• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
MELODI YANG TERUCAP

MELODI YANG TERUCAP

March 11, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
MELODI YANG TERUCAP

MELODI YANG TERUCAP

by SAME KADE
March 11, 2025
in Romansa
Reading Time: 19 mins read

Bab 1: Perjalanan Tanpa Tujuan

Elara menatap layar laptopnya dengan bosan, jari-jarinya berhenti bergerak di atas keyboard. Sudah berjam-jam dia duduk di meja, menatap kata-kata yang terus memburunya, namun ide-ide yang biasanya mengalir deras kali ini terasa seperti kering. Deadline artikel yang harus diserahkan sudah dekat, tapi kata-kata itu tetap tak muncul. Mungkin dia butuh istirahat, pikirnya. Satu jam berlalu, dan itu hanya membuatnya semakin lelah, baik fisik maupun mental.

“Apa yang aku lakukan di sini?” gumamnya pada diri sendiri, lebih kepada keputusasaan yang semakin menumpuk. “Apakah hidupku hanya akan berputar di sekitar pekerjaan ini saja?”

Elara selalu merasa terjebak dalam rutinitas yang seolah-olah tak ada ujungnya. Setiap pagi dia bangun, bekerja, makan siang sambil bekerja, lalu kembali bekerja sampai larut malam. Hidup yang monoton, yang kadang terasa seperti sebuah roda yang berputar tanpa arah. Kehilangan semangat hidup, itulah yang ia rasakan belakangan ini. Ketika melihat sekelilingnya, Elara merasa seperti ada jarak yang sangat besar antara dirinya dan dunia luar. Seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang dulu ia rasakan begitu kuat namun kini seperti kabut yang sulit diraba.

Sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa tegang, Elara membuka jendela kamarnya. Kota ini, dengan segala hiruk-pikuknya, selalu terasa begitu dekat namun sangat jauh pada saat yang bersamaan. Mobil-mobil yang lalu lalang, orang-orang yang berjalan terburu-buru dengan gadget di tangan mereka, suara klakson yang menembus udara—semua itu hanya membuat Elara merasa semakin terasing.

Tiba-tiba, tanpa pikir panjang, Elara berdiri dan menutup laptopnya dengan kasar. “Aku butuh udara segar,” katanya pada diri sendiri. Lalu, ia mengambil jaketnya dan berjalan keluar dari apartemennya, menuju dunia luar yang seolah mengundangnya untuk menghirup sesuatu yang baru.

—

*Langkah pertama menuju kebebasan*

Elara tidak memiliki tujuan yang jelas. Ini adalah keputusan spontan, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Biasanya, ia akan merencanakan segalanya dengan rapi, tetapi kali ini tidak. Langkah kakinya terasa ringan, meski pikiran di dalam kepalanya tetap berlarian tanpa arah. Ia berjalan tanpa tujuan pasti, hanya mengikuti jalanan yang terasa memanggilnya.

Jalanan kota yang sibuk itu seolah memberi ruang bagi Elara untuk merenung. Ia melihat orang-orang berlalu-lalang dengan kehidupan mereka sendiri, beberapa tampak terburu-buru, sementara yang lain tampak lebih santai, menikmati kebersamaan. Elara berpikir sejenak, mengapa dia merasa terperangkap dalam dunia yang terasa seperti mesin raksasa ini? Mengapa seolah-olah ia tak punya pilihan selain mengikuti aliran kehidupan tanpa pernah benar-benar mengeksplorasi apa yang sebenarnya diinginkan?

Saat melangkah lebih jauh, ia menemukan dirinya berada di sebuah taman kota yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Taman itu tidak besar, tetapi cukup tenang untuk mengalihkan perhatian dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Elara duduk di bangku dekat kolam kecil, menatap air yang tenang. Ia merasakan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, dan sejenak dia menutup matanya, mencoba untuk benar-benar merasakannya.

“Kadang-kadang, kita hanya perlu berhenti sejenak untuk merasakan dunia yang ada di sekitar kita,” pikir Elara, meski merasa sedikit bingung dengan dirinya sendiri. Ia belum tahu apakah ini akan cukup untuk membuatnya merasa lebih baik, tetapi saat itu, rasa tenang yang ia rasakan sedikit membantu menenangkan hatinya.

*Suara yang tak terduga*

Tiba-tiba, sebuah suara gitar terdengar di kejauhan. Suara itu tidak keras, tetapi cukup jelas untuk menarik perhatian Elara. Ia membuka mata dan melihat seorang pria duduk di dekat pohon besar di sisi taman, memainkan gitar akustik. Pria itu tampak terfokus pada musiknya, seolah dunia sekitar tidak ada artinya baginya. Elara merasa ada sesuatu yang memikat dalam cara pria itu bermain gitar, seperti ada cerita yang tersirat dalam setiap petikan senarnya.

Elara duduk lebih tenang, mencoba tidak mengganggu. Tetapi semakin lama, semakin kuat rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya. Ada sesuatu yang memancar dari pria itu, sesuatu yang sulit untuk didefinisikan. Mungkin itu hanya karena Elara merasa sangat asing dengan hal-hal yang alami, seperti musik dan ketenangan. Musik itu, yang terdengar begitu sederhana namun penuh perasaan, membuatnya teringat akan masa-masa kecilnya saat ia mendengarkan ayahnya bermain gitar di rumah. Itu adalah masa-masa yang penuh kedamaian, sebelum dunia mulai membawa Elara ke dalam kehidupan yang lebih serba cepat dan penuh tekanan.

