• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SIAL TERNYATA KU JATUH CINTA SAMA TETANGGA

SIAL TERNYATA KU JATUH CINTA SAMA TETANGGA

February 18, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SIAL TERNYATA KU JATUH CINTA SAMA TETANGGA

SIAL TERNYATA KU JATUH CINTA SAMA TETANGGA

by MABUMI
February 18, 2025
in Komedi
Reading Time: 21 mins read

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

Dinda memandang kosong ke luar jendela rumahnya. Pagi itu, seperti biasa, tidak ada yang berbeda. Udara sejuk menyusup ke dalam rumah dari celah jendela yang terbuka sedikit, namun pikirannya terjebak dalam rutinitas yang monoton. Sejak kecil, Dinda terbiasa dengan ketenangan hidup di perumahan sederhana ini. Tidak ada kejutan besar, tidak ada drama yang membingungkan. Hari-hari berlalu dengan tenang, dan itu sudah cukup bagi Dinda. Ia suka rutinitasnya yang aman, tempat tinggal yang damai, dan kehidupan yang tidak perlu banyak perubahan.

Namun, semua itu berubah pada suatu hari yang tampak biasa-biasa saja. Hari itu adalah hari pertama bagi Raka, tetangga baru yang pindah ke rumah di sebelah rumah Dinda. Dinda mendengar kabar itu dari ibu, yang selalu tahu segala hal yang terjadi di sekitar perumahan mereka. “Dinda, tetangga sebelah rumah kita baru saja pindah. Namanya Raka, katanya dia dari kota. Anak muda yang baik, ibu bilang begitu,” kata ibunya dengan antusias.

Dinda hanya mengangguk sambil setengah mendengarkan. Dia lebih tertarik pada buku yang sedang dibacanya, dan tidak terlalu peduli dengan siapa yang tinggal di sebelah rumahnya. Lagi pula, tetangga baru sering kali datang dan pergi. Tidak ada yang menarik baginya untuk mengganggu kedamaian hidupnya hanya karena kehadiran satu orang baru.

Hari itu, Raka mengangkat barang-barang dari truk pindah ke dalam rumahnya. Dinda mengamati dari kejauhan, sedikit penasaran, tetapi lebih kepada rasa ingin tahu yang biasa. Dengan gaya sederhana, Raka tampak sedang berusaha mengatur barang-barangnya di teras rumah, menata ulang hidupnya yang baru dimulai di tempat yang asing.

Sejak saat itu, Dinda merasa ada yang aneh setiap kali bertemu dengan Raka. Itu adalah perasaan yang tidak bisa dia jelaskan dengan mudah. Mungkin karena dia jarang berbicara dengan orang baru di lingkungan itu, atau mungkin karena Raka memiliki aura yang berbeda dari pria lain di sekitarnya. Dinda merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya, meskipun itu hanya sekilas. Raka tidak terlalu mencolok, tidak banyak bicara, tetapi ada sesuatu dalam sikap tenangnya yang membuat Dinda merasa terganggu.

Keesokan harinya, saat Dinda sedang berjalan menuju pasar untuk membeli bahan makanan, dia melihat Raka sedang duduk di teras depan rumahnya, sambil memeriksa ponselnya. Secara tidak sengaja, pandangan mata mereka bertemu. Raka tersenyum tipis, dan Dinda merasakan sesuatu yang aneh merambat di dadanya. Senyum itu bukanlah senyum biasa. Itu adalah senyum yang menyiratkan sesuatu yang lebih, sesuatu yang membuat Dinda merasa sedikit canggung.

“Selamat pagi, Dinda,” ucap Raka dengan suara yang tenang, tetapi cukup jelas.

Dinda terkejut, hampir tersandung, tetapi cepat-cepat membetulkan langkahnya. “Oh, pagi, Raka,” jawabnya, canggung. “Baru pindah, ya?”

Raka mengangguk. “Iya, baru beberapa hari. Aku baru aja merapikan barang-barang. Kalau ada yang butuh bantuan, jangan ragu untuk bilang, ya,” katanya dengan nada ramah, namun terasa tulus.

Dinda hanya tersenyum kecil dan mengangguk sebelum melanjutkan langkahnya. Namun, hatinya tidak bisa begitu saja tenang. Rasa canggung itu bertahan lama setelah pertemuan itu. Dinda tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, dan itu membuatnya merasa sangat aneh. Tidak ada yang istimewa dari Raka—dia hanya pria biasa, tetangga yang baru datang. Tapi kenapa Dinda merasa hati ini berdebar setiap kali melihatnya?

Hari demi hari, perasaan itu semakin mengganggu. Setiap kali Dinda melihat Raka, entah di jalan atau di depan rumahnya, dia merasa ada yang berbeda. Raka selalu tampak tenang, tidak pernah terburu-buru, dan wajahnya yang selalu terlihat serius justru membuat Dinda semakin penasaran. Namun, tidak ada yang bisa Dinda lakukan untuk menanggapi perasaan itu. Ia berusaha mengabaikan, mencoba tetap fokus pada kehidupan sehari-hari yang sudah nyaman tanpa gangguan.

Suatu sore, saat Dinda sedang duduk di teras rumah, membaca buku favoritnya, dia mendengar suara pintu rumah Raka terbuka. Seseorang sedang keluar, dan Dinda segera tahu itu adalah Raka. Kali ini, tanpa sengaja, mereka bertemu lagi. Raka tampak kebingungan memandang halaman rumahnya yang masih berantakan, tampaknya sedang mencari sesuatu.

“Raka, ada yang bisa dibantu?” Dinda bertanya dengan ragu. Dia tahu dirinya tidak perlu terlibat, tetapi entah kenapa, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

Raka memandangnya, lalu tersenyum dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. “Ah, Dinda, kebetulan banget. Sebenarnya aku lagi butuh bantuan untuk mengatur beberapa barang di dalam rumah. Kalau nggak keberatan, boleh bantu sebentar?” tanyanya dengan penuh harap.

Dinda merasa sedikit terkejut, tetapi dia tidak ingin menolaknya. “Tentu, nggak masalah,” jawabnya, walaupun hatinya berdebar-debar. Mengapa dia merasa gugup hanya karena diminta membantu oleh Raka?

Mereka akhirnya menghabiskan beberapa waktu bersama di rumah Raka, memindahkan beberapa barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Dinda merasa canggung, tetapi dia berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupannya. Raka berbicara sedikit lebih banyak kali ini, menceritakan sedikit tentang dirinya, tentang bagaimana ia pindah dari kota dan betapa asingnya dia dengan lingkungan baru ini.

