• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre

PUSING PUSING ASMARA

February 12, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story

PUSING PUSING ASMARA

by MABUMI
February 12, 2025
in Komedi
Reading Time: 18 mins read

Bab 1: Dika dan Dunia Monoton

Dika duduk di meja pojok kafe dengan secangkir kopi hitam yang mulai mendingin. Pemandangan di luar jendela tampak cerah, tetapi hatinya merasa kosong. Pekerjaan di kantor—sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan pemasaran kecil—tidak memberikan tantangan lagi. Setiap hari sama: bangun pagi, bekerja, pulang, dan menonton serial TV atau bermain game. Hidupnya terasa seperti sebuah rutinitas yang tak ada habisnya. Teman-temannya sering menggoda karena dia sudah berusia 28 tahun dan masih jomblo, tetapi Dika lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas yang aman.

Namun, pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Dia memutuskan untuk mencoba kafe baru yang baru saja buka di dekat kantornya. “Mungkin bisa memberi sedikit variasi,” pikirnya sambil menguap. Kafe tersebut memiliki desain modern dengan nuansa kayu yang nyaman, dan tidak terlalu ramai, jadi Dika merasa cukup tenang untuk duduk sendiri di sudut dekat jendela.

Saat sedang menikmati kopi, matanya tertumbuk pada seorang wanita yang sedang duduk di meja sebelah. Wanita itu tampak sangat ceria, berbicara dengan teman-temannya sambil tertawa lepas. Setiap gerakan dan ekspresinya penuh dengan energi positif yang kontras dengan suasana hatinya yang suram. “Sepertinya dia punya kehidupan yang lebih menyenangkan,” pikir Dika sambil menyaksikan wanita itu berbicara tanpa henti tentang kegiatan terakhirnya, yang tampaknya seputar liburan dan pengalaman lucu bersama teman-temannya.

Dika melirik ke arah wanita itu lagi, dan sepertinya mereka saling bertemu pandang. Wanita itu tersenyum ramah, dan Dika merasa terkejut. Senyuman itu seperti sinar matahari yang menembus hari kelabu. Sejenak, Dika merasa sedikit terpesona. Tak biasanya dia merasa tertarik pada orang yang baru dia lihat di kafe, apalagi seseorang yang begitu berenergi seperti wanita itu. Namun, dia segera mengalihkan pandangannya dan kembali fokus pada kopinya, merasa canggung karena sudah menatap begitu lama.

Namun, tanpa diduga, wanita itu berdiri dan berjalan menuju pintu. Pada saat yang bersamaan, Dika tanpa sengaja menggerakkan tangan ke arah meja, dan tak lama setelah itu, terjadi kecelakaan kecil yang membuat segelas teh manis jatuh dari meja dan tumpah ke bagian samping meja Dika. “Oh tidak, maaf!” wanita itu terkejut, dan dalam sekejap, dia melangkah mendekat.

Dika langsung panik. “Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa,” ucapnya terbata-bata sambil berusaha mengangkat gelas yang masih berisi sisa teh. Wanita itu terlihat sangat berusaha untuk meminta maaf dan dengan cepat meraih serbet untuk membantu mengelap, tetapi Dika malah semakin gugup. Dengan tangannya yang gemetar, ia mencoba mengangkat cangkir kopi agar tidak tumpah, tetapi malah menumpahkan sedikit ke atas meja. Keadaan semakin canggung.

Wanita itu, meski sedikit malu, tertawa kecil. “Aduh, saya tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Biasanya saya lebih berhati-hati,” katanya sambil tersenyum lebar, tampak tidak terlalu tertekan dengan situasi. Dika merasa semakin kikuk mendengarnya, seolah-olah ia adalah satu-satunya orang yang merasa malu. “Tidak, saya yang harusnya hati-hati. Saya juga sangat ceroboh.”

Sejenak, suasana hening. Dika berusaha tersenyum, tetapi senyumannya terlihat tidak alami. Wanita itu akhirnya duduk kembali ke meja dan mulai melanjutkan percakapan dengan teman-temannya. Namun, kali ini Dika merasa sedikit gelisah. Perasaan aneh mengalir dalam dirinya, dan ia merasa seolah-olah dia telah kehilangan kesempatan untuk berbicara lebih jauh dengan wanita itu.

Setelah beberapa menit, Dika mengambil keputusan. Ia harus mencoba sesuatu. Tapi, apa yang harus dia lakukan? Seharusnya dia bersyukur karena wanita itu telah memaafkan insiden tersebut, tetapi Dika merasa seperti ada yang hilang. “Kenapa aku tidak bisa lebih santai? Kenapa aku selalu merasa canggung di sekitar wanita seperti itu?” pikirnya.

Ia tidak bisa berhenti berpikir tentang wanita itu—Maya, demikian ia baru saja mendengar namanya saat teman-temannya menyebutkan. Sejak insiden itu, pikirannya kembali terfokus pada sosok Maya yang tampaknya begitu berbeda dari dirinya. Maya yang penuh semangat dan kehidupan, sementara dirinya hanya seorang pria biasa yang tak tahu bagaimana berinteraksi dengan orang seperti Maya. Apa yang sebenarnya diinginkan Maya dari seorang pria? Apa yang harus dilakukan Dika agar bisa mendekati wanita seperti itu?