Pria itu berhenti bermain, dan Elara merasa seolah-olah ada kekosongan yang tiba-tiba menyelimuti taman itu. Tidak lama kemudian, pria itu menoleh dan melihat Elara yang duduk tidak jauh darinya. Mereka saling memandang sejenak. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam tatapan pria itu—bukan tatapan biasa yang penuh kebosanan atau ketidakpedulian, melainkan tatapan yang penuh dengan keheningan dan rasa yang sulit diungkapkan.

“Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu,” kata Elara dengan suara pelan. “Aku hanya… tertarik dengan musikmu.”

Pria itu tersenyum kecil, lalu dengan tenang menjawab, “Tidak masalah. Musik memang untuk didengarkan, bukan hanya dimainkan.”

Elara merasa aneh mendengar kata-kata itu. Biasanya, orang-orang di kota besar seperti ini cenderung sibuk dan tidak peduli dengan orang asing. Tapi pria ini—adalah kebalikan dari itu. Ada ketenangan yang langka dalam dirinya.

“Nama saya Elara,” lanjutnya dengan ragu.

“Aku Adrian,” jawab pria itu dengan santai. “Kamu sering datang ke taman ini?”

Elara menggelengkan kepala. “Baru pertama kali. Saya… hanya ingin keluar sejenak dari rutinitas.”

Adrian mengangguk, lalu melanjutkan bermain gitar. Kali ini, musik yang dia mainkan terasa lebih melodius, seolah-olah ia sedang menceritakan sebuah kisah. Elara merasa terhanyut dalam nada-nada itu, yang membawa dirinya pada sebuah ketenangan yang telah lama hilang. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam diri Adrian yang membuatnya merasa nyaman, seperti menemukan titik pijak setelah lama terombang-ambing.

*Tiba-tiba merasa terhubung*

Elara duduk lebih lama di taman itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam alunan musik yang dibawakan Adrian. Suara gitar itu seolah menuntun pikirannya ke tempat yang lebih dalam, tempat di mana ia bisa melihat dan merasakan hal-hal yang telah lama ia lupakan. Seperti ada sebuah aliran energi yang menghubungkan mereka berdua tanpa harus ada kata-kata.

Saat senja mulai menyelimuti taman, Elara merasa ada kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Terkadang, dalam perjalanan tanpa tujuan ini, seseorang bisa menemukan sesuatu yang lebih dari apa yang mereka cari. Entah itu sebuah perasaan yang hilang, atau mungkin, seperti yang Elara rasakan, sebuah pengingat bahwa hidup ini lebih dari sekadar rutinitas.

Adrian berhenti memainkan gitarnya dan menatap Elara sekali lagi. “Terkadang, kita hanya perlu berhenti sejenak untuk benar-benar mendengarkan dunia di sekitar kita,” katanya, seolah-olah membaca pikiran Elara. “Seperti yang kamu lakukan sekarang.”

Elara tersenyum tipis. “Mungkin kamu benar.”

Di situlah Elara menemukan sedikit pencerahan—bahwa perjalanan tanpa tujuan bisa membawa kita pada tempat yang tak terduga, dan kadang-kadang, tanpa tujuan yang jelas, kita bisa menemukan kedamaian yang selama ini kita cari.

Dengan langkah yang lebih ringan, Elara beranjak dari bangku taman dan berjalan kembali ke arah rumahnya. Hatinya sedikit lebih tenang malam itu, dan meskipun masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, dia merasa seolah ada sesuatu yang baru mulai tumbuh dalam dirinya.

Itulah pengembangan Bab 1 dari novel ini, yang memperkenalkan karakter Elara dan bagaimana sebuah perjalanan tanpa tujuan membawanya pada sebuah pengalaman yang membuka hatinya.**

Bab 2: Melodi yang Menyentuh

Setiap pagi, Elara mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ketika matahari mulai terbit dan sinarnya menyelinap melalui tirai jendelanya, hatinya tidak lagi merasa seberat dulu. Sebuah rasa ingin tahu baru membakar semangatnya, dan itu berawal dari pertemuannya dengan Adrian. Setiap hari, meskipun kesibukannya kembali menyeretnya ke dalam dunia kerja, ia menemukan dirinya tanpa sadar kembali memikirkan suara gitar yang pernah ia dengar di taman kota itu.

Tiga hari telah berlalu sejak pertama kali ia bertemu dengan Adrian, dan meskipun tidak ada janji atau perjanjian yang jelas, entah mengapa Elara merasa seolah-olah ada sebuah koneksi yang tak terucapkan antara mereka. Setiap kali suara gitar itu terngiang di benaknya, dia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang ingin merasakannya lagi—seperti sebuah lagu lama yang ingin didengarkan berulang kali.

Elara memutuskan untuk kembali ke taman tempat Adrian biasa bermain. Ini adalah keputusan yang spontan, tanpa rencana atau niat untuk bertemu dengan Adrian. Ia hanya merasa, entah mengapa, dia perlu berada di sana. Seperti ada dorongan dalam dirinya yang tidak bisa ia jelaskan.

Saat ia tiba di taman, langit masih cerah, namun udara terasa lebih sejuk. Seiring langkahnya yang beranjak memasuki taman, ia melihat sosok yang sudah dikenalnya—Adrian. Kali ini, dia sedang duduk di dekat kolam kecil dengan gitar di tangan, seolah sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin, dia sedang menunggu seseorang.

Namun, kali ini, Elara merasa ragu. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan. Selama ini, mereka hanya berbicara tentang hal-hal ringan, tentang kehidupan mereka, tapi tidak lebih dari itu. Dan sekarang, seolah ada yang berbeda, ada ketegangan halus yang membalut udara di sekitar mereka.