“Ini agak aneh ya, tinggal di tempat yang jauh dari rumah. Tapi, aku rasa ini juga kesempatan baru,” kata Raka, terlihat merenung.

Dinda hanya tersenyum dan mengangguk, berusaha untuk tetap tidak menunjukkan perasaan yang sebenarnya tengah berkembang dalam dirinya. Setelah beberapa waktu, mereka selesai mengatur barang-barang tersebut.

“Terima kasih, Dinda. Aku berhutang budi padamu,” ujar Raka sambil mengulurkan tangan sebagai tanda terima kasih.

Dinda menerima jabatannya dengan sedikit kikuk. “Nggak masalah kok, Raka. Senang bisa membantu.”

Saat Dinda melangkah kembali menuju rumahnya, perasaan itu semakin kuat. Raka benar-benar tidak seperti orang lain yang pernah dia temui. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda, dan Dinda tahu, kali ini, hidupnya tidak akan sama lagi.

Bab 2: Cinta yang Datang Terlalu Cepat

Malam itu, Dinda terbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit yang gelap. Pikiran-pikiran tentang Raka terus menghantuinya, berputar-putar tanpa henti. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, tidak pernah merasa seserius ini hanya karena seorang pria yang baru saja datang ke lingkungan mereka. Raka hanya tetangga baru, kan? Tidak lebih dari itu. Jadi mengapa perasaannya terasa begitu kuat? Mengapa hatinya berdegup kencang setiap kali berpapasan dengannya?

Dinda berusaha mengabaikan perasaan itu, berpikir bahwa mungkin ini hanya efek samping dari kebosanan. Setelah percakapan singkat mereka beberapa hari lalu, perasaan itu mulai merasuki pikiran Dinda lebih dalam. Terkadang, dia merasa bodoh. Kenapa harus begitu mudah tergoda oleh senyum seorang pria yang bahkan baru saja datang? Tapi ada sesuatu dalam cara Raka berbicara yang membuat Dinda merasa seperti dia benar-benar dipahami, meskipun mereka belum saling mengenal dengan baik.

Pagi itu, setelah sarapan, Dinda keluar rumah dengan langkah tergesa-gesa. Ia berencana pergi ke toko untuk membeli bahan-bahan untuk makan siang. Namun, saat membuka pintu, ia tak sengaja bertemu dengan Raka yang sedang berdiri di depan rumahnya. Pria itu mengenakan kaos biru dan celana jeans yang sederhana, namun entah kenapa, penampilannya tetap tampak menarik di mata Dinda. Itu hanya kaos dan celana jeans, namun Raka berhasil membuatnya terkesan dengan cara yang sulit dipahami.

“Selamat pagi, Dinda,” sapa Raka dengan senyum ramah.

Dinda terkejut, merasa canggung sejenak. “Oh, pagi, Raka. Ada apa?” jawabnya, berusaha terlihat santai meskipun hati berdebar-debar.

Raka mengangkat satu alis. “Gak ada apa-apa, cuma mau bilang terima kasih lagi atas bantuannya kemarin. Kalau ada waktu, nanti kita bisa ngobrol lebih banyak. Di sini aku masih merasa asing.”

Dinda merasa sedikit tersentuh dengan perkataan Raka, meskipun ia merasa malu. “Tentu saja, nggak masalah. Aku… aku juga sering di rumah kok,” jawab Dinda, hampir seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan.

Raka hanya tersenyum lagi, dan Dinda pun melanjutkan langkahnya menuju toko. Namun, perasaan yang aneh itu masih menghantuinya sepanjang perjalanan. Rasanya seperti ada benang tak terlihat yang mengikatnya pada Raka, membuatnya terus-menerus berpikir tentang pria itu meskipun ia mencoba untuk fokus pada hal lain. Sesekali, senyum Raka terbayang di benaknya, seolah menantangnya untuk berbuat sesuatu lebih jauh, lebih dari sekadar sapaan biasa.

Di toko, Dinda berusaha memilih bahan-bahan masakan dengan tenang, tapi matanya selalu melirik ke arah pintu masuk, berharap Raka muncul entah dari mana. Itu konyol, pikirnya. Raka bukanlah seseorang yang harus dipikirkan sepanjang waktu, bukan? Tapi nyatanya, perasaan itu terus saja bertumbuh. Kenapa harus Raka? Kenapa harus tetangga barunya yang terlihat sangat biasa, tapi juga begitu luar biasa di matanya?

Setelah selesai berbelanja, Dinda kembali ke rumah, hanya untuk menemukan bahwa Raka sedang duduk di teras rumahnya, sekali lagi dengan ponsel di tangannya. Dinda merasa sedikit risih, namun entah kenapa, ia juga merasa tertarik untuk mendekat. Rasanya seperti ada dorongan tak terungkapkan yang membuat langkahnya semakin cepat.

Saat mereka berpapasan di depan rumah, Raka menyapanya lagi dengan senyum yang sama, membuat Dinda merasa lebih canggung dari sebelumnya. “Nanti malam ada acara kumpul di rumah gue. Kalau kamu nggak sibuk, datang ya,” ajak Raka, terdengar santai namun ada nada harap di suaranya.

Dinda terkejut mendengarnya. Ia tidak tahu apa yang harus dijawab. Apakah ia harus datang? Ia merasa terjebak antara keinginan untuk tahu lebih banyak tentang Raka dan ketakutan bahwa perasaan ini mungkin terlalu cepat untuk dipendam. Namun, akhirnya, ia memutuskan untuk pergi. “Aku… aku coba datang ya,” jawab Dinda, walaupun dalam hati masih merasa ragu.

Hari itu berlalu dengan cepat. Dinda merasa tidak sabar dan gelisah menunggu malam. Ia bahkan memilih pakaian dengan hati-hati, berusaha tampil santai namun tetap menarik. Dia ingin terlihat bagus di depan Raka, meskipun ia tahu bahwa ini mungkin terlalu berlebihan. Saat ia tiba di rumah Raka, suara tawa dan musik sudah terdengar dari dalam. Dinda merasa gugup, tetapi juga tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang mendalam.

Di dalam, Dinda menemukan bahwa acara itu cukup sederhana, dengan beberapa teman-teman Raka yang juga baru ia kenal. Mereka tampak saling berbicara dengan akrab, tertawa bersama. Raka segera menyambut Dinda dengan senyum hangat, menunjukkan tempat duduk yang nyaman di sudut ruang tamu.

