Bab 1: Munculnya Badut
Di sebuah kota kecil yang damai, terdapat sebuah taman hiburan yang terkenal. Setiap malam, ribuan orang datang untuk menikmati wahana, pertunjukan, dan makanan manis. Namun, ada satu hal yang selalu menarik perhatian pengunjung: badut yang selalu tampil di penghujung malam. Badut itu selalu tampil dengan senyum lebar yang tidak pernah pudar, mata yang tajam, dan kostum yang penuh warna cerah. Meskipun banyak yang tertarik dengan keunikannya, ada sesuatu yang aneh tentang badut tersebut—sesuatu yang membuat hati orang merasa gelisah.
Suatu malam, saat taman hiburan sudah mulai sepi, sebuah teriakan menggema di udara. Seorang wanita ditemukan tewas di dekat arena permainan, wajahnya terpelintir dalam ekspresi ketakutan yang mencekam. Tak ada tanda-tanda kekerasan fisik, tetapi di tubuh korban terdapat sedikit jejak warna merah yang mencurigakan. Semua petunjuk mengarah pada satu hal: badut itu.
Penyelidikan pun dimulai. Detektif Arga, seorang pria berpengalaman dengan insting tajam, ditugaskan untuk memecahkan misteri ini. Ia mencatat satu hal yang sangat mencolok—pada malam kematian wanita tersebut, badut itu terlihat lebih sering mengelilingi tempat kejadian, meskipun seharusnya ia sudah selesai dengan pertunjukannya.
Bab 2: Jejak Berdarah
Keesokan harinya, tubuh korban dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun, yang mengejutkan adalah temuan seorang ahli forensik—tidak ada tanda-tanda luka atau cedera fisik yang jelas, namun darah yang menggenang di sekitar tubuh korban sangat aneh. Darah itu terlihat seperti bercampur dengan cat merah cerah.
Arga kembali mengunjungi taman hiburan. Di sana, ia bertemu dengan sejumlah saksi yang menyebutkan hal-hal aneh tentang badut tersebut. Ada yang mengatakan bahwa badut itu sering terlihat berkeliling dengan tatapan kosong, dan beberapa bahkan menyebutkan bahwa badut tersebut pernah melontarkan kata-kata yang tidak jelas, seolah sedang berbicara dengan seseorang yang tidak terlihat. Salah satu saksi, seorang penjaga malam, bahkan mengaku pernah melihat badut itu di luar jam pertunjukan, berjalan sendirian di tengah malam.
Arga memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Ia menemui beberapa mantan pekerja taman hiburan yang mengaku merasa ada yang salah dengan badut tersebut. Namun, semua orang merasa takut untuk berbicara lebih banyak—seolah ada sesuatu yang tak boleh diketahui oleh orang luar.
Bab 3: Wajah yang Terlupakan
Setelah beberapa hari tanpa perkembangan, Arga kembali ke tempat kejadian dan mengamati dengan cermat area sekitar taman hiburan. Di balik salah satu tenda yang tampak lusuh, ia menemukan sebuah buku catatan yang terlupakan. Buku itu berisi sejumlah gambar-gambar aneh dan catatan singkat tentang penampilan badut di setiap pertunjukan. Namun, satu gambar menarik perhatian Arga: gambar badut yang sedang memegang pisau, dengan tulisan tangan yang mengatakan, “Tertawa adalah senjataku.”
Catatan itu semakin memunculkan rasa takut di hati Arga. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertunjukan badut yang biasa. Apakah badut itu benar-benar hanya seorang entertainer? Ataukah dia menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap?
Arga melanjutkan pencariannya dan menemukan informasi yang lebih mengejutkan. Ternyata, badut yang bekerja di taman hiburan itu pernah terlibat dalam serangkaian kejadian mengerikan di kota-kota lain. Meskipun identitas asli badut tersebut tidak pernah terungkap, banyak orang yang mengklaim telah melihat sosok yang sama di tempat-tempat yang berbeda—dan selalu ada korban yang ditemukan dalam kondisi yang sama: wajah meringis ketakutan, tanpa luka fisik yang jelas.
Bab 4: Pertunjukan Terakhir
Hari berikutnya, Arga memutuskan untuk menyusup ke dalam acara pertunjukan. Ia ingin melihat langsung bagaimana badut itu bertindak, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut. Saat malam tiba, ia menyelinap masuk ke dalam gedung pertunjukan, duduk di tempat yang tersembunyi agar tidak menarik perhatian.
Badut itu tampil seperti biasa, menyapa penonton dengan senyum lebar yang khas. Namun, ada yang berbeda malam itu. Arga memperhatikan gerak-gerik badut itu yang tampaknya lebih gelisah. Tiba-tiba, badut itu berhenti sejenak, memandang penonton dengan tatapan kosong, lalu melangkah mundur ke belakang panggung.
Setelah pertunjukan selesai, Arga mengikuti jejak badut tersebut. Tanpa diduga, ia menemukan badut itu sedang berdiri di depan sebuah cermin besar, menatap dirinya dengan ekspresi yang sangat aneh—seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
Arga merasa ada sesuatu yang mengerikan yang akan terjadi malam itu. Ia harus segera menemukan cara untuk menghentikan badut itu sebelum korban berikutnya jatuh. Namun, ia terlambat—sebuah teriakan kembali menggema di udara, kali ini berasal dari ruang ganti badut.
