• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
MELODI DI UJUNG SENJA

MELODI DI UJUNG SENJA

March 10, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
MELODI DI UJUNG SENJA

MELODI DI UJUNG SENJA

by SAME KADE
March 10, 2025
in Romansa
Reading Time: 17 mins read

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

Aria duduk di meja kerja kecilnya di sudut kamar apartemen yang sederhana, memandang layar komputer yang memancarkan cahaya redup di tengah malam. Secangkir kopi panas yang hampir dingin masih tergeletak di sampingnya. Tangan kanannya mengetik pelan di atas keyboard, mencoba menyelesaikan artikel yang harus dikirimkan esok hari. Terkadang, kata-kata terasa sulit ditemukan, terutama saat ia merasa kehabisan inspirasi. Namun, sebagai seorang penulis freelance, ia tahu bahwa pekerjaan ini harus selesai, apapun caranya.

Pemandangan kota kecil di luar jendela, yang tampak hening di bawah cahaya bulan, terasa begitu kontras dengan kegelisahan yang melanda hatinya. Ia baru saja menginjakkan kaki di kota ini beberapa bulan lalu, setelah menerima tawaran pekerjaan dari sebuah majalah digital yang terbit di luar kota. Walau awalnya terasa menyenangkan, Aria mulai merasa kesepian. Kota ini kecil, dan meskipun dikelilingi oleh banyak orang, ia merasa jauh dari siapa pun. Tidak ada teman dekat, tidak ada keluarga, hanya dirinya dan sekelompok orang asing.

Di tengah keheningan malam itu, sebuah ketukan di pintu membuat Aria terkejut. Ia menoleh dengan cepat, berpikir mungkin itu adalah kurir yang membawa paket atau seseorang yang salah alamat. Ia bangkit dari kursinya, berjalan mendekati pintu, dan membuka sedikit dengan hati-hati.

Di depan pintu, berdiri seorang pria dengan tampilan yang tak asing. Pakaiannya kasual, namun ada kesan misterius yang terlukis di wajahnya. Pria itu menatapnya dengan pandangan tajam, namun tidak mengungkapkan ekspresi apapun.

“Permisi,” kata pria itu dengan suara rendah, “Apakah ini apartemen Aria?”

Aria terkejut, tetapi segera mengangguk. “Ya, saya Aria. Ada yang bisa saya bantu?”

Pria itu tidak langsung menjawab, malah tampak ragu-ragu sejenak. “Saya… Reza,” katanya dengan sedikit canggung. “Saya baru pindah ke sebelah sini beberapa hari yang lalu. Sepertinya saya punya paket yang salah alamat, dan saya mendengar Anda mungkin bisa membantu mengantarkannya ke pemilik yang sebenarnya?”

Aria memandang pria itu, mencoba mengingatnya. Namun, ia tidak ingat pernah bertemu dengan Reza sebelumnya. Mungkin hanya kebetulan bahwa mereka berdua tinggal di blok yang sama.

“Paketan apa?” tanya Aria sambil melangkah sedikit ke samping agar pria itu bisa masuk. Reza tersenyum tipis, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tas ranselnya.

“Ini mungkin untuk Anda, karena alamatnya benar-benar mirip. Mungkin Anda bisa memeriksanya,” jawab Reza, menyerahkan kotak tersebut.

Aria memeriksa kotak yang terbungkus rapi itu. Di atasnya, ada nama lengkap yang familiar, milik seorang penulis terkenal yang seharusnya tidak ada hubungannya dengan dirinya. Dia pun merasa aneh, namun akhirnya berkata, “Ini pasti salah alamat. Tapi terima kasih, saya akan menghubungi penerbitnya.”

Reza mengangguk. “Tidak masalah. Saya baru saja kembali ke kota ini setelah lama merantau. Ini pertama kalinya saya tinggal di sini, jadi saya sedikit bingung dengan sekitarnya.”

Aria merasa penasaran. “Dari mana Anda merantau? Apa yang membawa Anda kembali ke sini?”

Reza menunduk sebentar, tampak enggan untuk menjawab. Lalu, dengan suara yang sedikit lebih rendah, ia berkata, “Banyak hal. Terkadang, kita tidak bisa lari dari masa lalu. Tapi, saya rasa, saya sudah siap untuk menghadapi semuanya lagi.”

Aria merasa ada sesuatu yang berat di balik kata-kata itu. Meski ia tidak tahu pasti apa yang dimaksud oleh Reza, ia bisa merasakan kesedihan yang terpancar dari sikap pria itu. Ada sebuah dinding yang dibangun di sekitar hatinya, dan itu membuat Aria merasa sedikit terganggu. Namun, ia berusaha untuk tetap profesional dan mengubah topik pembicaraan.

“Apakah Anda sudah lama tinggal di sini?” tanya Aria, mencoba meringankan suasana.