“Santai aja, Dinda. Gak usah canggung,” kata Raka sambil menyerahkan minuman. “Teman-teman di sini semua baik kok.”

Dinda mencoba untuk rileks, berbicara dengan teman-teman Raka, meskipun hatinya tetap tidak tenang. Namun, semakin lama, Dinda mulai merasa nyaman. Tawa Raka yang hangat, cara dia mendengarkan dengan penuh perhatian, membuat Dinda merasa seperti ada koneksi yang lebih kuat antara mereka. Tapi, di sisi lain, Dinda juga merasa semakin bingung dengan perasaannya. Apakah ini hanya perasaan sesaat, atau ada sesuatu yang lebih? Mengapa ia merasa semakin terikat dengan Raka?

Di tengah percakapan, Raka datang mendekat dan duduk di samping Dinda. “Gimana, Dinda? Betah nggak?” tanya Raka dengan senyum yang seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Dinda.

Dinda hanya bisa tersenyum canggung. “Iya, betah kok. Terima kasih sudah ngajak aku.”

Raka mengangguk, matanya seakan berkata lebih dari sekadar kata-kata. Dinda merasa semakin bingung, tetapi sekaligus semakin yakin bahwa perasaan ini lebih dari sekadar rasa ingin tahu biasa. Di saat yang sama, ia merasa bahwa perasaan ini datang terlalu cepat. Namun, siapa yang bisa menghindari cinta yang datang begitu mendalam, meskipun terasa begitu cepat dan begitu tak terduga?

Bab 3: Kejutan-Kejutan

Hari-hari setelah pesta itu berlalu, dan Dinda masih terjebak dalam kegelisahan yang aneh. Meskipun dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah fase sementara, sebuah perasaan yang pasti akan hilang seiring waktu, kenyataannya malah semakin sulit untuk mengabaikannya. Raka, tetangga barunya yang semula hanya seorang pria biasa di mata Dinda, kini sudah mengisi hampir setiap sudut pikirannya. Bahkan saat dia berada di rumah, bekerja, atau berbicara dengan sahabatnya, Nina, pikirannya sering teralihkan pada Raka.

Pesta di rumah Raka beberapa malam lalu ternyata lebih dari sekadar pertemuan biasa. Momen-momen kecil yang terjadi di sana, tawa mereka yang saling berbagi cerita, dan pandangan mata yang tiba-tiba terasa begitu dalam, semakin memperkuat perasaan Dinda. Terlebih lagi, setelah beberapa kali mereka mengobrol lebih banyak, Raka tampaknya semakin terbuka, menunjukkan sisi-sisi dirinya yang belum pernah Dinda lihat sebelumnya. Meskipun obrolan mereka lebih banyak tentang hal-hal sepele, Dinda merasakan ada kedekatan yang mulai tumbuh di antara mereka.

Namun, yang membuat Dinda semakin bingung adalah sikap Raka yang terkadang terkesan begitu perhatian, tetapi di lain waktu, tampak biasa saja, seolah-olah dia tidak peduli. Dinda merasa kesulitan membaca perasaan Raka. Apakah pria itu hanya bersikap ramah, ataukah ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan? Hati Dinda bertanya-tanya, tapi dia merasa tidak punya cukup keberanian untuk menanyakan langsung.

Suatu sore, setelah selesai bekerja di rumah, Dinda berjalan menuju toko dekat rumah untuk membeli beberapa bahan makanan. Seperti biasanya, suasana di sekitar perumahan sangat tenang, dengan hanya suara angin yang terdengar di antara pepohonan yang tumbuh rimbun di sepanjang jalan. Ketika Dinda melewati jalan di depan rumah Raka, dia melihat pria itu sedang duduk di teras, tampak tenggelam dalam pikirannya.

Dinda hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya, tapi dia berusaha agar tidak terlalu terlihat. Namun, entah kenapa, langkah kakinya seolah melangkah dengan sendirinya menuju rumah Raka. Rasa penasaran yang tak bisa diabaikan membuat Dinda merasa sedikit gelisah.

“Raka, apa kabar?” Dinda mencoba memulai percakapan dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya.

Raka mendongak, dan wajahnya yang semula tampak serius seketika berubah menjadi senyum hangat. “Dinda, kamu lagi belanja?” tanyanya sambil bangkit dari duduknya.

Dinda merasa sedikit canggung, tapi berusaha terlihat biasa saja. “Iya, cuma beli beberapa bahan buat makan siang. Lagi nggak sibuk, kan?”

“Enggak kok, cuma sedikit beres-beres rumah aja. Kamu mau mampir sebentar?” Raka menawarkan dengan nada yang tampak santai, namun ada sesuatu dalam matanya yang membuat Dinda merasa bahwa ajakan itu lebih dari sekadar basa-basi.

Dinda terdiam sejenak, merasa ragu. Mampir ke rumah Raka—apakah itu ide yang baik? Ia belum benar-benar tahu banyak tentang Raka, tapi kenapa perasaan itu malah membuatnya ingin melakukannya? Tanpa berpikir panjang, Dinda akhirnya mengangguk. “Ya sudah, aku mampir sebentar.”

Saat Dinda memasuki rumah Raka, suasana di dalam terasa hangat dan nyaman. Raka membimbingnya menuju ruang tamu yang sederhana namun terlihat rapih. Ada aroma kopi yang samar-samar tercium, dan Dinda menyadari bahwa Raka memang sedang menyeduh kopi ketika ia datang.

“Dinda, duduk dulu. Aku baru bikin kopi, kamu mau?” tanya Raka, sambil berjalan menuju meja kecil yang terletak di sudut ruang tamu.

Dinda mengangguk dan duduk di kursi yang disediakan. “Kopi? Boleh banget,” jawabnya dengan senyum tipis.

Ketika Raka kembali membawa dua cangkir kopi, suasana terasa sedikit canggung. Dinda tidak bisa menghindari perasaan yang kian kuat. Ada sesuatu yang berbeda dalam kehadiran Raka kali ini. Percakapan mereka berlanjut dengan lebih santai, membahas hal-hal ringan seperti cuaca dan kegiatan sehari-hari. Namun, meskipun obrolan mereka terkesan biasa saja, Dinda merasa ada ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Apakah ini pertanda bahwa Raka juga merasakan hal yang sama?

