• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
ANGIN PEMBUNUH

ANGIN PEMBUNUH

March 5, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
ANGIN PEMBUNUH

ANGIN PEMBUNUH

by SAME KADE
March 5, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 17 mins read

Bab 1: Kedatangan Arman

Arman duduk di dalam mobil sewaan yang melaju di jalanan berbatu, menuju Desa Waringin. Peta digitalnya tidak bisa menangkap lokasi desa ini dengan akurat, dan sinyal telepon mulai menghilang. Supirnya, seorang pria tua dengan wajah penuh keriput bernama Pak Darto, mengemudikan mobil dengan hati-hati.

“Kau yakin ingin pergi ke sana, Nak?” tanya Pak Darto, suaranya serak.

Arman mengangguk sambil mencatat sesuatu di buku kecilnya. “Aku seorang jurnalis, Pak. Aku ingin mencari tahu tentang kejadian di desa ini.”

Pak Darto mendesah pelan. “Aku sudah sering mengantar orang ke Waringin. Kebanyakan tak pernah kembali.”

Arman mengangkat alisnya. “Maksud Bapak?”

“Desa itu… ada kutukan,” jawab Pak Darto lirih. “Orang-orang bilang, angin di sana bisa membunuh.”

Arman tersenyum kecil, tidak sepenuhnya percaya. Ia telah mendengar berbagai rumor sebelum berangkat, tetapi menganggapnya hanya mitos belaka.

Setelah satu jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di gerbang desa. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan pepohonan di sekitar terlihat seperti menunduk seolah ketakutan.

Arman turun dari mobil dan mengamati desa yang tampak sunyi. Rumah-rumah kayu berdiri berjajar, namun hanya beberapa orang yang terlihat di jalanan. Tatapan mereka penuh curiga dan ketakutan.

Seorang pria tua dengan tongkat menghampiri Arman. Pakaiannya sederhana, dan matanya yang cekung menatapnya tajam.

“Kau orang luar?” tanyanya.

“Ya, saya Arman, jurnalis dari Jakarta,” jawab Arman sopan.

Pria tua itu mendengus. “Orang kota selalu datang dengan rasa ingin tahu, tapi tak semua pertanyaan punya jawaban.”

“Maaf, dengan siapa saya berbicara?”

“Rustam. Aku kepala desa di sini.”

Arman mengeluarkan notes dan bertanya, “Saya mendengar kabar tentang kematian aneh yang terjadi di desa ini. Bisakah Bapak memberitahu saya lebih banyak?”

Pak Rustam terdiam, lalu menggeleng. “Kau lebih baik pulang. Tak ada yang bisa kau selidiki di sini.”

Sebelum Arman bisa membalas, seorang wanita muda muncul dari dalam rumah dan berbisik kepada Pak Rustam. Wajahnya pucat dan tampak cemas.

“Bapak, ada lagi…”

Pak Rustam langsung berbalik. Tanpa menjelaskan apapun, ia berjalan tergesa-gesa. Arman merasa ada sesuatu yang terjadi dan memutuskan untuk mengikuti mereka.

Pak Rustam dan wanita muda itu berhenti di depan sebuah rumah kecil. Di dalamnya, seorang pria tergeletak di tempat tidur dengan mata terbuka lebar, mulutnya menganga seolah sedang berteriak, dan kulitnya membiru.

Arman menahan napas. Tidak ada luka fisik, tidak ada tanda kekerasan, tetapi ekspresi korban menunjukkan ketakutan luar biasa sebelum meninggal.

Seorang wanita tua, yang tampaknya istri korban, menangis pelan di sudut ruangan. “Dia sehat tadi malam… lalu angin itu datang…”

Arman menoleh. “Angin apa?”

Pak Rustam menghela napas panjang. “Setiap malam, ketika angin bertiup kencang, selalu ada yang mati.”

Arman mendekati tubuh korban, memperhatikan lebih dekat. Dingin. Seperti terkena hipotermia, padahal cuaca di luar tidak sedingin itu. Ia mencatat semua temuannya.

“Apakah dokter sudah memeriksa?” tanyanya.

Pak Rustam tertawa pendek, getir. “Tidak ada dokter di sini. Dan meskipun ada, mereka tak akan menemukan apa-apa.”

Arman semakin penasaran. Ada sesuatu yang disembunyikan penduduk desa ini.