“Baru beberapa hari. Tempat ini cukup sepi, tapi itu justru yang saya cari. Tempat yang tenang untuk berpikir,” jawab Reza, suara yang lebih lembut kini mulai keluar.

Aria terdiam sejenak, memandang pria di depannya. Ada sesuatu yang membuatnya ingin mengenal Reza lebih jauh, meskipun ia tahu itu mungkin bukan ide yang bijaksana. Ia sudah cukup lama menghindari keterlibatan emosional dengan orang lain sejak pindah ke kota ini. Namun, ada sesuatu yang aneh tentang pria ini, sesuatu yang membuatnya penasaran.

Setelah beberapa detik, Aria memutuskan untuk menanggapi. “Kalau begitu, Anda pasti butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Kalau Anda butuh bantuan atau sekadar tempat untuk berbicara, saya tinggal tidak jauh dari sini.”

Reza memandangnya, sedikit terkejut dengan tawaran yang tiba-tiba. Namun, senyum tipis mulai terbentuk di wajahnya. “Terima kasih. Saya akan ingat itu.”

Mereka berdua berdiri dalam keheningan sejenak, seolah masing-masing berusaha mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya, Aria merasa canggung dan berkata, “Baiklah, kalau begitu. Terima kasih sudah membawa paket ini. Saya akan menghubungi penerbitnya segera.”

Reza mengangguk dan berbalik untuk pergi, namun sesaat sebelum melangkah, ia menoleh dan berkata, “Aria, bukan? Saya akan kembali ke sini untuk mengambil paket yang benar. Mungkin kita bisa berbicara lebih banyak nanti.”

Aria hanya bisa mengangguk dan tersenyum kecil, meskipun hatinya agak ragu. Reza, pria misterius yang baru saja datang ke kota ini, membawa rasa penasaran yang tak terduga. Saat pria itu menghilang di balik pintu, Aria kembali ke ruangannya, tetapi pikirannya tetap tertuju pada pertemuan singkat itu.

Takdir sering kali membawa pertemuan-pertemuan yang tak terduga. Dan Aria tahu, pertemuannya dengan Reza hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah perjalanan yang akan mengubah hidupnya, meski ia belum tahu bagaimana caranya. Namun, satu hal yang pasti: pertemuan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah kisah yang belum terungkap.**

Bab 2: Simfoni Hati

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aria mulai merasa bahwa kehidupannya di kota kecil ini mulai menemukan ritmenya yang baru. Ia menyelesaikan tugas-tugas pekerjaannya dengan baik, menemukan beberapa tempat yang nyaman untuk menulis, dan mulai merasakan ketenangan yang sebelumnya sulit ia temukan. Namun, meskipun ia mencoba untuk terfokus pada pekerjaan dan rutinitasnya, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya—Reza.

Perasaan itu datang begitu saja, perlahan namun pasti, seperti gelombang laut yang datang setelah hujan. Reza, dengan tatapan tajam dan sikap misteriusnya, tetap menghantui pikirannya. Setiap kali Aria menulis, pikirannya kembali terlempar pada percakapan singkat mereka, pertemuan yang terjadi beberapa minggu lalu di depan pintu apartemennya. Dan meskipun mereka tidak pernah berinteraksi lebih lanjut setelah itu, perasaan aneh yang ditinggalkan oleh pria itu seolah menyentuh setiap bagian hidupnya.

Pada suatu sore yang cerah, saat Aria sedang berjalan pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya di kafe, ia tidak sengaja bertemu dengan Reza lagi. Ia melihat pria itu berdiri di dekat taman kecil di ujung jalan, tampak sedang menikmati udara sore yang sejuk. Aria terkejut melihatnya di sana, namun segera merasa malu karena tidak tahu harus berbuat apa.

Reza menoleh ketika mendengar langkah kaki Aria mendekat. Senyum tipis muncul di wajahnya, seolah ia sudah menunggu momen ini.

“Aria, kebetulan sekali,” kata Reza dengan suara rendah, namun terdengar hangat di telinga Aria.

“Ah, Reza… Hai,” jawab Aria, sedikit kikuk. “Tidak menyangka bisa bertemu di sini.”

“Begitu juga saya. Sore ini rasanya tenang sekali, ya?” Reza bertanya, matanya memandang langit yang cerah dengan awan putih yang mengapung lembut. “Terkadang, kita hanya perlu sejenak berhenti dan menikmati ketenangan.”

Aria mengangguk setuju, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit canggung. Ia tidak tahu kenapa, tetapi setiap kali bertemu dengan Reza, ia merasa seperti ada sesuatu yang belum terungkap—sebuah perasaan yang sulit dijelaskan.

“Benar. Sore ini benar-benar sempurna,” jawab Aria, mencoba menenangkan diri. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”

Reza tersenyum dan menunjuk bangku kosong yang ada di dekatnya. “Hanya duduk sejenak. Kadang-kadang, kita perlu sedikit ruang untuk berpikir. Berjalan-jalan di sekitar kota, merenung.”