Dinda berusaha untuk tetap tenang, menikmati kopi yang hangat, meskipun dalam hatinya, pikiran-pikirannya berputar-putar. Akhirnya, setelah beberapa menit berbincang, Raka tiba-tiba bertanya dengan nada yang lebih serius.

“Dinda, aku pengen tanya, kamu nggak keberatan kan kalau aku ajak kamu untuk lebih sering ngobrol? Aku tahu ini mungkin agak cepat, tapi… aku merasa kita bisa jadi teman yang lebih dekat, nggak cuma tetangga.”

Dinda terkejut mendengar pertanyaan itu. Kenapa Raka bisa seberani itu? Apakah dia menyadari bahwa Dinda juga merasakan hal yang sama? Rasa cemas dan senang bercampur dalam dada Dinda. Namun, dia berusaha menjaga ketenangannya.

“Aku… aku sih nggak keberatan, Raka. Aku senang bisa ngobrol sama kamu lebih sering,” jawab Dinda pelan, berusaha terdengar meyakinkan meskipun hatinya berdebar-debar.

Raka tersenyum, dan Dinda merasakan ada kelegaan yang sama-sama mereka rasakan. Setelah percakapan itu, Dinda merasa seperti ada sesuatu yang mulai berubah antara mereka. Mungkin saja perasaan Dinda tidak sepenuhnya salah, dan Raka mungkin juga mulai merasakan ketertarikan yang sama. Tapi, di saat yang sama, Dinda merasa takut. Apakah ini hanya sebuah ketertarikan sesaat? Atau, apakah mereka benar-benar bisa menjadi lebih dari sekadar teman?

Sementara itu, Raka tampaknya tidak terlalu banyak berbicara tentang perasaannya, dan Dinda pun tidak ingin terburu-buru. Semua ini terasa seperti permainan, sebuah teka-teki yang perlahan terungkap, dan Dinda merasa bahwa ia harus berhati-hati dalam mengambil langkah berikutnya. Namun, satu hal yang pasti, perasaan yang tumbuh di antara mereka semakin kuat, dan Dinda tahu, kedekatan ini hanya akan membawa mereka lebih dalam ke dalam perjalanan yang penuh kejutan.

Bab 4: Ketegangan yang Meningkat

Minggu-minggu setelah percakapan itu berlalu begitu cepat. Setiap kali Dinda melihat Raka, ada rasa yang tak bisa ia jelaskan. Mereka semakin sering berbincang, entah itu di jalan ketika berpapasan, atau saat Raka menyapanya dari depan rumahnya. Ada perasaan yang terus tumbuh, dan Dinda semakin yakin bahwa ini bukanlah perasaan biasa. Namun, sekaligus ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Bagaimana jika ini hanya imajinasi belaka? Bagaimana jika Raka tidak merasakan hal yang sama?

Dinda berusaha menenangkan dirinya, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi. Mereka hanya berteman, bukan? Hanya karena sering ngobrol dan menghabiskan waktu bersama tidak berarti bahwa hubungan mereka akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Tapi setiap kali dia bertemu dengan Raka, segala keraguannya seperti hilang seketika. Raka membuatnya merasa nyaman, seperti dia tidak perlu berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya.

Pada suatu sore yang cerah, Dinda sedang duduk di teras rumahnya, membaca buku kesukaannya, ketika dia mendengar suara mobil berhenti di depan rumah Raka. Penasaran, Dinda meletakkan bukunya dan berdiri, mengintip dari balik tirai. Ternyata, sebuah mobil mewah baru saja parkir di depan rumah Raka. Seorang pria yang tampak lebih tua dari Raka keluar dari mobil tersebut, mengenakan jas hitam yang rapi. Dinda merasa sedikit terkejut, karena itu bukan orang yang biasa datang ke rumah Raka.

Pria itu tampaknya sudah sangat akrab dengan Raka, karena mereka langsung saling berjabat tangan dan berbicara dengan serius. Dinda tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi ada sesuatu dalam sikap Raka yang membuatnya merasa tidak nyaman. Raka terlihat lebih serius dari biasanya, bahkan agak canggung. Siapakah pria itu? Apa hubungannya dengan Raka?

Perasaan cemas itu makin menguat. Dinda mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa mungkin dia hanya berlebihan. Mungkin pria itu hanya seorang teman lama atau kerabat Raka yang datang berkunjung. Namun, rasa ingin tahu itu tak bisa ditahan. Dinda terus memperhatikan mereka dari kejauhan, merasa bingung dengan perasaannya yang semakin tidak terkendali.

Beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Dinda tidak sengaja bertemu dengan Raka di depan rumahnya. Kali ini, suasana terasa sedikit berbeda. Raka tampak lebih serius dari biasanya, matanya tampak kurang berbinar seperti biasanya.

“Hai, Raka. Ada apa? Kok kelihatannya agak sibuk akhir-akhir ini?” tanya Dinda, berusaha membuat percakapan ringan meskipun hatinya penuh tanda tanya.

Raka menatap Dinda, kemudian tersenyum tipis. “Oh, nggak ada apa-apa. Cuma beberapa urusan pribadi yang harus diselesaikan,” jawab Raka, seolah mencoba menutupi sesuatu. Dinda merasa bahwa jawaban itu tidak sepenuhnya jujur, tapi dia tidak ingin memaksa.

“Baiklah, kalau ada yang bisa aku bantu, bilang aja ya,” Dinda menambahkan dengan senyum kecil, meskipun dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

Raka mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Dinda memandangnya pergi dengan rasa bingung yang semakin mendalam. Apa yang terjadi dengan Raka? Kenapa dia terlihat begitu berbeda?

Beberapa hari kemudian, Dinda menerima telepon dari Nina, sahabatnya. “Dinda, kamu tahu nggak? Aku dengar kabar kalau Raka itu ternyata punya kekasih dari kota. Katanya mereka sudah pacaran cukup lama,” ujar Nina dengan nada yang terdengar penuh teka-teki.

Dinda terdiam sejenak. Hatinya berdebar. Kenapa Nina baru memberitahunya sekarang? Apa maksudnya dengan “kekasih dari kota”? Bukankah Raka belum pernah membicarakan hubungan khususnya dengan Dinda? Selama ini, Raka hanya bersikap seperti teman biasa. Namun, kenyataan ini seperti sebuah batu besar yang jatuh di dadanya, membuatnya tercekik oleh perasaan yang tidak jelas.

