara tenggelam dalam air.

Ia mundur perlahan, tangannya gemetar. Bayangan itu semakin mendekat, dan ia bisa merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—sebuah ketakutan yang bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi seolah-olah ditanamkan ke dalam pikirannya.

Saat bayangan itu hampir menyentuhnya, tiba-tiba, sesuatu menariknya ke belakang.

Arya merasakan tarikan di lengannya. Ia menoleh dan melihat kabel penyelamat yang ia ikatkan di pinggangnya sebelumnya—seseorang di atas menariknya kembali ke permukaan.

Bayangan itu berhenti. Lalu, perlahan, menghilang ke dalam kegelapan.

Arya tidak membuang waktu. Ia mengikuti tarikan kabel itu, berenang secepat yang ia bisa, meninggalkan ruang mesin, keluar dari kapal, dan menuju ke permukaan.

Ketika ia akhirnya muncul ke atas air, ia menghirup napas dalam-dalam.

Dr. Fajar menatapnya dengan cemas. “Apa yang terjadi di bawah sana?”

Arya hanya bisa terdiam, masih berusaha memahami apa yang baru saja ia alami.

Satu hal yang pasti.

Kapal ini bukan hanya sekadar bangkai tua yang terlupakan.

Ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah ditemukan.**

BAB 3: SUARA DI DALAM HELM

Suara napas Arya menggema di dalam helm selamnya, bercampur dengan bunyi dengungan alat pernapasan yang ritmis. Ia masih mencoba menenangkan diri setelah pengalaman aneh di ruang mesin. Jari-jarinya sedikit gemetar, dan pikirannya terus mengulang kembali kejadian tadi—bayangan gelap, suara bisikan, dan peti berantai yang terasa seperti menyimpan sesuatu yang seharusnya tetap terkunci selamanya.

Namun, sebagai penyelam profesional, ia tahu satu hal: ketakutan bisa membunuh lebih cepat daripada bahaya nyata. Jika ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri di bawah laut, ia bisa saja kehabisan oksigen, mengalami disorientasi, atau bahkan tenggelam.

Ia mengatur napasnya, lalu mengaktifkan komunikasi.

“Dr. Fajar, aku sudah keluar dari kapal. Tapi ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”

Hening.

“Dr. Fajar?”

Tidak ada jawaban.

Arya mengerutkan dahi. Mungkin ada gangguan sinyal. Ia mencoba frekuensi lain.

“Tim darat, ini Arya. Apakah kalian mendengar saya?”

Hanya suara statis yang terdengar.

Dadanya mulai terasa sesak. Seharusnya tidak mungkin ada gangguan komunikasi di kedalaman ini, terutama karena mereka menggunakan peralatan khusus dengan teknologi canggih.

Lalu, tiba-tiba, suara lain muncul.

Bukan suara Dr. Fajar.

Bukan suara siapa pun dari timnya.

Melainkan suara seseorang yang berbisik tepat di dalam helmnya.

“Pergi… Pergi dari sini sebelum terlambat…”

Arya membeku. Suara itu begitu jelas, seolah-olah seseorang berada tepat di sampingnya, berbicara langsung ke telinganya.

Namun, ia sendirian di dalam air ini.

Matanya bergerak liar, mencari sumber suara. Tapi yang ada hanya laut yang gelap dan sunyi.

Suara itu muncul lagi, kali ini lebih pelan, seperti isak tangis yang tertahan.

“Jangan biarkan dia keluar…”

Arya mulai berenang lebih cepat ke atas, berusaha mencapai kapal ekspedisi. Ia harus keluar dari air ini—secepatnya.

Namun, sebelum ia bisa naik lebih jauh, sesuatu menarik kakinya.

Tarikan itu kuat, seperti tangan tak terlihat yang melilit pergelangan kakinya dan menariknya kembali ke kedalaman.

Arya berusaha sekuat tenaga untuk tetap berenang ke atas, tapi tarikan itu semakin kuat. Napasnya semakin cepat, dan dadanya terasa sesak karena panik. Ia melihat ke bawah, namun yang ada hanyalah kegelapan laut yang tak berujung.

Lalu, sesuatu muncul dari dalam kegelapan itu.

Sosok itu samar, seperti bayangan di dalam air. Wujudnya mirip manusia, tetapi gerakannya terlalu halus, terlalu lambat, seolah-olah melayang tanpa bobot.

