Bab 1: Tersandung Drama
Grup keluarga di WhatsApp biasanya adalah tempat yang penuh kebahagiaan, tempat bagi setiap anggota keluarga untuk berbagi kabar baik, foto-foto lucu, atau bahkan informasi seputar acara keluarga. Namun, bagi Ardi, grup keluarga itu kini lebih mirip seperti medan pertempuran. Setiap kali notifikasi baru muncul, ia merasa seperti ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Drama di grup keluarga sudah menjadi hal yang tak bisa dihindari, dan kali ini, situasinya benar-benar memuncak.
Pagi itu, Ardi sedang duduk di ruang tamu apartemennya sambil menyeruput kopi panas. Ia baru saja selesai membaca beberapa email penting dari pekerjaan dan berencana untuk memulai hari dengan produktif. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering keras. Sebuah notifikasi masuk di grup keluarga yang sudah lebih dari seratus pesan belum dibaca. Dengan perasaan cemas, Ardi membuka grup itu dan membaca pesan pertama.
Tante Mimin: “Kenapa sih di keluarga kita nggak ada yang mau bantu urus acara pernikahan anakku? Semua orang pada cuek, aku yang harus urus semuanya sendirian. Kalian semua nggak peduli, ya?”
Ardi terhenyak. Apa yang terjadi? Perasaan cemas langsung muncul dalam dadanya. Pernikahan Tika, sepupunya, sudah sangat dekat, dan sepertinya Tante Mimin sudah mulai merasa sangat terbebani dengan persiapan yang terus menumpuk. Biasanya, keluarga Ardi selalu berbagi tugas dengan baik, tetapi kali ini, sepertinya semuanya berantakan.
Dengan ragu, Ardi menggulir ke bawah, mencari penjelasan lebih lanjut. Tak lama, muncul pesan berikutnya dari Uda, kakak tertua Ardi yang terkenal dengan sifatnya yang agak keras.
Uda: “Buat Tante Mimin, sabar dong! Jangan bikin suasana makin tegang. Kita semua punya kesibukan masing-masing. Jangan cuma melampiaskan stres ke grup ini, ya!”
Ardi bisa merasakan ketegangan yang mulai meningkat di antara anggota keluarga. Uda biasanya bukan orang yang mudah marah, tetapi kali ini ia terlihat kesal. Ardi tahu bahwa Uda pasti merasa tertekan dengan banyaknya tugas yang harus dibagi, namun bukan cara ini untuk menyelesaikan masalah. Ardi melanjutkan membaca, berharap ada yang bisa meredakan suasana.
Tiba-tiba, muncul pesan dari Ibu Ardi, yang selalu berusaha menjadi penengah dalam segala situasi.
Ibu: “Kalian jangan berantem di sini. Ini kan grup keluarga, bukan tempat untuk saling menyalahkan. Kita harus bisa bekerja sama untuk Tika, ya? Mimin, kami semua paham kamu capek, tapi jangan bikin semuanya jadi berantakan.”
Ardi membaca pesan itu dengan seksama. Ibu selalu berusaha menjaga keharmonisan keluarga, tapi kali ini, ketegangan sudah mulai menguar. Ardi tahu bahwa jika dibiarkan terus, suasana ini akan semakin buruk. Keadaan sudah mulai memanas, dan Ardi merasa harus mengambil langkah untuk mendinginkan semuanya.
Ponselnya berdering lagi. Kali ini, pesannya datang dari Dini, sepupu yang dikenal dengan kecerdasannya yang tajam dan sering kali tanpa ampun dalam memberikan pendapat.
Dini: “Kalian pada kenapa sih? Kalau emang mau bantu, bantu aja, nggak usah ribut di sini. Jangan cuma ngomong doang, nanti malah nggak jadi apa-apa.”