“Serius?” Dinda akhirnya bisa mengucapkan kata-kata itu, meskipun suaranya terdengar agak ragu.

“Iya, katanya sih pacarnya itu sering datang ke rumahnya. Aku nggak tahu pasti sih, tapi ya… mungkin kamu harus hati-hati. Jangan sampai kamu salah paham dengan sikap Raka, ya?” Nina menambahkan, sedikit mengingatkan Dinda.

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar telinga Dinda. Selama ini, dia selalu merasa ada sesuatu yang lebih antara dirinya dan Raka. Tapi sekarang, kabar itu membuatnya merasa bingung. Apakah selama ini Raka hanya bersikap baik kepadanya sebagai teman, atau ada sesuatu yang lebih dari itu?

Hari-hari setelah percakapan dengan Nina, Dinda merasa kesulitan untuk bertemu dengan Raka. Setiap kali bertemu, ada rasa canggung yang tidak bisa dihindari. Dinda mencoba bertindak biasa saja, tapi di dalam hatinya, dia merasa kesal dengan dirinya sendiri. Mengapa perasaannya bisa sejauh ini? Mengapa dia bisa begitu cepat terikat pada Raka, tanpa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya?

Suatu sore, saat Dinda sedang berjalan menuju taman, dia melihat Raka sedang berbicara dengan seorang wanita di depan rumahnya. Wanita itu tampaknya sangat akrab dengan Raka, dan mereka tertawa bersama. Dinda merasa hatinya teriris. Ini pasti pacar Raka, pikirnya. Wanita itu terlihat begitu serasi dengan Raka, lebih dari yang bisa Dinda bayangkan. Tiba-tiba, perasaan kecewa dan sakit hati datang begitu saja, dan Dinda merasa tidak tahu harus berbuat apa.

Tanpa sadar, dia mempercepat langkahnya, berusaha menghindari Raka dan wanita itu. Saat Dinda tiba di taman, dia duduk di bangku dengan perasaan yang kacau. Semua yang dirasakannya tentang Raka sekarang terasa begitu sia-sia. Dia bahkan tidak tahu kenapa perasaan itu begitu kuat, tapi kenyataan bahwa Raka mungkin sudah memiliki seseorang lain membuat hatinya remuk.

Namun, saat Dinda hendak bangkit untuk pulang, suara langkah kaki terdengar mendekat. Dinda menoleh dan mendapati Raka berdiri di hadapannya. Wajahnya tampak ragu, namun ada sesuatu yang berbeda. Dinda tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi hatinya tahu satu hal—semua perasaan yan

g selama ini dipendam harus dihadapi.

Bab 5: Menghadapi Kenyataan

Dinda menatap Raka yang kini berdiri di hadapannya, wajahnya tampak gelisah, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi dia tidak tahu bagaimana memulainya. Dinda bisa merasakan ketegangan di udara, seolah setiap detik yang berlalu semakin membuatnya cemas. Hatinya berdebar-debar, namun ia berusaha menenangkan diri, berusaha tidak menunjukkan betapa cemasnya dia.

“Ada apa, Raka?” tanya Dinda, berusaha terdengar santai meskipun hatinya sudah dipenuhi oleh pertanyaan yang tak terjawab.

Raka menarik napas dalam-dalam, seolah mencari keberanian untuk mengucapkan sesuatu yang penting. “Dinda, aku tahu beberapa hari terakhir ini, aku… aku mungkin telah membuat kamu merasa bingung,” ujar Raka pelan, tatapannya tidak langsung bertemu dengan mata Dinda. “Aku minta maaf jika sikapku membuat kamu merasa tidak nyaman.”

Dinda menelan ludah, rasa cemasnya semakin kuat. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa Raka tampak seperti itu? Apakah dia merasa bersalah? Rasa ingin tahu Dinda semakin tak tertahankan. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya sedikit lebih serak dari biasanya.

Raka mengangguk pelan. “Aku tahu, belakangan ini aku terlalu sering muncul dan bersikap dekat dengan kamu. Aku… aku tidak ingin kamu salah paham. Aku tahu ada banyak hal yang belum aku ceritakan padamu.”

Dinda merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa Raka mendekatinya, membuatnya merasa begitu spesial, tapi kemudian mengatakan hal ini? Dinda mencoba menahan diri, tidak ingin terburu-buru membuat kesimpulan. “Tapi kenapa, Raka? Kenapa kamu mendekat, tapi justru menghindar saat aku merasa kita semakin dekat?”

Raka menatap Dinda dengan tatapan yang lebih serius, seperti ingin mengatakan sesuatu yang sulit. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya, Dinda. Tapi ada satu hal yang mungkin harus kamu tahu…” Suaranya berhenti sejenak, seakan menimbang kata-kata yang akan keluar.

“Dinda, aku sudah punya seseorang,” akhirnya Raka mengatakannya dengan pelan, seolah kata-kata itu sangat berat untuk diucapkan. “Aku tidak pernah bermaksud membuat kamu merasa lebih dari sekadar teman.”

Dinda merasakan seolah seluruh dunia berhenti sejenak. Kata-kata itu mengiang di telinganya, menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. “Jadi… selama ini, semuanya hanya… hanya pertemanan?” Suara Dinda bergetar, dan dia merasa ada sesuatu yang hancur dalam dirinya.

Raka mengangguk, wajahnya tampak penuh penyesalan. “Iya, aku tahu ini mungkin mengecewakan kamu. Aku tidak ingin membuatmu merasa sakit hati. Tapi aku merasa kita harus jujur satu sama lain.”

Dinda terdiam, mencoba menyerap semuanya. Perasaannya yang selama ini ia pertahankan, yang dia kira mungkin akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih, ternyata hanya sebuah ilusi. Ia merasa bingung, sakit hati, dan marah pada dirinya sendiri. Kenapa ia bisa begitu bodoh untuk berharap lebih? Raka, yang selama ini ia anggap begitu dekat, ternyata tidak melihatnya lebih dari seorang teman.

Dinda menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang sudah mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku… aku nggak tahu harus berkata apa,” ujarnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku pikir kita… ada sesuatu, Raka. Tapi ternyata… aku hanya salah paham.”

Raka tampak semakin cemas, berjalan mendekat dan duduk di samping Dinda. “Dinda, aku nggak mau kamu merasa sakit hati. Aku benar-benar menghargai persahabatan kita, dan aku nggak ingin itu rusak hanya karena perasaan yang nggak seharusnya ada. Aku tahu kamu mungkin merasa kecewa, dan aku minta maaf.”