Arya merasakan bulu kuduknya meremang meskipun ia berada dalam air.

Ia menekan tombol komunikasi lagi.

“Dr. Fajar! Ada sesuatu di sini! Aku tidak bisa naik—sesuatu menarikku!”

Masih tidak ada jawaban.

Arya mengambil pisau selam di ikat pinggangnya, bersiap untuk memotong apa pun yang menahannya. Namun, begitu ia mengayunkan pisau ke bawah, tarikan itu menghilang.

Ia segera berenang secepat yang ia bisa ke atas. Saat ia hampir mencapai permukaan, suara di dalam helmnya muncul lagi.

Namun kali ini, itu bukan hanya bisikan.

Itu adalah suara jeritan panjang yang membuat telinganya berdenyut sakit.

Jeritan itu tidak terdengar seperti suara manusia—lebih seperti suara makhluk yang terperangkap di antara dunia ini dan dunia lain.

Arya hampir kehilangan keseimbangan. Cahaya dari helmnya berkedip sebentar, dan dalam momen itu, ia melihat sesuatu yang membuat napasnya terhenti.

Bayangan tadi kini tepat di hadapannya.

Sosok itu kini terlihat lebih jelas—wajahnya pucat, matanya kosong, dan mulutnya bergerak seolah-olah ia mencoba berbicara.

Arya tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya, tetapi ia bisa membaca gerakan bibir sosok itu.

“Tolong aku…”

Lalu, semuanya menjadi gelap.

Ketika Arya sadar kembali, ia sudah berada di atas kapal ekspedisi, terbaring dengan masker oksigen menutupi wajahnya.

Dr. Fajar dan beberapa kru berdiri di sekelilingnya, menatapnya dengan ekspresi khawatir.

“Arya! Kau sadar?” suara Dr. Fajar penuh dengan kelegaan.

Arya mengerjapkan mata, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia menoleh ke kanan dan melihat bahwa ia masih mengenakan pakaian selamnya, tetapi helmnya telah dilepas.

“Apa… apa yang terjadi?” suaranya serak.

“Kami kehilangan komunikasi denganmu selama lima menit,” kata Dr. Fajar. “Kami melihatmu mengambang di dekat permukaan, tapi kau tidak merespons panggilan kami. Jadi kami menarikmu ke atas.”

Arya menatapnya dengan kebingungan.

“Lima menit?”

Ia merasa sudah berada di bawah air lebih lama dari itu. Seperti waktu bergerak lebih lambat di sana.

“Apa yang terjadi di bawah sana?” tanya Dr. Fajar lagi.

Arya menelan ludah.

Haruskah ia memberitahu mereka tentang suara di dalam helmnya? Tentang sosok yang ia lihat?

Ataukah mereka akan menganggapnya hanya mengalami efek tekanan bawah laut?

Arya menarik napas dalam-dalam, lalu duduk perlahan.

“Aku… Aku melihat sesuatu di sana,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang bukan manusia.”

Dr. Fajar dan kru lain saling bertukar pandang.

“Kau mengalami halusinasi akibat tekanan?” tanya salah satu kru.

Arya menggeleng. “Tidak. Ini bukan halusinasi. Aku mendengar suara di dalam helmku. Suara seseorang yang berbisik. Ia memintaku pergi. Ia memohon agar aku tidak membiarkan sesuatu keluar.”

Dr. Fajar terdiam.

“Arya… sebelum kau turun, aku menerima pesan aneh dari pusat penelitian kelautan,” katanya pelan.

Arya menatapnya. “Pesan apa?”

Dr. Fajar mengambil tablet elektronik dan menunjukkan sebuah dokumen lama yang ia terima pagi itu.

“Aku mengirim informasi tentang bangkai kapal ini ke pusat penelitian, berharap bisa menemukan catatan tentang sejarahnya,” jelasnya. “Dan mereka menemukan sesuatu.”

Arya melihat dokumen itu.

Di sana tertulis tentang sebuah kapal penelitian yang hilang dua puluh tahun lalu di perairan ini. Kapal itu dikabarkan sedang melakukan ekspedisi untuk meneliti fenomena aneh yang terjadi di kedalaman laut.

Namun, yang membuat Arya bergidik adalah paragraf terakhir dalam laporan itu.

