Bab 1: Kota yang Terlupakan
Arman melangkah perlahan memasuki Kota Tua, sebuah tempat yang tak banyak orang kenal lagi. Kota ini terletak jauh di luar jangkauan dunia modern, dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan bukit-bukit yang tampak tak terjamah. Semakin ia masuk ke dalam kota ini, semakin terasa betapa terasingnya tempat ini dari hiruk-pikuk kehidupan zaman sekarang. Hembusan angin yang datang dari sela-sela dinding-dinding bangunan tua memberikan nuansa yang kental akan nostalgia, seolah kota ini sedang memanggil Arman untuk menemukan cerita yang telah lama terkubur.
Setiap jalan yang ia telusuri tampak sepi. Tidak ada suara kendaraan bermotor, hanya suara langkah kaki Arman yang bergema di jalanan berkerikil. Lampu jalan yang sudah pudar cahayanya memberi sedikit penerangan, namun sebagian besar kota ini seolah terkurung dalam kegelapan malam yang abadi. Rumah-rumah tua yang berdiri di kedua sisi jalan, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang dipenuhi debu, memberikan kesan bahwa waktu tidak bergerak di sini, atau bahkan berhenti sepenuhnya.
Arman membuka peta yang ia bawa, mencoba mencari petunjuk tentang tempat-tempat penting di kota ini. Peta itu tampak sangat kuno, dengan garis-garis yang sudah pudar, namun ia masih bisa membaca beberapa nama jalan dan bangunan. Peta tersebut menunjukkan sebuah kawasan yang lebih padat di bagian tengah kota, yang tampaknya pernah menjadi pusat keramaian. Namun, setelah beberapa saat menelusuri jalan yang agak lebih luas, Arman tak melihat tanda-tanda kehidupan. Semua toko tampak tutup, dan bangunan-bangunan tua itu hanya diam, menyimpan cerita-cerita yang tak pernah terungkapkan.
Kota ini, yang dulu dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan yang penting, kini sepi dan terlupakan. Arman sering mendengar cerita dari kakeknya tentang betapa megahnya kota ini pada masa lalu. Kakeknya pernah tinggal di sini sebagai seorang pemuda, dan menurut cerita, Kota Tua pernah menjadi tempat yang penuh kehidupan—penuh dengan orang-orang yang sibuk beraktivitas, pasar yang ramai, serta gedung-gedung megah yang berdiri kokoh. Namun, apa yang kini tersisa hanyalah reruntuhan dan kenangan.
Beberapa kali Arman berusaha bertanya kepada penduduk sekitar mengenai kondisi kota ini, namun jawabannya selalu sama: “Kota itu sudah mati. Biarkan saja ia terbenam dalam kenangan.” Tak ada yang benar-benar tahu mengapa kota ini bisa terlupakan. Padahal, dulu kota ini adalah tempat yang dihormati. Begitu banyak sejarah yang terjadi di sini, namun kini, hanya sedikit yang peduli untuk menggali kembali masa lalu itu.
Namun, Arman merasa ada yang menarik di balik semua itu. Ia merasa ada cerita yang belum selesai, ada bagian dari sejarah yang tertinggal dan perlu ditemukan. Itulah mengapa ia datang ke sini. Sebagai seorang sejarawan muda, Arman ingin mengungkapkan kembali kisah-kisah yang tersisa dan membawa kembali ingatan tentang Kota Tua ke permukaan. Ia merasa, mungkin, kota ini hanya membutuhkan seseorang yang berani menggali lebih dalam.
Dengan tekad yang kuat, Arman melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan kota yang semakin sunyi. Di satu sisi jalan, ia melihat sebuah bangunan yang tampak lebih terawat dibandingkan yang lain. Bangunan itu tidak terlalu besar, tetapi terlihat seperti sebuah rumah tua yang masih terjaga. Pintu masuknya terbuat dari kayu tua yang sudah menghitam, tetapi tidak terlihat lapuk. Arman merasa ada sesuatu yang aneh dengan bangunan ini. Sementara sebagian besar rumah di sekitarnya terbiar, rumah ini masih tampak kokoh dan seolah menyimpan cerita.
Arman memutuskan untuk mendekat. Saat ia sampai di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang mengalir dalam dirinya. Ada sesuatu di balik pintu itu yang memanggilnya. Tanpa pikir panjang, ia mendorong pintu itu dengan hati-hati. Pintu itu terbuka dengan suara berderit, seolah memberi isyarat bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan.
Ruangan di dalamnya gelap, namun cukup besar untuk membuat Arman merasa terkagum-kagum. Di tengah-tengah ruangan, terdapat sebuah meja kayu besar yang sudah tergores, dan di atasnya terletak beberapa benda lama yang tampaknya sudah lama tidak disentuh. Sebuah kursi kayu tua terletak di sudut ruangan, menghadap ke jendela yang menghadap langsung ke luar kota. Namun, di sudut ruangan yang lebih jauh, ada sesuatu yang menarik perhatian Arman—seorang pria tua yang duduk dengan tenang, mengenakan pakaian sederhana yang sudah mulai pudar.
Pria itu menatap Arman dengan mata yang tajam meskipun wajahnya tampak sudah keriput. Ada sesuatu yang misterius dalam tatapannya, seolah pria itu tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Arman merasa agak canggung, namun tetap memberanikan diri untuk mendekat.
