• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SAAT LANGIT MENYAKSIKAN JANJI

SAAT LANGIT MENYAKSIKAN JANJI

March 19, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SAAT LANGIT MENYAKSIKAN JANJI

SAAT LANGIT MENYAKSIKAN JANJI

by SAME KADE
March 19, 2025
in Romansa
Reading Time: 17 mins read

Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga

Di sebuah kota kecil yang terletak di kaki pegunungan, Alina menjalani rutinitasnya dengan kesederhanaan yang menyenangkan. Kota ini mungkin tidak sepopuler kota-kota besar, tetapi bagi Alina, keheningan dan ketenangan yang ditawarkan sudah cukup untuk merasa nyaman. Setiap pagi, ia bangun pukul lima, menyeduh kopi di dapur kecil apartemennya, lalu berangkat ke kantor penerbitan tempat ia bekerja sebagai editor. Meskipun pekerjaan itu terbilang membosankan bagi sebagian orang, Alina selalu merasa puas dengan kesibukannya, terutama ketika ia bisa merasakan aroma buku-buku baru yang baru diterbitkan.

Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya merasa kekurangan—sesuatu yang tidak bisa ia temukan di antara tumpukan manuskrip atau di balik meja kerjanya. Meskipun sering dikelilingi oleh banyak orang, Alina merasa kesepian. Setiap malam, sebelum tidur, ia akan menulis di buku hariannya. Menulis adalah cara terbaik bagi Alina untuk menyuarakan perasaan-perasaan yang terkadang sulit diungkapkan.

Suatu hari, di tengah kesibukannya yang biasa, Alina merasa ingin mengunjungi kafe tua di ujung jalan. Kafe itu adalah tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi, meskipun seringkali ia mendengar suara musik gitar yang mengalun lembut dari dalam kafe itu. Alina ingat betul, kafe itu menjadi tempat favoritnya saat masih kuliah. Tempat yang tenang, dengan suasana hangat, penuh dengan aroma kopi yang menggoda. Pikirannya yang penat pun seketika teralihkan, dan ia memutuskan untuk pergi ke sana setelah pulang kerja.

Kafe itu masih sama, dengan dinding berwarna cokelat tua yang dihiasi oleh lukisan-lukisan abstrak dan foto-foto lama kota yang memikat. Di sudut dekat jendela, terdapat kursi-kursi kayu yang sudah sedikit usang, namun tetap memberikan kenyamanan bagi siapa saja yang duduk di sana. Alina memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela, di mana ia bisa melihat langit senja yang mulai berubah warna. Di tangan kanannya, sebuah buku catatan tebal, tempat ia menuangkan semua cerita dan ide yang selama ini tersimpan di dalam kepalanya.

Ia menatap halaman kosong di depan mata, kemudian mulai menulis dengan hati-hati. Namun, tiba-tiba, sebuah suara mengalihkan perhatian Alina.

“Maaf, apakah kursi ini kosong?” suara itu terdengar lembut, namun tegas.

Alina menoleh dan melihat seorang pemuda berdiri di depannya. Pemuda itu mengenakan jaket denim biru dengan celana panjang hitam. Rambutnya yang sedikit acak-acakan menambah kesan santai di wajahnya. Meskipun tampak sedikit asing, ada sesuatu yang familiar tentang cara dia tersenyum. Alina terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.

“Silakan duduk,” jawab Alina dengan suara yang terdengar agak kikuk.

Pemuda itu tersenyum dan duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Sebuah keheningan menyelimuti sejenak, hingga akhirnya pemuda itu membuka mulut lagi.

“Jadi, kamu sering ke sini?” tanyanya sambil membuka sebuah buku yang ia bawa.

Alina mengangguk. “Iya, kadang-kadang kalau butuh tempat yang tenang untuk menulis,” jawabnya, mencoba kembali fokus pada buku catatannya. Ia merasa agak canggung, karena tak biasa berbicara dengan orang asing, apalagi di tempat seperti ini. Biasanya, ia lebih suka sendiri.

Pemuda itu mengangkat alis, terlihat penasaran. “Menulis? Apa yang kamu tulis?”

“Seperti cerita… atau ide-ide yang muncul di kepala saya. Kadang juga hanya sekadar perasaan yang ingin saya ungkapkan.” Alina sedikit tersenyum malu, merasa seolah-olah membuka diri lebih banyak daripada yang ia inginkan.

“Aku Arka,” pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan senyuman. “Kalau aku, lebih suka menulis lirik lagu. Tapi, kalau aku jujur, jarang-jarang sih ke sini. Aku cuma baru balik ke kota ini setelah beberapa tahun,” kata Arka, dengan sedikit nada nostalgia.

Alina sedikit terkejut. “Oh, kamu sudah lama meninggalkan kota ini?”