Bab 5: Identitas yang Tersembunyi
Arga bergegas menuju ruang ganti. Di sana, ia menemukan seorang pria muda tergeletak di lantai, mati dengan ekspresi ketakutan yang serupa dengan korban sebelumnya. Namun, ada sesuatu yang sangat aneh. Di dekat tubuh pria itu, Arga menemukan sebuah foto lama. Foto itu memperlihatkan seorang anak kecil yang tersenyum lebar—persis seperti badut yang selalu tampil di taman hiburan.
Ternyata, badut tersebut bukan hanya seorang entertainer biasa. Dia adalah seorang pria yang pernah kehilangan keluarganya dalam sebuah kecelakaan tragis. Kecelakaan itu membuatnya kehilangan akal sehat dan menjadikan dia sosok yang terobsesi dengan “tertawa.” Setiap kali seseorang tertawa atau merasa bahagia, badut itu merasa seperti ia mengambil bagian dari kebahagiaan mereka—hingga akhirnya mengubah kebahagiaan itu menjadi kematian.
Arga berhasil menemukan cara untuk menghentikan badut tersebut, namun bukan tanpa pengorbanan. Ketika badut itu akhirnya terpojok dan mengakui kejahatannya, ia tersenyum lebar—seperti yang selalu ia lakukan.
Akhirnya, taman hiburan itu ditutup untuk selamanya. Namun, orang-orang yang pernah menjadi pengunjungnya akan selalu mengingat satu hal—senyum lebar seorang badut yang membawa kematian, dan misteri yang tak akan pernah terpecahkan sepenuhnya.***
Bab 2: Jejak Berdarah
Pagi setelah kejadian malam itu, udara di taman hiburan terasa lebih dingin dari biasanya. Semilir angin pagi membawa aroma manis dari jajanan yang biasanya disukai oleh para pengunjung, namun kali ini, tak ada yang bisa menghilangkan rasa mencekam yang menggantung di sana. Setelah tubuh korban ditemukan dan dibawa ke rumah sakit untuk autopsi, detektif Arga memutuskan untuk melakukan penyelidikan lebih dalam. Kejadian tersebut jelas bukanlah kecelakaan, dan semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih gelap yang tersembunyi di balik kematian itu.
Arga duduk di meja kerjanya, mengamati foto-foto tempat kejadian perkara yang sudah diambil oleh tim forensik. Meskipun tidak ada darah yang tampak mengalir dari tubuh korban, ada keanehan yang jelas terlihat—di sekitar tubuh wanita tersebut, terdapat sebuah cairan merah cerah yang menggenang. Cairan itu tampak seperti darah, tetapi terlalu terang dan lebih kental. Ada sesuatu yang tidak beres. Arga mencatatkan pengamatannya di dalam bukunya, lalu beranjak menuju ruang pemeriksaan forensik.
Di ruang otopsi, Arga berdiri di samping meja tempat tubuh korban terbaring. Ahli forensik, Dr. Sandi, yang sudah berpengalaman dalam memeriksa kasus-kasus aneh, mengangkat alisnya ketika melihat Arga masuk.
“Ada yang menarik, Arga?” tanya Dr. Sandi sambil membersihkan tangannya dengan kain lap. Wajahnya serius, namun ada rona ketertarikan di matanya.
“Lihat ini,” Arga menunjukkan foto yang diambil oleh tim forensik, yang memperlihatkan jejak cairan merah cerah di sekitar tubuh wanita tersebut. “Ini tidak biasa. Cairan ini terlihat seperti darah, tapi warnanya terlalu terang. Dan ini bukan hanya bercak kecil. Cairan ini menyebar hampir ke seluruh area sekitarnya. Apakah Anda menemukan apa pun yang tidak biasa di tubuhnya?”
Dr. Sandi memeriksa tubuh korban lebih dekat, kemudian menggelengkan kepala. “Tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik yang terlihat. Namun, ada sesuatu yang aneh di bawah kuku-kuku tangan korban. Seperti ada sisa-sisa cat—merah cerah, mirip dengan warna cairan yang Anda tunjukkan tadi. Bisa jadi itu cat. Kalau dilihat dari jenisnya, ini seperti cat yang sering digunakan oleh badut.”
Arga merasa sebuah petunjuk mulai terbuka, namun ia masih belum bisa menyimpulkan apapun. “Cat? Cat badut? Apa yang itu artinya?”
“Tidak ada yang tahu pasti, Arga,” jawab Dr. Sandi, menatap tubuh korban dengan serius. “Namun saya rasa kita perlu menggali lebih dalam tentang siapa wanita ini dan apakah ada kaitannya dengan orang-orang yang sering berhubungan dengan badut di taman hiburan itu. Mungkin saja korban mengenal badut itu atau bahkan sengaja mendekatinya.”
Arga mengangguk, merasa bahwa ada benang merah yang perlu ia tarik lebih jauh. Kejadian ini lebih rumit dari yang ia kira.