Aria mengangguk lagi, meskipun ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar merenung dalam pernyataan Reza. Reza bukan tipe orang yang mudah mengungkapkan perasaan, dan Aria merasa bahwa pria itu sedang berusaha menahan sesuatu—sebuah rasa sakit yang ia sembunyikan dalam diamnya. Entah mengapa, perasaan itu membuat hati Aria sedikit berdesir. Ada sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak, untuk mencari tahu lebih dalam.

Tanpa berkata apa-apa, Aria memutuskan untuk duduk di sebelah Reza. Mereka duduk bersama di bangku taman, menikmati suasana sore yang tenang, dengan suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan dan burung-burung yang terbang pulang ke sarangnya.

“Aku baru menyelesaikan beberapa pekerjaan,” kata Aria setelah beberapa lama terdiam. “Selesai menulis artikel untuk majalah, dan rasanya lega. Terkadang, menulis itu seperti melodi. Ada waktu di mana kata-kata mengalir begitu mudah, dan ada kalanya rasanya seperti berjuang untuk menemukan setiap kata.”

Reza menatapnya, matanya menunjukkan ketertarikan yang dalam. “Menulis, ya? Itu menarik. Aku lebih sering mendengarkan musik, meskipun terkadang rasanya seperti melodi yang hilang. Mungkin karena aku terlalu banyak berpikir tentang hal-hal yang tidak bisa kutulis.”

Aria melirik Reza, melihat ekspresi wajahnya yang seolah terhanyut dalam pikirannya sendiri. “Apa maksudmu dengan melodi yang hilang?”

Reza tersenyum pahit, kemudian menarik napas panjang. “Aku pernah bermain musik di masa lalu. Tapi, suatu hari, aku berhenti. Seperti kehilangan arah. Semua nada yang kubuat terasa hampa, dan aku merasa seperti melodi itu pergi begitu saja.”

Aria terkejut mendengarnya. Reza, yang tampak begitu tenang dan terkendali, ternyata menyimpan luka yang dalam. Ia merasa ingin tahu lebih banyak, namun ia tidak ingin memaksakan diri.

“Musik… Itu pasti sangat berarti bagimu,” kata Aria dengan lembut.

Reza mengangguk pelan. “Ya, itu adalah bagian besar dari hidupku dulu. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa bahwa musik itu bukan hanya tentang melodi yang indah. Kadang, itu adalah cara untuk menyembuhkan luka yang tidak terlihat.”

Aria terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup Reza, tetapi ia bisa merasakan beban di balik kata-katanya. Ada kesedihan yang dalam, sebuah luka yang belum sembuh. Aria ingin membantu, tetapi ia juga tahu bahwa beberapa hal harus dijalani dengan waktu.

“Apa yang kamu lakukan sekarang?” tanya Aria, berusaha mengalihkan percakapan ke arah yang lebih ringan.

Reza tersenyum tipis. “Aku mencoba menemukan kembali apa yang hilang. Mungkin, aku akan mencoba menulis musik lagi, meskipun rasanya masih sulit. Tapi setidaknya, aku ingin memberi kesempatan untuk diri sendiri.”

Aria merasakan sesuatu yang hangat dalam dirinya. Ia melihat sisi manusiawi Reza yang selama ini tersembunyi di balik penampilan misteriusnya. Ada kelembutan dalam suaranya, sebuah kerentanannya yang membuat Aria ingin lebih mengenalnya. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh tantangan.

“Kalau kamu ingin, aku bisa membantu,” kata Aria dengan tulus. “Mungkin menulis itu bukan hal yang mudah, tapi kita bisa saling membantu menemukan melodi kita sendiri.”

Reza menatapnya, matanya berkilau sedikit, seolah menemukan secercah harapan. “Terima kasih, Aria. Aku akan mengingat itu.”

Mereka berdua kembali terdiam, menikmati keheningan yang nyaman di antara mereka. Seiring dengan berlalunya waktu, Aria merasa semakin dekat dengan Reza, meskipun ia tahu bahwa perjalanan mereka baru dimulai. Ada banyak hal yang belum terungkap, banyak rahasia yang harus dihadapi, namun Aria merasa bahwa, entah bagaimana, hati mereka mulai beresonansi satu sama lain.

“Semoga kamu menemukan kembali melodi itu, Reza,” ujar Aria, senyum tipis terukir di wajahnya.

Reza hanya tersenyum, meski senyum itu masih tampak penuh keraguan. “Aku akan mencobanya, Aria. Aku akan mencobanya.”**

Bab 3: Layar yang Retak

Aria duduk di meja makan apartemennya, menatap layar laptop dengan perasaan campur aduk. Artikel yang ia tulis sudah selesai, namun pikirannya terasa kosong. Sejak pertemuan terakhir dengan Reza, ia merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Perasaan itu semakin hari semakin jelas, dan ia tidak bisa lagi mengabaikannya. Sesuatu yang tak terucapkan, namun begitu kuat—sebuah keterikatan yang tumbuh di antara mereka.