“Tim penyelidik terakhir yang mencoba mencari kapal ini melaporkan suara-suara aneh di bawah laut. Mereka mengklaim mendengar bisikan di dalam helm mereka sebelum kehilangan kesadaran. Satu penyelam tidak pernah ditemukan.”

Arya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

“Apa maksudnya ini?” ia bertanya pelan.

Dr. Fajar menatapnya dengan serius. “Aku tidak tahu, Arya. Tapi aku rasa ada sesuatu di kapal itu yang tidak seharusnya ditemukan.”

Arya menatap laut yang beriak pelan di sekeliling mereka.

Suara di dalam helmnya tadi masih terngiang di telinganya.

“Jangan biarkan dia keluar…”

Apa yang sebenarnya tersembunyi di dasar laut ini.

Dan apakah ia sudah terlanjur membangunkannya.**

 

BAB 4: CATATAN TERAKHIR

Malam telah tiba, tetapi Arya masih duduk di dek kapal ekspedisi, menatap laut yang gelap dan tenang. Angin malam berembus dingin, membawa aroma garam yang khas. Namun, meskipun keadaan di atas permukaan tampak normal, perasaan gelisah masih menggelayuti pikirannya.

Suara di dalam helmnya tadi siang masih terus terngiang—bisikan itu, jeritan itu, dan yang paling mengganggu: kalimat terakhir yang ia lihat dari sosok misterius di dalam air.

“Tolong aku…”

Apa maksudnya?

Apakah itu arwah seseorang yang terjebak di bangkai kapal tanpa nama itu? Atau sesuatu yang lebih buruk?

Dr. Fajar mendekatinya, membawa secangkir kopi hangat.

“Kau belum masuk ke kabin?” tanyanya sambil duduk di sebelah Arya.

Arya menggeleng. “Aku masih mencoba memahami semuanya.”

Dr. Fajar menyerahkan tablet elektronik yang tadi siang ia tunjukkan. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin bisa menjawab pertanyaanmu.”

Arya mengambil tablet itu dan mulai membaca.

Laporan Ekspedisi Kapal Penelitian “Nusantara-7”

Tanggal: 12 Juni 2004
Kapten: Dr. Budi Santoso
Tujuan: Meneliti anomali bawah laut di koordinat 5°S, 110°E

Hari ke-3: Kami mulai mendeteksi frekuensi aneh dari dasar laut. Gelombangnya tidak alami, seolah berasal dari sumber yang tidak diketahui.

Hari ke-5: Salah satu penyelam kami, Rudi, melaporkan mendengar suara-suara di dalam helmnya. Awalnya kami mengira itu hanya gangguan teknis, tetapi setelah dicek, tidak ada masalah dengan alat komunikasinya.

Hari ke-7: Malam ini kami kehilangan satu orang penyelam, Satria. Ia turun ke dalam laut untuk memeriksa suara-suara itu, tetapi tidak pernah kembali. Tim pencarian hanya menemukan helmnya, mengapung di dekat lokasi penyelaman.

Hari ke-9: Kami menemukan sebuah peti besi di dasar laut. Peti itu dikunci dengan rantai besar dan memiliki ukiran aneh di permukaannya. Setelah diskusi panjang, kami memutuskan untuk tidak membukanya.

Hari ke-10: Sesuatu terjadi. Kami mulai mendengar suara-suara di dalam kapal, bahkan ketika kami tidak sedang menyelam. Malam ini, salah satu anggota tim melihat bayangan bergerak di lorong kabin.

Hari ke-11: Kami memutuskan untuk menghentikan ekspedisi ini. Catatan ini adalah pesan terakhir kami. Jika ada yang menemukan kapal kami, JANGAN PERNAH MEMBUKA PETI ITU.

Tertanda, Dr. Budi Santoso

Arya merasakan bulu kuduknya meremang.

“Jadi… kapal ini adalah ‘Nusantara-7’?” tanyanya pelan.

Dr. Fajar menggeleng. “Tidak ada bukti pasti. Tapi melihat catatan ini dan apa yang kau alami tadi siang, rasanya terlalu kebetulan.”

Arya menarik napas dalam-dalam.

“Kalau mereka semua menghilang, siapa yang menulis catatan ini?”

Dr. Fajar menatapnya dengan serius. “Itulah pertanyaannya.”