Di luar rumah sakit, suasana kota tampak seperti biasa. Namun, Arga merasa gelisah. Ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada yang mengintai di balik semua ini. Badut itu—siapa sebenarnya dia? Mengapa ada jejak cat merah yang tampaknya selalu mengikuti korban? Arga memutuskan untuk kembali ke taman hiburan tempat kejadian itu berlangsung.
Sesampainya di taman hiburan, ia mendekati salah satu penjaga yang berjaga malam. Penjaga tersebut adalah seseorang yang sepertinya tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi di tempat itu, karena ia sudah bekerja di sana sejak lama.
“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya penjaga malam itu, sambil melipat tangannya.
Arga mengangguk dan memulai percakapan. “Saya sedang menyelidiki kejadian semalam. Anda tahu tentang badut yang selalu tampil di sini, kan?”
Penjaga malam itu tampak sedikit ragu, lalu akhirnya mengangguk. “Ya, saya tahu. Badut itu memang sering terlihat aneh. Dia datang setiap malam, meskipun waktunya sudah lewat. Ada kalanya saya melihat dia berdiri di tengah taman, memandang kosong ke arah penonton yang tidak ada. Tak ada yang pernah tahu siapa dia sebenarnya.”
“Tapi kenapa dia selalu muncul di malam hari?” Arga bertanya dengan hati-hati.
Penjaga itu mengusap wajahnya, tampak gelisah. “Saya… saya tidak tahu pasti. Tapi kadang saya melihat badut itu melintas di sekitar area tertentu setelah pertunjukan berakhir. Suatu malam, saya sempat melihatnya di dekat arena permainan yang sudah tutup. Dia hanya berdiri di sana, seperti menunggu sesuatu. Tiba-tiba, saya merasakan aura yang aneh… seperti ada yang salah.”
Arga memperhatikan ekspresi wajah penjaga tersebut. Jelas ada sesuatu yang ia sembunyikan. “Apa Anda pernah berbicara dengannya?”
Penjaga itu menunduk, seolah-olah menghindari pertanyaan Arga. “Pernah sekali, tapi saya rasa saya tidak ingin mengingatnya. Saat itu, badut itu cuma tertawa dan berkata bahwa dia tak akan pernah meninggalkan tempat ini. ‘Aku bagian dari taman ini, dan kalian tidak akan pernah bisa mengusirku,’ katanya.”
Arga merasakan darahnya berdesir. Kalimat itu terdengar seperti ancaman, tetapi tidak jelas apa yang dimaksud. “Terakhir kali Anda melihatnya, apa dia membawa sesuatu? Atau ada hal yang tidak biasa?”
Penjaga malam itu menggelengkan kepala. “Tidak ada. Tapi ada satu hal lagi. Setiap kali badut itu lewat di dekat saya, selalu ada bau aneh yang muncul—seperti bau cat dan sesuatu yang manis, tapi juga menyengat. Saya tidak tahu pasti apa itu.”
Arga menatap penjaga itu, merasa semakin yakin bahwa badut tersebut lebih dari sekadar hiburan malam. Ada sesuatu yang lebih dalam dan gelap. “Terima kasih atas informasi Anda,” ujar Arga, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar taman hiburan.
Namun, saat ia menuju ke luar, sesuatu menarik perhatian Arga. Sebuah jejak berwarna merah cerah terlihat di tanah, mengarah ke belakang panggung. Itu adalah jejak yang sama yang ia lihat di sekitar tubuh korban. Tanpa ragu, Arga mengikuti jejak itu, berharap menemukan lebih banyak petunjuk.
Jejak itu membawa Arga ke sebuah gudang tua yang tampak tak terpakai di belakang taman hiburan. Pintu gudang sedikit terbuka, dan di dalamnya, Arga bisa melihat bayangan yang bergerak-gerak di balik kaca jendela yang buram. Ia merasakan degup jantungnya semakin cepat.
Dengan hati-hati, Arga mendorong pintu gudang itu dan masuk ke dalam. Di dalam ruangan yang gelap dan lembap, terdapat berbagai barang tua yang berserakan di sana sini. Namun, ada sesuatu yang menonjol—sebuah kostum badut yang tergantung di sudut ruangan. Kostum itu tampak kotor dan rusak, dengan noda-noda merah yang mengerikan. Dan di atas meja, ada sebuah pisau besar, masih terbalut dengan sisa-sisa darah yang mengering.
Arga menahan napasnya. Badut itu bukan hanya seorang entertainer. Dia adalah pembunuh yang licik, yang menyembunyikan jejaknya dengan cara yang sangat cerdik. Tapi Arga belum tahu siapa dia sebenarnya, dan mengapa ia melakukannya.***
Bab 3: Wajah yang Terlupakan
Pagi yang cerah di kota kecil itu tampaknya tak sebanding dengan ketegangan yang kini menyelimuti taman hiburan. Setelah menemui penjaga malam dan menemukan jejak-jejak aneh di gudang tua, Arga merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik misteri ini. Keberadaan badut itu, yang awalnya dianggap hanya sebagai sosok hiburan malam, kini menjadi ancaman yang harus segera dihentikan. Namun, semakin ia menggali, semakin banyak pertanyaan yang muncul, dan jawaban yang ditemukannya semakin kabur.