Malam itu, Arman memutuskan untuk menginap di rumah kosong yang disediakan oleh Pak Rustam. Sebelum tidur, ia mendengar beberapa orang desa berbisik di luar.

“Kenapa orang luar itu ada di sini?”

“Dia akan mati juga kalau tetap tinggal.”

Arman pura-pura tidak mendengar. Ia menyalakan rekorder suaranya dan mencatat kejadian hari ini.

Sekitar tengah malam, suara angin mulai terdengar. Tidak seperti angin biasa—ada suara gemuruh aneh di dalamnya, seperti bisikan yang bercampur jeritan samar.

Arman merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia bangkit, menempelkan telinganya ke jendela. Angin bertiup lebih kencang. Sesuatu terasa aneh.

Tiba-tiba, pintu rumahnya bergetar keras. Seolah ada sesuatu di luar yang mencoba masuk.

Arman mengambil senter dan perlahan berjalan ke arah pintu. Namun, sebelum ia bisa membukanya, angin mendadak berhenti.

Suasana menjadi sunyi.

Arman menelan ludah. Ia memutuskan untuk kembali ke tempat tidur, tetapi malam itu ia tidak bisa tidur sama sekali.

Pagi harinya, Arman mendatangi Pak Rustam lagi.

“Saya ingin tahu lebih banyak tentang angin itu,” katanya tegas.

Pak Rustam menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. “Baiklah. Jika kau memang ingin tahu, datanglah ke rumahku nanti malam. Tapi bersiaplah. Tidak semua jawaban bisa kau terima dengan mudah.”

Arman tahu, petualangannya baru saja dimulai.**

Bab 2: Jejak Kematian

Pagi itu, Arman terbangun dengan kepala berat. Malam sebelumnya ia nyaris tak bisa tidur karena suara angin aneh yang berembus di luar rumah. Meski sudah terbiasa dengan berbagai situasi saat meliput berita, ada sesuatu tentang desa ini yang membuatnya gelisah.

Setelah merapikan diri, ia segera menuju rumah Pak Rustam, kepala desa. Saat tiba, suasana di sana lebih tegang dari kemarin. Beberapa warga berkumpul dengan wajah cemas.

“Ada apa?” tanya Arman.

Pak Rustam menatapnya tajam sebelum menjawab, “Satu lagi meninggal tadi malam.”

Arman merasakan ketegangan menjalar di tubuhnya. “Siapa korban kali ini?”

“Anak laki-laki, sepuluh tahun,” jawab Pak Rustam dengan nada berat. “Kami menemukannya di ranjangnya. Matanya terbuka, tubuhnya membiru. Sama seperti korban sebelumnya.”

Arman merasakan hawa dingin merayapi tubuhnya. Ini sudah korban kedua yang ia lihat sejak tiba di desa. Seakan setiap malam selalu ada jiwa yang direnggut oleh ‘angin pembunuh’ itu.

Ia segera menuju rumah keluarga korban. Di sana, ia mendapati ibu anak itu menangis tersedu, sementara beberapa warga membantu mempersiapkan pemakaman.

“Bisa saya melihatnya?” tanya Arman pelan.

Ibu anak itu hanya menangis lebih keras, tetapi seorang pria tua, yang tampaknya anggota keluarga, mengangguk dan mempersilakannya masuk.

Di dalam kamar, tubuh bocah itu masih terbaring di atas tempat tidur. Sama seperti korban sebelumnya, matanya terbuka lebar dan kulitnya membiru. Tidak ada tanda kekerasan, tidak ada luka—seakan hidupnya diambil begitu saja oleh sesuatu yang tak terlihat.

Arman mengeluarkan kamera dan memotret mayat tersebut. Ia tahu ini mungkin tindakan yang kurang sopan, tetapi ia harus mengumpulkan bukti.

Setelah selesai, ia menoleh pada Pak Rustam. “Ada yang aneh di sini. Ini bukan kematian biasa.”

Pak Rustam hanya menatapnya dengan mata gelap. “Aku sudah memperingatkanmu, Arman. Angin itu bukan angin biasa.”

Arman memutuskan untuk berbicara dengan lebih banyak penduduk desa. Namun, sebagian besar dari mereka enggan berbicara. Setiap kali ia menanyakan tentang kematian misterius atau angin aneh yang muncul di malam hari, mereka hanya menggeleng dan menghindar.

Namun, ada satu orang yang mau berbicara dengannya—Sari, cucu Pak Rustam.

“Ayo ikut aku,” katanya, menarik tangan Arman.

