Bab 1: Pertemuan yang Tidak Terduga
Rani adalah seorang wanita muda yang cukup sibuk dengan kehidupannya. Pagi itu, seperti biasa, dia bangun lebih awal, merapikan rumah sejenak, dan bersiap untuk hari yang penuh dengan tugas di kantornya. Rani bekerja sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan teknologi yang sedang berkembang pesat. Kehidupannya berjalan lancar, meskipun dia tidak pernah merasa benar-benar bahagia sepenuhnya. Ada rasa kekosongan yang tidak bisa dia ungkapkan. Teman-temannya sering bertanya kenapa dia belum juga memiliki pasangan, tapi Rani merasa bahwa dia belum bertemu dengan seseorang yang benar-benar menarik perhatian hatinya. Cinta? Itu sepertinya bukan hal yang penting dalam hidupnya, setidaknya saat itu.
Namun, semuanya mulai berubah pada suatu pagi yang tidak terduga. Rani sedang duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan penuh konsentrasi. Dia sedang menyelesaikan laporan tahunan yang harus dia serahkan kepada atasannya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
Pesan: “Selamat pagi, ini Andi, saya bekerja di perusahaan penyelesaian tagihan. Saya ingin memberitahukan bahwa ada kewajiban pembayaran yang belum Anda selesaikan.”
Rani terdiam sejenak membaca pesan itu. Selama ini, dia tidak terlalu peduli dengan tagihan-tagihan yang harus dibayarkan. Namun, ketika mendengar nama perusahaan penyelesaian tagihan, Rani merasa sedikit cemas. Hatinya berdebar, karena dia tahu pasti bahwa ada beberapa tagihan yang belum dibayarkan. Namun, seberapa besar masalah ini? Secepatnya, dia membalas pesan itu.
Pesan: “Oh, maaf, saya akan segera mengecek dan menyelesaikannya. Terima kasih telah mengingatkan.”
Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar, kali ini berupa panggilan telepon dari nomor yang sama. Rani ragu sejenak untuk mengangkatnya, tapi akhirnya dia memutuskan untuk melakukannya. Suara pria yang terdengar ramah dan tenang langsung menyapa di ujung telepon.
“Selamat pagi, ini Andi. Apakah ini Rani?”
“Ya, saya Rani. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” jawab Rani, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya sedikit cemas.
“Begini, Rani. Saya bekerja di perusahaan yang menangani pembayaran tagihan, dan saya ingin memberitahukan Anda bahwa ada kewajiban pembayaran yang belum Anda selesaikan,” kata Andi dengan nada yang sopan dan profesional. “Saya bisa membantu Anda dengan informasi lebih lanjut jika Anda butuh.”
Rani merasa sedikit lega karena Andi berbicara dengan sangat jelas dan tidak menghakimi. Biasanya, jika dia berurusan dengan orang yang menangani hutang, suasana selalu tegang dan penuh tekanan. Tetapi, kali ini, Andi berbicara dengan penuh pengertian. Rani bisa merasakan bahwa pria di seberang telepon itu bukanlah sosok yang kasar atau menekan.
“Baik, Pak. Terima kasih. Saya akan segera memeriksa dan menyelesaikannya. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini,” Rani berkata, mencoba untuk menjaga profesionalitasnya.
“Sama-sama, Rani. Saya paham bahwa terkadang hidup bisa membawa kita dalam situasi yang sulit. Jika Anda membutuhkan bantuan untuk mengatur pembayaran atau jika ada kesulitan, jangan ragu untuk menghubungi saya lagi,” jawab Andi, suaranya terdengar hangat dan penuh empati.
Rani terkejut mendengar kata-kata Andi. Dia tidak biasa mendengar kata-kata yang penuh perhatian dari seseorang yang bekerja di bidang seperti ini. Biasanya, orang-orang yang bekerja di perusahaan penyelesaian tagihan terkesan dingin dan kaku. Tapi Andi berbeda. Suaranya mengalir dengan cara yang hampir menenangkan.
Setelah panggilan berakhir, Rani meletakkan ponselnya dan menatap layar komputer sejenak. Meskipun percakapan itu hanya berlangsung singkat, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat hati Rani merasa lebih tenang meskipun masalah tagihan itu belum sepenuhnya terselesaikan.
Namun, Rani mencoba untuk menepis perasaan aneh itu. Ini hanya masalah pekerjaan, dia berpikir. Tidak ada yang perlu dipikirkan lebih jauh. Tetapi, semakin lama, perasaan itu semakin kuat. Ada sesuatu tentang Andi yang menarik perhatiannya, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman meskipun mereka baru saja bertemu melalui telepon.