Arga memutuskan untuk kembali ke kantor polisi dan melaporkan temuannya. Ia duduk di kursi depan meja penyidikannya, membuka catatan dan foto-foto yang telah dikumpulkan. Sesekali, ia menatap layar komputer yang menampilkan laporan terbaru tentang korban. Hasil autopsi yang diperoleh Dr. Sandi belum memberikan banyak pencerahan, tetapi catatan-catatan tentang jejak cairan merah dan cat di kuku korban semakin menunjukkan adanya hubungan dengan badut tersebut.
Namun, satu hal yang membuat Arga bingung adalah identitas korban. Nama korban yang terdaftar di dokumen adalah “Lina Suryani,” seorang wanita muda berusia 27 tahun yang berasal dari kota ini. Menurut laporan, Lina bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe lokal, dan tidak ada yang mencurigakan terkait hidupnya. Namun, Arga merasa ada yang salah. Ia mencoba menghubungi kafe tempat Lina bekerja, berharap mendapatkan lebih banyak informasi.
“Selamat pagi, ini Detektif Arga,” ujar Arga saat menghubungi pemilik kafe lewat telepon. “Saya sedang menyelidiki kasus kematian salah satu karyawan Anda, Lina Suryani. Bisakah Anda memberikan beberapa informasi tentangnya?”
Di ujung telepon, terdengar suara wanita yang agak gugup. “Lina? Oh, tentu, tapi saya tidak tahu banyak yang bisa saya bantu, Pak. Dia adalah orang yang sangat baik, sangat pendiam. Tapi belakangan ini, dia sering keluar malam. Kadang-kadang, dia pulang larut, dan beberapa kali saya mendengar dia berbicara tentang sesuatu yang mengganggunya.”
“Bicara tentang apa?” tanya Arga, semakin tertarik dengan informasi yang didapat.
Pemilik kafe itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “Lina beberapa kali menyebutkan sesuatu tentang badut yang selalu berada di taman hiburan. Katanya, badut itu selalu muncul dalam mimpinya. Dia merasa diajak berbicara, seperti badut itu mengetahui sesuatu yang tidak bisa dia ceritakan kepada orang lain. Sepertinya dia merasa terintimidasi, tapi tidak pernah memberitahu siapa pun secara detail.”
Arga mencatat setiap kata yang diucapkan, merasa semakin khawatir. Lina tidak hanya menjadi korban secara fisik, tetapi juga terganggu secara mental oleh sosok yang tidak tampak—badut yang selalu mengintainya. Itu memberi petunjuk lebih lanjut bahwa badut tersebut mungkin bukan hanya seorang pembunuh fisik, tetapi juga memanipulasi pikiran orang-orang di sekitarnya.
“Saya akan datang ke kafe untuk berbicara lebih lanjut,” kata Arga, merasa penting untuk mengetahui lebih banyak tentang Lina dan apa yang sebenarnya dia alami sebelum kematiannya. Ia merasa semakin terperangkap dalam misteri yang semakin dalam dan gelap.
Setelah berjanji untuk segera datang, Arga meninggalkan kantor polisi dan menuju ke kafe tempat Lina bekerja. Kafe tersebut terletak di sudut jalan yang sepi, dengan suasana yang hangat dan nyaman, kontras dengan kegelisahan yang ada di dalam dirinya. Begitu masuk, Arga disambut dengan senyum pemilik kafe, seorang wanita paruh baya yang tampaknya cukup lelah, namun ramah.
“Ah, Detektif Arga, selamat datang,” ujar wanita itu dengan sedikit cemas. “Silakan duduk. Saya hanya bisa memberitahu Anda apa yang saya tahu, tetapi saya merasa ini mungkin tidak cukup untuk membantu Anda.”
Arga duduk di meja kecil di sudut kafe, mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai pembicaraan. “Bisa Anda ceritakan lebih banyak tentang Lina? Apa yang terjadi setelah dia mulai sering keluar malam?”
Pemilik kafe itu menggelengkan kepala. “Lina tidak banyak berbicara. Dia hanya mengatakan bahwa ada yang mengikutinya—bahkan di jalan pulang dari kafe. Kadang-kadang, dia melihat sosok badut yang hanya muncul dalam bayangannya, tapi kadang, dia merasa badut itu muncul dalam kenyataan. Dia mulai sering berbicara tentang perasaan yang sangat aneh—seperti ada yang memaksanya untuk tertawa, atau dia merasa dia akan mati jika tidak tertawa.”
Arga menatap wanita itu dengan serius. “Tertawa? Apa yang dia maksud dengan itu?”
“Saya tidak tahu pasti, Pak,” jawab wanita itu sambil menghela napas. “Tapi saya ingat satu hal: Lina pernah mengatakan bahwa badut itu tidak hanya mengikutinya, tapi juga mengancam akan mengakhiri hidupnya jika dia tidak tersenyum. Saya rasa dia merasa sangat tertekan.”