“Iya,” jawab Arka sambil mengangguk. “Aku sempat bekerja di luar negeri, jadi ya, akhirnya kembali ke sini, mencari inspirasi baru,” katanya, lalu matanya melirik ke jendela, mengikuti arah pandang Alina.

“Dari luar negeri?” Alina bertanya dengan rasa penasaran. “Apa yang kamu kerjakan di sana?”

Arka tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Ah, lebih banyak berkutat dengan dunia musik sih. Cuma, aku pikir hidupku lebih tenang di sini,” jawab Arka dengan suara yang lebih rendah. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah buku catatan Alina. “Apa kamu juga seorang penulis?”

Alina tertawa pelan, merasa agak kikuk. “Mungkin bisa dibilang begitu. Tapi aku lebih suka bekerja di balik layar. Menjadi editor. Tidak banyak yang tahu tentang pekerjaan itu,” katanya sambil menggelengkan kepala.

“Editor ya?” Arka tampak terkesan. “Wah, berarti kamu bisa jadi orang yang sangat membantu bagi banyak penulis. Itu pekerjaan yang sangat penting.”

Alina merasa sedikit terhormat dengan pujian tersebut, meskipun ia tak suka terlalu dipuji. Ia hanya ingin pekerjaan itu dilakukan dengan baik, tanpa terlalu banyak perhatian. “Mungkin, tapi kadang justru membuatku lebih sibuk dari yang seharusnya,” jawabnya, sambil tertawa pelan.

Lalu percakapan itu mengalir begitu saja, dari topik ke topik. Alina dan Arka mulai berbicara tentang segala hal, mulai dari musik, buku-buku favorit, hingga impian masa depan. Sesekali mereka tertawa bersama, dan meskipun baru pertama kali bertemu, rasanya seperti sudah saling mengenal cukup lama. Alina merasa nyaman, lebih dari yang ia kira.

Saat matahari mulai tenggelam, langit berubah menjadi oranye keemasan, dan suasana kafe semakin temaram dengan lampu-lampu yang mulai menyala. Arka melihat ke luar jendela dan menghela napas panjang.

“Langit seperti ini selalu mengingatkanku pada rumah,” katanya, sambil menatap langit dengan penuh perasaan.

Alina menatapnya, lalu menoleh ke luar jendela. “Aku juga merasa begitu,” jawabnya dengan lembut. “Senja itu… selalu memberi rasa damai, tapi juga selalu membuatku bertanya-tanya tentang hal-hal yang belum terjawab.”

Arka tersenyum, mengangguk pelan. “Aku berharap bisa kembali ke sini lebih sering. Mungkin ini waktu yang tepat untuk memulai sesuatu yang baru.”

Alina hanya terdiam, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan sebuah harapan yang mulai tumbuh. Ada sesuatu dalam diri Arka yang membuatnya merasa bahwa pertemuan ini bukan hanya kebetulan.

Sebelum Alina pergi, Arka berkata dengan suara lembut, “Alina, aku ingin mengajukan satu hal. Apakah kamu bersedia menunggu seseorang yang berjanji akan kembali suatu saat nanti?”

Alina hanya bisa menatap Arka dengan mata terbuka lebar. Waktu seolah berhenti sejenak, sebelum ia akhirnya berkata, “Aku tidak tahu… tapi aku akan menunggu, jika itu adalah janji.”

Arka tersenyum lebar, seolah lega mendengar jawabannya, kemudian berdiri, “Sampai jumpa lagi, Alina.”

Alina melangkah keluar dari kafe dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Langit senja yang begitu indah menjadi saksi dari janji yang baru saja tercipta. Namun, meskipun hatinya penuh dengan pertanyaan, Alina tahu satu hal: ia tak bisa berhenti berharap.**

Bab 2: Janji di Bawah Langit Senja

Pagi itu, langit kota kecil di kaki pegunungan tampak cerah, seolah-olah menyambut hari baru dengan semangat yang tak terhingga. Alina, seperti biasa, bangun pukul lima pagi. Dengan langkah ringan, ia menyeduh kopi di dapur kecil apartemennya. Aroma kopi yang hangat menyebar di udara, memenuhi ruangannya dengan kenyamanan yang tak tertandingi. Ia memandang ke luar jendela, di mana matahari perlahan mulai naik, menandakan bahwa hari itu akan menjadi hari yang penuh harapan.

Namun, ada sesuatu yang berbeda pada pagi itu. Di balik kebiasaannya yang tenang, Alina merasa ada yang berubah dalam dirinya. Sejak pertemuan tak terduga dengan Arka di kafe beberapa hari lalu, ia merasa ada perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatinya—sesuatu yang membuatnya terjaga di malam hari, memikirkan setiap kata dan senyuman Arka. Sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

Ternyata, pertemuan itu bukan sekadar kebetulan. Ia merasa seolah-olah takdir telah mempertemukannya dengan Arka, seorang pemuda yang datang dan pergi begitu saja dalam hidupnya, tetapi meninggalkan jejak yang mendalam. Alina tak bisa mengelak dari perasaan itu. Meskipun ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, perasaan itu mulai mengisi setiap ruang kosong dalam hidupnya.