Beberapa hari kemudian, Rani menerima panggilan telepon lagi dari Andi. Kali ini, dia sudah siap dan tidak terkejut. Namun, percakapan kali ini terasa lebih panjang. Mereka mulai berbicara lebih santai, dan Andi mulai menceritakan sedikit tentang dirinya.
“Rani, aku paham bagaimana rasanya terjebak dalam masalah finansial. Aku sendiri pernah berada di posisi yang sulit. Tapi aku selalu berusaha untuk melihat sisi positif dari setiap keadaan,” kata Andi.
Rani terdiam sejenak. Mendengar cerita Andi, dia merasa ada kesamaan antara mereka berdua. Rani juga pernah merasakan kesulitan dalam hidupnya, meskipun itu bukan dalam hal finansial. Namun, rasa frustasi dan beban hidup yang berat selalu datang dengan cara yang tak terduga.
Setelah beberapa kali percakapan, Rani mulai merasa lebih dekat dengan Andi. Meskipun statusnya sebagai tukang hutang masih melekat pada dirinya, Andi tidak menunjukkan sikap apatis atau arogan. Sebaliknya, dia menunjukkan sisi manusiawi yang jarang ditemui pada orang-orang yang bekerja di bidang tersebut. Andi adalah seorang yang penuh empati, selalu berusaha untuk mengerti orang lain dan membantu dengan cara yang penuh kasih.
Rani mulai merasa bahwa Andi bukan hanya sekadar tukang hutang. Dia adalah seseorang yang memiliki kualitas yang lebih dalam—seseorang yang bisa dia percayai. Di luar pekerjaannya, Andi adalah pria yang sederhana dan penuh perhatian. Rani pun mulai tertarik padanya, meskipun dia belum tahu apa yang sebenarnya membuatnya merasa demikian.
Semakin sering mereka berbicara, semakin jelas bagi Rani bahwa dia merasa nyaman dengan Andi. Dia tidak hanya menganggapnya sebagai orang yang membantunya mengatur tagihan, tetapi lebih dari itu—Andi menjadi seseorang yang bisa dia percayai, seseorang yang bisa membuatnya merasa dihargai meskipun dalam keadaan yang sulit sekalipun.
Namun, Rani sadar, hubungan mereka masih terbatas pada percakapan profesional. Dia merasa canggung jika terlalu terbuka tentang perasaannya. Tapi satu hal yang pasti—dia mulai merasa bahwa ada lebih banyak hal yang bisa berkembang antara mereka, meskipun semuanya terasa begitu tidak terduga.
Di dalam hati, Rani bertanya pada dirinya sendiri, kenapa harus jatuh cinta sama tukang hutang?
Bab 2: Cinta yang Tak Terduga
Hari-hari setelah percakapan pertama dengan Andi itu berlalu begitu saja, namun Rani tak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Meskipun dia berusaha untuk kembali fokus pada pekerjaannya, setiap kali dia memikirkan tagihan yang harus dilunasi, wajah Andi muncul di pikirannya. Rani merasa aneh, tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa nyaman setiap kali berbicara dengan Andi.
Kehidupan Rani masih berjalan seperti biasa, tetapi dia mulai merasakan perubahan kecil yang tak bisa dia ungkapkan. Setiap kali ponselnya bergetar dan nama Andi muncul di layar, hatinya berdebar. Dia tidak pernah merasa demikian sebelumnya dengan orang lain. Andi bukan hanya seorang pria yang berbicara tentang hutang dan tagihan; dia adalah seseorang yang bisa dia ajak bicara tentang apapun, seseorang yang mampu membuatnya merasa lebih baik setelah hari yang berat.
Satu minggu setelah percakapan mereka yang pertama, Rani menerima panggilan telepon lain dari Andi. Kali ini, panggilan itu datang di tengah sore yang cerah saat Rani sedang duduk di kafe dekat kantor, menikmati secangkir kopi sambil memeriksa beberapa dokumen. Telepon berbunyi, dan tanpa ragu, Rani mengangkatnya.
“Rani, apa kabar? Ini Andi,” suara Andi terdengar di ujung telepon.
“Hi, Andi! Kabar baik, terima kasih. Ada yang bisa saya bantu?” Rani menjawab dengan nada ringan, meskipun hatinya sedikit berdebar.
“Hanya ingin memastikan apakah semua tagihan yang kita bicarakan sudah selesai dengan baik. Tidak ingin membuat Anda khawatir,” kata Andi dengan nada hangat.