Pernyataan itu mengguncang Arga. Ternyata, ancaman badut itu sudah dimulai jauh sebelum kematian Lina. Badut itu tidak hanya membunuh secara fisik, tetapi juga mengintimidasi korban dalam bentuk psikologis, memaksa mereka untuk tertawa, atau mungkin bahkan merasa takut akan tertawa. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang Arga bayangkan.
Arga berterima kasih kepada pemilik kafe dan beranjak pergi. Setelah beberapa pertanyaan tambahan, ia menyadari bahwa semua petunjuk mengarah pada satu kesimpulan—badut itu tidak hanya sekadar bekerja di taman hiburan sebagai penghibur, tetapi memiliki daya tarik yang tidak wajar terhadap korban-korbannya, menciptakan rasa takut yang mendalam. Mungkin ada hubungan antara badut itu dan hal-hal yang terjadi di masa lalu—sesuatu yang lebih pribadi dan traumatis.
Arga kembali ke taman hiburan. Saat ia tiba, suasana sudah berbeda—lebih sepi dan terkesan mencekam. Kali ini, ia ingin mengunjungi gudang tua lagi, berharap ada lebih banyak petunjuk yang bisa ditemukan. Gudang itu, yang terletak di sudut belakang taman hiburan, kini terlihat lebih menyeramkan. Pintu yang sebelumnya terbuka sedikit, kini tertutup rapat, seolah-olah ada yang berusaha menyembunyikan sesuatu.
Tanpa ragu, Arga mendorong pintu dengan hati-hati. Begitu masuk, ia disambut dengan bau lembap yang khas, seperti bau tua yang menempel di udara. Di dalam gudang, benda-benda lama berserakan, tetapi ada satu hal yang menarik perhatian Arga. Di meja kerja yang terletak di sudut ruangan, sebuah foto lama terlihat tergeletak.
Arga mendekati meja itu dan mengambil foto tersebut. Foto itu memperlihatkan seorang anak laki-laki muda yang tersenyum lebar dengan wajah yang hampir sama dengan badut yang selalu tampil di taman hiburan. Di belakang foto, ada tulisan kecil yang tidak bisa terbaca dengan jelas. Arga merogoh kantongnya dan mengeluarkan lampu senter kecil, menyorot tulisan itu. Di sana tertulis, “Mereka tidak akan pernah tahu apa yang aku alami.”
Seketika, Arga merasa ada sesuatu yang mengerikan mengenai masa lalu badut itu. Mungkin badut itu bukan hanya seorang pekerja biasa—mungkin dia memiliki trauma masa kecil yang mendalam yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan mengerikan ini. Tetapi, siapa anak dalam foto itu? Apakah itu badut yang sama? Dan mengapa ia merasa perlu untuk membawa kematian bagi orang lain?
Dengan jantung berdegup kencang, Arga memutuskan untuk terus menggali lebih dalam. Ia yakin, jawaban yang ia cari ada di sini—di balik senyum lebar yang tampak tidak pernah pudar, ada sebuah cerita kelam yang perlu ia ungkapkan.
Misteri ini semakin mencekam, dan Arga tahu, jalan menuju kebenaran hanya akan membawa pada lebih banyak bahaya.***
Bab 4: Senyum yang Memudar
Arga menghela napas panjang setelah melihat foto itu. Ada sesuatu yang ganjil dengan gambar anak laki-laki yang tersenyum lebar di dalam foto. Wajah itu terasa akrab, meski ia tidak bisa memastikan dari mana asalnya. Namun, satu hal yang pasti—senyum anak dalam foto itu mirip sekali dengan senyum badut yang selalu tampil di taman hiburan. Arga merasa ada hubungan yang sangat kuat antara keduanya, dan semakin dalam ia menggali, semakin gelap dan membingungkan semuanya.
Ia memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut tentang anak laki-laki dalam foto tersebut. Dengan hati-hati, ia meletakkan foto itu kembali ke meja dan mulai mencari benda-benda lain yang mungkin bisa memberinya petunjuk. Di sudut gudang, sebuah tumpukan dokumen tua tergeletak begitu saja. Arga mendekat, merogoh tumpukan itu, dan menemukan sebuah map yang tampaknya lebih baru dari dokumen-dokumen lainnya. Ia membuka map itu, berharap ada sesuatu yang berguna.
Di dalamnya, terdapat serangkaian dokumen yang berhubungan dengan seorang pria bernama Dimas Prasetya. Nama itu terlihat familiar, meskipun Arga tidak bisa mengingat dengan pasti. Ia mulai membaca dokumen itu satu per satu, mencatat informasi yang ada.
Dimas Prasetya ternyata adalah seorang pria yang pernah bekerja sebagai badut di taman hiburan ini bertahun-tahun yang lalu. Nama itu tercatat sebagai salah satu pegawai yang sangat populer di kalangan pengunjung, dengan kostum badut yang cerah dan penampilan yang selalu membuat orang tertawa. Namun, catatan tersebut juga mencatat bahwa Dimas memiliki masalah mental yang serius. Ia pernah dirawat di rumah sakit jiwa setelah mengalami trauma berat yang berkaitan dengan masa kecilnya.