“Selamat datang,” ujar pria tua itu dengan suara serak, namun masih jelas terdengar.
Arman mengangguk. “Saya ingin tahu lebih banyak tentang kota ini. Kota Tua…”
Pria itu mengangkat alisnya, seolah tertarik dengan kata-kata Arman. “Kota Tua?” ucapnya, mengulang kata-kata Arman dengan nada yang penuh makna. “Kota ini memang tua. Tua sekali. Namun, ada hal yang lebih tua dari itu. Ada cerita yang belum selesai, dan banyak bayangan yang masih mengintai di sini.”
Arman merasa semakin penasaran. “Apa maksud Anda dengan ‘bayangan’?”
Pria itu tersenyum samar. “Bayangan itu tidak bisa dilihat oleh sembarang orang. Mereka hanya muncul kepada mereka yang tahu cara mencarinya. Jika kau ingin tahu lebih banyak, anak muda, kau harus siap menerima kenyataan yang mungkin tak ingin kau dengar.”
Suasana di dalam ruangan itu terasa semakin berat, seperti ada rahasia besar yang tengah menunggu untuk diungkapkan. Arman berdiri diam, merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata pria tua itu.
Pria tua itu kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Kota ini tidak terlupakan, seperti yang kau kira. Ia hanya berdiam diri, menunggu seseorang yang berani untuk melihat dan mendengarnya. Kau ingin tahu? Kalau begitu, kau harus siap untuk menemukan kebenaran yang lebih gelap daripada yang kau bayangkan.”
Arman terdiam. Meskipun ia merasa sedikit ketakutan, rasa ingin tahunya lebih besar. Ia tidak akan mundur sekarang. Pencariannya baru saja dimulai.
“Siapkah kau?” tanya pria itu dengan tatapan tajam.
Arman mengangguk pelan. “Saya siap.”
Pria itu tersenyum, dan untuk pertama kalinya, ia berdiri dan berjalan menuju sebuah rak buku tua di sudut ruangan. Dengan perlahan, ia mengambil sebuah buku tebal yang tampaknya sudah sangat tua, kemudian memberikannya kepada Arman. “Ini adalah petunjuk pertama. Baca dengan hati-hati, dan kau akan menemukan jejak yang tersembunyi.”
Arman menerima buku itu dengan tangan gemetar. Buku itu tampak sangat berat, namun ia tahu ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan mengubah segalanya.***
Bab 2: Penjaga Kota
Arman duduk di sudut ruangan yang dingin dan gelap, buku tebal yang diberikan oleh pria tua itu terletak di pangkuannya. Cahaya dari lampu minyak yang temaram menciptakan bayangan panjang di dinding-dinding yang sudah lapuk. Di sekelilingnya, udara yang berat terasa seakan terperangkap dalam ruangan itu. Setiap detik terasa begitu lambat, seperti waktu itu sendiri menahan napas. Arman membuka buku itu dengan hati-hati, khawatir ia akan merusaknya. Halaman-halaman buku itu kuno dan rapuh, namun tulisan di dalamnya tetap terlihat jelas.
Buku itu tidak seperti buku sejarah biasa yang sering ia temui di perpustakaan atau universitas. Tulisan-tulisannya penuh dengan simbol-simbol aneh dan cerita yang terdengar lebih seperti legenda daripada fakta sejarah. Meskipun begitu, Arman merasa ada sesuatu yang menarik di dalamnya. Bagian pertama buku itu menceritakan tentang masa kejayaan Kota Tua, tentang bagaimana kota ini dahulu merupakan pusat perdagangan yang ramai dan makmur. Namun, di tengah-tengah cerita, ada bagian yang aneh—tentang bayangan yang terus mengintai kota, tentang kekuatan yang tidak bisa dipahami oleh siapapun, dan tentang hilangnya banyak orang secara misterius.
Mata Arman semakin tertarik pada bagian itu. Bayangan? Kekuasaan yang tak terdefinisikan? Apa yang sebenarnya terjadi di kota ini? Arman terus membaca, dan setiap kalimat baru seolah semakin mengarah pada satu titik—sebuah peristiwa besar yang mengubah segalanya. Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan halaman pertama, ia merasa sebuah sentuhan lembut di pundaknya. Ia menoleh cepat, dan mendapati pria tua itu berdiri di belakangnya, mengamatinya dengan tatapan tajam.
“Apakah kau sudah mulai membaca?” tanya pria itu dengan suara yang dalam dan serak, seolah suara itu datang dari jauh di dalam dirinya.
Arman mengangguk perlahan. “Iya, saya baru saja mulai. Namun, banyak yang tidak saya mengerti. Buku ini sepertinya lebih dari sekadar catatan sejarah.”
Pria itu tersenyum samar, namun senyum itu tak tampak ramah. “Memang demikianlah seharusnya. Buku ini bukanlah untuk semua orang. Hanya mereka yang siap menerima kebenaran yang tersembunyi di baliknya yang akan bisa memahaminya.”
Arman merasa semakin bingung. “Kebenaran tersembunyi? Apa yang sebenarnya terjadi di kota ini?”
Pria itu menarik kursi dan duduk di samping Arman. “Ceritanya sangat panjang, anak muda. Kota ini pernah memiliki segalanya. Kejayaan, kekayaan, dan pengaruh. Namun, ada sesuatu yang terjadi di balik itu semua. Ada sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, dan itu merusak segalanya.”