Rani merasa sedikit lega mendengar suara Andi. “Oh, iya. Semua sudah teratur, kok. Terima kasih sudah memeriksa, Andi.”
Andi tertawa pelan. “Saya memang sering memeriksa tagihan orang-orang, tapi bukan berarti saya suka membuat orang khawatir. Tugas saya hanya memastikan semuanya berjalan lancar.”
Rani merasa bahwa percakapan ini tidak seperti percakapan biasa tentang pembayaran tagihan. Ada kenyamanan yang mengalir begitu saja antara mereka berdua, seperti teman lama yang baru bertemu. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal di luar tagihan, tentang kehidupan pribadi masing-masing.
“Jadi, Andi, apa yang membuatmu tertarik bekerja di bidang ini? Aku rasa pekerjaan ini pasti sangat menantang, ya?” tanya Rani dengan rasa penasaran.
Andi tertawa kecil. “Pekerjaan ini memang bisa dibilang menantang, tapi lebih dari itu, ini tentang membantu orang menyelesaikan masalah mereka. Aku tidak hanya ingin menjadi tukang hutang, aku ingin menjadi seseorang yang memberi solusi. Kebanyakan orang merasa malu atau takut ketika berurusan dengan masalah keuangan, tapi aku selalu berusaha untuk membuat mereka merasa lebih tenang.”
Rani terdiam sejenak, terkesan dengan pandangan Andi. “Itu sangat berbeda dari apa yang saya bayangkan tentang pekerjaan ini. Biasanya, orang menganggap pekerjaan ini kasar dan tanpa empati.”
“Anda benar,” jawab Andi. “Banyak orang yang memandang pekerjaan ini sebelah mata, tapi aku percaya jika kita menjalani pekerjaan dengan hati, kita bisa membuat perbedaan, meski kecil sekalipun.”
Rani merasa semakin kagum. Andi bukan hanya seorang pria yang menjalani pekerjaannya dengan profesional, tetapi dia juga punya pandangan hidup yang sangat bijak. Rani mulai berpikir, mungkin ada lebih banyak hal yang bisa dia pelajari dari Andi, lebih dari sekadar urusan tagihan.
Percakapan mereka semakin mengalir lancar, dengan Andi yang bercerita tentang kegemarannya bersepeda di akhir pekan, sementara Rani menceritakan sedikit tentang pekerjaannya yang terkadang membuatnya merasa stres dan kelelahan. Dalam setiap percakapan, Andi selalu memberikan perspektif yang berbeda, membuat Rani merasa lebih baik tentang dirinya sendiri.
Malam itu, setelah panggilan telepon berakhir, Rani duduk di depan laptopnya, merenung. Ada perasaan yang berbeda—perasaan yang mungkin sudah lama hilang dalam hidupnya. Rani sadar, dia mulai tertarik pada Andi, lebih dari sekadar rasa terima kasih atas bantuannya dengan tagihan. Andi bukan hanya seseorang yang dapat diandalkan dalam urusan finansial, tetapi dia juga seseorang yang bisa membuatnya merasa dihargai, yang bisa membuatnya tertawa dan merasa nyaman.
Namun, ada keraguan dalam diri Rani. Andi adalah seorang tukang hutang. Bagaimana jika orang lain menganggap hubungan mereka aneh? Atau, bagaimana jika dia hanya merasa terikat karena rasa simpati terhadap pekerjaan Andi? Rani tidak ingin merasa seperti sedang jatuh cinta pada seseorang hanya karena kondisi atau situasi tertentu.
Pada malam hari, saat Rani terbaring di tempat tidurnya, dia mulai bertanya-tanya dalam hati, Kenapa harus jatuh cinta pada tukang hutang? Mungkin karena Andi berbeda dari orang yang pernah dia temui sebelumnya. Mungkin karena Andi bukan hanya memikirkan tugasnya, tapi juga bagaimana cara membuat orang lain merasa lebih baik. Atau mungkin karena, di tengah dunia yang kadang keras dan penuh ketidakpastian, Andi hadir sebagai sosok yang memberi rasa aman.
Rani mencoba untuk menenangkan dirinya. Mungkin dia hanya membayangkan hal-hal yang tidak perlu, pikirnya. Tetapi semakin sering mereka berbicara, semakin jelas bagi Rani bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang dia rasakan terhadap Andi. Rani mulai merasa bahwa dia bukan hanya tertarik pada pekerjaan Andi, tetapi pada siapa dia sebagai pribadi—seorang pria yang penuh perhatian, empati, dan pengertian.