Ardi merasakan tenggorokan serasa tercekat. Ini sudah terlalu jauh. Dari sekadar obrolan tentang persiapan pernikahan, kini grup keluarga berubah menjadi medan pertempuran yang penuh dengan perasaan kesal dan kecewa. Ardi merasa terjebak di tengah perdebatan tanpa ujung, dan ia tahu bahwa jika ia tidak bertindak, ini bisa berakhir buruk.
Dengan tangan yang agak gemetar, Ardi mengetik pesan untuk meredakan situasi.
Ardi: “Teman-teman, ayo jangan bikin keributan. Kita semua pasti punya kesibukan, tapi kalau kita terus saling menyalahkan, pernikahan Tika malah bisa terhambat. Mimin, aku ngerti kamu capek, kita bisa bantu kok. Uda, sabar ya, kita harus lebih pengertian. Dini, tenang dulu, jangan bikin suasana tambah panas. Kita bisa selesaikan ini dengan baik.”
Setelah menekan tombol kirim, Ardi merasa sedikit lega. Ia berharap pesan itu bisa meredakan ketegangan. Namun, suasana dalam grup tetap sepi. Tidak ada balasan masuk. Ardi tahu bahwa meskipun ia sudah mencoba menenangkan keadaan, masalah ini belum selesai.
Selang beberapa saat, ponselnya kembali berdering. Kali ini, ada panggilan masuk dari Tante Mimin. Ardi ragu sejenak, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk mengangkatnya.
“Halo, Mimi. Ada apa?” tanya Ardi dengan suara lembut.
“Ardi, aku nggak tahu lagi harus gimana. Semuanya rasanya berat banget. Tika udah mau nikah, tapi kenapa rasanya cuma aku yang kerja keras? Kamu bantu, ya?” suara Tante Mimin terdengar lelah dan penuh tekanan.
Ardi menghela napas panjang. Ia tahu Tante Mimin sedang merasa sangat terbebani. “Mimi, aku ngerti kok. Aku nggak bisa bilang kamu salah. Semua orang pasti merasa punya kesibukan masing-masing, tapi kalau kamu merasa kesulitan, kenapa nggak bilang langsung? Kita kan keluarga, kita bisa saling bantu, kok.”
Tante Mimin terdiam sejenak. “Aku… aku nggak tahu lagi, Ardi. Aku cuma merasa kayak nggak ada yang peduli.”
Ardi merasa hatinya tersentuh. Terkadang, beban terbesar datang bukan dari tugas yang harus diselesaikan, tapi dari perasaan tidak dihargai. “Mimi, kamu penting bagi kita semua. Kita nggak mau kamu merasa sendirian. Ayo, aku bantu cari solusi. Jangan biarkan ini jadi masalah besar.”
Setelah pembicaraan itu, Ardi merasa sedikit lega. Mungkin, meskipun situasi di grup keluarga sangat tegang, masih ada ruang untuk berbicara dan mencari jalan keluar. Ia memutuskan untuk menghubungi Uda dan Dini secara pribadi, berharap mereka bisa saling berbicara dengan lebih terbuka.
Namun, meskipun langkah pertama ini berhasil meredakan ketegangan sementara, Ardi tahu bahwa ini baru permulaan. Drama dalam grup keluarga itu hanyalah puncak gunung es. Ada banyak hal yang belum terselesaikan, dan Ardi harus berusaha keras untuk memecahkan kebekuan di antara mereka. Bukan hanya untuk Tika, tetapi juga untuk kebaikan keluarga mereka. Ardi menghela napas dan menatap ponselnya, siap untuk menghadapi langkah selanjutnya dalam drama keluarga yang tak terduga ini.
Bab 2: Ketegangan yang Memuncak
Meskipun Ardi sudah berusaha meredakan ketegangan di grup keluarga, keadaan di luar sana ternyata jauh lebih kompleks daripada yang ia bayangkan. Pagi itu, setelah percakapan panjang dengan Tante Mimin, Ardi merasa sedikit lega, tetapi ia tahu masalah ini belum selesai. Sesuatu yang lebih besar sedang menanti di depan mata—dan itu adalah pernikahan Tika yang semakin mendekat.