Arman menatap pria itu dengan penuh perhatian. “Apa itu? Apa yang terjadi?”
Pria itu mendesah, kemudian menunduk. “Ada satu keluarga yang sangat berkuasa di sini. Keluarga Wijaya. Mereka memiliki hampir seluruh kota ini—tanah, gedung, bahkan pengaruh politik. Mereka adalah tulang punggung kota. Namun, di balik kekuasaan mereka, ada sesuatu yang gelap. Sesuatu yang mereka sembunyikan dari seluruh dunia.”
“Sesuatunya apa?” tanya Arman dengan suara berbisik. Ia merasa semakin tertarik.
Pria tua itu menghela napas panjang, seakan berat untuk mengungkapkan kisah ini. “Keluarga Wijaya terlibat dalam ritual-ritual kuno yang tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Mereka mencari kekuatan yang lebih besar dari apa yang bisa dipahami oleh manusia biasa. Mereka mencari cara untuk mengendalikan waktu, untuk mengubah nasib, untuk menghidupkan kembali yang sudah mati. Namun, mereka tidak tahu apa yang mereka bangun. Apa yang mereka ciptakan itu bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan.”
Arman merasa ada sesuatu yang mengerikan di balik kata-kata pria itu, namun ia terus mendesak, “Apa yang mereka ciptakan?”
Pria itu menatap Arman dengan pandangan kosong, seolah mengingat kembali sesuatu yang lama terkubur. “Mereka membangkitkan bayangan—sesuatu yang berasal dari dunia lain. Sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia kita. Bayangan itu bukan makhluk hidup, tapi bukan juga benda mati. Itu adalah kekuatan yang dapat merasuki siapapun yang terpapar. Mereka menguasai Kota Tua selama bertahun-tahun, menggunakan bayangan-bayangan itu untuk menjaga kekuasaan mereka. Namun, ada harga yang harus dibayar.”
Arman merasakan kengerian yang mendalam. “Apa yang terjadi setelah itu?”
Pria itu menundukkan kepalanya, seperti ingin menghindari pertanyaan tersebut. “Bencana besar terjadi. Sebuah kekuatan yang lebih besar dari yang mereka bayangkan meledak dan menghancurkan kota ini. Bayangan-bayangan itu membebaskan diri mereka dan menyebar ke seluruh kota, merasuki tubuh dan jiwa orang-orang yang terjebak di dalamnya. Banyak yang hilang, banyak yang mati. Dan keluarga Wijaya? Mereka lenyap, seperti tak pernah ada.”
Arman terdiam. “Lalu apa yang terjadi setelah itu? Mengapa kota ini tetap ada?”
Pria tua itu mengangkat bahu. “Kota ini tidak benar-benar hilang. Hanya saja, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya. Bayangan-bayangan itu masih ada di sini. Mereka masih mengintai, menunggu untuk bangkit lagi. Kota ini menjadi tempat terkutuk bagi siapa saja yang mencoba mengungkap rahasia itu.”
Arman merasa ngeri. “Apa yang harus saya lakukan sekarang? Apakah ada yang bisa menghentikan semua ini?”
Pria itu menatap Arman dengan serius. “Kau sudah memulai perjalananmu, anak muda. Jangan berharap bisa mundur sekarang. Jika kau ingin tahu lebih banyak, kau harus menggali lebih dalam. Tetapi ingat, ada banyak yang telah mencoba dan gagal. Beberapa dari mereka bahkan menjadi bagian dari bayangan itu sendiri. Kau akan melihat hal-hal yang tidak ingin kau lihat. Kau akan mendengar suara-suara yang tak bisa kau pahami. Dan lebih buruk lagi, kau akan merasakan kehadiran mereka.”
Arman merasakan ketegangan dalam tubuhnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukanlah perjalanan yang mudah. Namun, ia tidak bisa mundur. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terus mendorongnya untuk mencari tahu kebenaran, untuk mengungkap rahasia yang terkubur di Kota Tua ini. Meskipun ia merasa takut, ia juga merasa bahwa ia telah berada di titik yang tak bisa ia balikkan lagi.
Pria itu melanjutkan, “Aku bukanlah penjaga kota ini. Aku hanya seseorang yang telah hidup terlalu lama dan melihat terlalu banyak hal. Tetapi jika kau benar-benar ingin tahu, aku akan memberimu petunjuk lebih lanjut. Namun ingat, jalan yang kau pilih ini penuh dengan bahaya. Siapkah kau?”
Arman mengangguk dengan tegas, meskipun rasa takut masih menyelimuti hatinya. “Saya siap.”
Pria itu menatapnya lama, seolah mengukur seberapa jauh Arman bersedia melangkah. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, pria itu mengangkat tangan dan menunjuk ke arah rak buku di sudut ruangan. “Ambil buku yang ada di sana. Itu adalah kunci untuk memahami apa yang terjadi.”
Arman mengangguk dan berjalan menuju rak itu. Ketika ia mengambil buku tersebut, ia merasakan beban berat di tangannya. Buku itu tampaknya lebih tua dari yang sebelumnya. Setiap halaman sepertinya akan mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap. Arman tahu bahwa ia baru saja memasuki babak baru dalam pencariannya. Namun, ia tidak bisa berhenti sekarang.