Beberapa hari kemudian, Rani dan Andi sepakat untuk bertemu di sebuah kafe setelah jam kerja. Rani merasa gugup, meskipun dia sudah sering berbicara dengan Andi lewat telepon. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu secara langsung. Di dalam hatinya, Rani merasa ragu. Apakah Andi akan tetap sama seperti yang dia bayangkan? Atau apakah semuanya akan berubah begitu mereka bertemu?
Ketika Rani memasuki kafe, matanya langsung mencari-cari sosok Andi. Tak lama kemudian, dia melihat Andi duduk di sudut kafe, mengenakan kemeja biru dan jeans sederhana. Senyum Andi langsung menghiasi wajahnya ketika mereka saling bertemu pandang.
“Rani, kamu datang lebih cepat!” kata Andi dengan nada ceria.
Rani tersenyum, merasa lebih santai saat melihat Andi langsung. Mereka duduk dan mulai berbicara dengan nyaman, seolah-olah mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama.
Tiba-tiba, Rani merasa bahwa dia tidak perlu lagi bertanya pada dirinya sendiri kenapa harus jatuh cinta pada tukang hutang? Karena jawabannya sudah jelas—Andi adalah pria yang tepat, bukan hanya karena pekerjaannya, tetapi karena siapa dia sebagai orang. Cinta kadang datang pada waktu dan cara yang tidak terduga, dan Andi, dengan segala kelebihannya, telah mencuri perhatian hati Rani tanpa dia sadari.
Bab 3: Menghadapi Kenyataan
Minggu-minggu setelah pertemuan pertama mereka di kafe itu, hubungan antara Rani dan Andi mulai tumbuh dengan cara yang tidak pernah Rani duga sebelumnya. Mereka sering berbicara melalui telepon, bertukar pesan, dan sesekali bertemu untuk makan siang atau sekadar berjalan-jalan. Rani merasa semakin nyaman berada di dekat Andi, dan setiap percakapan dengan Andi membawa rasa tenang yang sulit dijelaskan.
Namun, meskipun hubungan mereka berkembang dengan cepat, Rani masih merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia tahu bahwa Andi adalah seorang yang sangat baik, dengan hati yang besar dan empati yang luar biasa. Tapi Rani juga tahu bahwa Andi bekerja sebagai tukang hutang—sebuah pekerjaan yang sering dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Dia khawatir, meskipun Andi menunjukkan sisi yang begitu berbeda dari stereotip pekerjaannya, apakah dia bisa menerima kenyataan bahwa pria yang dia mulai cintai memiliki pekerjaan yang dianggap tabu oleh sebagian orang.
Suatu sore, setelah bekerja keras sepanjang hari, Rani memutuskan untuk menenangkan pikirannya dengan berjalan-jalan di taman dekat rumah. Saat itu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Andi yang mengundangnya untuk makan malam bersama.
Pesan dari Andi: “Malam ini, bagaimana kalau kita makan malam bersama? Aku ingin menghabiskan waktu denganmu, jauh dari pekerjaan dan segala keruwetan hidup.”
Rani tersenyum membaca pesan itu. Setelah beberapa kali bertemu, Andi sudah menjadi seseorang yang penting dalam hidupnya. Tanpa berpikir panjang, dia membalas pesan itu.
Pesan Rani: “Tentu! Aku suka sekali. Aku akan siap-siap. Sampai nanti.”
Malam itu, mereka bertemu di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari keramaian. Andi sudah menunggu di meja yang terletak di sudut ruangan, dengan senyum hangat yang langsung membuat Rani merasa lebih baik. Mereka memesan makanan dan mulai berbicara tentang banyak hal—mulai dari pekerjaan, hobi, hingga impian-impian mereka di masa depan.
Namun, di tengah-tengah percakapan yang ringan dan menyenangkan itu, Rani merasa perlu untuk membicarakan sesuatu yang sudah lama mengganggu pikirannya. Dengan hati-hati, dia mulai membuka topik yang sudah beberapa kali dia pertimbangkan.
“Andi, aku perlu jujur padamu,” kata Rani dengan suara sedikit ragu. “Aku… aku sering berpikir tentang pekerjaanmu. Maksudku, aku tahu kamu sangat baik dalam apa yang kamu lakukan, tapi… bagaimana dengan orang-orang di sekitar kita? Apa mereka melihatmu dengan cara yang sama seperti aku melihatmu?”