Adrian menoleh ke arahnya saat mendengar langkah Elara, dan sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. “Kembali lagi, ya?” katanya dengan nada yang santai, seolah tidak ada yang aneh. Senyumnya, yang selalu terasa begitu tulus, seolah menghapus semua keraguan yang ada dalam diri Elara.

Elara mengangguk, sedikit canggung. “Iya… sepertinya aku merasa nyaman di sini. Dengan… musikmu.”

Adrian tersenyum lebih lebar, lalu berkata, “Aku senang kamu menyukainya.” Ia menyetel gitar sejenak sebelum memulai permainan lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut dan menenangkan. Seolah ia ingin mengajak Elara dalam perjalanan emosional yang hanya bisa dipahami lewat melodi.

Tanpa berbicara lebih banyak, Elara duduk di bangku taman yang sama seperti sebelumnya. Angin sore yang berhembus membawa ketenangan, namun ada perasaan yang berbeda kali ini. Ada perasaan bahwa sesuatu tengah berkembang antara mereka—sesuatu yang belum bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya musik yang bisa berbicara. Hanya melodi yang bisa menggambarkan perasaan yang semakin hari semakin kuat.

Saat Adrian memainkan gitar, Elara mulai merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri. Musik itu mengingatkannya pada banyak hal—pada masa kecilnya, pada kenangan yang telah lama ia lupakan, dan pada kebahagiaan yang ia rasakan sebelum hidupnya disibukkan oleh dunia kerja yang penuh tekanan. Melodi itu menyentuh bagian dalam hatinya yang selama ini terabaikan.

Ada sebuah lagu yang dimainkan Adrian kali ini, sebuah melodi yang terdengar lebih dalam dan lebih penuh emosi daripada yang sebelumnya. Seiring irama gitar yang mengalun lembut, Elara bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar suara—ada sebuah cerita yang disampaikan melalui setiap petikan senar. Tanpa sadar, matanya mulai terpejam, dan ia membiarkan dirinya tenggelam dalam alunan musik itu, seolah musik itu membawanya kembali ke tempat yang lebih tenang dan lebih damai.

“Adrian,” akhirnya Elara berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh suara musik. “Melodi itu… mengingatkanku pada sesuatu yang sudah lama hilang.”

Adrian berhenti sejenak, memandangnya dengan tatapan yang penuh pengertian. “Apa yang hilang?”

Elara menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ketenangan. Kebahagiaan yang datang tanpa harus dikejar. Dulu, aku selalu merasa seperti itu—bahagia hanya dengan mendengarkan musik atau merasakan angin sore. Tapi sekarang, hidupku hanya penuh dengan pekerjaan dan tekanan. Kadang-kadang, aku lupa untuk merasakannya.”

Adrian diam sejenak, lalu mulai memainkan gitar lagi, kali ini lebih lembut, seolah memberi ruang bagi kata-kata Elara untuk mengalir. Suara gitar itu tidak hanya menyentuh telinga Elara, tetapi juga jiwa dan perasaannya yang terluka. Adrian tidak perlu mengatakan apapun. Melalui musiknya, ia seolah berkata, Aku mengerti.

“Mungkin itu sebabnya aku suka bermain musik di sini,” kata Adrian, akhirnya memecah keheningan. “Kadang-kadang, kita butuh sesuatu yang lebih sederhana untuk mengingatkan kita akan apa yang penting. Musik itu bukan hanya suara. Itu adalah cara kita berkomunikasi dengan dunia, dengan diri kita sendiri.”

Elara mengangguk pelan. Ia merasa kata-kata Adrian sangat dalam, dan meskipun ia tidak sepenuhnya memahami segala yang ada dalam dirinya, ia merasa ada sebuah ketenangan yang mengalir dalam dirinya setelah berbicara dengannya.

Seiring waktu berlalu, Elara mulai sering kembali ke taman itu. Setiap kali, Adrian selalu ada di sana, memainkan gitarnya dengan cara yang seolah mengerti apa yang Elara butuhkan tanpa perlu berbicara. Setiap melodi yang ia mainkan bagaikan sebuah cerita yang mengalir tanpa henti, dan Elara merasa dirinya terhubung dengan cerita itu. Cerita tentang kebahagiaan, kesedihan, dan segala sesuatu yang berada di antara keduanya.

Hari demi hari, mereka mulai berbicara lebih banyak. Terkadang, mereka hanya duduk diam, menikmati kehadiran masing-masing tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun. Tapi, sering kali, mereka berbagi kisah hidup. Elara menceritakan tentang rutinitas kerjanya yang membuatnya merasa terjebak, sementara Adrian bercerita tentang perjalanan hidupnya sebagai musisi jalanan—tentang bagaimana ia menemukan kebebasan dalam melodi dan bagaimana musik membawanya ke berbagai tempat, namun juga membuatnya merasa kesepian pada saat yang bersamaan.

Namun, meskipun mereka berbagi cerita dan waktu bersama, ada satu hal yang tetap tidak terucapkan—perasaan yang mulai tumbuh di dalam hati Elara. Ia mulai merasakan bahwa ada lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka. Ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi terasa begitu nyata dalam setiap getaran hati yang dihasilkan oleh musik Adrian.

Suatu sore, setelah mendengarkan melodi yang sangat menyentuh, Elara akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Ia menatap Adrian dengan tatapan serius, namun lembut.

“Adrian,” katanya pelan, suaranya hampir tersembunyi di balik melodi yang masih mengalun. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan. Tentang musikmu… tentang kita.”