Namun, Aria tidak bisa menyangkal bahwa ia juga merasa ragu. Ia tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap Reza. Adakah ini hanya sekadar perasaan simpati atau sesuatu yang lebih dari itu? Apa yang sebenarnya Reza rasakan? Ia tidak tahu. Reza selalu tampak tertutup, hanya menunjukkan sedikit bagian dari dirinya.

Malam itu, setelah beberapa minggu tanpa kabar dari Reza, Aria merasa cemas. Biasanya, mereka berdua akan saling berbagi cerita atau sekadar berbincang tentang hal-hal kecil. Namun kali ini, semuanya terasa hampa. Seperti ada jarak yang terbentuk di antara mereka. Aria mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi ketidakpastian itu terus menggerogoti hatinya.

Keputusan Reza untuk kembali ke kota asalnya beberapa hari yang lalu semakin membuat Aria bingung. Dia tahu bahwa Reza memiliki masalah keluarga yang mendesak, namun ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa perasaan mereka kini terasa semakin dalam. Setiap kali ia berpikir tentangnya, perasaan itu semakin kuat, meskipun ada suara kecil di dalam hatinya yang berkata agar ia berhati-hati. Cinta, atau apa pun itu yang sedang tumbuh di antara mereka, tidak selalu mudah dan tidak selalu indah.

Hari-hari berlalu tanpa kabar, dan Aria merasa cemas. Sepertinya Reza benar-benar membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ada kekosongan yang ia rasakan—kekosongan yang hanya bisa diisi oleh kehadiran Reza. Saat-saat tanpa dia terasa lebih sepi, dan Aria mulai bertanya-tanya apakah ia harus melangkah lebih jauh untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan pria itu.

Pada suatu malam yang dingin, Aria duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit yang gelap. Angin malam berhembus lembut, tetapi pikirannya tetap kacau. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan muncul di layar.

*Dari: Reza*
“Aria, maaf kalau aku menghilang begitu lama. Aku kembali ke kota ini besok. Bisa kita bertemu?”

Hati Aria berdegup kencang. Meski cemas, ia tidak bisa menahan perasaan senangnya. Reza akhirnya menghubunginya setelah berhari-hari menghilang. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup Reza, tetapi perasaan bahwa mereka masih terhubung menguatkan harapannya.

*Dari: Aria*
“Tentu, aku akan senang sekali bertemu. Kapan?”

Tak lama setelah itu, pesan dari Reza kembali muncul.

*Dari: Reza*
“Mungkin besok sore. Aku akan menunggu di taman dekat rumahmu.”

Aria tersenyum kecil, merasakan perasaan yang hangat memenuhi dadanya. Tanpa berpikir panjang, ia membalas pesan itu dengan cepat.

*Dari: Aria*
“Aku akan datang. Sampai besok, Reza.”

Keesokan harinya, Aria tidak bisa menahan kegugupannya. Ia mempersiapkan dirinya sebaik mungkin, meskipun ia tahu bahwa pertemuan ini bisa saja penuh dengan ketegangan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi hatinya berkata bahwa ini adalah kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Ia harus bertemu dengan Reza dan mendengarkan penjelasan darinya. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Saat sore menjelang, Aria berjalan menuju taman yang dimaksudkan. Angin sore itu sedikit lebih dingin dari biasanya, dan Aria menarik mantel tipis yang ia kenakan lebih erat di tubuhnya. Taman itu terlihat begitu sunyi, dengan hanya beberapa orang yang tampak berjalan santai di sekitar jalur setapak. Di kejauhan, ia melihat sosok yang dikenalinya—Reza. Ia duduk di bangku taman, wajahnya tampak serius dan tenang, namun ada sesuatu yang berbeda di mata pria itu.

Aria berjalan mendekat, dan Reza menoleh ketika ia mendengar langkah kaki. Ada senyum tipis yang muncul di wajah Reza, namun senyum itu tidak sepenuhnya menghilangkan bayangan kesedihan yang terlihat jelas di matanya.

“Aria,” katanya dengan suara yang rendah, hampir seperti bisikan. “Aku senang kita bisa bertemu lagi.”

Aria duduk di sampingnya, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa gugupnya ia. “Aku juga senang. Tapi, kamu… terlihat berbeda, Reza. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan, kan?”

Reza menundukkan kepala, menarik napas panjang. “Aku… aku harus kembali ke kota asalku untuk menyelesaikan masalah keluarga. Ada banyak hal yang tidak bisa aku hindari, dan itu menguras energi dan perhatianku. Maafkan aku jika aku membuatmu merasa diabaikan.”