Dinda merasa seperti seluruh tubuhnya lemas. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka hanya semakin menguatkan kenyataan yang sulit diterima. Ia merasa seperti sebuah lukisan indah yang dihancurkan dalam sekejap mata. “Aku cuma… aku cuma nggak mengerti, Raka,” suara Dinda mulai terdengar lebih jelas. “Kenapa kamu selalu dekat, selalu ngobrol, tapi akhirnya aku hanya dianggap teman?”

Raka menggigit bibirnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak bermaksud untuk memberi harapan. Kamu orang yang luar biasa, Dinda, dan aku sangat menghargaimu. Tapi… aku nggak bisa mengubah kenyataan kalau hati aku sudah ada di tempat lain. Ada seseorang yang sudah lebih dulu ada di hidup aku.”

Dinda hanya bisa terdiam, merasa sakit. Semua yang ia pikirkan tentang Raka, semua harapan yang sempat tumbuh, seolah dihancurkan begitu saja oleh kenyataan pahit yang baru saja ia dengar. Selama ini, ia mungkin telah mengabaikan tanda-tanda, atau lebih tepatnya, dia menutupi perasaannya sendiri demi berharap ada sesuatu yang lebih. Tapi kenyataan berkata lain, dan sekarang, ia harus menerima itu.

“Jadi, kamu nggak pernah merasa ada sesuatu di antara kita?” tanya Dinda, suara yang penuh dengan rasa kecewa.

Raka menggelengkan kepala pelan. “Aku merasa ada kedekatan, iya. Tapi bukan berarti aku merasa lebih dari itu, Dinda. Aku nggak ingin kamu merasa tersakiti. Kamu sangat berarti buat aku sebagai teman, dan aku nggak mau merusak itu.”

Dinda mengangkat wajahnya, menatap Raka dengan air mata yang sudah tak terbendung. “Aku… aku pikir kita bisa lebih dari itu. Aku nggak tahu kalau ternyata kamu sudah punya seseorang. Aku… aku merasa bodoh.”

Raka meraih tangan Dinda, mencoba memberikan dukungan. “Dinda, kamu nggak bodoh. Semua ini bukan salah kamu. Ini semua tentang aku yang nggak bisa memberi penjelasan lebih awal. Aku berharap kita masih bisa tetap berteman. Kamu nggak perlu merasa terjebak dalam hal ini.”

Namun, Dinda tahu bahwa semuanya sudah berubah. Bahkan jika mereka tetap berteman, sesuatu dalam dirinya sudah rusak. Perasaannya yang selama ini tumbuh, harapan-harapannya yang mulai naik, semua itu kini harus dihentikan. Kenyataan itu begitu pahit, namun lebih baik daripada hidup dalam ilusi yang lebih lama.

“Raka, aku butuh waktu,” jawab Dinda akhirnya, setelah diam sejenak. “Aku butuh waktu untuk menerima semuanya.”

Raka mengangguk pelan, seakan memahami. “Aku akan memberi kamu waktu, Dinda. Aku nggak ingin membuat semuanya semakin sulit.”

Dinda berdiri, menatap Raka dengan sekali lagi. “Terima kasih telah jujur. Aku harap kita bisa tetap berteman, meskipun aku tahu itu akan sulit.”

Dengan langkah yang berat, Dinda berjalan pergi, meninggalkan Raka di belakang. Hatinya hancur, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Dunia seolah berputar lebih lambat saat ia berjalan menjauh dari Raka, tapi satu hal yang pasti—perjalanan ini, meskipun menyakitkan, mungkin akan membawa Dinda pada pemahaman baru tentang dirinya dan perasaannya.

Bab 5: Menghadapi Kenyataan

Dinda menatap Raka yang kini berdiri di hadapannya, wajahnya tampak gelisah, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi dia tidak tahu bagaimana memulainya. Dinda bisa merasakan ketegangan di udara, seolah setiap detik yang berlalu semakin membuatnya cemas. Hatinya berdebar-debar, namun ia berusaha menenangkan diri, berusaha tidak menunjukkan betapa cemasnya dia.

“Ada apa, Raka?” tanya Dinda, berusaha terdengar santai meskipun hatinya sudah dipenuhi oleh pertanyaan yang tak terjawab.

Raka menarik napas dalam-dalam, seolah mencari keberanian untuk mengucapkan sesuatu yang penting. “Dinda, aku tahu beberapa hari terakhir ini, aku… aku mungkin telah membuat kamu merasa bingung,” ujar Raka pelan, tatapannya tidak langsung bertemu dengan mata Dinda. “Aku minta maaf jika sikapku membuat kamu merasa tidak nyaman.”

Dinda menelan ludah, rasa cemasnya semakin kuat. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa Raka tampak seperti itu? Apakah dia merasa bersalah? Rasa ingin tahu Dinda semakin tak tertahankan. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya sedikit lebih serak dari biasanya.

Raka mengangguk pelan. “Aku tahu, belakangan ini aku terlalu sering muncul dan bersikap dekat dengan kamu. Aku… aku tidak ingin kamu salah paham. Aku tahu ada banyak hal yang belum aku ceritakan padamu.”

Dinda merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa Raka mendekatinya, membuatnya merasa begitu spesial, tapi kemudian mengatakan hal ini? Dinda mencoba menahan diri, tidak ingin terburu-buru membuat kesimpulan. “Tapi kenapa, Raka? Kenapa kamu mendekat, tapi justru menghindar saat aku merasa kita semakin dekat?”

Raka menatap Dinda dengan tatapan yang lebih serius, seperti ingin mengatakan sesuatu yang sulit. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya, Dinda. Tapi ada satu hal yang mungkin harus kamu tahu…” Suaranya berhenti sejenak, seakan menimbang kata-kata yang akan keluar.

“Dinda, aku sudah punya seseorang,” akhirnya Raka mengatakannya dengan pelan, seolah kata-kata itu sangat berat untuk diucapkan. “Aku tidak pernah bermaksud membuat kamu merasa lebih dari sekadar teman.”

Dinda merasakan seolah seluruh dunia berhenti sejenak. Kata-kata itu mengiang di telinganya, menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. “Jadi… selama ini, semuanya hanya… hanya pertemanan?” Suara Dinda bergetar, dan dia merasa ada sesuatu yang hancur dalam dirinya.