Pagi itu, meskipun dia duduk sendirian di kafe, Dika merasa ada sesuatu yang berubah. Ada rasa ingin tahu yang aneh mengalir dalam dirinya, sesuatu yang jarang ia rasakan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa seperti hidupnya bisa berubah. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Dika memutuskan untuk kembali ke kantor dengan pikiran yang sedikit lebih terbuka. Ada perasaan aneh yang menggelora dalam dirinya—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran biasa. Dan entah kenapa, perasaan itu terasa sangat menggembirakan.

Bab 2: Kencan Pertama yang Canggung

Hari itu, Dika terbangun dengan perasaan yang berbeda. Pagi-pagi sekali, dia sudah merencanakan sesuatu yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya: mengundang Maya untuk kencan. Sejak kejadian di kafe beberapa hari lalu, pikirannya tak bisa lepas dari wanita ceria itu. Ada rasa penasaran yang menggebu-gebu dalam dirinya. Siapa dia? Mengapa perasaan ini datang begitu tiba-tiba? Namun, satu hal yang jelas, Dika ingin lebih mengenalnya.

Namun, setelah beberapa jam berdebat dengan dirinya sendiri, Dika akhirnya memutuskan untuk menghubungi Maya. Dia tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat, tapi dia merasa tak bisa lagi mengabaikan perasaan yang aneh ini. Ia pun akhirnya mengirim pesan singkat ke nomor yang baru saja dia dapatkan dari percakapan singkat mereka di kafe.

“Hi, Maya. Ini Dika, yang sempat kita temui di kafe. Mau nggak, kalau kita ngopi bareng? Mungkin bisa jadi kesempatan buat ngobrol lebih lama.”

Pesan itu dikirim, dan Dika hanya bisa menunggu dengan cemas. Jantungnya berdegup kencang. Dia merasa seperti sedang melakukan hal yang sangat besar dalam hidupnya, meskipun bagi orang lain, mengundang seseorang untuk ngopi mungkin bukan hal besar. Setelah beberapa menit, ponselnya bergetar, dan Maya membalas.

“Tentu, Dika! Aku juga senang ngobrol waktu itu. Kapan nih? Aku ada waktu besok sore.”

Dika merasa lega, seakan dunia sedikit lebih terang. Namun, semakin dekat dengan hari itu, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Apa yang harus dia pakai? Kafe mana yang seharusnya dipilih? Apa yang harus dibicarakan?

Hari kencan itu akhirnya tiba, dan Dika merasa seperti seorang pemula yang canggung. Dia memutuskan untuk mengenakan kaos polos dan celana jeans, berpikir bahwa tampil kasual mungkin lebih baik. Namun, setelah melihat dirinya di cermin, dia merasa tampak seperti pria yang tak tahu apa yang sedang dia lakukan.

Pukul lima sore, Dika tiba di kafe yang mereka sepakati. Kafe itu terletak di sudut jalan yang ramai, dengan pencahayaan lembut dan nuansa hangat. Dika memilih meja di dekat jendela, berharap bisa melihat Maya segera begitu dia datang. Dan akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, dia melihatnya—Maya datang dengan senyum lebar di wajahnya, mengenakan gaun simpel yang membuatnya terlihat santai, namun tetap menawan.

“Dika! Maaf aku telat,” kata Maya sambil duduk di meja, mengangkat tangannya dengan penuh semangat. “Lalu, kita pesan apa nih?”

Dika merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak. Dia hanya bisa menatapnya sejenak, mengagumi betapa mudahnya Maya berbicara, sementara dia merasa seolah-olah lidahnya terkunci. Setelah beberapa detik kebisuan yang canggung, Dika akhirnya tersenyum.

“Apa saja yang kamu suka. Aku yang traktir,” jawab Dika, mencoba terdengar santai, meskipun hatinya berdebar-debar.

Maya tertawa kecil. “Wah, berarti aku yang akan memilih menu yang paling mahal nih?” godanya, membuat Dika semakin kikuk. Namun, Maya segera mengubah topik. “Aku pesan cappuccino deh. Kamu?”

“Ah, cappuccino juga boleh,” jawab Dika, meskipun sebenarnya dia lebih suka kopi hitam tanpa gula. Namun, demi menjaga suasana hati, dia memilih mengikuti pilihan Maya.

Setelah pesanan datang, mereka duduk dalam keheningan yang aneh. Dika berusaha mengingat semua percakapan yang bisa dia bicarakan. Namun, setiap kali dia membuka mulut, kata-katanya terasa salah. Ada banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi semuanya terjebak di tenggorokan. Maya, sepertinya, tidak terpengaruh dengan keheningan itu. Dia mulai berbicara lebih banyak tentang kehidupannya.

“Aku baru saja kembali dari liburan ke Bali,” cerita Maya. “Asyik banget, bisa lepas dari pekerjaan sebentar. Kamu gimana, Dika? Kerja terus ya?”

Dika tersenyum canggung. “Iya, ya… cuma kerja. Kerjaan di kantor sih enggak terlalu seru. Tapi ya, cukup untuk hidup.”

Maya mengangguk, dan kemudian ada keheningan lain. Dika merasakan betapa canggungnya situasi itu, seakan-akan setiap kata yang diucapkannya tidak pernah tepat. Apalagi saat Maya mulai bercerita tentang teman-temannya yang lucu, Dika merasa semakin tidak tahu bagaimana harus merespons.