Dini hari, saat sebagian besar kru sudah tidur, Arya kembali ke laboratorium kecil di kapal ekspedisi mereka. Ia membuka rekaman penyelaman tadi siang, mencoba mencari sesuatu yang mungkin terlewat.

Ia memutar ulang bagian ketika ia mulai mendengar bisikan di dalam helmnya.

Awalnya hanya ada suara statis, tapi setelah beberapa detik, samar-samar terdengar suara lain.

“Pergi… Pergi dari sini sebelum terlambat…”

Arya menekan tombol pause. Ia merasakan dadanya mulai berdebar. Suara itu benar-benar terekam.

Berarti… itu bukan halusinasinya.

Ia menarik napas panjang dan memutar ulang rekaman itu, kali ini dengan volume lebih tinggi.

Saat suara itu muncul lagi, ia mendengarnya lebih jelas.

Dan kemudian, sesuatu yang lain terdengar.

Sebuah suara, lebih dalam dan lebih menyeramkan.

Suara yang bukan manusia.

“Kau sudah terlambat…”

Arya terlonjak dari kursinya.

Dadanya berdegup kencang.

Suara kedua itu… bukan suara yang ia dengar tadi siang.

Suara itu lebih kuat, lebih tajam, dan penuh kemarahan.

Ia segera mengambil radio dan menghubungi Dr. Fajar.

“Kau harus datang ke lab sekarang. Aku menemukan sesuatu.”

Beberapa menit kemudian, Dr. Fajar tiba di laboratorium bersama dua anggota kru lainnya. Arya memutar ulang rekaman itu untuk mereka.

Ketika suara kedua terdengar, wajah Dr. Fajar langsung pucat.

“Astaga… suara ini bukan manusia,” gumamnya.

Salah satu kru, Edo, menelan ludah. “Apa maksudnya? Sesuatu ada di dalam laut ini?”

Arya menatap mereka dengan serius. “Aku tidak tahu. Tapi ini bukan sekadar suara aneh. Ada sesuatu di bangkai kapal itu yang masih aktif.”

Dr. Fajar menghela napas panjang. “Lalu apa yang harus kita lakukan? Jika ini memang kapal ‘Nusantara-7’, maka itu berarti seluruh awak kapal itu…”

“Mereka tidak pernah kembali,” lanjut Arya. “Atau lebih buruk… mereka masih ada di sana.”

Hening.

Tidak ada yang berbicara untuk beberapa saat.

Lalu Edo berkata, “Jika peti itu masih ada di kapal, apa kita harus membawanya naik?”

Arya langsung menatapnya tajam. “Tidak! Catatan terakhir mereka sudah memperingatkan kita untuk tidak membukanya. Jika kita membawanya ke permukaan, kita tidak tahu apa yang akan terjadi.”

Dr. Fajar mengangguk. “Aku setuju. Kita tidak bisa mengambil risiko. Yang harus kita lakukan sekarang adalah memberi tahu pihak berwenang dan memastikan tidak ada yang menyelam ke kapal itu lagi.”

Arya menatap rekaman di layar sekali lagi.

Namun, ada sesuatu dalam pikirannya yang tidak bisa ia abaikan.

Jika suara pertama tadi siang benar-benar permintaan tolong…

Lalu suara kedua yang baru saja mereka dengar?

Itu bukan peringatan.

Itu adalah ancaman.

Malam semakin larut. Kapal ekspedisi masih berlabuh di atas lokasi bangkai kapal, tetapi suasana di atas terasa lebih mencekam dari sebelumnya.

Arya mencoba tidur, tetapi tidak bisa. Setiap kali ia memejamkan mata, ia kembali melihat wajah pucat itu—sosok yang ia temui di dalam laut.

Hingga akhirnya, sesuatu membuatnya terjaga sepenuhnya.

Sebuah suara.

Tapi kali ini, bukan dari helmnya.

Suara itu berasal dari luar kabinnya.

Arya bangkit dengan perlahan, mengambil senter, lalu membuka pintu.

Koridor kapal gelap dan sepi.

Namun, suara itu masih terdengar.

Ting… ting… ting…

Dentingan samar, seperti ada sesuatu yang mengetuk dinding kapal dari luar.

Arya berjalan perlahan menuju dek utama, menyorotkan senter ke sekeliling.

Dan saat itulah ia melihatnya.