Arga merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat membaca bagian-bagian penting dari laporan tersebut. Dimas, yang dulunya dikenal dengan nama panggungnya “Si Senyum”, ternyata pernah menjadi korban kekerasan dalam keluarganya. Dari catatan medis, terungkap bahwa Dimas sering kali dipukuli oleh ayahnya, seorang pria yang sangat kejam dan tidak pernah menunjukkan kasih sayang. Ayahnya, yang bekerja sebagai pelatih sirkus, membuat Dimas terpaksa tampil di depan penonton sejak usia sangat muda. Dari laporan itu, Arga mengetahui bahwa Dimas juga sering kali dipaksa untuk tersenyum, meskipun ia sedang merasa sangat sakit atau tertekan. Tampaknya, senyuman itu sudah menjadi simbol penderitaan yang mendalam dalam hidupnya.
Ada satu bagian yang membuat Arga terkejut: pada akhir laporan, disebutkan bahwa Dimas ditemukan menghilang dari rumah sakit jiwa sekitar sepuluh tahun yang lalu, tepat setelah ia dianggap sembuh dan diperbolehkan keluar. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi, dan sejak itu, ia tidak pernah terlihat lagi.
Arga menatap map itu dengan perasaan campur aduk. Apa yang ia temukan semakin mengarah pada kebenaran yang menakutkan: badut yang selalu mengintai di taman hiburan, yang seolah-olah tidak pernah berhenti mengganggu para korban dengan senyum mengerikan, mungkin adalah Dimas—atau seseorang yang sangat dipengaruhi oleh trauma masa kecilnya. Tetapi apakah itu mungkin? Apakah Dimas masih hidup, atau apakah ada orang lain yang melanjutkan warisan kengerian itu?
Arga memutuskan untuk kembali ke kantor polisi dan melaporkan temuan ini. Ia ingin mendapatkan lebih banyak informasi tentang Dimas Prasetya dan apakah ada orang lain yang terlibat dalam kisah kelam ini. Namun, saat ia baru saja hendak keluar dari gudang, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.
Arga berbalik cepat, namun hanya ada kesunyian yang mematikan. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Tanpa berlama-lama, ia menutup map dan foto itu dengan cepat, lalu keluar dari gudang, berusaha untuk tidak memperlihatkan kekhawatiran yang kini menggelayuti pikirannya.
Ketika Arga sampai di kantor polisi, suasana di sana tampak lebih tenang daripada biasanya. Beberapa rekan kerjanya sedang duduk di meja masing-masing, menyelesaikan tugas-tugas rutin mereka. Ia menuju meja penyidik utama dan memberikan beberapa dokumen yang telah ia kumpulkan, termasuk laporan tentang Dimas Prasetya.
“Ini, saya rasa kita sudah semakin dekat dengan jawaban,” kata Arga sambil menyerahkan map kepada penyidik utama, Pak Hendra.
Penyidik utama membuka map itu dan mulai membaca. Beberapa detik kemudian, ekspresi wajahnya berubah serius. “Jadi, badut ini… Dimas Prasetya. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi setelah meninggalkan rumah sakit jiwa?” tanyanya, matanya mengerut.
“Betul. Laporan ini menunjukkan bahwa dia menghilang tanpa jejak,” jawab Arga.
Pak Hendra terdiam, mencerna informasi itu. “Ini bisa menjadi kunci. Badut itu… mungkin Dimas, atau seseorang yang ingin meniru dia. Kita perlu mencari tahu lebih banyak tentang masa lalu Dimas.”
“Dan saya rasa, kita harus mencari tahu apa yang terjadi dengan orang-orang yang pernah bekerja dengannya di taman hiburan. Mungkin mereka tahu lebih banyak,” kata Arga, merasa ada sebuah teka-teki besar yang masih tersisa.
“Saya akan menghubungi beberapa orang yang mungkin tahu lebih banyak tentang dia. Kita perlu segera menemukan jawabannya,” kata Pak Hendra dengan tegas.
Arga kemudian melanjutkan penyelidikannya, tetapi kali ini ia merasa lebih hati-hati. Semua petunjuk yang ia temukan mengarah pada satu kesimpulan yang menakutkan: badut itu mungkin bukan hanya seorang pembunuh, tetapi juga seorang korban. Trauma masa kecil yang mengerikan mungkin telah merusak jiwanya, dan kini, ia menjadi sosok yang mengancam orang-orang yang tidak bersalah.
Kembali ke taman hiburan, Arga merasa suasana semakin mencekam. Lampu-lampu taman yang biasanya berwarna-warni kini terlihat lebih redup, memberi kesan suram yang aneh. Di sepanjang jalan setapak menuju gudang, Arga merasakan ada sesuatu yang mengawasi dirinya. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan itu.
Namun, yang lebih mengerikan adalah kenyataan bahwa Arga tahu bahwa badut itu tidak hanya mengincar orang-orang di sekitar taman hiburan—tapi dirinya juga. Sepertinya, semakin dekat ia dengan kebenaran, semakin besar pula ancamannya. Senyum lebar yang mengerikan, yang selalu ada dalam setiap bayangannya, seolah mengingatkan bahwa misteri ini akan mengungkap sesuatu yang jauh lebih kelam daripada yang bisa ia bayangkan.