Namun, tak lama setelah itu, Maya kembali memecah keheningan dengan tawanya yang ceria. “Aku suka banget kafe ini. Suasananya bikin nyaman, ya?”

Dika hanya mengangguk. “Iya, memang enak di sini. Lebih santai daripada tempat lain.”

Maya tersenyum dan mengangkat cangkir kopinya. “Jadi, Dika, kamu sering ke sini?”

Dika terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban yang tepat. “Sebenarnya, enggak juga sih. Ini pertama kalinya aku ke sini. Aku cuma coba-coba aja.”

“Aha! Jadi ini pertama kalinya kamu nyoba tempat baru?” Maya menyeringai, terlihat sangat tertarik. “Kamu cukup berani juga, ya. Biasanya orang-orang lebih suka tempat yang udah dikenal, kan?”

Dika tertawa kecil, merasa sedikit lega. Sepertinya, Maya mulai meresponsnya dengan lebih santai. “Iya, sepertinya begitu. Tapi aku pikir, kenapa nggak coba aja, kan?”

Maya mengangguk sambil tersenyum. “Kamu keren juga, Dika. Gak semua orang bisa sesantai itu.”

Sesuatu dalam diri Dika mulai merasa lebih ringan. Meskipun masih banyak canggungnya, dia mulai merasa nyaman dengan keberadaan Maya di sana. Mereka melanjutkan percakapan, meskipun kadang-kadang ada jeda, tapi tidak lagi seaneh tadi. Dika bisa merasakan hubungan itu sedikit lebih dekat, meski dengan cara yang lebih sederhana.

Namun, ketika percakapan mulai mengalir, Dika tiba-tiba melakukan sesuatu yang membuat suasana berubah seketika. Tanpa sengaja, saat menggerakkan tangan untuk mengambil cangkir kopinya, dia menabrak meja dan membuat teh Maya tumpah sedikit ke pakaian Maya.

Dika langsung panik, memegang wajahnya dengan tangan. “Aduh, maaf banget! Aku nggak sengaja…”

Maya tertawa kecil, tetapi kali ini tidak canggung. “Gak apa-apa, Dika. Untungnya gak tumpah semua. Kamu tuh emang suka banget bikin kejadian lucu, ya?”

Dika yang merasa sangat malu, akhirnya ikut tertawa. “Iya, sepertinya itu bakat terpendam aku.”

Akhirnya, kencan itu berakhir dengan senyum dan tawa. Meskipun awalnya penuh kecanggungan, mereka berhasil membuat suasana menjadi lebih santai. Dika merasa lebih percaya diri untuk bertemu Maya lagi—meski tak sepenuhnya mengerti apakah ini awal dari sesuatu yang lebih besar. Namun, satu hal yang pasti, dia tak bisa berhenti memikirkan kencan itu setelahnya.

Bab 3: Sahabat Canggung

Setelah kencan pertama yang canggung, Dika merasa hidupnya berputar di antara kebingungan dan kelegaan. Di satu sisi, dia merasa senang karena berhasil menghabiskan waktu dengan Maya, meskipun tak sepenuhnya lancar. Di sisi lain, dia merasa lebih bingung dari sebelumnya. Apa yang harus dia lakukan selanjutnya? Apakah Maya juga merasakan hal yang sama? Ataukah dia hanya merasa kasihan padanya karena kejadian-kejadian canggung yang terjadi selama kencan?

Dika memutuskan untuk berbicara dengan Anton, sahabatnya yang selalu menjadi tempat dia mengadu, meski kadang nasihat Anton lebih membingungkan daripada membantu. Anton adalah tipe orang yang sangat sederhana dalam menjalani hidup. Dia tidak peduli tentang hal-hal rumit, termasuk masalah percintaan. Tapi, meskipun begitu, Dika merasa perlu mendengarkan pendapatnya.

Pada siang hari, setelah kerja selesai, Dika menjemput Anton di kantor. Mereka berdua menuju warung kopi langganan mereka, tempat di mana mereka biasa berbicara panjang lebar tentang berbagai hal. Dika memesan kopi hitam yang pahit, sementara Anton memilih kopi susu dengan banyak gula—perbedaan selera yang mencerminkan sifat mereka yang bertolak belakang.

“Jadi, gimana kencannya?” tanya Anton tanpa basa-basi, sambil menyeruput kopinya.

Dika menghela napas panjang. “Susah, Anton. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merasa kencannya canggung banget. Terus, aku nggak tahu apa yang Maya pikirkan. Aku kayaknya terlalu kikuk.”

Anton menatapnya dengan serius, meskipun dari luar dia tampak tidak terlalu peduli. “Yaudah, kalau kamu merasa canggung, coba lebih santai. Jangan terlalu mikirin apa yang Maya pikirkan. Tunjukin aja siapa kamu sebenarnya.”

Dika menatap Anton dengan bingung. “Gimana maksudnya? Maksudnya, aku harus jadi diri sendiri gitu?”

Anton mengangguk, seolah memberi jawaban yang sangat bijak. “Iya, coba aja jadi diri sendiri. Kalau dia suka sama kamu, ya udah, itu berarti kalian cocok. Kalau nggak, ya nggak usah dipaksain.”