Sejak hari itu, Alina dan Arka mulai sering bertemu di kafe yang sama. Mereka saling bercerita tentang hidup mereka, tentang impian dan harapan yang belum tercapai, tentang masa lalu yang membawa mereka ke titik ini. Mereka berbicara tentang segala hal—mulai dari hal-hal kecil seperti buku yang mereka baca hingga hal-hal besar tentang kehidupan yang penuh dengan pilihan dan perubahan. Setiap pertemuan itu terasa istimewa, seolah waktu berjalan lebih lambat, dan dunia di sekitar mereka hanya milik mereka berdua.

Pada suatu sore, setelah beberapa pertemuan yang semakin sering, Arka tiba-tiba mengajak Alina untuk berjalan-jalan di tepi danau yang terletak di luar kota. Tempat itu selalu menjadi tempat favorit Arka untuk merenung, tempat di mana ia bisa menemukan ketenangan di tengah keramaian hidup. Alina merasa senang bisa diajak, karena ia tahu ini adalah kesempatan untuk lebih mengenal Arka, meskipun di dalam hatinya ada rasa cemas yang tak dapat diungkapkan.

Mereka berjalan bersama di sepanjang tepian danau, diiringi oleh angin sejuk yang berhembus lembut, membawa aroma segar dari dedaunan yang basah. Air danau berkilau di bawah sinar matahari sore, menciptakan pantulan yang menenangkan. Alina mengamati Arka, yang tampak begitu bebas dan penuh semangat. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Arka—sebuah aura kebebasan yang membuatnya terpesona.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka berhenti di sebuah bangku kayu yang menghadap langsung ke danau. Di sana, mereka duduk diam sejenak, menikmati pemandangan yang indah. Tak ada kata-kata yang diucapkan, hanya keheningan yang nyaman, seperti mereka saling mengerti tanpa perlu berbicara.

Namun, keheningan itu akhirnya pecah ketika Arka mulai berbicara dengan suara yang pelan namun penuh makna.

“Alina,” panggilnya, membuat Alina menoleh ke arah Arka. “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”

Alina sedikit terkejut. Ia menatap Arka dengan cermat, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Apa itu?” tanyanya dengan suara lembut.

Arka menarik napas panjang, seolah-olah tengah memikirkan kata-kata yang tepat. “Aku tahu, kita baru saling mengenal beberapa waktu, dan aku tidak ingin terburu-buru. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang… kuat di antara kita. Sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata.”

Alina terdiam, hatinya berdebar kencang. Ada perasaan aneh yang mulai tumbuh di dalam dirinya. “Kamu merasa begitu?” tanyanya dengan suara pelan, meskipun hatinya sudah mulai penuh dengan rasa harap.

Arka mengangguk. “Iya. Aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku merasa aku harus mengatakannya. Alina, aku ingin berjanji satu hal padamu.”

Alina menatapnya bingung. “Janji?”

Arka menatapnya dengan serius. “Aku akan kembali. Suatu hari nanti, aku akan kembali ke kota ini. Aku ingin kita bertemu lagi di tempat ini, di bawah langit senja yang sama, untuk melanjutkan percakapan kita, untuk melanjutkan apa yang belum selesai.”

Alina terdiam. Ia merasa ada sesuatu yang mengekang di dadanya, seperti ada ikatan yang kuat dan tak terputus. Namun, di satu sisi, ia juga merasa takut akan janji itu. Berapa banyak janji yang pernah dibuat orang dan berapa banyak yang akhirnya gagal? Apakah Arka benar-benar akan kembali, atau ini hanya sebuah kata-kata indah yang diucapkan saat hati sedang penuh dengan perasaan?

Namun, meskipun ada rasa keraguan dalam dirinya, Alina merasa bahwa janji itu harus diterima. Ia tidak bisa menolak perasaan yang sudah terbangun di hatinya. Langit senja yang indah, dengan warna oranye keemasan, seakan menyaksikan momen itu, memberikan kesan magis yang membuat segala hal terasa lebih mungkin.

“Aku… aku akan menunggu,” kata Alina akhirnya, meskipun suaranya terdengar hampir tak terdengar, seolah-olah ia takut akan kata-kata yang baru saja diucapkannya.

Arka tersenyum lebar, senyuman yang penuh dengan harapan dan ketulusan. “Terima kasih, Alina. Itu sudah cukup buatku,” katanya dengan lembut, kemudian meraih tangan Alina dengan perlahan, seolah-olah ingin memastikan bahwa ini adalah janji yang nyata.

Mereka duduk bersama di sana, membiarkan waktu berlalu begitu saja, seolah dunia tidak penting lagi. Hanya ada mereka berdua, langit senja yang menyaksikan janji itu, dan perasaan yang tak terucapkan namun begitu kuat di antara mereka.