Adrian berhenti bermain, menatap Elara dengan mata yang penuh perhatian. Elara bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, namun ia tahu bahwa ini adalah momen yang tepat untuk mengatakan apa yang selama ini ia simpan dalam hati.

“Aku merasa… terhubung denganmu,” lanjut Elara, matanya berbinar. “Lebih dari sekadar teman. Musikmu telah mengubah cara aku melihat hidup. Aku merasa seperti ada sesuatu yang tumbuh di sini—sesuatu yang lebih dari persahabatan.”

Adrian terdiam sejenak, seperti sedang mencerna kata-kata Elara. Namun, kemudian ia tersenyum, sebuah senyuman yang tulus dan penuh makna. “Aku merasakannya juga,” katanya pelan. “Kadang, melodi adalah cara kita menemukan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.”

Dan di saat itu, di bawah langit senja yang mulai merona, Elara merasa bahwa perjalanan tanpa tujuan yang ia mulai beberapa hari yang lalu telah membawa dirinya ke tempat yang lebih indah dari yang pernah ia bayangkan.**

Bab 3: Rangkaian Kenangan

Elara berjalan menyusuri jalanan kota yang sibuk, langkahnya cepat namun pikirannya mengembara jauh, melayang ke tempat yang penuh kenangan. Tiga minggu telah berlalu sejak pertemuannya yang tak terduga dengan Adrian, dan setiap hari, rasanya semakin sulit untuk menepis perasaan yang tumbuh dalam dirinya. Mereka telah menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang segalanya—dari musik hingga impian hidup mereka. Adrian, dengan gitarnya yang selalu setia menemani, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Namun, meskipun kedekatan mereka semakin dalam, ada sesuatu yang tak bisa dihindari.

Adrian baru saja mengungkapkan rencananya untuk meninggalkan kota ini dan mengejar mimpinya sebagai musisi yang lebih dikenal. Ia telah mendapat tawaran untuk tampil di luar negeri, sebuah kesempatan yang tidak bisa ia tolak. Itu adalah kesempatan besar, dan meskipun Elara mendukungnya sepenuh hati, ada rasa cemas yang menyelimutinya. Perasaan yang tumbuh di antara mereka begitu nyata, namun perpisahan itu seperti bayangan gelap yang mulai mengancam kedamaian yang telah mereka bangun.

Elara merasa bingung. Ia tahu betul bahwa ini adalah kesempatan yang penting bagi Adrian, dan ia tidak ingin menjadi penghalang dalam perjalanan hidupnya. Tetapi, di sisi lain, perasaannya semakin dalam. Setiap kali mereka bertemu, ada getaran yang tak bisa disangkal. Ketika Adrian memainkan gitar dan menceritakan kisah hidupnya, Elara merasa seperti menemukan dirinya kembali—seperti menemukan bagian dari dirinya yang sudah lama hilang.

Namun, perasaan itu tidak bisa disangkal, dan rasa takut akan perpisahan semakin menghantui pikirannya. Ia mulai merasa bahwa, meskipun mereka saling menyukai, mereka datang dari dua dunia yang sangat berbeda. Adrian adalah seorang musisi yang bebas, seorang petualang yang tidak terikat pada satu tempat, sementara Elara merasa terikat oleh rutinitas kehidupannya yang kaku. Ia bekerja sebagai penulis freelance, hidupnya dipenuhi oleh jadwal yang ketat dan deadline yang tak terelakkan. Dunia mereka tampak seperti dua kutub yang saling menarik, dan Elara tidak tahu apakah perasaan mereka bisa bertahan dengan jarak yang semakin jauh.

*Malam itu di taman*

Hari yang panas itu berakhir dengan senja yang memukau. Elara duduk di bangku taman, menunggu Adrian datang seperti biasa. Setiap pertemuan mereka terasa semakin istimewa, meskipun tidak ada kata-kata yang diucapkan secara eksplisit mengenai hubungan mereka. Hanya melodi yang berbicara, dan setiap petikan gitar Adrian membawa mereka lebih dekat ke perasaan yang lebih dalam.

Adrian datang tepat waktu, membawa gitarnya dan duduk di samping Elara tanpa mengatakan apapun. Mereka saling tersenyum, namun ada sesuatu yang berbeda dalam senyum Adrian kali ini—sesuatu yang menunjukkan bahwa ia sedang bergulat dengan perasaan yang sama seperti yang dirasakan Elara.

“Ceritakan padaku lagi tentang impianmu, Adrian,” Elara berkata, memecah keheningan yang perlahan mengisi taman.

Adrian menatapnya, lalu mulai bercerita. “Aku ingin bisa membuat orang merasakan apa yang aku rasakan ketika bermain gitar. Musik itu adalah cara aku berbicara, cara aku terhubung dengan dunia. Aku ingin orang-orang tahu bahwa musik itu lebih dari sekadar hiburan—musik itu bisa mengubah hidup seseorang. Dan mungkin, aku bisa menemukan tempat di dunia yang membutuhkannya.”

Elara mendengarkan dengan seksama, merasakan semangat yang ada dalam suara Adrian. Tapi hatinya juga terasa tercekik. “Itu impian yang luar biasa, Adrian,” katanya pelan. “Aku percaya kamu bisa mencapainya.”

Tapi saat kata-kata itu keluar, Elara merasakan kekosongan yang tiba-tiba. Ia tahu bahwa meskipun ia mendukung impian Adrian, ada sesuatu yang tidak bisa ia lupakan. Mungkin itu adalah kenyataan bahwa perpisahan semakin dekat. Adrian akan pergi, dan dia tidak bisa menghalangi impiannya.