Dika merasa sedikit bingung dengan penjelasan Anton, tetapi dia mencoba untuk mencerna kata-kata sahabatnya itu. “Jadi, aku nggak perlu khawatir kalau aku agak canggung atau salah ngomong?”

Anton tertawa kecil. “Ya, malah itu yang bikin kamu unik. Jangan takut jadi canggung, justru itu yang bikin orang lain bisa lebih nyaman. Kalau kamu terlalu serius, malah nggak asyik.”

Dika mengangguk perlahan. Mungkin ada benarnya juga. Dalam pikirannya, dia mulai merenung: apa yang salah dengan menjadi dirinya sendiri? Mungkin dia terlalu khawatir tentang kesempurnaan yang sebenarnya tidak perlu. Mungkin, hanya mungkin, kunci dari semua ini adalah menjadi lebih santai dan menikmati prosesnya.

Dengan sedikit keyakinan baru, Dika memutuskan untuk kembali mencoba menghubungi Maya. Dia ingin melanjutkan percakapan mereka, mungkin tanpa terlalu banyak tekanan. Di tengah percakapan itu, Dika tanpa sengaja menulis pesan yang agak aneh.

“Hei, Maya. Apa kamu mau nongkrong lagi minggu depan? Aku butuh teman buat ngobrol, soalnya minggu ini kerjaannya numpuk banget, dan aku butuh hiburan.”

Setelah mengirim pesan itu, Dika merasa sedikit khawatir. Kenapa dia menulis pesan seperti itu? Sepertinya terlalu terbuka dan berlebihan. Namun, tak lama setelah itu, Maya membalas dengan cepat.

“Eh, iya, pasti! Aku juga lagi butuh hiburan, nih. Kita ketemu hari Sabtu, ya? Aku tahu tempat baru, deh.”

Dika merasa lega. Maya membalas dengan antusias, dan itu memberikan sedikit harapan. “Oke, Sabtu jam berapa?” Dika balas dengan cepat, semakin yakin bahwa mungkin ada kesempatan kedua.


Sabtu pun tiba, dan Dika sudah siap bertemu dengan Maya lagi. Kali ini, dia berusaha lebih santai dan tidak terlalu cemas. Dia memilih untuk mengenakan pakaian kasual yang nyaman: kaos biru dengan celana jins, lengkap dengan sneakers. Tidak terlalu mewah, tapi juga tidak terlalu sembrono. Setidaknya, kali ini dia merasa lebih percaya diri.

Ketika Dika tiba di tempat yang mereka sepakati, Maya sudah duduk di meja dekat jendela, tampak sedang melihat ponselnya. Begitu melihat Dika datang, Maya langsung melambaikan tangan dengan senyum yang lebar. Dika merasa sedikit lebih tenang dengan sambutan hangat itu.

“Hai, Dika! Udah lama nggak ketemu, ya?” Maya berkata sambil tersenyum, terlihat lebih santai daripada sebelumnya.

Dika ikut duduk, merasakan suasana yang lebih nyaman. “Iya, nih, baru kali ini bisa ketemu lagi. Sorry, kemarin-kemarin sibuk banget kerja.”

Maya mengangguk, lalu mereka mulai berbincang. Kali ini, percakapan mereka terasa lebih alami. Dika tidak merasa terlalu tertekan untuk tampil sempurna. Dia mulai membuka diri sedikit demi sedikit, berbicara tentang pekerjaan dan aktivitas sehari-harinya, meskipun beberapa kali dia masih merasa sedikit kikuk.

“Aku sih nggak pernah terlalu mikirin kerjaan yang berat-berat gitu. Malah kalau stres, lebih baik ambil waktu buat diri sendiri. Liburan kecil-kecilan, makan enak, atau jalan-jalan, buat refreshing,” Maya berkata dengan santai.

Dika tersenyum. “Kayaknya aku harus belajar itu juga. Pasti lebih enak kalau nggak terlalu mikirin pekerjaan.”

Maya tertawa. “Iya, kerja penting, tapi jangan sampai hidup kita cuma diisi kerja doang. Kamu harus punya waktu buat senang-senang juga.”

Dika merasa sedikit lebih tenang. Ada kenyamanan dalam percakapan itu. Mungkin, dia tidak perlu terlalu khawatir tentang bagaimana tampil di depan Maya. Apa adanya saja sudah cukup. Mereka terus mengobrol dengan lebih lepas, membahas topik-topik ringan—film yang baru mereka tonton, tempat makan yang enak, bahkan membicarakan hobi mereka yang lucu. Seiring berjalannya waktu, Dika merasa semakin dekat dengan Maya, dan yang terpenting, dia merasa jauh lebih nyaman.

Pada akhirnya, kencan itu berakhir dengan tawa dan obrolan yang mengalir lancar. Dika merasa lega dan sedikit lebih percaya diri. Mungkin, seperti yang Anton katakan, semuanya hanya soal menjadi diri sendiri. Dan, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Dika merasa bahwa mungkin, justru kekacauan dan kecanggungan itu yang membuat hubungan ini semakin menarik.