Ia membawanya ke sebuah gudang tua di belakang rumah kepala desa. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kayu yang sudah lapuk dan melangkah masuk.

“Kenapa kita ke sini?” tanya Arman curiga.

Sari menyalakan sebuah lampu minyak dan mengangkat sebuah peti kayu. Dengan susah payah, ia membukanya, memperlihatkan isinya—sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah usang.

“Ini catatan dari kakek buyutku,” katanya. “Dia dulu adalah dukun desa. Dia pernah menghadapi ‘angin pembunuh’ ini.”

Arman mengambil buku itu dan membukanya dengan hati-hati. Tulisan tangan di dalamnya masih bisa terbaca, meski sudah mulai pudar.

‘Angin itu bukan angin biasa. Itu adalah roh yang haus akan nyawa. Dahulu kala, ia adalah seorang pria yang dibunuh secara keji oleh penduduk desa ini. Roh itu bersumpah akan membalas dendam dan mengambil nyawa setiap malam hingga jiwanya merasa puas.’

Arman menelan ludah. “Jadi ini semacam kutukan?”

Sari mengangguk. “Kejadian ini pernah terjadi lima puluh tahun yang lalu, tapi saat itu kakek buyutku berhasil menghentikannya. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi setelah dia meninggal, angin itu kembali.”

Arman memandangi catatan itu dengan penuh perhatian. Jika ini benar, maka ada sesuatu yang lebih besar terjadi di desa ini. Ini bukan sekadar fenomena alam—ini adalah kisah lama yang kembali terulang.

Dengan petunjuk dari buku tua itu, Arman dan Sari memutuskan untuk mencari makam sang dukun.

Mereka berjalan ke bagian paling terpencil dari desa, melewati hutan kecil yang dipenuhi kabut tipis. Di sana, tersembunyi di antara pepohonan, terdapat sebuah pemakaman tua yang hampir terlupakan.

“Ini dia,” kata Sari, menunjuk sebuah nisan yang sudah tertutup lumut.

Arman membersihkan permukaan batu dan membaca tulisan di atasnya. Itu memang makam dukun yang disebut dalam buku.

Namun, ada sesuatu yang aneh.

Di sekitar makam itu, tanahnya tampak lebih gembur dibanding makam lain. Seperti baru saja digali kembali.

“Seseorang telah mengganggu makam ini,” kata Arman, merasakan firasat buruk menjalar di punggungnya.

Sari menelan ludah. “Kalau makam ini terusik, bisa saja itu alasan kenapa angin pembunuh kembali.”

Arman mengamati sekeliling. Tidak ada tanda-tanda siapa yang telah mengganggu makam ini, tetapi jelas ada seseorang yang bermain-main dengan sesuatu yang seharusnya tidak disentuh.

Malam itu, Arman kembali ke rumahnya, merasa bahwa ia semakin dekat dengan kebenaran. Namun, sebelum ia sempat menganalisis lebih jauh, angin kembali berembus.

Kali ini lebih kencang dari malam sebelumnya.

Arman segera mengambil kameranya dan membuka jendela. Di luar, dedaunan beterbangan, dan suara gemuruh terdengar semakin jelas. Ada sesuatu di dalam angin itu—bukan sekadar udara, tetapi suara, bisikan, bahkan mungkin… jeritan.

Tiba-tiba, pintu rumahnya terbanting terbuka.

Arman terkejut dan segera berlari ke pintu. Namun, sebelum ia bisa menutupnya, ia merasakan sesuatu yang aneh.

Udara di dalam rumah tiba-tiba menjadi sangat dingin.

Sebuah bayangan melintas di sudut matanya. Arman menoleh cepat, tetapi tidak melihat apa pun.

Namun, jantungnya berdegup kencang.

Karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang mengamatinya.

Pagi harinya, Arman bertemu kembali dengan Sari dan menceritakan apa yang terjadi.

“Kita harus mencari tahu siapa yang telah mengganggu makam itu,” katanya.

Sari mengangguk. “Aku rasa aku tahu siapa yang mungkin melakukannya.”

Arman menatapnya tajam. “Siapa?”

Sari ragu sejenak sebelum menjawab. “Pamanku… dia pernah mengatakan sesuatu tentang ingin membangkitkan kekuatan lama.”

Arman merasa darahnya berdesir. Jika benar ada seseorang yang sengaja membangkitkan angin pembunuh, maka ini bukan hanya tentang mengungkap misteri—ini tentang bertahan hidup.