Raka mengangguk, wajahnya tampak penuh penyesalan. “Iya, aku tahu ini mungkin mengecewakan kamu. Aku tidak ingin membuatmu merasa sakit hati. Tapi aku merasa kita harus jujur satu sama lain.”

Dinda terdiam, mencoba menyerap semuanya. Perasaannya yang selama ini ia pertahankan, yang dia kira mungkin akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih, ternyata hanya sebuah ilusi. Ia merasa bingung, sakit hati, dan marah pada dirinya sendiri. Kenapa ia bisa begitu bodoh untuk berharap lebih? Raka, yang selama ini ia anggap begitu dekat, ternyata tidak melihatnya lebih dari seorang teman.

Dinda menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang sudah mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku… aku nggak tahu harus berkata apa,” ujarnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku pikir kita… ada sesuatu, Raka. Tapi ternyata… aku hanya salah paham.”

Raka tampak semakin cemas, berjalan mendekat dan duduk di samping Dinda. “Dinda, aku nggak mau kamu merasa sakit hati. Aku benar-benar menghargai persahabatan kita, dan aku nggak ingin itu rusak hanya karena perasaan yang nggak seharusnya ada. Aku tahu kamu mungkin merasa kecewa, dan aku minta maaf.”

Dinda merasa seperti seluruh tubuhnya lemas. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka hanya semakin menguatkan kenyataan yang sulit diterima. Ia merasa seperti sebuah lukisan indah yang dihancurkan dalam sekejap mata. “Aku cuma… aku cuma nggak mengerti, Raka,” suara Dinda mulai terdengar lebih jelas. “Kenapa kamu selalu dekat, selalu ngobrol, tapi akhirnya aku hanya dianggap teman?”

Raka menggigit bibirnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak bermaksud untuk memberi harapan. Kamu orang yang luar biasa, Dinda, dan aku sangat menghargaimu. Tapi… aku nggak bisa mengubah kenyataan kalau hati aku sudah ada di tempat lain. Ada seseorang yang sudah lebih dulu ada di hidup aku.”

Dinda hanya bisa terdiam, merasa sakit. Semua yang ia pikirkan tentang Raka, semua harapan yang sempat tumbuh, seolah dihancurkan begitu saja oleh kenyataan pahit yang baru saja ia dengar. Selama ini, ia mungkin telah mengabaikan tanda-tanda, atau lebih tepatnya, dia menutupi perasaannya sendiri demi berharap ada sesuatu yang lebih. Tapi kenyataan berkata lain, dan sekarang, ia harus menerima itu.

“Jadi, kamu nggak pernah merasa ada sesuatu di antara kita?” tanya Dinda, suara yang penuh dengan rasa kecewa.

Raka menggelengkan kepala pelan. “Aku merasa ada kedekatan, iya. Tapi bukan berarti aku merasa lebih dari itu, Dinda. Aku nggak ingin kamu merasa tersakiti. Kamu sangat berarti buat aku sebagai teman, dan aku nggak mau merusak itu.”

Dinda mengangkat wajahnya, menatap Raka dengan air mata yang sudah tak terbendung. “Aku… aku pikir kita bisa lebih dari itu. Aku nggak tahu kalau ternyata kamu sudah punya seseorang. Aku… aku merasa bodoh.”

Raka meraih tangan Dinda, mencoba memberikan dukungan. “Dinda, kamu nggak bodoh. Semua ini bukan salah kamu. Ini semua tentang aku yang nggak bisa memberi penjelasan lebih awal. Aku berharap kita masih bisa tetap berteman. Kamu nggak perlu merasa terjebak dalam hal ini.”

Namun, Dinda tahu bahwa semuanya sudah berubah. Bahkan jika mereka tetap berteman, sesuatu dalam dirinya sudah rusak. Perasaannya yang selama ini tumbuh, harapan-harapannya yang mulai naik, semua itu kini harus dihentikan. Kenyataan itu begitu pahit, namun lebih baik daripada hidup dalam ilusi yang lebih lama.

“Raka, aku butuh waktu,” jawab Dinda akhirnya, setelah diam sejenak. “Aku butuh waktu untuk menerima semuanya.”

Raka mengangguk pelan, seakan memahami. “Aku akan memberi kamu waktu, Dinda. Aku nggak ingin membuat semuanya semakin sulit.”

Dinda berdiri, menatap Raka dengan sekali lagi. “Terima kasih telah jujur. Aku harap kita bisa tetap berteman, meskipun aku tahu itu akan sulit.”

Dengan langkah yang berat, Dinda berjalan pergi, meninggalkan Raka di belakang. Hatinya hancur, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Dunia seolah berputar lebih lambat saat ia berjalan menjauh dari Raka, tapi satu hal yang pasti—perjalanan ini, meskipun menyakitkan, mungkin akan membawa Dinda pada pemahaman baru tentang dirinya dan perasaannya.

Bab 6: Melangkah Maju

Dinda berjalan dengan langkah yang terasa berat, setiap jejaknya meninggalkan bekas di jalan setapak yang sempit, seperti jejak-jejak perasaannya yang kini terasa kabur dan tak menentu. Beberapa hari setelah percakapan dengan Raka, ia merasa seperti berjalan di atas kabut, bingung dan kehilangan arah. Meskipun ia berusaha untuk bersikap tegar, hatinya tidak bisa begitu saja mengabaikan rasa sakit yang ditinggalkan oleh kenyataan pahit yang baru saja diterimanya.

Namun, hidup harus terus berjalan. Dinda tahu itu, dan meskipun perasaannya masih penuh dengan kebingungan, ia tidak bisa berlarut-larut dalam kesedihan. Ada banyak hal yang harus ia lakukan, dan ia harus kembali fokus pada dirinya sendiri. Dengan hati yang sedikit terluka, Dinda berusaha untuk bangkit kembali.

Pagi itu, Dinda memutuskan untuk pergi ke kafe tempat dia sering menghabiskan waktu bersama Nina. Mereka berdua sudah sepakat untuk bertemu dan berbincang. Nina adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Dinda merasa sedikit lebih baik, meskipun ia tahu bahwa tidak ada yang bisa menghapus luka hatinya selain waktu. Ketika Dinda tiba di kafe, Nina sudah duduk di meja pojok dengan secangkir cappuccino di depannya.

“Dinda!” Nina menyapa dengan ceria, meskipun melihat ekspresi Dinda yang terlihat sedikit murung. “Ayo duduk, aku tungguin kamu. Kita harus ngobrol, nih.”