Seseorang berdiri di tepi kapal, menghadap laut.

Sosok itu mengenakan pakaian selam yang sama seperti yang ia pakai tadi siang.

Namun, ada sesuatu yang salah.

Helmnya… kosong.

Arya merasa darahnya membeku.

Sosok itu berdiri diam selama beberapa detik, lalu perlahan menoleh ke arahnya.

Mata kosong. Wajah pucat.

Dan saat bibirnya bergerak, Arya bisa membaca kata-katanya.

“Kau sudah terlambat…”

Lalu, sosok itu terjatuh ke laut.

Tanpa suara. Tanpa riak.

Arya berdiri membeku.

Ia ingin berteriak, tetapi suaranya terjebak di tenggorokannya.

Lalu, dari dalam laut yang gelap, sesuatu mulai muncul.

Sebuah tangan.

Lalu, lebih banyak tangan.

Mereka sedang naik ke kapal.

Dan suara di dalam helmnya kembali berbisik.

“Kau seharusnya tidak datang ke sini.***

 

BAB 5: MEREKA YANG KEMBALI

Arya berdiri kaku di dek kapal, jantungnya berdegup kencang. Di bawah sinar bulan yang samar, ia melihat tangan-tangan pucat mencengkeram tepi kapal, muncul dari laut yang hitam pekat.

Tangan-tangan itu tidak bergerak dengan kasar, melainkan perlahan, seperti makhluk yang baru saja bangkit dari tidur panjang.

Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokannya.

Lalu, sesuatu menarik perhatiannya.

Di antara tangan-tangan itu, sesosok tubuh muncul, menaiki dek dengan gerakan yang tak wajar. Pakaiannya masih basah, meneteskan air asin ke lantai kapal. Tubuh itu memakai pakaian selam tua, usang dan robek di beberapa bagian.

Dan yang paling mengerikan—helm selamnya masih terpasang, tetapi di dalamnya, kosong.

Arya mundur selangkah.

Sosok itu berdiri diam, lalu dengan perlahan mengangkat tangannya.

Dari dalam helmnya yang kosong, terdengar suara.

Bukan suara manusia.

Suara itu seperti bisikan yang datang dari dasar laut, dalam bahasa yang tidak bisa dimengerti Arya.

Tapi ada satu kalimat yang bisa ia pahami dengan jelas.

“Kau seharusnya tidak datang ke sini.”

Teriakan Arya akhirnya pecah. Ia berlari mundur, hampir terjatuh karena dek kapal yang licin. Suara jeritannya cukup keras untuk membangunkan kru lainnya.

Dari dalam kapal, Dr. Fajar dan beberapa anggota tim berhamburan keluar.

“Arya, ada apa?”

Arya menunjuk ke arah sosok itu.

Namun saat Dr. Fajar menoleh… sosok itu sudah menghilang.

Hanya ada air laut yang berkilauan di bawah sinar bulan, dengan ombak kecil yang menggulung pelan.

“Kau melihat sesuatu?” tanya Dr. Fajar, suaranya penuh ketegangan.

Arya masih terengah-engah. “Aku… Aku melihat mereka! Ada sesuatu yang naik ke kapal ini. Mereka mengenakan pakaian selam… tapi mereka tidak punya wajah!”

Beberapa kru saling berpandangan. Salah satu dari mereka, Edo, menelan ludah. “Kau serius?”

Arya menatap mereka dengan marah. “Aku tidak berbohong! Aku melihatnya dengan mataku sendiri!”

Dr. Fajar menarik napas dalam-dalam. “Kita semua sudah lelah. Mungkin kau hanya mengalami halusinasi karena tekanan bawah laut tadi siang.”

Arya ingin membantah, tetapi ia tahu betapa mustahilnya cerita ini terdengar. Jika ia berada di posisi Dr. Fajar, mungkin ia juga akan meragukan dirinya sendiri.

Tapi ia tahu apa yang ia lihat.

Dan yang lebih buruk…

Mereka masih ada di sini.

Malam itu, Arya tidak bisa tidur.

Setiap kali ia menutup mata, ia melihat sosok-sosok itu, mendengar suara mereka.

Lalu, sekitar pukul tiga pagi, sesuatu terjadi.

Suara ketukan terdengar dari luar kabinnya.

Tok… tok… tok…

Arya menahan napas.