Bab 4: Ketegangan yang Mulai Tumbuh

Setelah kencan kedua yang terasa lebih lancar, Dika merasa ada sedikit perubahan dalam dirinya. Sesuatu yang tadinya terasa canggung kini mulai mengalir begitu saja. Mereka mulai berbicara lebih terbuka, dengan candaan yang lebih ringan, dan bahkan sedikit perdebatan tentang topik-topik sepele yang justru membuat mereka semakin dekat. Dika merasa ada kenyamanan yang mulai terbentuk, meskipun ada sedikit keraguan yang tetap mengganggu pikirannya.

Tapi, semakin lama, semakin jelas bahwa hubungan mereka mulai berubah. Maya, yang sebelumnya selalu ceria dan penuh energi, mulai lebih sering muncul di pikiran Dika. Setiap kali mereka mengobrol, entah itu lewat pesan atau bertemu langsung, Dika merasa semakin tertarik. Namun, dia masih bingung dengan perasaan itu. Apa yang sebenarnya dia rasakan? Apakah ini hanya perasaan sementara atau ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang tumbuh?

Pada suatu sore di akhir pekan, Dika dan Maya sepakat untuk bertemu lagi. Kali ini, mereka memilih tempat yang lebih santai, sebuah taman kota yang sering dikunjungi orang untuk berjalan-jalan atau sekadar duduk menikmati udara segar. Dika merasa sedikit gugup. Entah kenapa, kali ini dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Mungkin karena semakin dekat dengan Maya, semakin banyak perasaan yang muncul, dan itu membuatnya lebih cemas.

Maya tiba lebih dulu di taman, duduk di bangku dekat danau buatan yang ada di tengah taman. Dika melihatnya dari jauh dan merasakan betapa hatinya mulai berdebar-debar lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu yang terasa aneh—perasaan yang tidak bisa dia jelaskan dengan kata-kata. Sesaat, Dika merasa ragu untuk mendekat. Namun, akhirnya dia memberanikan diri dan berjalan menghampiri Maya.

“Hey,” sapa Dika dengan suara yang sedikit tergetar.

Maya menoleh dan tersenyum lebar. “Hai, Dika! Udah lama ya nggak ketemu? Tadi aku sempat jalan-jalan dulu, menikmati udara segar.” Maya tampak santai, seolah tidak ada yang berbeda.

Dika tersenyum, merasa sedikit lebih tenang dengan sambutan hangat Maya. “Iya, aku baru datang juga. Udah lama banget nggak ke taman. Kayaknya seru juga ya kalau sambil jalan-jalan.”

Mereka pun berjalan berkeliling taman, berbincang tentang banyak hal—mulai dari topik ringan hingga hal-hal yang lebih pribadi. Maya bercerita tentang bagaimana dia selalu mencari waktu untuk me-time di tengah kesibukannya yang padat, dan Dika pun mulai merasa lebih nyaman untuk berbagi cerita tentang pekerjaannya yang terkadang membuatnya stres. Semua terasa mengalir begitu saja, dan Dika mulai merasa lebih dekat dengan Maya.

Namun, semakin lama, Dika merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya. Tiba-tiba, Maya bertanya, “Dika, kamu ada pacar nggak?”

Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba dan membuat Dika terkejut. Dia berhenti sejenak, menatap Maya dengan bingung. Kenapa pertanyaan itu muncul? Apa yang sebenarnya Maya ingin ketahui?

“Aku… nggak punya pacar sih,” jawab Dika dengan suara pelan. “Kenapa? Ada yang aneh?”

Maya hanya tersenyum. “Enggak sih, cuma penasaran aja. Tapi, kamu kayaknya tipe orang yang nggak terlalu mikirin hubungan serius, ya?”

Dika mengerutkan kening. “Maksud kamu?”

Maya berhenti sejenak dan memandangnya dengan serius. “Aku cuma merasa kamu agak nggak terlalu terbuka soal itu. Kayak… kamu nggak ingin membicarakan hal-hal tentang hubungan atau perasaan gitu.”

Dika terdiam. Maya benar. Selama ini, meskipun mereka sudah cukup dekat, dia memang selalu menghindari topik hubungan atau perasaan. Entah karena takut menyakiti diri sendiri, atau karena dia merasa belum siap untuk membuka hati, Dika tidak tahu.

“Aku cuma belum… tahu harus mulai dari mana,” jawab Dika dengan jujur, merasakan keraguan yang begitu jelas di dalam dirinya. “Kadang, aku merasa bingung sama perasaanku sendiri. Gampang banget merasa nyaman, tapi susah buat melangkah lebih jauh.”

Maya menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku ngerti kok, Dika. Tapi kalau kita nggak coba, kita nggak akan tahu, kan? Gak ada yang bisa jamin kalau semuanya akan sempurna. Tapi, menurutku, kalau kamu terus ragu-ragu, kamu nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya coba.”

Dika terdiam, mencerna setiap kata Maya. Ada sesuatu dalam cara Maya berbicara yang membuat Dika merasa sedikit lebih ringan. Mungkin memang benar, dia terlalu sering menghindari perasaan, terlalu takut untuk membuka hati. Tetapi, apakah dia siap untuk melangkah lebih jauh? Itu pertanyaan yang masih menggantung di pikirannya.

“Aku nggak tahu, Maya,” akhirnya Dika berkata dengan suara pelan. “Aku merasa canggung, takut kalau nanti jadi salah paham. Kita udah nyaman, kan, cuma… aku nggak ingin semuanya berubah jadi rumit.”