Dengan hati-hati, ia mulai membuka halaman pertama buku itu, menyadari bahwa jalan yang ia pilih akan mengubah hidupnya selamanya.*
Bab 3: Jejak yang Tersembunyi
Pagi di Kota Tua datang dengan kabut tebal yang menyelimuti setiap sudut jalanan. Langit yang kelabu mengisyaratkan bahwa matahari enggan muncul, seolah kota ini memang dilahirkan untuk diliputi kegelapan. Arman duduk di meja kayu tua yang ada di rumah pria tua itu, merenungkan apa yang telah ia pelajari semalam. Buku yang diberikan pria itu masih tergeletak di depannya, namun kali ini Arman tidak bisa sekadar membaca isinya. Ia merasa sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang harus ia temukan, tersembunyi di balik kata-kata dan simbol-simbol yang tertera di halaman-halaman buku itu.
Sejak malam itu, hidupnya telah berubah. Kota yang dulu ia anggap sebagai tempat sepi yang terlupakan kini terasa penuh dengan misteri dan bahaya yang mengintai. Ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang pria tua itu katakan—tentang bayangan, tentang keluarga Wijaya, dan tentang bencana yang mengubah segalanya. Seperti sebuah teka-teki besar, potongan-potongan cerita itu kini mulai membentuk gambaran yang semakin jelas, meskipun masih jauh dari sempurna.
Arman menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap ke luar jendela. Jalanan kota yang gelap dan kosong terasa semakin sunyi. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa tinggal diam. Pencariannya baru saja dimulai, dan setiap petunjuk baru hanya semakin menuntunnya ke dalam kedalaman kota ini, tempat di mana jejak-jejak sejarah tersembunyi dan tak terjangkau.
Saat ia kembali membuka halaman pertama buku itu, ia membaca sebuah kalimat yang menarik perhatiannya:
“Keluarga Wijaya bukan hanya penguasa kota, mereka adalah penjaga kunci yang menghubungkan dunia kita dengan dunia lain. Mereka yang pertama kali tahu apa yang seharusnya tidak diketahui oleh manusia. Dan mereka membayar harga yang sangat mahal untuk itu.”
Kata-kata ini menggema dalam pikirannya. Arman menyadari bahwa kunci untuk mengungkap misteri Kota Tua mungkin ada di keluarga Wijaya—keluarga yang telah menghilang begitu saja dari sejarah. Semua jejak mereka seakan terhapus, namun sesuatu di dalam kota ini masih mengingat mereka. Bayangan-bayangan yang disebutkan pria tua itu, mungkin adalah bagian dari mereka yang hilang.
Dengan tekad yang baru, Arman memutuskan untuk melanjutkan pencariannya. Pagi ini, ia harus mencari tahu lebih banyak tentang keluarga Wijaya, dan jika perlu, menggali lebih dalam ke dalam sejarah yang terkubur. Ia berdiri dari kursinya dan mengenakan jaket hitamnya, memutuskan untuk kembali ke jalan-jalan Kota Tua.
Sebelum pergi, ia kembali berbicara dengan pria tua itu, yang tampak sedang sibuk mengatur beberapa benda di meja kerjanya. “Saya ingin pergi ke tempat yang pernah mereka tinggali, keluarga Wijaya. Di mana saya bisa menemukan petunjuk lebih lanjut?”
Pria tua itu menoleh dengan tatapan yang tajam, seperti tengah menilai keinginan Arman. “Kau sudah siap untuk itu, anak muda? Kota ini menyimpan banyak rahasia, dan ada tempat-tempat yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.”
Arman menatap pria itu dengan tegas. “Saya harus tahu lebih banyak. Saya tidak bisa berhenti sekarang.”
Pria itu menghela napas panjang, seolah berpikir keras. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, “Baiklah, jika kau tetap bersikeras, pergi ke gedung tua di ujung jalan. Itu adalah tempat tinggal keluarga Wijaya sebelum mereka menghilang. Namun ingat, ada sesuatu yang mengawasi di sana. Tidak ada yang bisa menjamin keselamatanmu.”
Arman mengangguk dan berterima kasih, lalu segera meninggalkan rumah pria tua itu, melangkah keluar menuju jalan utama kota.
Jalanan kota ini masih tampak sepi, hanya suara langkah kaki Arman yang mengisi udara. Ia menuju ke ujung jalan seperti yang diperintahkan. Gedung tua yang disebutkan oleh pria itu sudah tampak dari kejauhan. Bangunan itu sangat besar, dengan dinding batu yang sudah mengelupas dan jendela yang sebagian besar tertutup oleh debu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar gedung, dan Arman bisa merasakan ketegangan yang mulai menyelimutinya. Ada sesuatu di gedung ini—sesuatu yang terasa tidak biasa.
Sesampainya di depan pintu besar gedung, Arman melihat bahwa pintu itu sedikit terbuka, seakan menunggu seseorang untuk memasukinya. Tanpa ragu, ia mendorong pintu itu dan memasuki ruangannya. Udara di dalam gedung terasa dingin dan lembab. Cahaya yang masuk dari celah-celah jendela memberikan kesan suram pada ruangan yang luas ini. Lantai kayu yang sudah usang berderit saat ia melangkah, seolah mengingatkan bahwa gedung ini telah lama terlupakan.