Dan malam ini, mereka harus menemukan kebenarannya.***

Bab 3: Kutukan yang Terlupakan

Pagi itu, Arman dan Sari kembali ke makam tua di hutan kecil. Mereka membawa sekop, senter, dan buku catatan peninggalan kakek buyut Sari. Malam sebelumnya, Arman merasa seperti diawasi, dan angin yang berembus semakin kuat. Semua ini menegaskan bahwa mereka harus segera mengungkap misteri di balik angin pembunuh.

Mereka berdiri di depan makam dukun tua itu, tempat tanahnya tampak lebih gembur dibanding makam lain.

“Apa kita benar-benar akan menggali?” tanya Sari ragu.

Arman menghela napas. “Kita harus tahu apa yang terjadi. Jika makam ini benar-benar terganggu, bisa saja itu alasan kenapa angin pembunuh kembali.”

Dengan hati-hati, mereka mulai menggali. Tanah terasa lebih mudah diangkat, seakan memang belum lama dipindahkan. Setelah beberapa menit, sekop Arman membentur sesuatu yang keras.

“Makamnya kosong,” kata Arman, matanya membelalak.

Sari mundur selangkah, wajahnya pucat. “Mayatnya… hilang?”

Arman mengamati bagian dalam makam yang kini terbuka. Tidak ada kerangka, tidak ada kain kafan—hanya tanah yang berserakan dan sisa-sisa kayu peti mati yang sudah lapuk.

“Ada seseorang yang mengambil mayat dukun ini,” gumamnya. “Tapi kenapa?”

Sari menggigit bibirnya. “Kalau benar pamanku yang melakukannya… bisa saja dia berusaha membangkitkan sesuatu.”

Arman menoleh cepat. “Pamanmu… bisa kau jelaskan lebih banyak tentang dia?”

Sari mengangguk pelan. “Dia orang yang sangat percaya pada ilmu mistis. Dulu, sebelum kakekku meninggal, dia selalu mencari cara untuk membuka kembali kekuatan lama yang katanya dikunci di desa ini.”

Arman merasakan hawa dingin di tengkuknya. Jika paman Sari benar-benar mencoba membangkitkan sesuatu yang seharusnya dibiarkan mati, maka mereka mungkin dalam bahaya besar.

Sari mengajak Arman ke rumah pamannya, sebuah bangunan tua yang terletak di ujung desa. Tidak banyak orang yang berani mendekatinya, dan kini Arman tahu alasannya.

Rumah itu terlihat gelap meski siang hari. Jendela-jendelanya tertutup, dan halaman depannya dipenuhi ranting-ranting kering seolah tidak pernah dibersihkan.

“Apa kau yakin kita bisa masuk?” bisik Arman.

Sari menggenggam tangannya dengan gugup. “Kalau dia benar-benar melakukan sesuatu yang berbahaya, kita harus menghentikannya.”

Mereka berjalan mendekati pintu, yang ternyata tidak terkunci. Dengan hati-hati, Arman mendorongnya, dan engsel tua itu berderit keras.

Di dalam, rumah itu penuh dengan bau aneh—perpaduan antara dupa dan sesuatu yang lebih busuk.

Sari menutup hidungnya. “Bau apa ini?”

Arman menelusuri ruangan, matanya tertuju pada meja di sudut. Ada beberapa kertas bertuliskan aksara kuno, serta beberapa botol berisi cairan hitam pekat.

Namun, yang paling mengerikan adalah kain putih yang tergeletak di lantai.

Arman mendekat dan menarik kain itu.

Mereka menahan napas.

Di bawahnya ada tulang belulang manusia—dan berdasarkan bentuknya, kemungkinan besar itu adalah sisa-sisa mayat yang hilang dari makam dukun tua.

Sari membekap mulutnya agar tidak berteriak. “Dia benar-benar… melakukan ini.”

Arman melihat sebuah buku tua di samping tulang belulang itu. Isinya penuh dengan catatan tentang ritual kuno, serta satu halaman yang menonjol:

‘Roh yang dikunci akan bangkit dengan pengorbanan. Angin akan kembali berembus membawa kematian, dan desa ini akan tunduk seperti dulu.’

Arman menyadari sesuatu. Ini bukan sekadar kutukan yang kembali—ini adalah sesuatu yang dibangkitkan dengan sengaja.

Dan sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari belakang.