Ardi memutuskan untuk berkunjung ke rumah ibu dan kakaknya, Uda, pagi itu. Dia ingin mendalami lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu bahwa pernikahan Tika seharusnya menjadi momen bahagia, namun malah berubah menjadi sumber perpecahan di dalam keluarga. Semuanya dimulai dari masalah kecil yang tak pernah diselesaikan, yang kini menjadi bola salju besar.
Setelah beberapa menit berkendara, Ardi akhirnya tiba di rumah orang tuanya. Ibu Ardi yang sedang duduk di ruang tamu menyambutnya dengan senyum hangat. Tetapi, Ardi bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di balik senyum itu. Ibu tidak terlihat seceria biasanya.
“Ibu, aku pikir kita perlu ngobrol,” kata Ardi dengan suara pelan, menyadari betapa beratnya situasi ini.
Ibu Ardi menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Iya, Ardi. Kita memang harus bicara. Semua ini makin lama makin ribet. Apa kamu sudah bicara dengan Mimin?”
Ardi duduk di samping Ibu. “Aku sudah bicara, Bu. Tapi, aku rasa itu hanya permukaan dari masalah yang lebih besar. Kenapa semuanya jadi serba salah seperti ini?”
Ibu menghela napas panjang, matanya tampak penuh kecemasan. “Mimin itu memang seorang yang tidak suka mengeluh. Tapi semakin lama, dia semakin merasa terbebani. Tika yang harusnya bisa lebih banyak membantu, malah terkesan tidak terlalu peduli dengan persiapan pernikahan. Ibu rasa, Mimin merasa sendiri di tengah semua ini.”
Ardi bisa merasakan ketegangan yang terus mengalir dalam pembicaraan ini. Ibu memang sering kali berusaha menenangkan semua orang, tetapi kali ini, ia tak bisa menahan beban yang ada. “Kenapa Tika jadi seperti itu, Bu? Dia kan seharusnya tahu betapa pentingnya peran dia dalam pernikahannya sendiri?”
Ibu memandang Ardi dengan tatapan penuh harap. “Kamu tahu kan, Tika itu bukan tipe orang yang suka berkomunikasi. Sejak kecil, dia selalu mengandalkan orang lain, terutama Mimin. Mungkin dia merasa Mimin sudah terbiasa mengurus semuanya, jadi dia tidak merasa perlu mengambil peran yang lebih besar. Tapi, akhirnya ini jadi masalah besar.”
Ardi mengangguk pelan, merenung. Tika memang seorang yang cenderung pasif, selalu menunggu arahan, dan cenderung bergantung pada orang lain. Dalam banyak hal, Tika lebih memilih menyerahkan urusan kepada orang tua atau saudaranya. Itu adalah pola yang sudah terjadi sejak lama.
“Tapi, Bu, kalau Tika terus seperti ini, apakah kita bisa terus membiarkannya? Mimin juga tidak bisa terus dipaksakan untuk jadi orang yang selalu mengurus semuanya. Kita harus ada solusi, Bu,” kata Ardi, merasa semakin terjepit oleh situasi ini.
Ibu Ardi terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara lembut, “Aku juga tidak tahu, Ardi. Semua ini terlalu rumit. Tapi kita harus cari jalan keluar. Kalau ini terus berlarut-larut, bukan hanya persiapan pernikahan yang terganggu, hubungan di keluarga juga bisa rusak.”
Ardi merasa perasaan cemasnya semakin menguat. Dia harus bisa menemukan cara agar masalah ini tidak semakin memburuk. Setelah beberapa lama, Ardi meminta izin untuk bertemu dengan Uda, yang kebetulan berada di rumah pada saat itu. Ia ingin mendengar pendapat kakaknya tentang masalah ini.