Langkah Arman menggema di seluruh ruangan. Ia melihat sekelilingnya, mencari petunjuk atau benda apapun yang bisa membantunya memahami lebih jauh tentang keluarga Wijaya. Di sebelah kiri, ia melihat sebuah ruang yang lebih kecil dengan meja-meja yang tertutup debu. Di atas meja-meja itu terdapat beberapa dokumen lama yang tampaknya belum lama ditinggalkan. Arman mendekati salah satu meja dan membuka sebuah dokumen yang tampak lebih terawat daripada yang lain.
Tulisannya hampir tak terbaca karena sudah sangat pudar, namun setelah beberapa menit mencoba menelitinya, Arman berhasil membaca beberapa kata kunci: “Keluarga Wijaya,” “Kunci,” dan “Portal.” Kata-kata ini membuat Arman terhenti. “Portal” mengingatkannya pada kata-kata pria tua itu tentang hubungan antara dunia mereka dan dunia lain. Ia merasa ada hubungan yang kuat antara keluarga Wijaya dengan kekuatan yang tak terjangkau itu.
Tiba-tiba, Arman mendengar suara berderak dari belakangnya. Ia menoleh cepat, dan melihat sebuah bayangan melintas di ujung lorong. Hatinya berdebar lebih cepat. Bayangan itu hanya bertahan beberapa detik, namun cukup untuk membuat Arman merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Ia menegakkan tubuh dan memutuskan untuk melanjutkan pencariannya.
Setelah mencari lebih lama, ia menemukan sebuah pintu tersembunyi di bagian belakang ruangan. Pintu itu tampaknya sudah lama tidak dibuka. Dengan perlahan, Arman mendorong pintu itu dan menuruni tangga sempit yang mengarah ke ruang bawah tanah.
Di bawah tanah itu, udara terasa lebih dingin. Arman menyenterkan cahaya ke sekelilingnya dan melihat banyak benda aneh yang tidak bisa ia kenali. Di salah satu sudut ruangan, ada sebuah meja besar dengan sebuah kotak kayu yang tampak lebih baru daripada benda-benda lainnya. Arman mendekat dan membuka kotak itu dengan hati-hati.
Di dalamnya, terdapat sebuah buku lain—lebih kecil, namun dengan sampul yang sangat berbeda dari buku yang pertama kali diberikan oleh pria tua itu. Sampulnya berwarna hitam pekat, dengan ukiran-ukiran simbol yang sama seperti yang ada di buku pertama. Dengan gemetar, Arman membuka buku itu dan mulai membaca.
Halaman pertama berisi tulisan yang lebih jelas dibandingkan dengan buku sebelumnya. Tulisan itu menjelaskan bahwa keluarga Wijaya tidak hanya menguasai kota, tetapi juga menguasai ilmu yang bisa menghubungkan dunia mereka dengan dunia yang lain—dunia yang penuh dengan kekuatan yang tidak terjamah oleh hukum alam. Mereka telah menemukan cara untuk membuka portal antara dua dunia itu, namun dengan harga yang sangat mahal: jiwa dan nyawa orang-orang yang terlibat dalam ritual itu akan terperangkap di antara keduanya, menjadi bagian dari bayangan yang mengintai dunia mereka.
Arman merasa kengerian merayapi dirinya. Semua ini—semua yang ia baca—adalah petunjuk yang mengarah padanya. Kota ini tidak sekadar terlupakan; kota ini dijaga oleh kekuatan yang tidak bisa dipahami, dan keluarga Wijaya adalah kunci untuk memahaminya.
Tiba-tiba, Arman merasakan hawa dingin yang semakin intens. Ia menoleh ke belakang, dan seketika merasa ada sesuatu yang sangat dekat. Bayangan itu—atau mungkin lebih dari satu—mulai mendekat, mengelilinginya.
Arman harus segera keluar dari sini.*
Bab 4: Bayangan yang Menghantui
Arman merasa ketegangan yang semakin menebal di dalam ruangan bawah tanah itu. Hawa dingin yang tadi mulai menyelubungi tubuhnya kini semakin tajam, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata mengendap di sekelilingnya. Buku yang baru saja ia buka, yang berisi keterangan tentang ritual keluarga Wijaya, kini terasa berat di tangannya. Setiap kata-kata yang ia baca semakin memperjelas bahwa apa yang ia hadapi bukan sekadar legenda atau cerita usang. Kota Tua ini, dengan segala misterinya, memiliki kekuatan yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah-langkah di ujung lorong. Langkah itu berat dan lambat, seakan ada sesuatu yang mengikuti setiap gerakan Arman. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan ia menoleh dengan cepat. Ruangan yang semula terasa sepi kini dipenuhi oleh keheningan yang sangat tebal. Dengan cepat, Arman menyembunyikan buku itu ke dalam tasnya dan melangkah pelan, berusaha menghindari suara apapun yang dapat memperburuk keadaan.
Namun, langkah-langkah itu semakin dekat. Semakin terasa seperti ada sosok yang mengintai dari balik kegelapan. Arman menahan napas, perlahan berjalan mundur menuju tangga yang mengarah ke atas, berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Beberapa langkah lagi, dan ia sudah berada di depan pintu yang membawanya kembali ke ruang utama gedung tua itu.