Paman Sari berdiri di ambang pintu. Matanya tajam, wajahnya penuh kemarahan.

“Kalian tidak seharusnya ada di sini,” katanya dengan suara rendah.

Sari berdiri tegak meski jelas gemetar. “Apa yang sudah kau lakukan, Paman?”

Lelaki itu tersenyum tipis. “Apa yang seharusnya dilakukan bertahun-tahun lalu.”

Arman maju selangkah. “Kau membangkitkan roh dukun itu, bukan?”

Paman Sari menatapnya tajam. “Bukan membangkitkannya. Aku melepaskan kekuatannya yang sudah lama disegel oleh nenek moyang kita.”

Sari tampak semakin ketakutan. “Tapi kenapa? Kenapa harus melepaskannya?”

Paman Sari mendekat. “Karena desa ini penuh dengan dosa. Lima puluh tahun lalu, roh itu tidak pernah benar-benar lenyap. Dia hanya tertidur, menunggu seseorang membebaskannya.”

Arman mengepalkan tangan. “Dan kau yang membebaskannya.”

Lelaki itu tersenyum. “Tunggu saja, sebentar lagi angin itu akan semakin kuat. Dan kali ini, tidak ada yang bisa menghentikannya.”

Sebelum mereka bisa bereaksi, Paman Sari mengangkat tangannya, menyebarkan bubuk hitam ke udara. Seketika, Arman dan Sari merasa pusing.

Ruangan itu mulai berputar, dan mereka kehilangan kesadaran.

Ketika Arman sadar, ia berada di luar rumah, terbaring di tanah. Sari di sampingnya, masih pingsan.

Di kejauhan, angin mulai bertiup kencang, lebih kencang dari sebelumnya.

Arman mencoba berdiri, meski tubuhnya masih lemas. Ia melihat ke langit—awan hitam menggantung, dan suara angin itu bukan lagi suara biasa. Ada bisikan-bisikan, suara tangisan, bahkan jeritan samar yang terdengar di antara hembusannya.

Paman Sari berdiri di tengah lingkaran simbol aneh yang digambar di tanah, mengangkat kedua tangannya ke langit.

“Angin pembunuh, bangkitlah!” teriaknya.

Arman berusaha bangkit, tetapi tubuhnya masih lemah. Ia menoleh ke arah Sari yang mulai sadar.

“Kita harus menghentikannya,” kata Arman dengan suara serak.

Sari menatapnya dengan ketakutan. “Bagaimana caranya?”

Arman mengingat buku catatan dukun tua yang mereka temukan. Ia mengeluarkannya dari saku dan membuka halaman terakhir.

‘Kutukan hanya bisa dihentikan dengan pengorbanan yang setimpal.’

Arman menatap Sari dengan ngeri. “Seseorang harus mengorbankan dirinya.”

Sari menelan ludah. “Kalau begitu… kita harus memastikan itu bukan salah satu dari penduduk desa.”

Mereka menatap Paman Sari yang masih berada di tengah ritualnya.

Dan Arman tahu, hanya ada satu cara untuk menghentikannya.**

Bab 4: Ritual Terlarang

Langit semakin gelap. Pusaran awan hitam berputar di atas desa, menciptakan suara gemuruh yang menggetarkan bumi. Angin bertiup kencang, membuat pepohonan melengkung seolah akan patah.

Arman dan Sari berdiri di tepi ritual, melihat dengan ngeri ke arah Paman Sari yang masih berdiri di tengah lingkaran simbol aneh. Dengan jubah hitam yang berkibar diterpa angin, ia mengangkat kedua tangannya, mulutnya terus melantunkan mantra dalam bahasa kuno.

“Angin pembunuh, bangkitlah! Ambil yang menjadi hakmu! Kembalilah dan penuhi takdirmu!” suaranya menggema, disertai raungan angin yang semakin menggila.

Tiba-tiba, jeritan terdengar dari arah desa. Arman menoleh dan melihat seorang wanita tua tersungkur di tanah, tubuhnya membiru dalam sekejap—sama seperti korban-korban sebelumnya.

“Satu lagi…” bisik Sari, suaranya bergetar. “Kita harus menghentikannya sekarang juga!”

Arman menatap buku catatan tua di tangannya. Ia tahu ada sesuatu yang masih belum mereka pahami. Ritual ini bukan hanya tentang membangkitkan roh, tetapi ada sesuatu yang lebih besar di baliknya.