Ketukan itu pelan, ritmis.

Lalu, suara berbisik datang dari balik pintu.

“Buka… buka pintunya…”

Arya mundur ke sudut ruangan, napasnya terengah-engah. Ia tidak bisa membiarkan mereka masuk.

Tapi suara itu semakin keras.

“Buka… atau kami akan masuk sendiri…”

Ketukan berubah menjadi gedoran.

Lalu, tanpa peringatan, pintunya terbuka dengan sendirinya.

Dan di sana, berdiri sosok itu lagi.

Helm kosong. Tubuh basah kuyup. Dan suara berbisik yang terdengar langsung di dalam kepalanya.

“Kami kembali… untuk mengambil yang menjadi milik kami…”

Arya menjerit.

Teriakan Arya membangunkan seluruh kapal. Dr. Fajar dan beberapa kru segera berlari ke kabinnya.

Namun saat mereka tiba, Arya sudah tidak ada.

Yang tersisa hanyalah lantai yang basah, seolah ada sesuatu yang menyeretnya keluar.

“Kita harus menemukannya!” teriak Dr. Fajar.

Mereka berpencar ke seluruh kapal, mencari Arya di setiap sudut. Namun, ia tidak ada di mana-mana.

Lalu Edo, yang berada di dek belakang, menjerit.

Semua kru berlari ke arahnya.

Dan di sana, di tepi kapal, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku.

Arya berdiri diam, menghadap laut.

Namun ada sesuatu yang salah.

Helm penyelam tua kini menutupi kepalanya.

Dan dari dalam helm itu, terdengar suara yang tidak seharusnya keluar dari mulut manusia.

Suara itu terdengar serak, seolah berasal dari tenggorokan yang sudah lama kering.

“Kita sudah kembali…”

Dr. Fajar melangkah maju. “Arya?”

Arya menoleh perlahan.

Namun mata yang menatap mereka dari dalam helm itu… bukan milik Arya.

Itu adalah mata yang kosong. Mata yang seharusnya tidak ada di dunia ini.

Lalu, tanpa peringatan, Arya melangkah ke belakang—dan melompat ke laut.

Kru hanya bisa menatap dengan ngeri saat tubuhnya menghilang ke dalam gelapnya air.

Mereka berlari ke tepi kapal, menyorotkan lampu ke laut.

Namun, Arya sudah tidak ada di sana.

Yang tersisa hanya lautan yang tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Mereka mencari Arya selama berjam-jam.

Mereka menurunkan perahu penyelamat, menggunakan sonar, bahkan mencoba menyelam di sekitar lokasi tempat Arya menghilang.

Tapi tidak ada jejaknya.

Dr. Fajar berdiri di dek kapal, wajahnya penuh dengan kelelahan dan ketakutan.

Edo mendekatinya, suaranya bergetar. “Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?”

Dr. Fajar menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi… kita harus pergi dari sini.”

Edo mengangguk. “Tapi bagaimana dengan Arya?”

Dr. Fajar terdiam lama sebelum menjawab.

“Arya… sudah pergi.”

Dengan berat hati, mereka memutuskan untuk meninggalkan lokasi itu.

Namun, saat kapal mulai bergerak menjauh dari bangkai kapal di bawah laut…

Radio komunikasi tiba-tiba menyala dengan sendirinya.

Suara statis memenuhi ruangan.

Lalu, sebuah suara terdengar.

Suara Arya.

“Tolong aku…”

Dr. Fajar membeku.

Suara itu kembali terdengar, lebih lemah, lebih putus asa.

“Jangan biarkan mereka membawaku…”

Lalu, radio itu mati.

Dr. Fajar menatap layar dengan tangan gemetar.

Edo menatapnya dengan ngeri. “Pak… suara itu tadi…?”

Dr. Fajar tidak menjawab.

Ia hanya menatap lautan yang gelap, dengan satu pertanyaan menghantui pikirannya.

Apakah Arya masih ada di luar sana?

Atau sesuatu… telah mengambil tempatnya.**

BAB 6: KUTUKAN LAUT DALAM

Kapal ekspedisi perlahan bergerak menjauh dari lokasi bangkai kapal tanpa nama. Malam masih pekat, dan laut tetap sunyi. Tidak ada gelombang besar, tidak ada badai—hanya kesunyian yang mencekam.