Baru saja ia hendak membuka pintu, bayangan gelap melintas di depannya. Arman membeku. Bayangan itu berbentuk manusia, namun samar dan kabur, seperti uap yang terbuang oleh angin. Meskipun tubuhnya terlihat kabur, Arman dapat merasakan tatapan tajam yang terarah padanya. Ketika bayangan itu bergerak mendekat, seluruh tubuh Arman terdiam—seakan ada sesuatu yang menahan setiap ototnya.
“Apa… itu?” Arman berbisik dalam hati, suaranya hampir tak terdengar.
Bayangan itu terus mendekat dengan langkah pelan namun pasti. Ia merasa ada kekuatan yang tidak bisa dilawan, seolah tubuhnya tidak bisa bergerak. Ketika bayangan itu semakin dekat, Arman merasakan ketegangan yang luar biasa, seolah ada energi yang menghimpitnya dari segala sisi.
Tiba-tiba, bayangan itu berhenti tepat di hadapan Arman. Sebuah suara rendah terdengar, seperti suara angin yang berbisik, namun sangat jelas. “Kau… bukan bagian dari mereka…”
Arman terperanjat, merasa tubuhnya kaku tak dapat digerakkan. Suara itu bukan berasal dari mulut siapapun, namun lebih seperti gema yang datang dari dalam dirinya, dari sudut yang lebih dalam dan lebih gelap. “Siapa kau?” Arman berusaha bertanya, namun suaranya tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa menatap kosong bayangan yang semakin nyata di depannya, seolah mengamati setiap gerak-geriknya.
Bayangan itu mulai mengarah ke arah Arman dengan gerakan lambat, hampir seperti seekor predator yang mengendus mangsanya. Namun, sebelum ia sempat menanyakan lebih jauh, sebuah cahaya terang tiba-tiba menyinari bayangan itu dari arah tangga yang ia lewati. Bayangan itu terhenti sejenak, lalu mulai menghilang, menyatu dengan bayang-bayang di sekeliling ruangan.
Arman memanfaatkan momen itu untuk berlari menuju pintu dan membuka kunci yang ada di sana. Begitu ia melangkah keluar, ia merasakan dirinya terhempas oleh udara luar yang lebih hangat, tetapi kegelisahan yang ia rasakan tetap sama. Dunia luar tampak kontras dengan kegelapan yang baru saja ia tinggalkan. Ia berusaha menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya, namun bayangan dan suara itu terus menghantuinya. Apa yang baru saja ia alami bukan sekadar ilusi atau imajinasi. Itu nyata.
Arman melangkah cepat menuju jalan utama kota, berusaha menjauh dari gedung tua yang terasa semakin tidak aman. Namun, kepalanya dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang mengganggu. Apa sebenarnya yang ada di balik keluarga Wijaya? Mengapa mereka terhubung dengan bayangan-bayangan itu? Dan apa yang dimaksud dengan portal yang mereka ciptakan antara dunia mereka dan dunia lain? Arman merasa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sangat dekat, tetapi juga sangat menakutkan.
Ia berhenti sejenak di bawah sebuah pohon besar yang ada di jalan utama, berusaha untuk menenangkan dirinya. Cahaya yang redup dari lampu jalan memberi penerangan yang sangat terbatas, namun cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ia menatap langit yang gelap, berusaha meresapi perasaan cemas dan takut yang masih menghantuinya.
“Semua ini lebih besar dari yang aku kira,” gumam Arman pelan.
Saat itu, suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang. Arman menoleh cepat dan melihat sosok pria tua yang sama—pria yang memberinya buku pertama kali—berjalan ke arahnya. Pria itu tampak tidak terkejut melihat Arman di jalan itu, bahkan senyumnya terlihat seperti sebuah pertanda bahwa ia sudah menunggu kedatangan Arman.
“Dari mana kau?” tanya Arman dengan nada cemas. “Kau… tahu apa yang sedang terjadi di gedung itu?”
Pria itu hanya mengangguk pelan, matanya penuh dengan tanda-tanda keletihan. “Aku sudah mengira kau akan menemukannya.” Suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya, seolah ada beban yang tak terucapkan dalam dirinya. “Apa yang kau temui di sana lebih dari sekadar kenangan, Arman. Itu adalah bagian dari sejarah yang tidak bisa diubah.”
“Bayangan-bayangan itu… Apa yang sebenarnya mereka inginkan?” Arman bertanya, merasa gelisah.
Pria tua itu menghela napas panjang. “Bayangan itu adalah bagian dari ritual yang dilakukan keluarga Wijaya. Mereka tidak hanya mencari kekuasaan di dunia ini, tetapi mereka juga membuka gerbang ke dunia lain—dunia yang penuh dengan entitas yang lebih kuat dari apa pun yang ada di dunia manusia. Mereka tidak tahu apa yang mereka hadapi, dan kini, bayangan-bayangan itu terus mengintai, menunggu kesempatan untuk menguasai kembali kota ini.”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arman, merasa bingung. “Aku sudah melihatnya. Aku merasa ada sesuatu yang mengikutiku. Apa aku bisa menghentikan ini?”
Pria itu menatap Arman dengan serius. “Kau tidak bisa menghentikan apa yang sudah terjadi, Arman. Yang bisa kau lakukan sekarang adalah mengetahui lebih banyak tentang apa yang telah dimulai oleh keluarga Wijaya. Mereka membuka pintu yang tidak bisa ditutup lagi. Dan sekarang, kau adalah bagian dari itu.”