Ketika akhirnya Arka berdiri dan berkata bahwa ia harus pergi, Alina merasa berat untuk melepasnya. Namun, ia tahu bahwa janji itu harus disimpan di dalam hatinya, bahwa ia harus percaya bahwa Arka akan kembali.

“Aku akan kembali, Alina. Ini bukan selamat tinggal,” kata Arka dengan tatapan yang penuh makna.

Dengan perlahan, mereka berpisah di tepi danau, namun dengan sebuah janji yang mengikat hati mereka. Alina menatap langit senja yang mulai gelap, dan dalam hati, ia berjanji untuk menunggu. Meskipun tidak tahu kapan itu akan terjadi, ia percaya bahwa suatu hari nanti, langit yang sama akan menjadi saksi dari pertemuan mereka kembali.**

Bab 3: Waktu yang Memisahkan

Beberapa bulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir Alina dengan Arka. Setiap senja, Alina masih duduk di dekat jendela apartemennya, menatap langit yang semakin gelap dengan perasaan campur aduk. Janji yang diberikan Arka masih terngiang di telinganya, seolah-olah ia baru saja mendengar kata-kata itu beberapa detik yang lalu. “Aku akan kembali,” begitu Arka berjanji, dengan tatapan penuh harapan. Dan meskipun Alina tidak ingin terlalu berharap, ia tetap menunggu.

Namun, waktu terus berjalan, dan Arka tetap tidak kunjung kembali. Alina berusaha bersikap realistis. Ia tahu, tak semua janji bisa dipenuhi, apalagi ketika jarak dan waktu ikut bermain. Arka, yang sebelumnya terlihat begitu dekat dengannya, kini terasa jauh, seperti bayangan yang menghilang seiring berlalunya waktu. Setiap kali Alina melirik langit senja, ada rasa hampa yang mengisi ruang hatinya. Senja yang dulu penuh harapan, kini terasa hanya sebagai sebuah pengingat dari sebuah janji yang belum tertunaikan.

Alina mencoba untuk tetap menjalani hari-harinya dengan tenang. Pekerjaannya sebagai editor di penerbitan kecil itu masih menjadi bagian penting dalam hidupnya. Setiap pagi, ia bangun dengan rutinitas yang sama: menyeduh kopi, menulis beberapa halaman, dan mengedit naskah-naskah yang datang. Sejak Arka pergi, ia mulai lebih fokus pada pekerjaannya, mencoba mengalihkan pikirannya dari perasaan yang selalu datang setiap kali senja tiba.

Namun, meskipun ia berusaha keras untuk melupakan, kenangan tentang Arka tetap ada. Mereka belum pernah menghubungi satu sama lain sejak pertemuan itu, dan meskipun Alina mengerti bahwa Arka memiliki hidupnya sendiri, perasaan rindu itu terus mengusik. Kadang ia merasa marah pada dirinya sendiri karena terus berharap, tapi di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang tak bisa melepaskan janji itu begitu saja.

Suatu sore, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Alina berjalan kaki menuju kafe tempat ia pertama kali bertemu dengan Arka. Meskipun ia sudah sering datang ke kafe itu, hari ini ia merasa ada yang berbeda. Langit sore itu terlihat begitu indah, dengan gradasi oranye dan merah muda yang membuatnya terpesona. Senja itu mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka—pertemuan yang dimulai dengan kebetulan dan berakhir dengan sebuah janji.

Kafe itu masih sama seperti dulu, dengan suasana yang hangat dan nyaman. Alina duduk di kursi yang biasa ia pilih, dekat dengan jendela, dan memesan secangkir kopi hitam. Matanya melayang ke luar jendela, memandangi langit yang semakin gelap. Ketika ia meraih tasnya untuk mengeluarkan buku catatannya, seseorang duduk di meja sebelah.

“Boleh?” suara yang familiar itu membuat Alina terkejut. Ia menoleh, dan di depannya berdiri seorang pemuda dengan jaket denim biru, tampak tidak asing baginya.

“Arka?” Alina terkejut, hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Pemuda itu tersenyum lebar, seolah tidak ada waktu yang terlewat sejak pertemuan terakhir mereka.

“Ya, aku tahu, mungkin kamu terkejut melihatku di sini. Tapi aku janji, aku akan kembali,” kata Arka dengan nada lembut, seolah tidak ada yang berubah dari dirinya.

Alina terdiam. Setelah sekian lama, akhirnya Arka muncul juga. Tapi mengapa ia merasa ada yang janggal? Kenapa ada perasaan ragu yang menyelimuti hatinya?

“Kenapa sekarang? Apa yang terjadi?” tanya Alina, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik kata-kata yang tenang.

Arka duduk di depan Alina, masih dengan senyum yang sama. “Aku tahu aku membuatmu menunggu terlalu lama. Tapi aku harus mengatakan bahwa hidupku sempat terbalik selama ini. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan, dan itu memerlukan waktu. Tapi akhirnya, aku kembali untuk menepati janji itu.”