Aria merasakan sakit yang mendalam mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa Reza sedang berjuang dengan sesuatu yang sangat berat. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam hatinya. Perasaan yang semakin besar setiap kali ia berpikir tentang pria ini. Ia ingin membantu, tetapi ia juga tahu bahwa Reza harus menghadapi masalahnya sendiri.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Reza? Kenapa kamu merasa harus menanggung semua ini sendiri?” tanya Aria, suaranya penuh kekhawatiran.

Reza terdiam beberapa saat. Matanya yang biasanya keras kini terlihat penuh dengan kebingungan dan kesedihan. “Ada banyak hal yang harus aku hadapi, Aria. Aku merasa terjebak dalam masa lalu, dan aku takut itu akan mempengaruhi orang-orang di sekitarku, termasuk kamu.”

Aria merasakan sesak di dadanya. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu, Reza. Aku tidak akan pergi kemana-mana. Kita bisa melewati ini bersama, asal kamu mau terbuka padaku.”

Reza menoleh dan menatap Aria dengan tatapan yang penuh kehangatan, meskipun masih ada ketakutan yang jelas tergambar di matanya. “Aku ingin begitu, Aria. Tapi aku juga takut. Takut bahwa jika aku terlalu terbuka, aku akan menghancurkan segala sesuatu yang sudah kubangun—termasuk hubungan ini.”

Aria meraih tangan Reza, menggenggamnya dengan lembut. “Reza, tidak ada yang sempurna. Tidak ada yang bisa hidup tanpa melukai atau terluka. Tapi kita bisa mencoba untuk saling memahami. Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam kesendirian.”

Mereka duduk diam dalam beberapa detik yang terasa begitu lama. Layar kehidupan mereka kini tampak retak, penuh dengan ketidakpastian. Namun, meskipun semuanya tidak sempurna, ada secercah harapan yang masih tersisa—harapan untuk saling membuka hati dan menemukan jalan keluar bersama.**

Bab 4: Keberanian yang Tertunda

Minggu demi minggu berlalu sejak Adrian meninggalkan kota. Elara merasakan hidupnya kembali terjepit oleh rutinitas yang monoton. Hari-hari yang dulunya terasa penuh dengan harapan kini menjadi kosong dan datar, seolah semua yang pernah ada—semua yang pernah mereka bangun—telah hilang bersama langkah Adrian yang semakin jauh. Setiap kali ia melangkah di jalan yang biasa mereka lalui bersama, atau mendengar lagu yang pernah dimainkan Adrian di gitar, Elara merasakan kepingan kenangan itu kembali menggerogoti hatinya. Namun, di balik semua itu, ada sebuah keheningan yang tak terucapkan—sebuah pertanyaan yang terus mengganggu pikirannya. Mengapa ia tidak pernah cukup berani untuk mengungkapkan perasaannya sebelum Adrian pergi?

Sejak awal pertemuan mereka, Elara sudah tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara mereka. Namun, perasaan itu selalu tertahan, selalu terjaga di dalam lubuk hati yang terdalam. Mungkin itu karena ketakutannya—ketakutan akan kehilangan, ketakutan akan perubahan, ketakutan akan apa yang mungkin terjadi jika ia membuka dirinya sepenuhnya. Ia selalu menunggu waktu yang tepat, seolah-olah waktu yang tepat itu akan datang dengan sendirinya. Tapi sekarang, waktu telah berlalu, dan Adrian telah pergi, meninggalkan Elara dengan satu perasaan yang tak bisa diabaikan: penyesalan.

*Kembali ke Rumah*

Pagi itu, Elara merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berhenti. Rutinitas yang sama, pekerjaan yang sama, dan kehidupan yang tampak tidak berubah. Pekerjaan sebagai penulis freelance yang dulunya memberikan kebebasan dan kepuasan kini terasa seperti beban. Tulisannya tidak lagi mengalir seperti dulu, ide-ide kreatif yang pernah membuatnya bersemangat kini seakan tertutup oleh kabut kebingungan.

Ia duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang kosong, merasa tidak ada lagi semangat untuk menulis. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya, mengalihkan perhatiannya dari rasa hampa yang menyelimutinya. Itu adalah pesan dari teman lamanya, Nina, yang kini tinggal di luar kota. Pesan itu singkat, namun cukup untuk menarik perhatian Elara: “Ada acara musik di kota minggu ini. Kenapa tidak datang saja? Mungkin itu bisa membantumu sedikit merasa hidup lagi.”

Elara memandangi pesan itu sejenak. Sesuatu dalam dirinya terasa tergerak. Ia tidak tahu apa yang akan ia temui di sana, tetapi ide untuk pergi ke acara musik itu seolah menjadi pengingat bahwa hidup ini tidak selalu harus terjebak dalam rutinitas. Ada hal-hal yang lebih besar dari pekerjaan, ada kebebasan yang terkadang hanya bisa ditemukan di tempat-tempat yang tidak terduga.