Adrian diam sejenak, lalu meletakkan gitar di pangkuannya. “Aku akan pergi minggu depan,” katanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana, Elara.”

Elara menatap Adrian, perasaan campur aduk menghujam dadanya. “Aku tahu,” jawabnya, suaranya bergetar. “Aku tahu ini adalah kesempatan yang tidak bisa kamu tolak. Tapi aku juga tidak bisa menipu diriku sendiri, Adrian. Aku merasa… takut.”

Adrian menunduk, merasakan kesedihan yang sama. “Aku juga takut. Tapi aku percaya bahwa ini adalah jalanku. Aku tidak ingin melukai kamu. Aku hanya ingin mengikuti impianku.”

Elara menundukkan kepala, mencoba menghalau air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku tidak ingin kamu merasa terjebak, Adrian. Aku ingin kamu mengikuti impianmu. Aku tahu kamu harus pergi.”

*Mengenang masa lalu*

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Elara tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata yang telah mereka ucapkan. Rasa takut akan perpisahan semakin menguasainya. Setiap kali ia menatap gitar yang tergeletak di sudut kamar, ia teringat pada Adrian—melodi yang dibawakannya, senyum tulusnya, dan cara dia bisa membuat dunia ini terasa lebih hidup hanya dengan musik.

Di satu sisi, Elara tahu bahwa mereka berdua adalah orang yang berbeda. Adrian adalah jiwa yang bebas, seorang musisi yang selalu mencari kebebasan dalam setiap langkahnya. Sementara Elara, meskipun merasa terhubung dengan Adrian, juga terikat pada tanggung jawabnya. Ia tidak bisa dengan mudah meninggalkan kota ini atau menjalani kehidupan yang lebih spontan. Hidupnya sudah terlalu terstruktur, dan ia merasa seperti ada sesuatu yang membatasi kebebasannya.

Namun, di sisi lain, ia juga merasa bahwa hubungan mereka adalah sesuatu yang sangat berharga. Meskipun hanya sebentar, waktu yang mereka habiskan bersama sudah cukup untuk mengubah hidupnya. Adrian mengajarkannya bagaimana merasakan kembali hal-hal yang sederhana—seperti menikmati keheningan, mendengarkan musik, dan merasakan kebahagiaan dalam momen-momen kecil. Elara mulai memahami bahwa, terkadang, hidup bukan tentang mengejar hal-hal besar, tetapi tentang menikmati perjalanan itu sendiri.

*Pertemuan terakhir sebelum perpisahan*

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang—hari di mana Adrian akan meninggalkan kota dan mengikuti impian yang sudah lama ia perjuangkan. Elara merasa hatinya berat, namun ia tahu ini adalah keputusan yang benar untuk Adrian. Mereka bertemu di taman, tempat yang selalu menjadi saksi perjalanan mereka bersama.

Adrian membawa gitar kesayangannya, yang sudah menjadi bagian dari dirinya. Mereka duduk bersama di bangku taman, saling terdiam, seolah kata-kata tidak cukup untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hati mereka.

“Terima kasih, Elara,” kata Adrian akhirnya, suaranya pelan namun penuh makna. “Kamu telah membuat hidupku lebih berarti. Aku akan merindukanmu.”

Air mata mulai menggenang di mata Elara, tetapi ia berusaha menahan perasaan itu. “Aku juga akan merindukanmu, Adrian. Tapi aku tahu kamu harus pergi. Jangan lupakan impianmu.”

Adrian tersenyum, mengusap rambut Elara dengan lembut. “Aku tidak akan pernah melupakanmu, Elara. Kita mungkin akan berpisah, tapi kenangan ini akan selalu ada. Musik kita, kenangan kita—itu akan tetap ada di hati.”

Elara mengangguk, merasakan berat yang luar biasa. “Aku akan selalu mendukungmu, Adrian. Selalu.”

Dengan satu petikan gitar yang terakhir, Adrian mengakhiri permainan itu. Melodi itu mengisi ruang di sekitar mereka, sebuah melodi yang mengingatkan mereka pada semua yang telah terjadi. Dan meskipun mereka harus berpisah, melodi itu akan tetap mengalun dalam hati mereka berdua—sebuah rangkaian kenangan yang tak akan terlupakan.***

Bab 4: Keberanian yang Tertunda

Minggu demi minggu berlalu sejak Adrian meninggalkan kota. Elara merasakan hidupnya kembali terjepit oleh rutinitas yang monoton. Hari-hari yang dulunya terasa penuh dengan harapan kini menjadi kosong dan datar, seolah semua yang pernah ada—semua yang pernah mereka bangun—telah hilang bersama langkah Adrian yang semakin jauh. Setiap kali ia melangkah di jalan yang biasa mereka lalui bersama, atau mendengar lagu yang pernah dimainkan Adrian di gitar, Elara merasakan kepingan kenangan itu kembali menggerogoti hatinya. Namun, di balik semua itu, ada sebuah keheningan yang tak terucapkan—sebuah pertanyaan yang terus mengganggu pikirannya. Mengapa ia tidak pernah cukup berani untuk mengungkapkan perasaannya sebelum Adrian pergi?

