Berikut adalah cerita “Drama Laporan Bulanan” dibagi menjadi enam bab, masing-masing sekitar 700 kata:
Bab 1: Awal Mula Krisis
Ari, seorang karyawan muda yang bekerja di bagian administrasi, duduk di mejanya dengan pandangan kosong. Seperti biasa, setiap akhir bulan, tugas yang paling menakutkan datang menghampiri—mengerjakan laporan bulanan. Sementara rekan-rekannya di sekitar meja bekerja dengan cekatan, Ari merasa tenggelam dalam tumpukan data yang harus dia olah.
Laporan bulan ini harus diserahkan ke atasan, Pak Suryo, besok pagi. Namun, Ari belum mengetik satu kata pun. Dia tahu bahwa ini bukan kali pertama, dan mungkin bukan yang terakhir kalinya dia terjebak dalam dilema yang sama. Waktu terus berlalu, dan detak jantungnya semakin cepat.
Ari memandangi layar komputer, mencoba untuk fokus, namun pikirannya berkelana. “Kenapa aku selalu seperti ini? Mengapa selalu menunda-nunda sampai detik terakhir?” gumamnya pelan. Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengerjakannya sebelumnya, selalu saja ada alasan untuk menunda. Namun, kali ini dia tidak punya pilihan lain. “Aku harus melakukannya, atau aku akan kehilangan pekerjaan ini,” pikirnya.
Sementara itu, di ruang rapat, Pak Suryo mengumpulkan seluruh tim untuk membahas laporan bulanan. “Saya ingin laporan bulan ini tidak hanya lengkap, tetapi juga rapi dan jelas. Semua data harus disajikan dengan cara yang mudah dipahami,” katanya dengan suara yang penuh wibawa.
Ari mengangguk pelan. Dia sudah terbiasa mendengar kata-kata itu setiap bulan, namun tetap saja, laporan tidak pernah selesai tepat waktu. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” pikirnya.
Bab 2: Kehebohan di Kantor
Pagi berikutnya, suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Semua orang sibuk mengetik laporan mereka, tetapi ada yang berbeda dengan Ari. Dia masih duduk di mejanya, terperangkap dalam kekacauan datanya.
“Eh, Ari, kamu sudah mulai?” tanya Rina, rekan kerja Ari yang sangat terorganisir, sambil melirik ke layar komputer Ari.
Ari hanya menggelengkan kepala dengan cemas. “Aku belum tahu mau mulai dari mana, Rin. Aku merasa ini akan jadi bencana besar,” jawabnya.
Rina tersenyum dengan penuh pengertian. “Santai aja, Ari. Ikuti langkah-langkah yang biasa kita lakukan, pasti selesai kok.” Rina melanjutkan pekerjaannya dengan cekatan, sementara Ari masih merasa cemas.
Rina menepuk bahu Ari. “Kamu harus yakin. Kalau ada yang kurang, tinggal minta bantuanku. Aku nggak keberatan kok.” Ari merasa sedikit lebih tenang, tapi tetap saja, waktu terus berjalan.
Di ruang rapat, Pak Suryo memeriksa kemajuan laporan dari semua tim. “Saya harap semua laporan sudah hampir selesai,” katanya. Semua orang mulai terlihat gelisah, terutama Ari yang masih terjebak dalam kebingungannya.
Ari berpikir keras. “Jika aku nggak menyelesaikannya sekarang, bisa-bisa aku dihukum. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.”
Bab 3: Drama Tengah Malam
Malam semakin larut, tetapi Ari masih terjebak dalam kebingungannya. Pekerjaan menumpuk di layar komputernya, dan dia merasa tidak ada yang bisa dilakukan. Semua langkah yang telah dijelaskan Rina terasa terlalu rumit untuk diikuti.
“Kenapa aku harus merasa seperti ini setiap bulan?” Ari bertanya pada dirinya sendiri. “Kenapa laporan ini selalu datang seperti badai?”
Tiba-tiba, dia mendapat pesan dari Vino, teman satu departemen. “Ari, kamu butuh bantuan? Kalau kamu butuh, aku bisa kasih beberapa tips supaya lebih cepat selesai.”
Ari membalas pesan itu dengan cepat. “Iya, tolong! Aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Ini sudah terlalu banyak.”
Vino membalas, “Coba lihat data yang sudah disusun oleh Rina. Itu bisa jadi referensimu. Kalau sudah, tinggal ringkas dan buat kesimpulannya.”
Ari membuka file yang dikirim Vino dan melihatnya dengan saksama. Ternyata, Rina sudah mengumpulkan hampir semua data yang dia butuhkan. Yang perlu dia lakukan hanya merapikan dan menambah sedikit penjelasan. Ari merasa sedikit lega. “Oke, aku bisa melakukannya,” pikirnya.
Namun, masalahnya bukan hanya data. Ketika dia mulai menulis, tiba-tiba layar komputer Ari mati. “Tidak! Apa yang harus aku lakukan sekarang?” teriaknya. Panik mulai menguasai dirinya.
Bab 4: Kejar Waktu
Waktu terus berjalan, dan Ari semakin gelisah. Sekarang sudah pukul dua pagi, dan laporan masih belum selesai. Matanya mulai terasa berat, dan rasa kantuk yang terpendam semakin sulit untuk ditahan. Namun, dia tahu, dia harus menyelesaikan laporan ini atau menghadapi konsekuensi yang lebih buruk.
Di meja sebelah, Rina yang sudah menyelesaikan laporannya sejak beberapa jam lalu, melirik ke arah Ari. “Ari, kamu belum tidur? Kenapa belum selesai?” tanyanya dengan penuh perhatian.
“Aku benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana. Data ini terlalu banyak,” jawab Ari, terlihat lelah.
Rina mendekat dan berkata, “Kamu harus tetap fokus. Kalau kamu sudah memasukkan data, yang penting adalah menyusun ringkasan yang jelas dan tepat. Percayalah, kamu pasti bisa.”
Ari mengangguk pelan, berusaha untuk tetap tenang. Dia kembali fokus pada layar komputer, bertekad untuk menyelesaikan laporan malam ini juga. Setiap ketikan terasa berat, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain.
Bab 5: Momen Terakhir
Pukul lima pagi, akhirnya laporan Ari hampir selesai. Rina membantu memeriksa dokumen yang sudah selesai ditulis. “Laporanmu sudah bagus, Ari. Tinggal sedikit koreksi saja,” kata Rina.
Ari merasa terkejut. “Serius? Aku hampir tidak percaya ini selesai.”
Rina tersenyum. “Kamu melakukannya! Semua berkat kerja kerasmu.”
Ari menatap layar komputernya dengan lega. Meskipun dia merasa kelelahan, dia tahu bahwa dia berhasil melewati masa-masa sulit ini berkat bantuan dari teman-temannya.
Bab 6: Penyelesaian dan Refleksi
Pagi itu, Ari dengan penuh percaya diri mengirimkan laporan bulanannya kepada Pak Suryo. Meskipun dia merasa sedikit cemas, akhirnya dia bisa menyelesaikannya dengan bantuan rekan-rekannya.
Di ruang rapat, Pak Suryo memeriksa laporan dari semua tim. “Laporan bulan ini bagus, semuanya. Saya senang kalian menyelesaikannya dengan baik,” ujarnya dengan senyum puas.
Ari merasa lega dan bangga, meskipun dia tahu, bulan depan, drama laporan bulanan ini akan kembali datang. Tapi kali ini, dia sudah belajar untuk tidak menunda dan meminta bantuan saat dibutuhkan. Dan mungkin, di bulan-bulan berikutnya, dia akan lebih siap.