Alina menatapnya dengan seksama, mencoba mencari tahu apakah ada kebenaran dalam kata-kata Arka. “Aku tak tahu harus merasa apa. Aku menunggu, tapi aku juga bingung. Janji-janji bisa saja hilang seiring waktu, Arka,” ujar Alina, suaranya hampir berbisik.

Arka mengangguk, memahami kebingungannya. “Aku tahu itu. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku benar-benar ingin menepati janji itu. Aku kembali bukan hanya untuk membuatmu menunggu, tapi untuk melanjutkan kisah yang kita mulai. Aku tak ingin meninggalkanmu dengan perasaan yang tak selesai.”

Alina menghela napas panjang, mencoba meredakan kekalutan di dalam hatinya. “Tapi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Waktu sudah mengubah banyak hal, Arka.”

Arka menatapnya dengan mata yang penuh harapan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi aku tahu satu hal: aku ingin berjuang untuk kita, untuk perasaan ini. Tidak peduli seberapa lama waktu yang telah berlalu, aku ingin kita mencoba lagi.”

Alina terdiam, hati dan pikirannya berperang. Ia tahu, perasaan yang muncul di dalam dirinya bukanlah hal yang bisa diabaikan. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan keraguannya. Apa yang membuat Arka tiba-tiba kembali? Apakah dia benar-benar akan tetap tinggal, atau ini hanya sebentar lagi? Janji yang dia buat dulu kini terasa seperti beban, dan Alina tidak yakin apakah ia cukup kuat untuk menanggungnya.

“Aku tak bisa memberi jawaban sekarang,” kata Alina akhirnya. “Aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya. Aku… aku takut,” lanjutnya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Arka mengangguk, mengerti. “Aku paham. Aku tak akan memaksamu. Tapi ingat, Alina, aku kembali karena aku ingin memberikanmu kepastian. Jika suatu hari nanti kamu merasa siap, aku akan ada di sini. Tak ada yang berubah, aku tetap ingin berjanji.”

Alina menatap Arka dalam-dalam. Ada sesuatu dalam tatapan Arka yang membuatnya merasa tenang sekaligus cemas. Apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi setelah semua waktu yang telah berlalu?

Ketika Arka bangkit dan bersiap untuk pergi, dia memberikan Alina sebuah surat kecil yang terlipat rapi. “Aku akan menunggu, Alina. Ini adalah surat dariku. Bacalah ketika kamu merasa siap.”

Alina menerima surat itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih,” ujarnya, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan.

Arka berjalan pergi, meninggalkan Alina dengan perasaan campur aduk. Di luar jendela, senja itu perlahan memudar, namun langit malam yang baru saja datang seakan menyimpan jawabannya. Alina menatap surat itu, merasa bahwa jawabannya tidak akan datang dengan cepat. Waktu yang memisahkan mereka telah menumbuhkan banyak perasaan yang belum terselesaikan.

Namun satu hal yang pasti: janji itu masih hidup dalam hatinya, dan ia tahu bahwa suatu hari nanti, ia harus membuat keputusan. Apakah ia akan menunggu, atau melanjutkan hidupnya tanpa Arka.***

Bab 4: Menghadapi Kenyataan

Hari demi hari berlalu sejak pertemuan tak terduga itu, namun perasaan di dalam hati Alina tidak kunjung surut. Surat yang diberikan Arka masih tergeletak di atas meja kerjanya, tak pernah ia buka, seakan takut akan isi yang terkandung di dalamnya. Setiap kali ia menatap surat itu, rasa cemas dan kebingungan datang silih berganti, mencampuradukkan perasaan yang sudah lama terkubur. Alina tahu ia harus membuka surat itu, tetapi ia tidak yakin apakah dirinya siap menghadapi apa yang tertulis di dalamnya.

Pagi itu, Alina duduk di meja kerjanya, memandangi surat itu lagi. Pagi yang cerah dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela kecil apartemennya tidak berhasil mengusir keraguan yang menyelimutinya. Ia menatap secangkir kopi yang ada di depannya, lalu menghela napas panjang. Dalam benaknya, semua kenangan tentang Arka kembali mengemuka. Janji yang diucapkannya. Keinginan untuk kembali. Namun, di sisi lain, ada rasa takut dan keraguan yang terus menghantui setiap langkahnya.

“Kenapa aku harus takut?” gumam Alina pelan. “Bukankah kita sudah melalui banyak hal bersama? Bukankah aku juga merindukannya?”

Namun, seiring berjalannya waktu, kenangan itu semakin kabur. Arka adalah bagian dari masa lalu, dan meskipun ia hadir kembali, kehidupan Alina kini telah berubah. Pekerjaannya, rutinitasnya, dan kehidupannya yang damai tanpa kerumitan—semuanya terasa begitu nyaman. Apakah kembali pada Arka berarti merusak semua yang sudah ia bangun? Apakah ia harus meninggalkan kenyamanan itu hanya untuk sebuah janji yang mungkin saja tidak akan pernah menjadi kenyataan?