Uda yang sedang duduk di meja makan, sedang menyeruput kopi ketika Ardi datang. Tatapan Uda terlihat sedikit tajam, seolah-olah ia merasa ada yang perlu dibicarakan. “Kenapa, Ardi? Ada yang bisa dibicarakan?” tanya Uda dengan nada yang agak serius.
Ardi duduk di seberang meja, mengambil napas dalam-dalam. “Uda, aku sudah bicara dengan Mimin dan Ibu. Tapi aku merasa masalah ini belum selesai. Aku rasa kita harus lebih terbuka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mimin sudah merasa sangat terbebani, dan Tika… Tika juga sepertinya kurang peduli dengan persiapan ini.”
Uda memandang Ardi dengan serius, menaruh cangkir kopinya di atas meja. “Aku juga sudah merasakan hal yang sama, Ardi. Mimin itu memang sering terlihat kuat, tapi sebenarnya dia punya batas. Aku nggak tahu kenapa Tika nggak lebih aktif. Mungkin dia menganggap Mimin akan selalu ada untuk urus semuanya, tapi akhirnya yang terjadi malah seperti ini.”
Ardi merasa sedikit lega karena akhirnya Uda bisa melihat masalah ini dengan jelas. “Tapi kita nggak bisa terus-terusan membiarkan Mimin yang merasa sendirian. Tika harus lebih banyak mengambil peran, kita sebagai keluarga harus saling mendukung. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan bantu?”
Uda terdiam sejenak, merenung. “Aku setuju, tapi aku juga nggak mau kalau semua jadi lebih kacau. Kadang, aku merasa kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, dan malah lupa kalau Tika itu butuh perhatian lebih. Kita harus berbicara dengan mereka berdua, agar semuanya jelas.”
Setelah beberapa lama berbicara, Ardi dan Uda sepakat untuk melakukan pertemuan keluarga kecil. Mereka akan mengajak Tika dan Mimin berbicara agar masalah ini bisa diselesaikan sebelum semakin besar. Ardi merasa sedikit lebih tenang. Mungkin, dengan cara ini, ia bisa menurunkan ketegangan yang sudah terbangun.
Ketika pertemuan itu akhirnya digelar di rumah Ibu, suasana terasa tegang. Tika duduk di sudut ruang tamu dengan wajah lesu. Mimin terlihat sangat lelah, dan Ibu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Semua orang tahu bahwa pernikahan Tika adalah acara besar, tetapi masalah di antara keluarga semakin memperburuk keadaan.
Ardi berdiri dan memulai percakapan. “Mimin, Tika, kita harus bicara. Ini bukan cuma tentang pernikahan, ini tentang bagaimana kita sebagai keluarga bisa saling mendukung satu sama lain. Mimin sudah terlalu banyak terbebani, dan Tika, kamu harus lebih aktif terlibat. Kita harus bisa bekerja sama.”
Tika menunduk, merasa canggung. “Aku… aku tahu. Maafkan aku, Mimin. Aku nggak tahu kenapa aku nggak terlalu terlibat. Aku seharusnya lebih banyak membantu.”
Mimin menghela napas panjang. “Aku nggak mau semuanya jadi masalah. Aku hanya merasa terlalu banyak yang harus diurus sendirian.”
Setelah percakapan yang panjang, akhirnya Tika dan Mimin sepakat untuk berbagi tugas dalam mempersiapkan pernikahan. Meskipun masih ada sedikit ketegangan, langkah ini merupakan awal dari solusi yang mereka harapkan.
Ardi merasa lega, tetapi ia tahu bahwa pernikahan Tika akan tetap menjadi ujian bagi hubungan keluarga mereka. Namun, setidaknya, mereka mulai belajar untuk saling mendengarkan dan mengerti.