Di dalam ruang komunikasi, Dr. Fajar masih menatap radio yang barusan mengeluarkan suara Arya.

“Tolong aku…”

Suara itu masih menggema di kepalanya.

Edo berdiri di sampingnya, wajahnya tegang. “Pak… suara itu benar-benar Arya?”

Dr. Fajar menggeleng pelan, tapi ia tidak bisa menutupi kegelisahannya. “Aku tidak tahu…”

Namun, satu hal pasti.

Arya telah menghilang, dan mereka tidak tahu apakah yang berbicara melalui radio tadi benar-benar dirinya—atau sesuatu yang lain.

“Pak,” Edo kembali bicara, kali ini dengan suara bergetar, “kalau memang itu Arya, berarti dia masih hidup di bawah sana.”

Dr. Fajar menarik napas panjang.

Jika itu benar… maka mereka telah meninggalkan Arya begitu saja.

Namun, mereka semua tahu satu hal: apa pun yang ada di dasar laut itu bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika biasa.

Sementara itu, jauh di dalam kegelapan laut, Arya membuka matanya.

Ia terbaring di dasar laut, dikelilingi oleh reruntuhan kapal yang tertutup koral dan pasir. Helm selamnya masih terpasang, tetapi tidak ada oksigen di dalamnya.

Anehnya, ia masih bisa bernapas.

Atau lebih tepatnya, ia tidak perlu bernapas.

Tubuhnya terasa ringan, tetapi dingin merayap ke seluruh sarafnya. Suara bisikan samar terdengar dari segala arah.

Lalu, ia melihat mereka.

Mereka yang telah tenggelam sebelum dirinya.

Mereka yang terjebak dalam kegelapan ini selama bertahun-tahun.

Arya ingin berteriak, tetapi tenggorokannya seakan membeku.

Sosok-sosok itu melayang di air, wajah mereka kosong, mata mereka gelap.

Mereka adalah para penyelam dari kapal Nusantara-7.

Mereka yang tidak pernah kembali ke permukaan.

Dan sekarang, Arya adalah bagian dari mereka.

Di atas kapal ekspedisi, Dr. Fajar berdiri di jembatan kendali, menatap lautan dengan gelisah.

Sejak suara Arya terdengar dari radio, ia tahu ada sesuatu yang salah.

“Kapten,” panggil Edo, yang baru saja kembali dari dek, “aku pikir kita harus kembali ke lokasi itu.”

Dr. Fajar menatapnya.

“Kau yakin?”

Edo mengangguk. “Aku tidak bisa mengabaikan ini. Kalau ada kemungkinan Arya masih hidup di bawah sana, kita harus mencarinya.”

Dr. Fajar menatap horison yang gelap.

Di satu sisi, ia tahu risiko yang mereka hadapi. Mereka semua sudah melihat hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Mereka semua tahu ada sesuatu yang mengintai di kedalaman itu.

Namun, jika ada sedikit saja kemungkinan Arya masih hidup…

Ia tidak bisa membiarkan krunya begitu saja.

Akhirnya, ia mengangguk.

“Siapkan peralatan. Kita akan kembali.”

Di dasar laut, Arya mulai mendengar suara lain.

Berbeda dari suara bisikan hampa yang memenuhi tempat ini, suara ini terdengar lebih jelas.

“Arya…”

Ia menoleh.

Di antara bayangan-bayangan yang melayang dalam air, sesosok pria berdiri lebih dekat.

Pakainnya lusuh, rambutnya panjang dan berantakan, tetapi matanya… matanya masih memiliki sedikit cahaya kehidupan.

Arya mengenali wajah itu.

Dr. Budi Santoso.

Kepala ekspedisi Nusantara-7.

Orang yang menulis catatan terakhir yang mereka temukan di kapal.

Arya membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar.

Namun, Dr. Budi seakan mengerti.

“Aku tahu kau bertanya-tanya apa yang terjadi di sini.”

Arya hanya bisa menatapnya dengan bingung.

Dr. Budi melanjutkan, suaranya datar dan tanpa emosi.

“Kami menemukan sesuatu yang seharusnya tidak kami sentuh. Sebuah peti besi di dasar laut.”

Arya langsung teringat catatan terakhir yang mereka temukan.

Dr. Budi melanjutkan.