Dan kali ini, Arga tidak tahu apakah ia bisa melarikan diri dari bayang-bayang itu.**
Bab 5: Wajah yang Terungkap
Kehidupan di kota kecil itu tampaknya kembali tenang setelah serangkaian pembunuhan yang mengerikan. Namun, bagi Arga, kenyataan yang ia hadapi jauh lebih berat daripada sekadar menyelesaikan kasus ini. Setelah berhari-hari menyelidiki dan menghadapi badut pembunuh yang misterius, Arga akhirnya mengetahui siapa di balik senyum mengerikan itu. Nama yang selama ini menjadi teka-teki, Bobo, atau Dito, adalah seseorang yang tak hanya menjadi korban kekerasan, tetapi juga terjebak dalam permainan psikologis yang kelam. Arga tahu bahwa meskipun Bobo sudah ditangkap, ini belum berakhir. Mungkin, di balik sosok badut yang sudah tertangkap, ada lebih banyak kegelapan yang belum terungkap.
—
Malam itu, setelah Bobo dibawa ke kantor polisi dan ditangani oleh tim medis untuk memeriksa kondisi mentalnya, Arga berdiri di depan jendela ruang kerjanya. Kota kecil ini terlihat damai, meskipun di dalam pikirannya masih terbayang-bayang wajah badut itu, senyum yang tak pernah lepas dan mata yang kosong. Sesuatu dalam diri Arga mengatakan bahwa ini bukanlah akhir dari cerita, bahwa ada bagian dari cerita yang masih harus diselidiki lebih dalam. Terutama mengenai masa lalu Bobo yang penuh dengan kebingungan dan trauma.
Hari-hari setelah penangkapan Bobo dipenuhi dengan penyelidikan yang semakin intens. Arga mendapat akses penuh ke catatan lama yang menyebutkan nama Dito, badut yang selama ini mengerikan. Catatan itu berisi tentang masa kecil Dito, yang terperangkap dalam kehidupan yang penuh dengan kekerasan. Keluarga Dito terlibat dalam sebuah lingkaran kebencian yang panjang, dan Dito sendiri diperlakukan dengan kejam oleh orang tuanya yang tidak pernah peduli dengan keadaannya.
Arga memeriksa catatan itu dengan seksama. Dito, yang dulunya dikenal sebagai anak yang ceria, berubah menjadi sosok yang sangat tertutup dan penuh dengan luka batin. Setelah orang tuanya meninggal, Dito tinggal bersama paman dan bibinya yang lebih memperlakukannya dengan dingin. Namun, ada satu sosok yang selalu hadir dalam ingatannya—seorang badut yang sering kali muncul di acara keluarga mereka. Badut itu, yang dahulu dipakai sebagai hiburan di setiap perayaan keluarga, menjadi simbol dari kegembiraan yang justru mengerikan bagi Dito. Ketika Dito masih kecil, badut itu akan memaksanya untuk tersenyum dan tertawa, bahkan ketika ia merasa sangat terluka. Di masa itu, badut tersebut menjadi sosok yang mengingatkannya pada kegelapan masa lalu yang tak pernah bisa dilupakan.
Luka-luka batin itulah yang akhirnya mendorong Dito untuk beralih menjadi badut di dunia hiburan. Namun, saat itu, ia tidak hanya sekadar menjadi seorang penghibur. Badut itu, dengan wajah yang selalu tersenyum, menjadi cara Dito untuk melarikan diri dari rasa sakit yang terus menghantuinya. Setiap kali ia mengenakan kostum badut, ia merasa bisa mengendalikan dunia, bahkan jika dunia itu dipenuhi dengan tawa yang memaksakan kebahagiaan semu. Tawa, bagi Dito, adalah cara untuk menutupi kepedihan yang begitu dalam. Namun, tawa itu juga menjadi racun yang membawanya semakin jauh dari kenyataan, membawanya ke dalam keputusasaan yang tak bisa ia hentikan.
Arga memutuskan untuk bertemu dengan seorang psikolog yang telah mempelajari kasus Dito lebih lanjut. Psikolog itu, Dr. Santi, adalah seorang ahli psikologi forensik yang telah lama bekerja dengan pihak kepolisian dalam menangani kasus-kasus terkait gangguan mental. Setelah berbicara panjang lebar, Arga mengetahui lebih banyak tentang keadaan mental Dito. Dr. Santi menjelaskan bahwa Dito mengalami gangguan kepribadian yang cukup serius—sebuah gangguan yang dikenal dengan nama borderline personality disorder, yang menyebabkan penderita mengalami perubahan mood yang drastis, kesulitan dalam mengontrol emosi, serta perasaan kosong yang mendalam.
“Perubahan dalam diri Dito tidak hanya disebabkan oleh masa kecilnya yang penuh dengan kekerasan, Arga,” kata Dr. Santi. “Tapi juga oleh pengalaman traumatis yang terus-menerus mengganggu pikirannya. Gangguan ini membuatnya merasa sangat terasing dan sulit untuk berhubungan dengan orang lain. Dia menemukan kenyamanan dalam menciptakan dunia yang dipenuhi dengan tawa. Tawa adalah cara baginya untuk mendapatkan kontrol atas hidupnya, bahkan jika itu berarti memaksakan kebahagiaan kepada orang lain, meskipun dengan cara yang sangat kelam.”