Bab 3: Ketika Keluarga Terbelah
Setelah pertemuan yang cukup menegangkan, Ardi merasa sedikit lega karena Tika dan Mimin akhirnya sepakat untuk berbagi beban persiapan pernikahan. Namun, meskipun masalah itu tampaknya sudah teratasi, ketegangan di dalam keluarga mereka belum sepenuhnya hilang. Ada banyak hal yang belum terselesaikan, dan setiap anggota keluarga membawa beban masing-masing.
Hari itu, Ardi kembali membuka grup keluarga di WhatsApp, berharap tidak ada drama baru yang muncul. Namun, seperti yang ia duga, ketegangan kembali memuncak. Sebuah pesan dari Dini muncul di layar ponselnya.
Dini: “Kenapa sih keluarga kita nggak bisa kompak? Semuanya berantem di grup, malah bikin pernikahan Tika jadi berantakan. Aku mulai nggak tahu harus gimana.”
Ardi merasa tertekan. Dini, yang biasanya bisa diandalkan, kali ini juga mulai kehilangan kesabarannya. Ardi pun segera mengetik balasan.
Ardi: “Dini, aku tahu kamu marah, tapi kita harus sabar. Semua ini memang bikin stres, tapi kita nggak bisa saling menyalahkan. Mari kita atur semuanya dengan lebih baik, ya?”
Tunggu beberapa saat, namun tidak ada balasan dari Dini. Hening sejenak. Ardi memandang pesan itu dengan cemas. Apakah kali ini perasaan Dini benar-benar terluka? Ia mengerti betul bahwa setiap orang punya cara sendiri dalam mengatasi stres, dan Dini tidak terkecuali. Ardi merasa semakin terbebani dengan keadaan ini, namun ia tahu, sebagai anggota keluarga yang masih bisa berpikir jernih, ia harus terus menjadi penengah.
Namun, perasaan Ardi semakin tidak enak ketika sebuah pesan muncul di grup, kali ini dari Tante Mimin.
Tante Mimin: “Kalau semua orang cuma diam dan nggak bantu, kenapa harus ikut campur? Aku capek, capek banget dengan semua ini!”
Ardi bisa merasakan emosi yang membuncah dalam setiap kata yang diketik Tante Mimin. Dia paham betul bahwa Tante Mimin sedang berada di titik terendah. Semua persiapan pernikahan itu sebenarnya sudah terlalu berat untuk satu orang. Belum lagi, hubungan keluarga yang mulai renggang membuatnya semakin merasa terasing.
Ardi pun tidak tinggal diam. Ia langsung membalas pesan itu.
Ardi: “Mimin, aku paham kamu capek, tapi kita harus lebih tenang. Kalau kita semua bisa bantu, pasti akan lebih mudah. Jangan sampai kamu merasa sendirian, kami semua ada di sini.”
Namun, kali ini, balasan dari Tante Mimin lebih cepat. Dan seperti yang Ardi duga, jawabannya tidak semudah yang ia harapkan.
Tante Mimin: “Ya, tapi semua orang cuma ngomong doang. Tidak ada yang benar-benar bantu. Mimin yang ngurus semuanya, yang lain cuma ikut ngomong.”
Ardi merasakan amarah yang tak terkatakan dalam kata-kata itu. Ia tahu, walau Tante Mimin tidak mengatakannya langsung, dia merasa tidak dihargai. Dan itu adalah hal yang sangat menyakitkan bagi seseorang yang sudah mengorbankan banyak waktu dan tenaga untuk orang lain. Ardi pun merasa terperangkap di tengah-tengah ketegangan ini. Di satu sisi, ia ingin menenangkan Tante Mimin, namun di sisi lain, ia juga tahu ada hal-hal yang harus dibicarakan dengan lebih jujur.
Ardi memutuskan untuk menghubungi Dini secara pribadi. Meskipun Dini belum membalas pesan di grup, ia berharap percakapan langsung bisa lebih efektif.
Setelah beberapa saat, Dini akhirnya mengangkat telepon.
“Halo, Din. Lagi apa?” tanya Ardi dengan suara agak cemas.