Arman merasa jantungnya berdebar lebih kencang. “Bagian dari itu? Apa maksudmu?”
“Artinya, anak muda,” ujar pria itu dengan nada lebih berat, “kau sekarang menjadi bagian dari jejak yang mereka tinggalkan. Kau adalah kunci untuk membuka kebenaran yang lebih besar. Tapi ingat, kebenaran itu bisa berbahaya. Apa yang kau temui nanti akan mengguncang semuanya.”
Arman merasa darahnya berdesir. “Aku siap. Saya ingin tahu lebih banyak.”
Pria itu hanya mengangguk pelan, lalu berbalik pergi. “Ikuti jalanmu, tetapi berhati-hatilah. Ada banyak yang menunggumu.”
Arman berdiri terpaku, tatapannya masih tertuju pada pria tua itu yang semakin menjauh. Rasa takut masih menghantuinya, namun tekad untuk mencari tahu semakin menguat. Ia tahu bahwa jawabannya ada di balik misteri yang semakin dalam ini, dan meskipun bayangan-bayangan itu terus mengintai, Arman tidak bisa mundur sekarang.
Pencarian ini akan mengungkapkan lebih dari sekadar sejarah kota tua ini. Ini akan membawa Arman ke dalam dunia yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya—sebuah dunia yang penuh dengan kegelapan, kekuatan, dan rahasia yang siap mengubah segalanya.***
Bab 5: Pintu yang Terbuka
Arman berdiri di atas sebuah jembatan tua yang menjulang di atas sungai yang mengalir lambat, menatap air yang gelap dengan tatapan kosong. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang semakin banyak—pertanyaan yang tak dapat ia hindari. Sudah seminggu sejak ia pertama kali memasuki gedung tua yang dipenuhi misteri. Seminggu penuh pencarian, pertemuan dengan bayangan, dan jawaban yang mulai terungkap, meskipun sebagian besar masih tetap samar. Setiap langkahnya semakin mendekat pada kebenaran, namun juga semakin jauh dari kenyamanan yang ia kenal.
Pagi itu, ia memutuskan untuk kembali ke pusat Kota Tua, tempat di mana semuanya dimulai. Hari ini, ia harus menemukan titik akhir dari pencariannya, meskipun ia tahu bahwa itu berarti memasuki ruang yang lebih gelap dan lebih berbahaya. Di bawahnya, sungai itu terus mengalir, membawa jejak-jejak sejarah yang terlupakan, sama seperti kota ini—sebuah kota yang penuh dengan rahasia yang tidak ingin terungkap.
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan pria tua itu, Arman kembali mencari petunjuk lebih jauh. Buku kedua yang ia temukan di ruang bawah tanah gedung keluarga Wijaya telah membuka banyak hal, tetapi juga menyisakan lebih banyak pertanyaan. Buku itu mengungkapkan bahwa keluarga Wijaya tidak hanya berhubungan dengan bayangan-bayangan tersebut, tetapi mereka juga terlibat dalam sesuatu yang lebih besar: sebuah portal, sebuah gerbang antara dunia mereka dan dunia lain yang penuh dengan kekuatan gelap. Portal ini, yang pertama kali dibuka oleh leluhur keluarga Wijaya, adalah sumber dari semua yang terjadi di Kota Tua. Bayangan-bayangan itu bukanlah sekadar makhluk yang muncul dari kegelapan, tetapi juga adalah penjaga—penjaga yang terikat pada gerbang yang tak bisa ditutup.
“Ini lebih dari sekadar kutukan kota,” bisik Arman pada dirinya sendiri, menatap mata air yang mengalir perlahan. “Ini adalah perang yang belum selesai.”
Namun, saat ia menoleh ke belakang, bayangan yang selama ini mengintai di setiap sudut kotanya kembali muncul. Sosok itu, yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya, kini lebih jelas, lebih nyata. Bayangan itu adalah pengingat bahwa ia berada di jalan yang berbahaya. Dan kali ini, ia tidak bisa lagi menghindar.
Dengan langkah pasti, Arman berjalan menuju pusat kota. Tujuannya adalah satu—gedung tua yang kini telah menjadi bagian dari kota yang terlupakan. Gedung itu, yang pernah menjadi tempat tinggal keluarga Wijaya, adalah tempat yang menghubungkan dunia ini dengan dunia lain. Dan di dalamnya, tersembunyi sebuah kunci—kunci untuk menghentikan segala sesuatu yang mengancam kota ini, kunci yang hanya bisa diakses oleh mereka yang berani mencari tahu kebenaran.
Sesampainya di sana, Arman melihat gedung itu dalam cahaya yang berbeda. Bangunan yang dulu tampak gelap dan terabaikan kini terlihat lebih mengintimidasi. Seperti sebuah monumen dari masa lalu yang tidak ingin dilupakan. Arman merasakan getaran yang tidak dapat dijelaskan. Sebuah kekuatan yang lebih besar dari dirinya berdenyut di sekitar gedung itu. Tanpa ragu, ia memasuki pintu besar yang terbuka lebar, seperti menunggu kedatangannya.