Maya tersenyum, mengusap lengan Dika dengan lembut. “Nggak ada yang salah dengan coba lebih dekat. Justru kalau kita saling jaga dan terbuka, semuanya jadi lebih mudah. Kalau nanti ada yang nggak cocok, ya itu bagian dari proses. Kita nggak akan tahu kalau nggak mencoba.”

Dika menatap Maya dengan penuh perasaan campur aduk. Dia merasa seolah-olah Maya bisa membaca pikirannya, memahami keraguannya yang selama ini dia pendam. Tapi apakah itu cukup untuk melangkah lebih jauh? Entahlah.

Tiba-tiba, suasana berubah sedikit lebih serius, dan Dika merasa ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Sesuatu yang sebelumnya terasa ringan kini menjadi lebih berat. Ada perasaan yang mulai tumbuh, tetapi juga ada rasa takut yang mengikutinya.

“Maya…” Dika memulai, “Apa menurutmu kita… bisa jadi lebih dari teman?”

Maya menatap Dika dengan tatapan yang sulit dibaca. Namun, senyum kecil yang terukir di bibirnya membuat Dika merasa sedikit lebih tenang.

“Kita lihat aja nanti, Dika. Aku nggak buru-buru,” jawab Maya sambil tersenyum lembut.

Dika merasa sedikit lega, namun juga semakin bingung. Apakah dia benar-benar siap untuk membuka hatinya? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Bab 5: Keputusan yang Tertunda

Minggu-minggu setelah percakapan mendalam itu terasa berlalu begitu saja. Dika dan Maya semakin sering bertemu. Setiap pertemuan membuat Dika merasa semakin dekat dengan Maya, tetapi di sisi lain, ia semakin bingung dengan perasaannya. Keputusan untuk melangkah lebih jauh seolah menjadi beban yang terus menekan hatinya. Dika merasa takut kalau perasaan ini tidak berjalan sesuai harapannya. Namun, ada satu hal yang jelas: dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan dengan Maya.

Dika mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu dan justru menikmati kebersamaan mereka. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama, mulai dari sekadar ngopi, berjalan-jalan di taman, hingga menonton film bareng. Maya selalu bisa membuat suasana menjadi ringan, dan Dika pun mulai merasa dirinya lebih bebas menjadi diri sendiri di hadapannya. Namun, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya: Maya seperti tidak pernah memberi petunjuk jelas tentang perasaan mereka.

Suatu sore, setelah selesai bekerja, Dika menerima pesan dari Maya. Seperti biasa, Maya mengundangnya untuk bertemu dan pergi ke tempat yang mereka sukai bersama, sebuah kafe kecil di pinggir kota. Dika merasa senang, meskipun ada sedikit rasa cemas yang mengganggu. Ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka, dan Dika merasa itu harus dibicarakan. Namun, apa yang bisa dia katakan?

Saat Dika tiba di kafe, Maya sudah duduk di meja pojok dengan secangkir teh di tangan. Senyumnya yang cerah menyambutnya, tapi Dika merasakan ada ketegangan di udara. Mungkin hanya perasaannya saja, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Dika duduk di seberang Maya dan langsung tersenyum.

“Hai, Maya. Senang bisa ketemu lagi,” ujar Dika mencoba membuka percakapan.

“Hai, Dika! Iya, aku juga senang. Akhir-akhir ini banyak hal yang aku pikirkan, jadi senang bisa ngobrol lagi sama kamu,” jawab Maya dengan suara hangat, meskipun ada nada yang lebih serius.

Dika merasa sedikit heran dengan jawabannya. Ada sesuatu dalam cara Maya berbicara yang membuatnya merasa semakin bingung. Apakah Maya merasa ada ketegangan di antara mereka juga? Atau hanya Dika yang terlalu overthinking? Dika mengatur napas, berusaha menenangkan diri.

“Pikirin apa, Maya?” tanya Dika, berusaha terdengar santai meskipun hatinya mulai berdebar.

Maya tersenyum kecil. “Aku cuma… lagi mikirin banyak hal aja. Terutama soal kita,” jawabnya pelan, seolah menimbang setiap kata yang keluar. “Aku kadang merasa kita ini kayak udah terlalu dekat, tapi nggak ada yang jelas juga. Kamu sendiri gimana, Dika?”

Pertanyaan itu membuat Dika tersentak. Dia merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Maya baru saja mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di benaknya. Dika tahu, ini adalah momen di mana mereka harus memilih arah hubungan mereka. Akankah mereka tetap berteman, ataukah ada kemungkinan untuk sesuatu yang lebih?

Dika menunduk sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Semua perasaan yang telah dia pendam selama ini seakan terhimpun dalam dadanya. “Maya, aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa nyaman banget sama kamu, lebih dari sekadar teman, tapi aku juga takut kalau aku nggak siap. Takut semuanya jadi aneh,” jawab Dika dengan jujur.

Maya menatap Dika dengan lembut, lalu menarik napas panjang. “Aku ngerti, Dika. Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi aku nggak mau kita terus-menerus kayak gini, nggak ada kejelasan. Aku nggak mau kita jadi teman yang canggung karena nggak tahu apa yang kita inginkan. Kita perlu ngomongin ini.”