“Ardi, aku nggak tahu lagi. Semua ini bikin aku capek. Perasaan aku nggak dihargai, kita semua seperti cuma jadi penonton di acara keluarga. Semua orang ngomong soal Tika, Mimin, dan pernikahan itu, tapi nggak ada yang serius bantu!” suara Dini terdengar frustasi.
Ardi menghela napas panjang. “Dini, aku paham kamu kecewa, tapi kita harus lihat juga dari sisi mereka. Mimin merasa sangat terbebani, Tika terlalu pasif, dan kita jadi seperti saling menyalahkan satu sama lain. Kita semua harus berusaha lebih terbuka.”
“Aku nggak tahu, Ardi. Aku hanya merasa seperti dipinggirkan,” jawab Dini, nada suaranya penuh kekecewaan.
Ardi merasa sulit untuk menjawab, karena ia tahu Dini benar-benar merasa terabaikan. “Dini, aku minta maaf kalau kamu merasa seperti itu. Tapi kamu juga harus paham, ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang keluarga kita, tentang bagaimana kita bisa saling mendukung. Kalau kamu terus merasa tersingkir, kita nggak akan bisa selesaiin masalah ini.”
Setelah percakapan itu, Ardi merasa sedikit lega, tetapi ia tahu bahwa masalah ini jauh dari selesai. Semua orang di keluarga ini memiliki perasaan yang harus dihargai, dan perbedaan cara menghadapinya membuat semuanya semakin sulit.
Ardi memutuskan untuk bertemu dengan Tika dan Mimin, berharap mereka bisa berbicara lebih terbuka dan mencari solusi bersama. Pada malam itu, ia mengundang mereka ke rumah orang tuanya. Ketegangan sudah mulai mengental, dan Ardi tahu bahwa langkah ini mungkin akan menjadi titik balik dalam menyelesaikan semua masalah.
Ketika Tika dan Mimin tiba, Ardi sudah duduk bersama Ibu dan Uda di ruang tamu. Suasana agak hening, namun Ardi tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memulai percakapan yang jujur.
“Mimin, Tika, aku ingin kita bicara dengan lebih terbuka. Kita sudah terjebak dalam banyak ketegangan. Aku tahu semuanya berat, tapi kita harus mencari jalan keluar bersama,” kata Ardi dengan suara tenang.
Mimin menatap Ardi dengan mata lelah. “Tika, kenapa kamu nggak lebih aktif? Semua orang di sini capek ngurusin pernikahan kamu, sementara kamu nggak pernah ngambil bagian apapun. Apa kamu nggak peduli?”
Tika menunduk, merasa cemas. “Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana, Mimi. Aku nggak mau nambah beban kamu, jadi aku selalu menyerahkannya padamu.”
Mimin menghela napas panjang. “Aku nggak bisa terus begini, Tika. Aku nggak bisa selalu jadi orang yang ngurusin semuanya. Kita harus berbagi, supaya semuanya nggak jatuh ke aku terus.”
Ardi merasa hati mereka mulai mencair. “Mimin, Tika, kalian berdua harus saling mengerti. Tika, kamu harus lebih banyak terlibat. Mimin, jangan merasa harus menangani semuanya sendirian. Kita sebagai keluarga harus berbagi beban.”
Perlahan, Tika mengangguk. “Aku janji akan lebih aktif mulai sekarang. Aku nggak mau kalau Mimin terus merasa terbebani.”
Mimin terdiam, lalu akhirnya berkata, “Aku juga akan berusaha lebih sabar. Aku tahu kita semua punya peran yang harus dimainkan.”
Dengan itu, ketegangan yang menguasai keluarga mereka mulai mereda. Namun, Ardi tahu bahwa ini baru permulaan. Mereka harus terus berkomunikasi dan mendukung satu sama lain agar pernikahan Tika bisa berlangsung lancar tanpa ada beban yang tertinggal.