Dengan perasaan bingung, Alina akhirnya membuka surat dari Arka itu. Tangan yang semula ragu kini mulai memegang kertas itu dengan penuh keteguhan. Ia membacanya dengan hati-hati:

Alina,

Jika kamu membaca surat ini, maka aku tahu kamu sudah mulai membuka hati untuk memikirkan segala yang terjadi antara kita. Aku tahu, aku telah membuatmu menunggu cukup lama, dan mungkin kamu merasa kecewa. Aku tidak bisa menjelaskan semua alasan mengapa aku harus pergi, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa kepergianku bukanlah akhir dari segala sesuatu. Aku kembali untuk kamu, untuk kita, meskipun aku tahu waktu telah mengubah banyak hal.

Aku tidak meminta kamu untuk langsung menerima aku kembali, Alina. Semua yang aku harap adalah agar kamu memberi kesempatan pada kita. Aku ingin memulai lagi, meskipun kita harus melangkah pelan. Aku akan menunggu jawabanmu, tidak terburu-buru. Aku tahu kamu membutuhkan waktu.

Dengan penuh harapan,

Arka.

Alina terdiam lama setelah membaca surat itu. Kata-kata yang ditulis Arka begitu sederhana, namun sangat menyentuh hatinya. Arka tidak meminta apa-apa selain kesempatan. Kesempatan untuk mencoba lagi. Namun, Alina merasa takut untuk mengambil langkah itu. Apa yang akan terjadi jika Arka tidak bisa tetap tinggal? Apa yang akan terjadi jika mereka kembali, namun akhirnya terpisah lagi?

Ia menatap langit luar jendela apartemennya, yang kini mulai mendung. Pikirannya berkelana jauh, merenungkan semua yang telah terjadi dan apa yang akan datang. Sementara waktu terus berputar, Alina tidak bisa menghentikan perasaan rindu itu. Ia merindukan Arka, merindukan senyumnya, cara dia membuatnya merasa nyaman, dan bahkan cara mereka berbicara tentang hal-hal kecil yang tidak penting. Semua itu terasa sangat jauh, seperti sebuah kenangan yang semakin kabur. Namun, ada bagian dari dirinya yang tidak ingin melepaskan itu begitu saja.

Pada sore yang mendung itu, Alina memutuskan untuk pergi ke kafe tempat mereka pertama kali bertemu. Tempat itu kini menjadi tempat yang penuh kenangan, dan ia berharap suasana kafe yang tenang dapat membantunya menemukan jawaban. Di sana, Alina duduk di kursi yang sama, dekat dengan jendela. Tak lama setelah itu, ia memesan secangkir kopi hangat, seperti yang biasa ia lakukan.

Saat ia duduk di sana, ia teringat betul pertemuan pertama mereka. Betapa ringan dan tidak terduga pertemuan itu, serta betapa mudahnya mereka berdua berbicara satu sama lain. Semuanya terasa begitu alami, seolah langit sendiri yang menyaksikan janji itu. Namun, sekarang, perasaan itu terasa berat, seolah dunia menanti keputusan yang harus diambil.

Tak lama setelah Alina duduk, ia mendengar suara langkah kaki yang familiar. Arka muncul di pintu kafe, mengenakan jaket denim yang sama dengan saat mereka pertama kali bertemu. Matanya langsung mencari Alina, dan ketika mereka saling bertatapan, senyum di wajah Arka tampak seakan tak pernah pudar. Tanpa berkata apa-apa, Arka berjalan mendekat dan duduk di depan Alina.

“Alina,” ucapnya dengan suara lembut. “Aku tahu kamu sudah membaca suratku.”

Alina mengangguk pelan. “Aku sudah membacanya, Arka.”

Ada keheningan yang cukup lama antara mereka, sebelum Arka membuka suara lagi. “Jadi, bagaimana? Apakah kamu siap untuk mendengarkan aku? Aku ingin tahu jawabanmu. Aku tidak bisa terus menunggu tanpa mengetahui apa yang sebenarnya ada di hatimu.”

Alina menatapnya, merasa setiap detik berlalu begitu lambat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata itu terasa begitu berat, seakan semuanya tergantung pada satu kalimat ini. Namun, akhirnya, Alina merasa bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara dari hati.

“Aku tidak tahu, Arka,” jawab Alina dengan suara yang terdengar lemah. “Aku merindukanmu, tapi aku takut. Aku takut akan janji-janji yang tak terwujud. Aku takut kalau aku memberi kesempatan, semuanya akan berakhir sama seperti sebelumnya. Aku sudah membangun hidupku dengan cara yang berbeda, dan aku takut kalau kita mencoba lagi, semuanya akan hancur.”