Andi terdiam sejenak, menatap Rani dengan pandangan yang tenang dan penuh pengertian. Dia tidak terburu-buru untuk menjawab. Setelah beberapa detik yang terasa lama, Andi akhirnya membuka mulut.
“Rani,” katanya dengan suara lembut, “aku mengerti kekhawatiranmu. Aku tahu pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang populer di mata banyak orang. Tapi aku selalu percaya bahwa pekerjaan itu hanya sebaik apa kita melakukannya. Aku tidak memaksa siapa pun untuk menyukai atau menerima pekerjaanku. Yang penting bagiku adalah bagaimana aku menjalani hidupku dengan jujur dan membantu orang-orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan.”
Rani mendengarkan dengan seksama, merasa sedikit lega mendengar Andi berbicara dengan begitu bijaksana. Namun, masih ada kekhawatiran dalam hatinya. “Tapi… bagaimana kalau orang lain menganggap kita aneh? Aku takut, jika aku terlalu terbuka tentang kita, orang akan mulai menilai kita, terutama tentang pekerjaanmu.”
Andi tersenyum dengan penuh pengertian. “Kita tidak bisa menghindari penilaian orang lain, Rani. Itu adalah hal yang normal dalam hidup. Apa yang penting adalah kita tidak membiarkan penilaian itu mempengaruhi cara kita menjalani hidup. Aku tidak akan pernah meminta kamu untuk menyembunyikan hubungan kita atau menutupinya. Jika suatu saat kamu merasa tidak nyaman, kita akan bicarakan itu, tapi jangan biarkan ketakutan menghalangi kita untuk saling mengenal lebih dalam.”
Rani merasa ada kelegaan dalam kata-kata Andi. Dia mulai menyadari bahwa ketakutannya mungkin hanya ada dalam pikirannya sendiri. Tidak ada alasan untuk meragukan hubungan mereka hanya karena pekerjaan Andi. Jika dia merasa nyaman dengan Andi, jika Andi juga menunjukkan rasa hormat dan pengertian terhadap dirinya, mengapa dia harus ragu?
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dan tertawa, menikmati kebersamaan yang mereka rasakan. Rani merasa semakin yakin bahwa dia telah menemukan seseorang yang luar biasa. Seseorang yang tidak hanya baik hati, tetapi juga bijaksana dan penuh pengertian. Andi bukan hanya seorang pria dengan pekerjaan yang tidak biasa, tetapi seorang pria yang memiliki prinsip dan cara pandang hidup yang membuat Rani merasa dihargai dan dicintai.
Setelah makan malam, Andi mengantar Rani pulang. Di sepanjang perjalanan, suasana menjadi lebih tenang, dan mereka hanya duduk berdampingan, menikmati waktu yang mereka miliki bersama tanpa kata-kata yang berlebihan. Ketika tiba di depan rumah Rani, Andi menatapnya dengan senyum tulus.
“Terima kasih sudah datang malam ini, Rani. Aku benar-benar senang bisa menghabiskan waktu bersamamu,” kata Andi, suara hangatnya mengisi udara malam.
Rani membalas senyuman itu, merasa begitu dekat dengan Andi. “Terima kasih juga, Andi. Malam ini sangat berarti bagi aku.”
Sebelum Rani masuk ke dalam rumah, Andi mengulurkan tangan dan meraih tangan Rani dengan lembut. Ada ketenangan dalam sentuhan itu, seolah-olah semuanya terasa tepat, meskipun perjalanan mereka belum selesai.
“Rani,” Andi berkata perlahan, “apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu. Jangan khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan. Yang penting adalah kita menjalani ini dengan hati yang tulus.”
Rani mengangguk, merasakan kehangatan yang mengalir dari kata-kata Andi. Semua keraguan yang sempat menghantuinya mulai memudar. Dia merasa bahwa dalam hubungan ini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Andi bukan hanya pria yang bisa diandalkan, tetapi juga pria yang menunjukkan bahwa cinta tidak harus terhalang oleh apapun—termasuk pekerjaan yang mungkin dianggap rendah oleh sebagian orang.
Ketika Rani masuk ke dalam rumah, dia merasa hatinya lebih ringan. Mungkin, hanya mungkin, dia telah jatuh cinta pada seseorang yang bahkan tidak dia duga sebelumnya—seorang pria yang pekerjaannya tak biasa, tapi hatinya begitu luar biasa. Kenapa harus jatuh cinta pada tukang hutang? Karena cinta datang tanpa memandang latar belakang, pekerjaan, atau penilaian orang lain. Dan mungkin, Andi adalah jawaban untuk pertanyaan itu.
—————————-THE END———————–