Bab 4: Saling Memahami di Balik Drama
Setelah pertemuan yang cukup emosional itu, Ardi merasa sedikit lebih lega. Tika dan Mimin mulai menunjukkan niat untuk berkompromi, meskipun keduanya masih memiliki cara berbeda dalam mengatasi tekanan yang ada. Namun, meskipun keadaan di keluarga mulai mereda, perasaan yang tidak terucap di dalam diri masing-masing masih bergemuruh. Ardi tahu, ini bukan akhir dari masalah, melainkan awal dari upaya yang lebih besar untuk menjaga keharmonisan keluarga mereka.
Ardi menghabiskan sebagian besar harinya dengan mengurusi pekerjaan sambil memantau grup keluarga yang semakin ramai menjelang hari pernikahan Tika. Meskipun beberapa drama sudah mereda, Ardi tetap merasa ada ketegangan yang tersembunyi di balik layar. Banyak anggota keluarga, terutama Dini dan Uda, yang masih terkesan tidak puas dengan cara penyelesaian masalah selama ini. Mereka merasa bahwa semua orang tidak cukup mengambil peran dalam membantu Tika dan Mimin. Ardi pun mulai merasa cemas bahwa ketegangan ini akan meledak lagi dalam waktu dekat.
Hari itu, Ardi mendapat pesan dari Uda yang mengajak untuk bertemu di kafe favorit mereka. Tanpa banyak berpikir, Ardi langsung menyetujui ajakan itu. Sesampainya di kafe, Uda sudah menunggu di sudut meja, dengan wajah yang tampak serius, jauh dari canda seperti biasanya.
“Ardi, kita perlu bicara lebih lanjut. Aku nggak suka suasana keluarga kita yang sekarang. Semua ini harus diselesaikan dengan baik sebelum pernikahan Tika,” kata Uda dengan nada yang lebih serius daripada biasanya.
Ardi duduk di hadapan Uda, memandang kakaknya yang tampaknya sudah cukup terbebani dengan masalah ini. “Aku juga merasa sama, Uda. Semua orang terkesan nggak puas dengan cara kita menyelesaikan masalah ini. Mimin sudah terlalu lelah, Tika juga sepertinya masih bingung bagaimana caranya berperan lebih dalam persiapan ini.”
Uda menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan. Mimin itu sudah sangat capek, dan kita nggak bisa terus membiarkan dia merasa terabaikan. Tika memang mulai berubah, tapi aku rasa dia nggak sepenuhnya paham apa yang perlu dilakukan.”
Ardi merasa terpojok. “Aku ngerti, Uda. Tika memang seringkali terlalu pasif, dan Mimin merasa seperti harus menangani semuanya sendiri. Kita harus terus membimbing mereka, tapi kita juga harus berhati-hati agar nggak memunculkan ketegangan baru.”
Uda mengangguk pelan, dan keduanya terdiam beberapa saat. Ardi merenung, memikirkan cara agar semua bisa selesai dengan baik. Ia tahu bahwa masalah ini jauh lebih dalam daripada hanya sekadar persiapan pernikahan. Ini adalah soal hubungan keluarga yang mulai retak, soal rasa saling pengertian yang harus dibangun kembali.
“Ardi,” kata Uda setelah beberapa saat, “apa kamu nggak merasa ada yang aneh dengan sikap Tika? Dia tidak terlihat semangat untuk menjalani pernikahan ini. Seharusnya dia bisa lebih aktif, tapi kenapa malah terkesan seperti… nggak peduli?”
Ardi berpikir sejenak. Tika memang selalu cenderung pasif, namun apakah itu berarti dia tidak peduli? Atau ada hal lain yang tidak terlihat? “Aku rasa Tika cuma bingung, Uda. Dia sering merasa tertekan, dan mungkin dia juga tidak tahu bagaimana cara mengelola semua harapan yang ada di sekitarnya. Pernikahan itu memang hal besar, dan dia mungkin merasa cemas tentang masa depannya.”