Tiba-tiba, pikirannya melayang ke Adrian. Bagaimana kabarnya? Apa ia sudah mulai tampil di tempat-tempat besar seperti yang ia impikan? Atau mungkin ia sedang merindukan kota ini—merindukan Elara. Namun, Elara tidak tahu apakah ia akan cukup kuat untuk bertemu dengan Adrian lagi. Ia merasa takut, takut bahwa pertemuan itu akan membawa rasa sakit lebih dalam. Tetapi, di sisi lain, ia juga merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk mencari tahu keberanian yang selama ini tertunda.

*Acara Musik*

Malam itu, Elara tiba di acara musik yang diadakan di sebuah kafe kecil yang selalu penuh dengan pengunjung yang mencintai musik. Udara di luar dingin, tetapi suasana di dalam kafe hangat dan penuh energi. Lampu-lampu temaram yang menggantung menciptakan suasana intim, dan suara alat musik yang dimainkan di panggung kecil menambah kesan mendalam pada malam itu. Elara merasakan sesuatu yang asing di dalam hatinya—sebuah sensasi yang mungkin sudah lama hilang.

Di tengah keramaian, matanya tertuju pada panggung. Seorang pria sedang duduk di sana, memainkan gitar dengan penuh perasaan, dan suara gitar itu memecah keheningan malam. Elara memicingkan mata, mencoba memastikan siapa yang sedang bermain. Suara itu begitu familiar, dan ketika pria itu menoleh sejenak ke arah kerumunan, Elara tak bisa menahan keterkejutannya.

Itu adalah Adrian.

Jantung Elara berdegup kencang. Ia tidak bisa percaya apa yang baru saja dilihatnya. Adrian ada di sana, di depan matanya, bermain gitar dengan penuh emosi, seolah ia sedang menceritakan cerita hidupnya lewat setiap petikan senar. Melodi yang keluar dari gitar itu mengingatkannya pada semua kenangan mereka bersama, pada setiap momen yang pernah mereka bagi di taman, dan pada semua yang tak sempat ia katakan.

Adrian berhenti sejenak, matanya bertemu dengan mata Elara yang terperangkap di kerumunan. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun ada kesan yang lebih dalam di balik senyuman itu—seolah ia tahu apa yang Elara rasakan. Sesaat, semuanya terdiam. Waktu seolah berhenti, hanya ada mereka berdua di antara keramaian yang melingkupi.

Adrian kemudian melanjutkan permainannya, namun kali ini, Elara merasa seolah ada sesuatu yang mendalam menghubungkan mereka. Musik itu bukan hanya suara yang mengisi ruang, tetapi juga perasaan yang mengalir tanpa kata. Setelah selesai, Adrian menyapa beberapa orang di sekitar panggung, namun matanya kembali tertuju pada Elara yang masih terdiam di tempatnya.

Ia merasakan dorongan untuk mendekat, tetapi takut. Ketakutan itu kembali datang—ketakutan untuk membuka perasaan yang selama ini terkunci. Namun, di dalam hati Elara, ada satu pertanyaan yang terus berulang: Apakah masih ada kesempatan untuk mengatakan apa yang selama ini tertunda?

*Keberanian yang Tertunda*

Setelah beberapa saat, Elara memutuskan untuk mendekat. Ia tidak bisa terus bersembunyi dari perasaannya. Ia harus berbicara, harus mengungkapkan semuanya, apapun yang akan terjadi. Dengan langkah yang ragu namun penuh tekad, ia berjalan menuju panggung dan berdiri di depan Adrian, yang kini sedang duduk santai di kursi belakang, berbincang dengan beberapa pengunjung.

Adrian melihat Elara mendekat dan matanya berbinar. “Elara,” katanya dengan suara lembut. “Aku tidak menyangka kamu akan datang.”

“Aku… aku tidak tahu kenapa aku datang,” Elara menjawab, sedikit canggung. “Mungkin aku hanya merasa seperti aku harus melihatmu lagi. Setelah sekian lama.”

Adrian tersenyum, meletakkan gitar di sampingnya. “Aku juga tidak menyangka bisa melihatmu di sini. Tapi, aku senang kamu datang. Ada yang ingin kamu bicarakan?”

Elara menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberaniannya. “Adrian, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi ada satu hal yang perlu kamu tahu—aku menyesal. Menyesal karena aku tidak mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan sebelum kamu pergi. Aku takut… takut kehilangan, takut jika kita tidak bisa bersama, takut jika aku membuka hatiku.”

Adrian menatapnya dalam-dalam, seolah memahami setiap kata yang keluar dari mulut Elara. “Elara,” katanya dengan suara pelan, namun penuh makna. “Kita tidak bisa menahan waktu, dan kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku menghargai keberanianmu sekarang. Aku selalu tahu ada sesuatu di antara kita, dan aku tidak pernah melupakanmu.”

Elara menunduk, air mata mulai menggenang. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mendukungmu, Adrian. Apapun yang terjadi, aku ingin kamu bahagia.”