Dinda tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaannya yang sebenarnya. “Iya, aku butuh banget ngobrol sekarang.”

Nina memandangnya dengan tatapan prihatin. “Aku tahu, Dinda. Ini pasti nggak mudah buat kamu. Kamu udah coba hubungi Raka lagi?”

Dinda menggeleng pelan. “Enggak. Aku butuh waktu buat diriku sendiri dulu. Aku nggak tahu harus bagaimana setelah semua yang terjadi.”

Nina mengangguk memahami. “Aku paham. Tapi kamu harus ingat, Dinda, kamu nggak sendirian. Kalau kamu butuh apa-apa, aku selalu ada buat kamu.”

Dinda menghela napas panjang. “Aku cuma merasa bodoh, Nina. Selama ini aku berpikir ada sesuatu lebih antara aku dan Raka. Tapi ternyata, aku salah paham. Dan itu bikin aku kecewa banget.”

Nina menatapnya serius. “Nggak ada yang bodoh di sini, Dinda. Kamu hanya mengikuti perasaanmu. Terkadang, kita bisa salah menilai sesuatu, dan itu nggak berarti kamu nggak cukup baik. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang benar-benar melihatmu lebih dari teman.”

Dinda terdiam, mendengarkan kata-kata Nina. Sejak pertama kali mereka bertemu, Nina selalu menjadi orang yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Bahkan saat Dinda merasa terpuruk, Nina selalu tahu bagaimana cara memberi dukungan yang tepat. Namun, meskipun kata-kata Nina penuh penghiburan, Dinda masih merasa cemas dan tidak pasti dengan langkah selanjutnya.

“Aku hanya merasa bingung, Nina. Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku merasa sudah dekat dengan Raka, dan tiba-tiba kenyataan datang begitu saja. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.”

Nina mengulurkan tangan, meraih tangan Dinda dengan lembut. “Coba lihat dari sisi yang berbeda, Dinda. Ini mungkin bisa jadi kesempatan untuk kamu lebih fokus pada dirimu sendiri. Mungkin ini saatnya untuk menemukan hal-hal yang belum pernah kamu coba sebelumnya. Jangan biarkan satu orang menentukan kebahagiaanmu.”

Dinda menatap Nina dengan tatapan kosong, namun ada secercah pemahaman di dalamnya. Mungkin ini benar. Mungkin, selama ini ia terlalu bergantung pada perasaan yang tidak pasti. Ini saatnya untuk kembali menemukan diri sendiri, untuk fokus pada kebahagiaannya tanpa terikat pada orang lain.

“Aku nggak tahu, Nina. Aku merasa kayak aku harus melupakan semuanya. Tapi kadang-kadang, aku merasa susah banget,” kata Dinda, suara yang sedikit lemah.

Nina tersenyum, meyakinkan Dinda. “Tentu saja, kamu nggak bisa langsung melupakan semuanya begitu saja. Semua butuh waktu. Tapi yang penting adalah, kamu nggak boleh terus-terusan tenggelam dalam rasa sakit itu. Kamu lebih dari sekadar perasaanmu terhadap Raka. Kamu punya hidupmu sendiri.”

Dinda merenung sejenak, mencoba untuk menerima kata-kata Nina. Mungkin memang benar. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk berhenti berharap lebih dan mulai bergerak maju. Menghadapi kenyataan adalah hal yang sulit, tetapi Dinda tahu bahwa dia tidak bisa terus terjebak dalam perasaan yang hanya akan menyakitinya lebih dalam.

Setelah berbincang-bincang dengan Nina, Dinda merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya. Nina selalu ada untuk memberikan dukungan, dan itu sangat berarti bagi Dinda. Namun, ia tahu bahwa ini adalah proses yang panjang. Perasaan kecewa dan sakit hati mungkin tidak bisa hilang dalam semalam, tetapi dengan waktu, Dinda yakin dia akan bisa menerima kenyataan dan melangkah maju.

Di hari-hari berikutnya, Dinda mulai kembali fokus pada pekerjaannya. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di kantor, menyelesaikan proyek-proyek yang tertunda, dan berusaha untuk tidak terlalu memikirkan Raka. Setiap kali rasa sedih itu datang, ia berusaha untuk menepisnya dan menggantinya dengan hal-hal positif. Dinda tahu bahwa dirinya lebih dari sekadar kisah cinta yang gagal, dan ia bertekad untuk menemukan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri.

Suatu sore, Dinda sedang berjalan pulang dari kantor ketika ia melihat sesuatu yang tak terduga. Di ujung jalan, Raka tampak sedang berdiri berbicara dengan seseorang. Kali ini, Dinda merasa tidak terikat pada perasaan apa pun. Hatinya tidak lagi berdebar-debar, dan ia merasa bisa melihat Raka dengan perspektif yang lebih jelas. Dinda tahu bahwa dia harus terus melangkah maju, meskipun kadang kenangan itu masih datang menghampiri.

Ketika Raka melihat Dinda, ia tersenyum, dan Dinda hanya memberikan anggukan singkat sebagai salam. Mereka tidak lagi berbicara seperti dulu, namun Dinda merasa lebih damai. Dia tahu, meskipun perasaan itu mungkin tidak akan sepenuhnya hilang, dia bisa menghadapinya. Dinda kini lebih percaya pada dirinya sendiri, dan ia yakin bahwa suatu hari nanti, kebahagiaan yang sejati akan datang tanpa harus bergantung pada orang lain.

Dengan langkah yang lebih ringan, Dinda melanjutkan perjalanan pulangnya. Tidak ada lagi perasaan yang mengikatnya, hanya rasa lega yang datang dengan setiap langkahnya. Dia tahu bahwa hidup akan terus berjalan, dan ia siap untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang.

—————————-THE END———————–

 

Source: Gustian Bintang
Tags: peristiwaperjalanan hidup
Previous Post

CINTA ANTARA KITA

Next Post

Aroma Mulut Fans Manchester United Pemakan Tahi Kucing

Next Post
Fans Manchester United Sewa Kamar Kost Buat Simpan Tahi Kucing

Aroma Mulut Fans Manchester United Pemakan Tahi Kucing

BAYANGAN DI BALIK JENDELA

BAYANGAN DI BALIK JENDELA

BAYANG-BAYANG DI AYUTTHAYA

BAYANG-BAYANG DI AYUTTHAYA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In