Sejak awal pertemuan mereka, Elara sudah tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara mereka. Namun, perasaan itu selalu tertahan, selalu terjaga di dalam lubuk hati yang terdalam. Mungkin itu karena ketakutannya—ketakutan akan kehilangan, ketakutan akan perubahan, ketakutan akan apa yang mungkin terjadi jika ia membuka dirinya sepenuhnya. Ia selalu menunggu waktu yang tepat, seolah-olah waktu yang tepat itu akan datang dengan sendirinya. Tapi sekarang, waktu telah berlalu, dan Adrian telah pergi, meninggalkan Elara dengan satu perasaan yang tak bisa diabaikan: penyesalan.

*Kembali ke Rumah*

Pagi itu, Elara merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berhenti. Rutinitas yang sama, pekerjaan yang sama, dan kehidupan yang tampak tidak berubah. Pekerjaan sebagai penulis freelance yang dulunya memberikan kebebasan dan kepuasan kini terasa seperti beban. Tulisannya tidak lagi mengalir seperti dulu, ide-ide kreatif yang pernah membuatnya bersemangat kini seakan tertutup oleh kabut kebingungan.

Ia duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang kosong, merasa tidak ada lagi semangat untuk menulis. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya, mengalihkan perhatiannya dari rasa hampa yang menyelimutinya. Itu adalah pesan dari teman lamanya, Nina, yang kini tinggal di luar kota. Pesan itu singkat, namun cukup untuk menarik perhatian Elara: “Ada acara musik di kota minggu ini. Kenapa tidak datang saja? Mungkin itu bisa membantumu sedikit merasa hidup lagi.”

Elara memandangi pesan itu sejenak. Sesuatu dalam dirinya terasa tergerak. Ia tidak tahu apa yang akan ia temui di sana, tetapi ide untuk pergi ke acara musik itu seolah menjadi pengingat bahwa hidup ini tidak selalu harus terjebak dalam rutinitas. Ada hal-hal yang lebih besar dari pekerjaan, ada kebebasan yang terkadang hanya bisa ditemukan di tempat-tempat yang tidak terduga.

Tiba-tiba, pikirannya melayang ke Adrian. Bagaimana kabarnya? Apa ia sudah mulai tampil di tempat-tempat besar seperti yang ia impikan? Atau mungkin ia sedang merindukan kota ini—merindukan Elara. Namun, Elara tidak tahu apakah ia akan cukup kuat untuk bertemu dengan Adrian lagi. Ia merasa takut, takut bahwa pertemuan itu akan membawa rasa sakit lebih dalam. Tetapi, di sisi lain, ia juga merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk mencari tahu keberanian yang selama ini tertunda.

*Acara Musik*

Malam itu, Elara tiba di acara musik yang diadakan di sebuah kafe kecil yang selalu penuh dengan pengunjung yang mencintai musik. Udara di luar dingin, tetapi suasana di dalam kafe hangat dan penuh energi. Lampu-lampu temaram yang menggantung menciptakan suasana intim, dan suara alat musik yang dimainkan di panggung kecil menambah kesan mendalam pada malam itu. Elara merasakan sesuatu yang asing di dalam hatinya—sebuah sensasi yang mungkin sudah lama hilang.

Di tengah keramaian, matanya tertuju pada panggung. Seorang pria sedang duduk di sana, memainkan gitar dengan penuh perasaan, dan suara gitar itu memecah keheningan malam. Elara memicingkan mata, mencoba memastikan siapa yang sedang bermain. Suara itu begitu familiar, dan ketika pria itu menoleh sejenak ke arah kerumunan, Elara tak bisa menahan keterkejutannya.

Itu adalah Adrian.

Jantung Elara berdegup kencang. Ia tidak bisa percaya apa yang baru saja dilihatnya. Adrian ada di sana, di depan matanya, bermain gitar dengan penuh emosi, seolah ia sedang menceritakan cerita hidupnya lewat setiap petikan senar. Melodi yang keluar dari gitar itu mengingatkannya pada semua kenangan mereka bersama, pada setiap momen yang pernah mereka bagi di taman, dan pada semua yang tak sempat ia katakan.

Adrian berhenti sejenak, matanya bertemu dengan mata Elara yang terperangkap di kerumunan. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun ada kesan yang lebih dalam di balik senyuman itu—seolah ia tahu apa yang Elara rasakan. Sesaat, semuanya terdiam. Waktu seolah berhenti, hanya ada mereka berdua di antara keramaian yang melingkupi.

Adrian kemudian melanjutkan permainannya, namun kali ini, Elara merasa seolah ada sesuatu yang mendalam menghubungkan mereka. Musik itu bukan hanya suara yang mengisi ruang, tetapi juga perasaan yang mengalir tanpa kata. Setelah selesai, Adrian menyapa beberapa orang di sekitar panggung, namun matanya kembali tertuju pada Elara yang masih terdiam di tempatnya.

Ia merasakan dorongan untuk mendekat, tetapi takut. Ketakutan itu kembali datang—ketakutan untuk membuka perasaan yang selama ini terkunci. Namun, di dalam hati Elara, ada satu pertanyaan yang terus berulang: Apakah masih ada kesempatan untuk mengatakan apa yang selama ini tertunda?

*Keberanian yang Tertunda*

Setelah beberapa saat, Elara memutuskan untuk mendekat. Ia tidak bisa terus bersembunyi dari perasaannya. Ia harus berbicara, harus mengungkapkan semuanya, apapun yang akan terjadi. Dengan langkah yang ragu namun penuh tekad, ia berjalan menuju panggung dan berdiri di depan Adrian, yang kini sedang duduk santai di kursi belakang, berbincang dengan beberapa pengunjung.

Adrian melihat Elara mendekat dan matanya berbinar. “Elara,” katanya dengan suara lembut. “Aku tidak menyangka kamu akan datang.”