Di dalamnya, suasana sangat sunyi, hanya ada suara langkah kaki Arman yang menggema di seluruh ruangan. Begitu ia melangkah lebih jauh, udara di dalam gedung terasa semakin berat. Tanpa sadar, ia berjalan menuju ruang yang sama dengan yang ia masuki dulu—ruang yang penuh dengan debu dan kegelapan. Namun kali ini, sesuatu yang berbeda ada di sana. Sebuah pintu besar berdiri di ujung ruangan, dengan ukiran-ukiran yang terlihat lebih jelas dibandingkan sebelumnya. Pintu itu tampak seperti pintu yang telah menunggu berabad-abad untuk dibuka.
Arman merasa ketakutan dan ketegangan yang sama seperti sebelumnya, namun kali ini ia tidak bisa mundur. Buku kedua yang ia baca memberitahunya bahwa pintu ini adalah gerbang yang menghubungkan dua dunia—dunia yang penuh dengan kekuatan gelap dan dunia manusia. Ini adalah pintu yang harus dibuka, karena hanya dengan membuka pintu itulah rahasia Kota Tua akan terungkap.
Ia mendekati pintu itu dan melihat sebuah kunci besar tergantung di sampingnya. Kunci itu tampak kuno dan penuh dengan simbol yang tidak ia mengerti. Namun, ia tahu bahwa inilah yang harus ia ambil untuk membuka pintu itu. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam kunci itu dan memasukkannya ke dalam lubang kunci yang ada di pintu.
Pada saat ia memutar kunci, suara gemerisik terdengar, seperti suara batu yang bergerak. Pintu besar itu mulai terbuka perlahan, mengeluarkan cahaya yang begitu terang sehingga membuat Arman terpesona. Sebuah ruang yang sangat besar terbuka di depannya, penuh dengan benda-benda yang tampaknya berasal dari dunia yang berbeda—benda-benda yang tak terjangkau oleh logika dan kenyataan.
Di tengah ruangan, sebuah meja batu besar berdiri dengan tulisan kuno yang terukir di atasnya. Sebuah simbol yang sama dengan yang ada di buku kedua. Arman melangkah lebih dekat dan memeriksa tulisan itu. Semakin ia meneliti, semakin jelas baginya bahwa tulisan ini adalah petunjuk terakhir—petunjuk yang mengungkapkan cara menutup portal itu, cara mengakhiri kekuatan gelap yang telah menguasai Kota Tua.
Namun, sebelum ia sempat memahaminya, suara bergemuruh terdengar, dan bayangan yang selama ini mengintainya muncul di hadapannya. Bayangan itu kini lebih jelas dari sebelumnya, lebih nyata, dan kali ini ia tidak bisa lagi lari. Bayangan itu menghadapinya dengan tatapan kosong dan penuh ancaman.
“Berhenti!” teriak Arman, berusaha menghadapi sosok itu. “Aku tahu apa yang terjadi. Aku tahu bagaimana menghentikan semuanya!”
Bayangan itu hanya tersenyum, senyum yang tidak manusiawi. “Kau tidak bisa menghentikan apa yang telah dimulai,” katanya dengan suara serak yang penuh dengan keputusasaan. “Portal ini sudah dibuka. Tak ada yang bisa menutupnya lagi. Kami akan kembali, dan kota ini akan jatuh.”
Arman merasa tubuhnya tertarik oleh kekuatan bayangan itu. Namun, di saat yang sama, ia merasakan kekuatan lain yang berasal dari meja batu di depannya. Ia bergegas mengambil batu besar yang terletak di atas meja itu dan meletakkannya di tengah lingkaran yang ada di lantai. Ketika batu itu menyentuh permukaan, sebuah cahaya putih yang sangat terang meledak, mengusir bayangan itu dengan kekuatan yang luar biasa.
Bayangan itu menjerit, tetapi dalam sekejap, sosok itu menghilang, tenggelam dalam cahaya yang semakin intens. Arman merasa seluruh tubuhnya gemetar, tetapi cahaya itu memberi rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu, dengan mengorbankan segala ketakutannya, ia telah mengakhiri kutukan yang selama ini melanda kota ini.
Ketika cahaya itu mereda, Arman berdiri dengan napas terengah-engah. Di sekelilingnya, ruang itu kini tampak berbeda—lebih terang, lebih hidup. Pintu yang sebelumnya menghubungkan dua dunia kini tertutup rapat. Portal itu telah ditutup, dan kekuatan gelap yang selama ini mengancam Kota Tua telah pergi.
Arman melangkah mundur, perlahan meninggalkan ruang itu. Ia merasa seolah-olah beban yang sangat berat telah hilang. Kota ini, yang selama ini dipenuhi dengan misteri dan bayangan, kini tampak berbeda. Arman tahu bahwa ia telah menjadi bagian dari sejarah yang lebih besar, sejarah yang harus dipelajari dan dihormati.
Saat ia meninggalkan gedung tua itu, ia melihat langit yang mulai cerah, sinar matahari pertama yang menerobos awan. Kota Tua kini kembali hidup. Namun, bagi Arman, perjalanannya masih jauh dari selesai. Ia tahu, meskipun portal itu telah ditutup, bayangan-bayangan itu akan selalu ada—di dalam ingatan, di dalam sejarah, dan dalam jejak-jejak yang tertinggal.
Arman melangkah dengan penuh keyakinan, tahu bahwa ia telah menjadi bagian dari sebuah cerita yang lebih besar, yang akan terus dikenang, bukan hanya oleh Kota Tua, tetapi juga oleh dirinya sendiri.***
———————THE END—————–