Arga mengangguk, merasa semakin terhimpit oleh kegelapan yang mengelilingi Bobo, atau Dito, sosok yang telah lama menjadi bagian dari sejarah kelam taman hiburan itu. Semakin dalam ia menggali, semakin jelas bahwa semua kejadian ini bukan hanya tentang pembunuhan semata, tetapi juga tentang sebuah perjalanan jiwa yang terluka, sebuah pencarian untuk mendapatkan identitas melalui tawa dan hiburan. Namun, pencarian itu berakhir dalam kehancuran, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Hari berikutnya, Arga mengunjungi taman hiburan sekali lagi. Kali ini, ia tidak hanya ingin menuntaskan kasus pembunuhan, tetapi juga mencari cara untuk membantu para pekerja dan pengunjung taman hiburan agar tidak terperangkap dalam permainan kelam yang pernah dimainkan oleh Dito. Meskipun badut itu kini sudah berada di balik jeruji besi, Arga tahu bahwa dampak dari tindakannya masih sangat terasa di sekitar tempat itu.
Sesampainya di sana, ia bertemu dengan pemilik taman hiburan, Pak Tino. “Arga, apa yang bisa saya bantu?” tanya Pak Tino dengan suara yang tampaknya penuh penyesalan.
“Saya ingin tahu lebih banyak tentang Dito, Pak Tino,” jawab Arga, dengan serius. “Apa yang kamu tahu tentang masa lalunya? Apa yang sebenarnya terjadi di taman hiburan ini?”
Pak Tino terdiam sejenak, seolah berpikir keras. “Dito… Dia mulai bekerja di sini bertahun-tahun yang lalu. Awalnya, dia tampak seperti badut biasa. Orang-orang menyukainya. Tapi, semakin lama, saya mulai melihat ada yang aneh. Dia semakin tertutup, mulai bertingkah aneh, dan sering berbicara tentang tawa, tentang bagaimana tawa bisa menyembuhkan dunia. Saya tahu dia punya masalah pribadi, tapi saya tidak tahu seberapa dalam masalah itu.”
Arga merasa ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. “Apa yang terjadi dengan dia setelah ia menjadi badut di sini?”
“Dia… dia menjadi sangat obsesif,” kata Pak Tino, suara tergetar. “Setiap kali dia mengenakan kostum itu, dia menjadi sosok yang berbeda. Orang-orang mulai merasa tidak nyaman, tapi mereka tetap datang untuk menontonnya. Saya merasa ada yang salah, tapi saya tidak tahu bagaimana menghentikannya. Dito selalu merasa seperti dia harus membuat orang lain tertawa, bahkan dengan cara yang sangat mengerikan.”
Semua yang dikatakan Pak Tino semakin menguatkan dugaan Arga bahwa Dito tidak hanya sekadar badut. Dia adalah seseorang yang telah terperangkap dalam ilusi tawa, yang terus-menerus mencari cara untuk menenangkan kekosongan di dalam dirinya. Namun, pencariannya itu berujung pada kehancuran orang-orang di sekitarnya.
Arga akhirnya memutuskan untuk mengunjungi tempat terakhir yang berkaitan dengan Dito—gudang tua di belakang taman hiburan. Tempat itu, yang dahulu menjadi tempat penyimpanan alat-alat pertunjukan, kini tampak sepi dan gelap. Ketika Arga memasuki gudang itu, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di balik bayang-bayang.
Di sudut ruangan, Arga menemukan sebuah kotak kayu kecil yang tampaknya sudah lama tidak dibuka. Dengan hati-hati, ia membuka kotak tersebut, dan di dalamnya terdapat sebuah foto lama yang buram. Foto itu menunjukkan seorang anak laki-laki yang tampak bahagia, mengenakan kostum badut yang serupa dengan yang sering dikenakan Dito di masa kini. Di belakang foto itu, tertulis sebuah pesan yang sangat sederhana, tetapi penuh makna: “Tertawa adalah cara kita bertahan.”
Arga merasa ada bagian dari Dito yang belum sepenuhnya terungkap, sebuah bagian yang terus mencari pengakuan melalui tawa dan kebahagiaan yang dipaksakan. Semua ini bukan hanya tentang pembunuhan, tetapi tentang pencarian jati diri yang terperangkap dalam luka lama. Dito, atau Bobo, adalah cermin dari dunia yang terperangkap dalam kebahagiaan palsu, yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan tawa.
Ketika Arga keluar dari gudang itu, ia tahu bahwa kasus ini tidak akan pernah sepenuhnya selesai. Meskipun Bobo kini berada di balik jeruji besi, bekas luka yang ditinggalkan oleh tindakannya akan terus menghantui kota kecil itu. Arga tahu bahwa ia harus terus menjaga kota ini dari kegelapan yang terus mengintai, meskipun tak ada lagi badut yang mengerikan untuk menakuti mereka.****