Arka menatap Alina dengan tatapan penuh pengertian. “Aku paham, Alina. Aku tahu kamu merasa ragu, dan aku tidak ingin memaksamu untuk mengambil langkah yang kamu belum siap. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pergi lagi. Aku kembali dengan tekad untuk bersama kamu. Mungkin kita tidak bisa langsung kembali seperti dulu, tapi aku ingin kita mencoba.”

Alina terdiam. Apa yang harus ia lakukan? Di satu sisi, ia merasa ada harapan yang muncul kembali, tetapi di sisi lain, ia takut untuk kembali terluka. Janji itu, meskipun sudah tertunda lama, tetap menjadi beban dalam hatinya.

Arka menghela napas, lalu dengan lembut berkata, “Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, Alina. Tetapi satu hal yang pasti, aku ingin berjuang untuk kita. Apakah kamu bersedia memberi kita kesempatan, sedikit saja?”

Alina menatap Arka, dan untuk pertama kalinya, ia merasa seolah ada cahaya kecil yang mulai muncul dari kegelapan. Mungkin, hanya mungkin, inilah kesempatan mereka. Kesempatan untuk mencoba lagi, tanpa memikirkan masa lalu, hanya dengan berpegang pada janji yang masih ada.

“Aku ingin mencoba, Arka,” jawab Alina akhirnya, dengan suara yang lebih tegas. “Aku ingin memberi kita kesempatan, walaupun aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”

Arka tersenyum, senyuman yang tulus dan penuh harapan. “Itu sudah cukup, Alina. Terima kasih. Aku janji kali ini aku tidak akan pergi lagi.”

Dengan keputusan itu, Alina merasa sebuah beban terangkat dari pundaknya. Langit yang tadinya mendung kini mulai cerah, dan meskipun mereka masih berada di ambang ketidakpastian, ada satu hal yang jelas: mereka akan berjalan bersama, apapun yang akan terjadi.***

Bab 5: Langit yang Menyaksikan Akhir Sebuah Janji

Pagi itu, langit kota kecil di kaki pegunungan tampak cerah, membawa harapan yang baru. Setelah beberapa bulan penuh dengan kebimbangan dan keraguan, Alina akhirnya menemukan ketenangan dalam dirinya. Meski perjalanan mereka penuh dengan kesulitan, dan janji yang dulu terasa begitu jauh, kini Alina merasa lebih siap untuk menjalani hari-hari berikutnya dengan Arka di sisinya. Waktu, yang selama ini memisahkan mereka, ternyata membawa kedamaian, bukan hanya keraguan. Keputusan yang diambilnya beberapa waktu lalu—memberi kesempatan pada Arka—ternyata adalah langkah yang benar.

Setelah pertemuan mereka di kafe, Alina dan Arka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Mereka berjalan-jalan di taman, duduk di bangku yang sama, menikmati kebersamaan yang sederhana namun penuh arti. Setiap pertemuan mereka seperti sebuah perjalanan untuk saling mengenal kembali, bukan hanya tentang siapa mereka di masa lalu, tetapi juga tentang siapa mereka sekarang. Arka bercerita lebih banyak tentang hidupnya selama waktu mereka terpisah—tentang segala perjuangan yang ia hadapi, tentang bagaimana perasaan rindu yang mendalam membuatnya bertekad untuk kembali. Sementara itu, Alina berbagi tentang kehidupannya, tentang bagaimana ia belajar menerima perubahan, dan bagaimana ia menyesuaikan diri dengan kenyataan baru yang datang setelah Arka pergi.

Namun, meskipun mereka semakin dekat, perasaan yang mereka rasakan masih penuh dengan ketidakpastian. Langit yang sama, yang dulu menjadi saksi janji mereka, kini menjadi saksi dari setiap langkah mereka. Tak ada yang bisa memprediksi masa depan, dan terkadang, ketakutan akan kegagalan menghinggapi pikiran Alina. Apakah mereka benar-benar bisa bertahan kali ini? Apakah perasaan mereka cukup kuat untuk mengatasi segala rintangan yang akan datang?

Satu sore, saat matahari mulai terbenam dan langit mulai menunjukkan warna keemasan, Arka mengajak Alina ke tepi danau tempat mereka pertama kali berbicara tentang janji itu. Tempat yang kini memiliki makna yang lebih dalam bagi mereka berdua. Mereka duduk di bangku kayu yang sama, menikmati pemandangan yang indah.

“Aku tahu ini mungkin aneh,” kata Arka setelah beberapa saat terdiam, “tapi aku merasa seperti kita baru memulai sesuatu yang besar, Alina. Seperti kita diberi kesempatan kedua. Kadang aku bertanya-tanya, apakah ini yang benar-benar kita inginkan, atau apakah kita hanya terjebak dalam kenangan.”