Dika merasa sedikit lega mendengar kata-kata Maya, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa cemas. Maya sudah mengungkapkan perasaannya, dan kini giliran Dika untuk membuka hati. Tapi bagaimana jika perasaan itu tidak seperti yang diinginkan Maya?

“Jujur aja, aku suka sama kamu, Maya,” ujar Dika akhirnya, suaranya sedikit gemetar. “Aku cuma takut kalau aku salah langkah. Aku nggak mau bikin kita jadi nggak nyaman atau merusak semuanya.”

Maya tersenyum lembut, mengulurkan tangan ke meja dan menyentuh tangan Dika. “Aku nggak takut, Dika. Aku rasa kita harus coba, walaupun ada ketakutan. Kalau kita nggak coba, kita nggak akan tahu apa yang sebenarnya ada di antara kita.”

Dika menatap tangan Maya yang menyentuhnya, merasa sedikit terkejut dengan ketegasan dalam suara Maya. Tidak ada rasa canggung atau ragu lagi. Maya terlihat percaya bahwa ini adalah langkah yang benar. Perlahan, Dika merasa sedikit lebih tenang. Mungkin memang sudah saatnya untuk melangkah, meskipun dia masih merasa ragu.

Namun, tiba-tiba suasana berubah. Dika merasa ada sesuatu yang mengganjal. Di luar kafe, hujan mulai turun dengan deras, dan suara percakapan mereka menjadi sedikit teredam oleh gemuruh hujan. Dika menatap Maya dengan penuh perhatian, mencari tanda-tanda lebih lanjut tentang perasaan Maya.

“Apa kamu yakin, Maya?” tanya Dika, mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba menguasai ruangan.

Maya mengangguk, tatapannya tetap teguh. “Aku yakin. Aku nggak mau kita menunda-nunda ini lagi, Dika. Kita harus coba, nggak peduli seberapa takutnya kita. Kalau kita terus saling menghindar, kita nggak akan pernah tahu.”

Dika menghela napas panjang, merasa beban di dadanya sedikit terangkat. “Aku… aku siap, Maya. Aku juga nggak mau terus-terusan ngerasa bingung. Kalau ini yang harus kita coba, aku akan coba, meskipun aku takut.”

Maya tersenyum lebar, dan Dika merasakan kehangatan dalam senyuman itu. Seolah-olah semuanya menjadi lebih jelas. Mereka bisa saling memberi kesempatan, meskipun takut dan canggung. Tidak ada yang pasti dalam hidup, tapi mereka berdua sepakat untuk menjalani ini bersama-sama.

Keduanya duduk diam sejenak, menikmati keheningan yang nyaman, sementara hujan di luar semakin deras. Di dalam kafe, hanya ada keduanya, dua orang yang memilih untuk melangkah maju, meskipun ketakutan terus mengintai. Namun, mereka tahu satu hal: kadang, kita hanya perlu berani mencoba.

Bab 6: Langkah Awal yang Tak Pasti

Hari-hari setelah keputusan itu terasa begitu berbeda. Dika dan Maya mulai menjalani hubungan mereka dengan cara yang baru. Tidak lagi hanya teman yang berbicara tentang hal-hal ringan, kini ada perasaan yang tak terucapkan yang mengikat mereka. Tapi, meskipun mereka sudah memutuskan untuk mencoba, Dika merasa ada banyak hal yang belum ia mengerti tentang bagaimana menjalani hubungan ini. Bagaimana cara menghadapi ketakutan dan kecemasan yang tiba-tiba muncul? Dan apakah dia benar-benar siap untuk semua perubahan ini?

Maya, di sisi lain, tampaknya lebih santai. Setiap kali Dika ragu atau cemas, Maya selalu bisa menghadapinya dengan senyuman dan cara yang tenang. Itu membuat Dika merasa sedikit lega, tetapi di saat bersamaan, perasaan ragu itu masih terus mengganggu.

Hari ini, Dika mengundang Maya untuk pergi makan malam di tempat favorit mereka—sebuah restoran kecil dengan suasana yang hangat dan nyaman. Dika tahu bahwa malam ini akan berbeda, meskipun mereka sudah saling mengungkapkan perasaan. Ada banyak hal yang masih harus dipahami dan dijalani bersama. Mereka berdua datang dengan harapan yang sedikit berbeda. Dika ingin membuat semuanya lebih nyaman, sementara Maya tampaknya sudah siap untuk melangkah lebih jauh.

Begitu mereka duduk di meja, suasana antara mereka terasa sedikit canggung. Tidak seperti sebelumnya, yang selalu penuh dengan tawa dan lelucon, malam ini ada kesunyian yang memenuhi ruang di antara mereka. Dika merasa sedikit bingung. Apa yang seharusnya mereka bicarakan? Apa yang seharusnya mereka lakukan? Maya sepertinya merasakannya juga.

“Apa kabar, Dika?” Maya membuka percakapan dengan suara lembut, mencoba mengurangi ketegangan di udara.

Dika tersenyum, meskipun sedikit canggung. “Baik, kok. Cuma agak sibuk akhir-akhir ini, sih. Kerjaan numpuk banget.”

Maya mengangguk, tampaknya memahami. “Aku juga, nih. Tapi, senang bisa ketemu. Kita bisa ngobrol tanpa gangguan pekerjaan.”