Uda mengerutkan kening. “Aku rasa kita juga harus mulai berbicara dengan Tika lebih dalam. Mungkin dia butuh dukungan emosional lebih dari sekadar persiapan fisik. Aku khawatir, kalau kita terus menyalahkan dia, dia bisa semakin menjauh.”
Ardi setuju. “Mungkin kita harus buat Tika merasa lebih dihargai dan dilibatkan dalam semua hal, bukan hanya sebagai ‘object’ dalam pernikahan itu, tapi sebagai individu yang punya perasaan dan keputusan sendiri.”
Mereka berdua sepakat untuk mengadakan pertemuan keluarga kecil lainnya. Kali ini, mereka ingin berbicara langsung dengan Tika, untuk lebih memahami apa yang sebenarnya dirasakannya dan mencari solusi bersama. Pertemuan ini berbeda dari sebelumnya; Ardi dan Uda sudah siap dengan pendekatan yang lebih lembut dan penuh pengertian.
Malam itu, di ruang tamu rumah orang tua mereka, Ardi, Uda, Mimin, dan Tika duduk bersama. Suasana sedikit lebih santai, meskipun tetap terasa tegang. Tika duduk di kursi dengan pandangan jauh, seolah sedang merenung. Mimin tampak sedikit lelah, namun ada kerendahan hati dalam tatapannya. Ardi membuka pembicaraan.
“Tika, Mimin, aku tahu kita semua punya perasaan masing-masing tentang persiapan pernikahan ini. Aku cuma ingin kita bicara lebih terbuka. Tika, apa yang sebenarnya kamu rasakan? Kita semua ingin kamu bahagia, tapi kita juga nggak mau kamu merasa tertekan.”
Tika menunduk, dan suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. “Aku… aku cemas, Ardi. Cemas banget. Ini bukan cuma soal pernikahan, tapi masa depan aku setelah menikah. Aku merasa seperti… aku nggak siap. Semua orang berharap aku bisa mengurus segalanya, tapi aku merasa seperti nggak bisa melakukannya.”
Mimin menghela napas, menatap Tika dengan penuh pengertian. “Tika, aku nggak pernah ingin kamu merasa seperti itu. Aku tahu kamu merasa tertekan, tapi aku juga merasa terbebani. Aku ingin kita berbagi, bukan hanya aku yang mengurus segalanya. Aku cuma ingin kamu ikut terlibat, bukan merasa takut.”
Ardi menatap keduanya. “Tika, kami semua ingin kamu merasa nyaman. Kita tidak akan memaksamu untuk melakukannya sendiri. Jangan ragu untuk berbicara jika ada hal yang membuatmu cemas. Kami di sini untuk mendukungmu, bukan menuntut.”
Tika mengangkat wajahnya, matanya tampak lebih lembut. “Terima kasih, semua. Aku merasa lega mendengar itu. Aku memang merasa tertekan, tapi aku nggak mau terus membebani Mimin.”
Mimin tersenyum ringan. “Aku juga nggak mau kamu merasa seperti itu, Tika. Kita bisa atur semuanya bersama-sama, oke?”
Ardi merasa lega melihat suasana mulai mencair. Pembicaraan ini menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Mereka semua mulai menyadari bahwa pernikahan Tika bukan hanya soal persiapan fisik, tetapi juga soal kesiapan emosional. Tika akhirnya merasa didukung, dan Mimin merasa lebih dihargai. Meskipun tantangan masih ada, mereka tahu bahwa dengan komunikasi yang baik, keluarga ini bisa menghadapinya bersama.
Ardi menatap mereka semua dengan rasa haru. Dalam hati, ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju perbaikan hubungan keluarga yang sempat terjalin retak. Namun, lebih dari itu, ia merasa bahwa keluarga ini, meskipun tidak sempurna, memiliki cinta yang cukup besar untuk saling memahami dan mendukung.
————————–THE END———————