Alina menatap langit yang mulai gelap, dan untuk sesaat, ia merasakan keraguan yang datang kembali. Namun, kali ini, keraguan itu tidak datang dengan rasa takut. Sebaliknya, ia merasa lebih siap menghadapi segala kemungkinan. “Mungkin kita memang hanya terjebak dalam kenangan, Arka,” jawabnya pelan, “tapi mungkin juga, kenangan itu memberi kita alasan untuk mencoba lagi. Kita tak akan pernah tahu jika tidak melakukannya, bukan?”

Arka tersenyum, dan ada kedamaian dalam senyum itu. “Aku berjanji, Alina. Aku akan terus ada di sini, tidak peduli berapa lama waktu yang kita butuhkan. Aku ingin kita sama-sama tumbuh, tidak hanya sebagai pasangan, tetapi juga sebagai individu.”

Alina mengangguk, merasa bahwa kata-kata Arka adalah yang ia butuhkan untuk mendengar. “Aku percaya padamu, Arka. Aku tahu, ini bukan perjalanan yang mudah. Tapi aku siap melangkah bersama, menghadapi apapun yang akan datang.”

Senja semakin lama semakin gelap, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Mereka berdua duduk dalam diam, membiarkan keheningan itu mengalir begitu saja. Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan lebih lanjut, karena mereka tahu bahwa pada akhirnya, perasaan itu—perasaan yang sudah lama terpendam—akan membawa mereka menuju titik terang yang lebih indah.

Beberapa bulan kemudian, hidup mereka mulai menemukan ritme yang baru. Alina dan Arka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Mereka berbagi mimpi, berbagi tawa, dan berbagi kesedihan. Mereka saling mendukung, bukan hanya dalam kebahagiaan, tetapi juga dalam kesulitan yang datang di tengah perjalanan hidup mereka. Tidak ada lagi ketakutan akan kehilangan, karena mereka telah belajar untuk saling menghargai dan memahami bahwa cinta bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang memberi.

Suatu hari, saat musim semi datang dan bunga-bunga mulai bermekaran di taman kota, Arka mengajak Alina untuk berjalan ke tempat yang penuh kenangan bagi mereka—tepi danau tempat mereka pertama kali membuat janji. Di sana, di bangku yang sama, Arka berlutut di depan Alina dengan senyum penuh harapan. Dengan mata yang bersinar, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi cincin berlian yang indah.

“Alina,” kata Arka dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan, “Aku ingin kita melangkah bersama, tidak hanya hari ini, tetapi sepanjang hidup kita. Aku ingin menjadikan janji kita yang dulu menjadi kenyataan, dan aku ingin kamu menjadi bagian dari masa depan yang aku impikan. Maukah kamu menikah denganku?”

Alina terkejut, mata harinya mulai berkaca-kaca. Ia tidak pernah membayangkan bahwa momen ini akan datang begitu cepat, tetapi ketika ia menatap Arka, ia tahu jawabannya. “Iya, Arka. Aku mau,” jawabnya, suaranya penuh haru.

Saat itu, langit senja kembali menjadi saksi janji yang mereka buat. Sebuah janji yang telah lama tertunda, sebuah janji yang kini menjadi kenyataan. Arka dan Alina merasakan kedamaian yang mendalam, menyadari bahwa meskipun hidup mereka penuh dengan ketidakpastian, mereka tidak akan lagi takut untuk menjalani perjalanan bersama.

Setelah pernikahan mereka yang sederhana namun penuh makna, mereka memulai babak baru dalam hidup mereka. Alina dan Arka memutuskan untuk tinggal di kota kecil itu, dekat dengan tempat mereka pertama kali bertemu, di mana langit senja menjadi saksi dari janji yang mereka buat. Kehidupan mereka tak lagi dipenuhi dengan keraguan, melainkan dengan kebahagiaan yang mereka temukan bersama.

Setiap kali senja tiba, Alina dan Arka duduk bersama di tepi danau, seperti yang dulu mereka lakukan. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang impian mereka, dan tentang anak-anak yang suatu saat akan datang. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan selalu mudah, tetapi mereka siap untuk menjalani semuanya bersama.

Pada akhirnya, langit yang menyaksikan janji mereka itu tidak hanya menjadi saksi dari satu pertemuan, satu janji, atau satu keputusan. Langit itu menjadi saksi dari perjalanan hidup mereka yang tak terpisahkan—sebuah perjalanan yang dimulai dengan keraguan, tetapi berakhir dengan cinta yang tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu.****

Tags: #CintaAbadi#JanjiYangTertunda#KebimbanganHati#PerjalananCinta5. #KesempatanKedua
Previous Post

PELUKAN YANG TERTUNDA

Next Post

TIRAI CINTA

Next Post
TIRAI CINTA

TIRAI CINTA

JODOH DI UJUNG KETAWA

JODOH DI UJUNG KETAWA

AKHIR CINTA YANG TAK SEMPURNA

*Judul: Cinta dalam Satu Gigitan

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In