Adrian menggenggam tangan Elara, lembut. “Aku juga ingin kamu bahagia. Dan mungkin, kita memang harus berpisah sekarang, tetapi kenangan kita—itu akan selalu ada. Aku akan selalu ingat kamu, Elara. Selalu.”

Untuk pertama kalinya, Elara merasa ada kedamaian dalam dirinya. Keberanian yang tertunda itu akhirnya terungkap, dan meskipun jalan mereka harus terpisah, perasaan itu tidak akan pernah hilang. Mereka mungkin berbeda, tetapi kenangan yang mereka bagikan akan tetap ada, mengalun dalam setiap melodi yang mereka ciptakan bersama.**

Bab 5: Melodi Baru

Pagi itu, Elara terbangun dengan perasaan yang berbeda. Meskipun matahari belum sepenuhnya terbit, ada kehangatan yang aneh menyelimuti hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah pertemuan dengan Adrian di acara musik beberapa hari yang lalu, hidupnya seperti mendapat perspektif baru. Tidak ada lagi rasa penyesalan yang membebani setiap langkahnya. Ia merasa, entah bagaimana, hidupnya telah kembali pada jalurnya—meskipun dengan cara yang berbeda dari yang ia bayangkan.

Setelah lama terjebak dalam rutinitas yang menjemukan, Elara mulai merasakan semangat untuk menulis kembali. Ide-ide yang selama ini terkunci di dalam pikirannya mulai mengalir dengan lancar. Kata-kata yang semula terasa berat kini datang dengan begitu mudah. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal. Sebuah pertanyaan yang berulang kali muncul dalam benaknya: Bagaimana rasanya jika ia memulai sesuatu yang baru—sesuatu yang benar-benar untuk dirinya sendiri?

*Mencari Jati Diri*

Beberapa hari setelah acara musik itu, Elara mulai melakukan sesuatu yang belum pernah ia coba sebelumnya. Ia mendaftar untuk kursus menulis lagu online, sesuatu yang selalu ia pikirkan tapi tidak pernah benar-benar dicoba. Ia merasa bahwa menulis lagu bisa menjadi cara baru untuk mengekspresikan dirinya—sebuah cara untuk menemukan kembali suaranya setelah sekian lama terhenti.

Setiap sesi kursus, ia merasa semakin terhubung dengan dunia musik. Lagu-lagu yang ia tulis mungkin sederhana, tetapi ada semangat yang mengalir melalui kata-kata itu. Mungkin itu bukan lagu cinta yang biasa, tapi lebih seperti puisi yang mencari tempat untuk tumbuh. Menulis lagu memberi Elara kebebasan yang selama ini ia cari. Ia tidak perlu terikat pada aturan atau harapan dari orang lain—ini adalah karya untuk dirinya sendiri.

Namun, meskipun Elara mulai merasa lebih hidup dengan menulis lagu, ada satu hal yang selalu membayangi pikirannya: Adrian. Bagaimana jika suatu hari mereka bertemu lagi, dan ia telah menjadi seseorang yang berbeda? Bagaimana jika perasaan itu kembali muncul, dan ia harus menghadapi kenyataan bahwa mereka sudah terlalu jauh berjalan di jalan masing-masing?

Elara tidak tahu jawaban untuk semua itu. Tapi satu hal yang pasti—ia harus terus maju. Ia tidak bisa membiarkan bayang-bayang masa lalu menghalangi langkahnya. Ia harus menemukan jalan baru, dan mungkin itu adalah melodi baru yang selama ini ia cari.

*Surprise Kecil dari Adrian*

Suatu sore, ketika Elara sedang duduk di balkon apartemennya, menulis lirik lagu dengan secangkir teh di tangannya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ia tidak menyangka bahwa itu adalah pesan dari Adrian.

“Hai Elara, aku baru saja kembali ke kota untuk beberapa hari. Aku ingin melihatmu lagi. Aku tahu mungkin kita berdua sibuk, tapi apakah ada waktu untuk bertemu?”

Mata Elara membelalak membaca pesan itu. Adrian kembali ke kota? Setelah beberapa minggu tanpa kabar, Elara merasa cemas dan sekaligus senang. Ada kerinduan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya, namun ia juga tahu bahwa ini bukan hanya tentang mereka berdua. Ini adalah kesempatan untuk menghadapi perasaan yang belum sepenuhnya ia pahami.

Tanpa berpikir panjang, Elara membalas pesan itu.

“Tentu, aku ingin sekali bertemu. Bagaimana kalau besok sore?”

Beberapa saat kemudian, Adrian membalas dengan cepat. “Sempurna! Aku akan menjemputmu di kafe kita besok.”

Elara tersenyum. Kafe yang mereka sebut sebagai “kafe kita” itu adalah tempat yang penuh kenangan. Di sana, mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbincang tentang hidup, tentang mimpi-mimpi mereka. Dan kini, kafe itu akan menjadi saksi pertemuan mereka yang kedua, di tengah perjalanan mereka yang masing-masing sudah berkembang.