“Kami tidak membukanya… tapi itu tidak cukup. Hanya dengan menemukannya saja, kami sudah terkutuk.”

Arya ingin bertanya lebih jauh, tetapi tiba-tiba, sesuatu menarik tubuhnya ke bawah.

Dr. Budi langsung berteriak, “Jangan lawan!”

Namun, terlambat.

Arya terseret ke dalam kegelapan yang lebih dalam.

Di atas kapal, tim penyelam sudah bersiap.

Edo dan dua orang kru lainnya, Malik dan Arman, mengenakan pakaian selam mereka.

“Kita turun selama sepuluh menit,” kata Edo. “Kalau kita tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Arya, kita kembali ke atas.”

Mereka semua mengangguk.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di dalam air, perlahan turun ke dasar laut.

Lampu senter mereka menerangi kegelapan, tetapi hanya sebagian kecil dari apa yang ada di sekeliling mereka.

Bangkai kapal Nusantara-7 akhirnya terlihat di depan mereka.

Edo memberi isyarat untuk mendekat.

Namun, saat mereka tiba di dekat reruntuhan kapal, sesuatu yang aneh terjadi.

Bunyi sonar di peralatan mereka mulai bergetar keras.

Ada sesuatu di sekitar mereka.

Sesuatu yang besar.

Arman menyorotkan lampunya ke kiri—dan menjerit.

Sebuah tangan pucat keluar dari reruntuhan kapal, diikuti oleh wajah tanpa mata yang menatap lurus ke arahnya.

Wajah itu adalah milik salah satu awak Nusantara-7 yang hilang.

Dan di belakangnya, muncul lebih banyak lagi.

Mereka semua sudah mati, tetapi mereka masih ada di sini.

Terjebak dalam kutukan laut dalam.

Dan mereka tidak akan membiarkan siapapun pergi.

Arya terbangun di tempat lain.

Ia tidak lagi berada di dasar laut, tetapi di dalam sebuah ruangan gelap.

Dindingnya terbuat dari logam berkarat, penuh dengan ukiran aneh.

Di tengah ruangan itu, sebuah peti besi berdiri tegak.

Arya langsung mengenalinya.

Peti yang tidak boleh dibuka.

Namun, ada sesuatu yang salah.

Peti itu… sudah terbuka.

Dan sesuatu telah keluar dari dalamnya.

Sebuah suara bergema di ruangan itu, rendah dan bergema di dalam pikirannya.

“Kami telah menunggu… dan kini waktunya tiba.”

Tiba-tiba, Arya merasa ada sesuatu yang merayap di kulitnya.

Tangannya mulai berubah.

Kulitnya memucat, matanya menjadi kosong, dan tubuhnya mulai terasa ringan… seperti mereka yang lain.

Tidak.

Tidak!

Ia tidak ingin menjadi bagian dari mereka!

Namun, kutukan laut dalam sudah menguasainya.

Dan tidak ada jalan keluar.

Di atas kapal, Dr. Fajar dan kru lainnya melihat sesuatu yang membuat mereka membeku.

Dari dalam laut, sosok Arya perlahan muncul ke permukaan.

Mereka segera menurunkan jaring untuk menariknya ke atas.

Namun, saat tubuh Arya terangkat ke dek… mereka menyadari sesuatu yang mengerikan.

Arya sudah bukan Arya lagi.

Matanya kosong. Kulitnya pucat.

Dan ketika ia membuka mulutnya, hanya suara air yang keluar.

Lalu, ia tersenyum.

“Kami sudah kembali…”

Dan saat itulah, laut mulai bergemuruh.

Kutukan laut dalam telah bangkit.

Dan mereka semua… akan tenggelam bersamanya.****

———————-THE END ———————–

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: - #Cinta - #Misteri - #MasaLalu - #Keluarga - #Rahasia
Previous Post

SILUET DI LORONG TERLARANG

Next Post

RAHASIA TERPENDAM MALAM KELAM

Next Post
RAHASIA TERPENDAM MALAM KELAM

RAHASIA TERPENDAM MALAM KELAM

Cowok Nyebelin Tetangga Sebelah

Cowok Nyebelin Tetangga Sebelah

Wajah Fans Manchester United Berlumur Tahi Kucing Basah Pasca-Imbang Lawan Everton

Lemari Simpan Tahi Kucing Fans Manchester United

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In