“Aku… aku tidak tahu kenapa aku datang,” Elara menjawab, sedikit canggung. “Mungkin aku hanya merasa seperti aku harus melihatmu lagi. Setelah sekian lama.”

Adrian tersenyum, meletakkan gitar di sampingnya. “Aku juga tidak menyangka bisa melihatmu di sini. Tapi, aku senang kamu datang. Ada yang ingin kamu bicarakan?”

Elara menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberaniannya. “Adrian, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi ada satu hal yang perlu kamu tahu—aku menyesal. Menyesal karena aku tidak mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan sebelum kamu pergi. Aku takut… takut kehilangan, takut jika kita tidak bisa bersama, takut jika aku membuka hatiku.”

Adrian menatapnya dalam-dalam, seolah memahami setiap kata yang keluar dari mulut Elara. “Elara,” katanya dengan suara pelan, namun penuh makna. “Kita tidak bisa menahan waktu, dan kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku menghargai keberanianmu sekarang. Aku selalu tahu ada sesuatu di antara kita, dan aku tidak pernah melupakanmu.”

Elara menunduk, air mata mulai menggenang. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mendukungmu, Adrian. Apapun yang terjadi, aku ingin kamu bahagia.”

Adrian menggenggam tangan Elara, lembut. “Aku juga ingin kamu bahagia. Dan mungkin, kita memang harus berpisah sekarang, tetapi kenangan kita—itu akan selalu ada. Aku akan selalu ingat kamu, Elara. Selalu.”

Untuk pertama kalinya, Elara merasa ada kedamaian dalam dirinya. Keberanian yang tertunda itu akhirnya terungkap, dan meskipun jalan mereka harus terpisah, perasaan itu tidak akan pernah hilang. Mereka mungkin berbeda, tetapi kenangan yang mereka bagikan akan tetap ada, mengalun dalam setiap melodi yang mereka ciptakan bersama.***

Bab 5: Melodi Baru

Pagi itu, Elara terbangun dengan perasaan yang berbeda. Meskipun matahari belum sepenuhnya terbit, ada kehangatan yang aneh menyelimuti hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah pertemuan dengan Adrian di acara musik beberapa hari yang lalu, hidupnya seperti mendapat perspektif baru. Tidak ada lagi rasa penyesalan yang membebani setiap langkahnya. Ia merasa, entah bagaimana, hidupnya telah kembali pada jalurnya—meskipun dengan cara yang berbeda dari yang ia bayangkan.

Setelah lama terjebak dalam rutinitas yang menjemukan, Elara mulai merasakan semangat untuk menulis kembali. Ide-ide yang selama ini terkunci di dalam pikirannya mulai mengalir dengan lancar. Kata-kata yang semula terasa berat kini datang dengan begitu mudah. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal. Sebuah pertanyaan yang berulang kali muncul dalam benaknya: Bagaimana rasanya jika ia memulai sesuatu yang baru—sesuatu yang benar-benar untuk dirinya sendiri?

*Mencari Jati Diri*

Beberapa hari setelah acara musik itu, Elara mulai melakukan sesuatu yang belum pernah ia coba sebelumnya. Ia mendaftar untuk kursus menulis lagu online, sesuatu yang selalu ia pikirkan tapi tidak pernah benar-benar dicoba. Ia merasa bahwa menulis lagu bisa menjadi cara baru untuk mengekspresikan dirinya—sebuah cara untuk menemukan kembali suaranya setelah sekian lama terhenti.

Setiap sesi kursus, ia merasa semakin terhubung dengan dunia musik. Lagu-lagu yang ia tulis mungkin sederhana, tetapi ada semangat yang mengalir melalui kata-kata itu. Mungkin itu bukan lagu cinta yang biasa, tapi lebih seperti puisi yang mencari tempat untuk tumbuh. Menulis lagu memberi Elara kebebasan yang selama ini ia cari. Ia tidak perlu terikat pada aturan atau harapan dari orang lain—ini adalah karya untuk dirinya sendiri.

Namun, meskipun Elara mulai merasa lebih hidup dengan menulis lagu, ada satu hal yang selalu membayangi pikirannya: Adrian. Bagaimana jika suatu hari mereka bertemu lagi, dan ia telah menjadi seseorang yang berbeda? Bagaimana jika perasaan itu kembali muncul, dan ia harus menghadapi kenyataan bahwa mereka sudah terlalu jauh berjalan di jalan masing-masing?

Elara tidak tahu jawaban untuk semua itu. Tapi satu hal yang pasti—ia harus terus maju. Ia tidak bisa membiarkan bayang-bayang masa lalu menghalangi langkahnya. Ia harus menemukan jalan baru, dan mungkin itu adalah melodi baru yang selama ini ia cari.

*Surprise Kecil dari Adrian*

Suatu sore, ketika Elara sedang duduk di balkon apartemennya, menulis lirik lagu dengan secangkir teh di tangannya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ia tidak menyangka bahwa itu adalah pesan dari Adrian.

“Hai Elara, aku baru saja kembali ke kota untuk beberapa hari. Aku ingin melihatmu lagi. Aku tahu mungkin kita berdua sibuk, tapi apakah ada waktu untuk bertemu?”

Mata Elara membelalak membaca pesan itu. Adrian kembali ke kota? Setelah beberapa minggu tanpa kabar, Elara merasa cemas dan sekaligus senang. Ada kerinduan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya, namun ia juga tahu bahwa ini bukan hanya tentang mereka berdua. Ini adalah kesempatan untuk menghadapi perasaan yang belum sepenuhnya ia pahami.