*Pertemuan yang Menyentuh*

Keesokan harinya, Elara pergi ke kafe lebih awal. Ia ingin menyiapkan dirinya—menyusun pikiran dan perasaan yang begitu campur aduk. Ketika Adrian datang, ia membawa gitarnya, seperti biasa. Senyumnya masih sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda di matanya—sesuatu yang lebih tenang, lebih damai.

Adrian duduk di hadapan Elara, menatapnya dengan senyum hangat. “Aku senang bisa bertemu lagi, Elara,” katanya dengan suara lembut, seolah-olah ada kata-kata yang tak bisa ia ucapkan.

“Aku juga,” jawab Elara, merasakan getaran yang sama. “Sudah lama, ya?”

“Ya,” ujar Adrian, memandang ke luar jendela. “Tapi aku merasa, seperti baru kemarin kita bertemu. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak.”

Elara tertawa kecil, namun hatinya terasa berat. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, tetapi ia tidak tahu harus memulai dari mana.

“Aku… aku ingin memberitahumu sesuatu, Elara,” kata Adrian tiba-tiba, menatapnya dengan serius.

“Apa itu?” tanya Elara, sedikit terkejut.

Adrian menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku memutuskan untuk kembali ke kota ini. Mungkin tidak selamanya, tapi aku merasa aku harus mencari sesuatu di sini. Aku ingin kembali ke akar. Dan… aku ingin melihatmu lagi, mendengar ceritamu.”

Elara menatapnya, merasa seolah ada sesuatu yang lebih dalam dalam kata-kata Adrian. Mungkin ini adalah langkah baru untuk mereka berdua—sebuah kesempatan untuk memulai kembali.

“Aku juga memutuskan untuk mengejar sesuatu, Adrian,” kata Elara, dengan suara yang lebih mantap. “Aku memulai menulis lagu. Aku ingin menemukan suaraku sendiri. Aku tidak ingin terjebak lagi dalam rutinitas yang sama.”

Adrian tersenyum lebar. “Aku senang mendengarnya. Sepertinya kita berdua sedang mencari hal yang sama—mencari diri kita sendiri.”

Elara mengangguk, merasakan kedamaian dalam hatinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—ia sedang berjalan menuju sesuatu yang baru. Keberanian yang ia temui dalam dirinya untuk mengejar impian, meskipun kecil, adalah sesuatu yang tidak pernah ia sesali.

*Melodi Baru*

Setelah beberapa lama berbicara dan menikmati pertemuan mereka, Adrian akhirnya mengambil gitar dari tasnya dan memainkannya di hadapan Elara. Melodi yang mengalun lembut mengisi ruang kafe, membawa perasaan yang tenang dan damai. Adrian memandang Elara, seolah ingin mengatakan sesuatu lebih jauh.

“Elara, aku menulis sebuah lagu,” kata Adrian, “untukmu, untuk kita. Ini tentang perjalanan yang telah kita lewati, dan tentang melodi yang akhirnya kita temukan.”

Elara menatapnya dengan penuh perhatian, merasakan jantungnya berdebar. Adrian mulai memainkan gitar, dan lagu itu mengalun dengan begitu indah. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak hanya mengungkapkan perasaan yang ia rasakan, tetapi juga menggambarkan perjalanan mereka bersama—rangkaian kenangan, perpisahan, dan keberanian untuk terus maju.

Lagu itu begitu menyentuh, membuat Elara terdiam dalam keharuan. Ia merasa bahwa ini adalah titik balik dalam hidupnya—melodi yang baru, bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi tentang perjalanan hidup yang baru, tentang keberanian untuk mengejar impian, meskipun dunia terasa begitu besar dan menakutkan.

“Lagu ini untuk kita, Elara,” kata Adrian setelah selesai bermain. “Untuk melodi yang baru, untuk langkah yang baru. Untuk semua yang belum kita temukan.”

Elara tersenyum, matanya penuh dengan air mata kebahagiaan. “Aku akan selalu ingat ini, Adrian. Kita berdua akan selalu punya melodi ini, yang akan terus mengalun, mengingatkan kita tentang perjalanan kita.”

Adrian mengangguk, merasakan hal yang sama. Mungkin perjalanan mereka bersama telah berakhir, tetapi melodi baru yang mereka temukan bersama ini akan terus hidup dalam hati mereka, tak terpisahkan.***

——————-THE END—————–

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #Romansa #PerjalananHidup #Keberanian #Kenangan #Musik
Previous Post

Fans Manchester United Melulur Wajah dengan Tahi Kucing dari Malam Sampai Pagi

Next Post

DI ANTARA DUA DUNIA

Next Post
DI ANTARA DUA DUNIA

DI ANTARA DUA DUNIA

MELODI YANG TERUCAP

MELODI YANG TERUCAP

JEAK BAYANGAN KOTA TUA

JEAK BAYANGAN KOTA TUA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In