Dika merasa sedikit lebih lega mendengar itu. Mereka melanjutkan percakapan dengan membahas pekerjaan, kehidupan sehari-hari, dan topik-topik ringan. Tapi semakin lama, Dika merasa seperti ada sesuatu yang belum terucapkan. Apakah mereka berdua sudah benar-benar siap untuk perubahan ini? Apakah Maya merasa hal yang sama? Atau apakah dia hanya merasa kasihan padanya, seperti yang sering dikhawatirkan Dika?

Setelah beberapa waktu, Maya akhirnya memecah keheningan. “Dika, kamu tahu nggak sih, kadang aku suka mikir kalau kita ini agak buru-buru. Kita udah saling suka, tapi… kita belum bener-bener ngerti satu sama lain.”

Dika terkejut dengan pernyataan itu. “Maksud kamu?”

Maya menghela napas, matanya menatap lurus ke Dika. “Aku merasa kita nggak banyak ngobrol tentang hal-hal yang lebih dalam, yang bener-bener bisa bikin kita ngerti satu sama lain. Kita cuma ngobrol tentang hal-hal biasa, tapi nggak pernah ngomongin apa yang kita inginkan dalam hidup ini, apa yang kita cari dari hubungan ini.”

Dika terdiam sejenak. Maya benar. Selama ini, mereka hanya berbicara tentang hal-hal yang ringan, tanpa benar-benar menggali lebih dalam ke dalam perasaan dan harapan masing-masing. Ini mungkin saatnya untuk berbicara lebih terbuka. Dika merasa jantungnya berdebar. Bagaimana jika Maya punya harapan yang berbeda? Bagaimana jika dia tidak siap dengan apa yang Maya inginkan?

“Aku nggak tahu,” jawab Dika dengan suara pelan. “Aku merasa nyaman banget sama kamu, Maya. Tapi, kadang aku juga bingung, karena aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku nggak tahu bagaimana cara melangkah lebih jauh.”

Maya tersenyum lembut, lalu menggenggam tangan Dika di atas meja. “Aku juga merasa sama, Dika. Aku suka sama kamu, tapi kita perlu waktu untuk saling mengenal lebih dalam. Kita nggak perlu terburu-buru. Yang penting kita jujur sama perasaan masing-masing.”

Dika merasa sedikit lega mendengar itu. Mungkin Maya juga merasa hal yang sama. Mereka berdua sama-sama butuh waktu untuk lebih mengenal satu sama lain, tanpa terburu-buru. Mungkin itu adalah cara terbaik untuk memulai hubungan ini—dengan kesabaran dan kejujuran.

“Maya, aku nggak tahu harus ngomong apa, tapi aku merasa kita udah bikin keputusan besar. Aku nggak mau buat keputusan buru-buru, tapi aku juga nggak mau kita jadi canggung karena nggak tahu harus gimana.”

Maya menatap Dika dengan penuh perhatian. “Dika, aku nggak mau hubungan ini jadi beban buat kamu. Aku juga nggak mau kita saling menunggu tanpa kejelasan. Tapi yang aku inginkan adalah kita tetap bisa saling mengerti dan menerima satu sama lain, dengan segala kekurangan dan kelebihan kita.”

Dika merasa kata-kata Maya menyentuh hatinya. Mungkin memang benar, mereka tidak perlu buru-buru. Mereka berdua bisa mengambil waktu untuk saling mengenal, tanpa harus merasa tertekan untuk segera membuat hubungan ini menjadi sesuatu yang lebih serius. Tidak ada yang perlu dipaksakan.

Setelah makan malam selesai, mereka berdua berjalan keluar dari restoran dengan suasana yang lebih tenang. Hujan yang sempat reda kini mulai turun lagi, membuat jalanan tampak berkilau. Dika merasa lebih santai, meskipun hatinya masih penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Di luar, Maya menatap Dika dengan senyum kecil. “Terima kasih, Dika. Aku senang bisa bicara tentang hal ini. Aku rasa, kita bisa ambil langkah-langkah kecil untuk memahami satu sama lain.”

Dika mengangguk, merasa sedikit lebih lega. “Aku juga, Maya. Aku nggak ingin terburu-buru, tapi aku yakin kita bisa jalan bareng, nggak peduli seberapa lama prosesnya.”

Mereka berjalan beriringan di bawah hujan, merasa lebih tenang dengan keputusan yang mereka buat. Tak ada lagi tekanan atau keraguan yang mengganggu. Mungkin ini adalah langkah pertama yang benar—langkah yang diambil dengan hati-hati, tanpa memaksakan apa-apa. Meskipun tak ada jaminan apa yang akan terjadi di masa depan, mereka berdua tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan yang baru, penuh harapan dan kemungkinan.

———————–THE END———————

Source: SAHRI JAM ARIF
Tags: komedi cintapercintaan
Previous Post

TERTAWA DI BALIK KACA JENDELA

Next Post

DI ANTARA DUA WAKTU

Next Post
DI ANTARA DUA WAKTU

DI ANTARA DUA WAKTU

MERTUA VS MENANTU

MERTUA VS MENANTU

CINTA DI BALIK KOPI SUSU

CINTA DI BALIK KOPI SUSU

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In