Tanpa berpikir panjang, Elara membalas pesan itu.

“Tentu, aku ingin sekali bertemu. Bagaimana kalau besok sore?”

Beberapa saat kemudian, Adrian membalas dengan cepat. “Sempurna! Aku akan menjemputmu di kafe kita besok.”

Elara tersenyum. Kafe yang mereka sebut sebagai “kafe kita” itu adalah tempat yang penuh kenangan. Di sana, mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbincang tentang hidup, tentang mimpi-mimpi mereka. Dan kini, kafe itu akan menjadi saksi pertemuan mereka yang kedua, di tengah perjalanan mereka yang masing-masing sudah berkembang.

*Pertemuan yang Menyentuh*

Keesokan harinya, Elara pergi ke kafe lebih awal. Ia ingin menyiapkan dirinya—menyusun pikiran dan perasaan yang begitu campur aduk. Ketika Adrian datang, ia membawa gitarnya, seperti biasa. Senyumnya masih sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda di matanya—sesuatu yang lebih tenang, lebih damai.

Adrian duduk di hadapan Elara, menatapnya dengan senyum hangat. “Aku senang bisa bertemu lagi, Elara,” katanya dengan suara lembut, seolah-olah ada kata-kata yang tak bisa ia ucapkan.

“Aku juga,” jawab Elara, merasakan getaran yang sama. “Sudah lama, ya?”

“Ya,” ujar Adrian, memandang ke luar jendela. “Tapi aku merasa, seperti baru kemarin kita bertemu. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak.”

Elara tertawa kecil, namun hatinya terasa berat. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, tetapi ia tidak tahu harus memulai dari mana.

“Aku… aku ingin memberitahumu sesuatu, Elara,” kata Adrian tiba-tiba, menatapnya dengan serius.

“Apa itu?” tanya Elara, sedikit terkejut.

Adrian menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku memutuskan untuk kembali ke kota ini. Mungkin tidak selamanya, tapi aku merasa aku harus mencari sesuatu di sini. Aku ingin kembali ke akar. Dan… aku ingin melihatmu lagi, mendengar ceritamu.”

Elara menatapnya, merasa seolah ada sesuatu yang lebih dalam dalam kata-kata Adrian. Mungkin ini adalah langkah baru untuk mereka berdua—sebuah kesempatan untuk memulai kembali.

“Aku juga memutuskan untuk mengejar sesuatu, Adrian,” kata Elara, dengan suara yang lebih mantap. “Aku memulai menulis lagu. Aku ingin menemukan suaraku sendiri. Aku tidak ingin terjebak lagi dalam rutinitas yang sama.”

Adrian tersenyum lebar. “Aku senang mendengarnya. Sepertinya kita berdua sedang mencari hal yang sama—mencari diri kita sendiri.”

Elara mengangguk, merasakan kedamaian dalam hatinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—ia sedang berjalan menuju sesuatu yang baru. Keberanian yang ia temui dalam dirinya untuk mengejar impian, meskipun kecil, adalah sesuatu yang tidak pernah ia sesali.

*Melodi Baru*

Setelah beberapa lama berbicara dan menikmati pertemuan mereka, Adrian akhirnya mengambil gitar dari tasnya dan memainkannya di hadapan Elara. Melodi yang mengalun lembut mengisi ruang kafe, membawa perasaan yang tenang dan damai. Adrian memandang Elara, seolah ingin mengatakan sesuatu lebih jauh.

“Elara, aku menulis sebuah lagu,” kata Adrian, “untukmu, untuk kita. Ini tentang perjalanan yang telah kita lewati, dan tentang melodi yang akhirnya kita temukan.”

Elara menatapnya dengan penuh perhatian, merasakan jantungnya berdebar. Adrian mulai memainkan gitar, dan lagu itu mengalun dengan begitu indah. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak hanya mengungkapkan perasaan yang ia rasakan, tetapi juga menggambarkan perjalanan mereka bersama—rangkaian kenangan, perpisahan, dan keberanian untuk terus maju.

Lagu itu begitu menyentuh, membuat Elara terdiam dalam keharuan. Ia merasa bahwa ini adalah titik balik dalam hidupnya—melodi yang baru, bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi tentang perjalanan hidup yang baru, tentang keberanian untuk mengejar impian, meskipun dunia terasa begitu besar dan menakutkan.

“Lagu ini untuk kita, Elara,” kata Adrian setelah selesai bermain. “Untuk melodi yang baru, untuk langkah yang baru. Untuk semua yang belum kita temukan.”

Elara tersenyum, matanya penuh dengan air mata kebahagiaan. “Aku akan selalu ingat ini, Adrian. Kita berdua akan selalu punya melodi ini, yang akan terus mengalun, mengingatkan kita tentang perjalanan kita.”

Adrian mengangguk, merasakan hal yang sama. Mungkin perjalanan mereka bersama telah berakhir, tetapi melodi baru yang mereka temukan bersama ini akan terus hidup dalam hati mereka, tak terpisahkan.***

——————-THE END—————

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #Romansa #PerjalananHidup #Keberanian #Kenangan #Musik
Previous Post

DI ANTARA DUA DUNIA

Next Post

JEAK BAYANGAN KOTA TUA

Next Post
JEAK BAYANGAN KOTA TUA

JEAK BAYANGAN KOTA TUA

MATAHARI TERTUNDA

MATAHARI TERTUNDA

POHON LONTAR KUTUKAN TAK TERLEPASKAN

POHON LONTAR KUTUKAN TAK TERLEPASKAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In