“Kita harus tahu kenapa roh ini benar-benar bangkit,” kata Arman. “Bukan hanya karena ritual, tapi karena sesuatu yang lebih dalam.”

Sari menggigit bibirnya. “Mungkin… ada sesuatu yang belum kita baca?”

Dengan tangan gemetar, ia membalik halaman-halaman terakhir buku itu. Matanya melebar saat menemukan satu paragraf yang sebelumnya terlewat.

‘Roh yang dikurung bukan hanya seorang dukun biasa. Ia adalah penjaga keseimbangan desa ini. Namun, para tetua desa mengkhianatinya, mengorbankannya untuk menyegel kekuatan yang lebih besar. Jika segelnya dihancurkan, ia akan kembali menuntut balas.’

Arman merasakan hawa dingin menjalar di tubuhnya.

“Jadi… roh ini bukan hanya pembunuh?” gumamnya. “Dia adalah korban?”

Sari menatap ke arah pusaran hitam di langit, matanya dipenuhi ketakutan. “Jika itu benar… maka dia tidak akan berhenti sampai dendamnya terbalaskan.”

Angin semakin kuat, memaksa mereka untuk merunduk. Paman Sari tetap berdiri tegak di tengah pusaran ritual, seolah tak terganggu oleh badai yang ia ciptakan.

Arman mengambil langkah maju, berusaha mengabaikan dorongan angin yang mendorong tubuhnya ke belakang.

“Paman! Hentikan ini sekarang juga!” teriaknya.

Paman Sari menoleh, matanya berkilat merah di bawah cahaya remang-remang.

“Kalian tidak mengerti,” suaranya terdengar dingin. “Ini bukan sesuatu yang bisa dihentikan. Keadilan harus ditegakkan.”

Sari maju selangkah, matanya basah. “Paman, kalau kau terus melanjutkan ini, bukan hanya desa yang hancur… tapi juga kau sendiri.”

Lelaki tua itu tertawa pelan. “Aku sudah siap menerima akibatnya.”

Arman menggenggam erat buku tua itu. “Kalau kau tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, kau juga tahu bahwa roh itu tidak akan berhenti sebelum semua pelaku dihukum.”

Mata Paman Sari menyipit. “Justru itu yang aku inginkan.”

Sari menatap pamannya dengan ngeri. “Jadi… kau memang ingin desa ini hancur?”

“Bukan hancur,” jawabnya dingin. “Tapi membayar dosa mereka.”

Tiba-tiba, dari pusaran hitam di langit, sesosok bayangan mulai terlihat.

Sosok itu tinggi, dengan tubuh diselimuti kabut hitam pekat. Matanya bersinar merah, dan suara erangan samar terdengar dari mulutnya yang tidak berbentuk.

Arman merasakan napasnya tercekat. Roh itu telah bangkit sepenuhnya.

Sari bergetar ketakutan. “Apa yang harus kita lakukan?”

Arman membuka buku tua itu, mencari petunjuk terakhir. Ia membaca cepat hingga menemukan kalimat yang membuat jantungnya berdegup kencang.

‘Kutukan hanya bisa dihentikan dengan pengorbanan yang setimpal. Darah dukun harus dikembalikan ke tanah.’

Arman menatap Paman Sari. “Darah dukun… itu berarti…”

Sari menoleh ke pamannya yang masih berdiri di tengah ritual.

“Apa itu berarti… kita harus mengorbankan Paman?” bisiknya, matanya penuh ketakutan.

Arman menggenggam tangannya erat. “Jika kita tidak melakukannya, desa ini akan musnah.”

Sari terlihat bimbang. Air matanya mengalir, tetapi di matanya juga ada pemahaman.

Sementara itu, roh itu mulai bergerak, tangannya yang besar terangkat ke langit, seolah bersiap menyapu seluruh desa.

Angin semakin kuat. Tanah bergetar.

Paman Sari menatap roh itu dengan bangga. “Akhirnya… kau benar-benar bangkit.”

Namun, sebelum ia sempat berbicara lebih lanjut, sesuatu terjadi.

Roh itu menatapnya langsung—dan dalam sekejap, tubuh Paman Sari melayang ke udara.

Ia terkejut. “Apa yang—”

Seketika, tubuhnya diputar oleh badai yang ia ciptakan sendiri.

“Tidak! Aku yang membebaskanmu! Kau tidak bisa mengambilku!” teriaknya panik.

Tetapi roh itu tidak peduli.

Seketika, tubuh Paman Sari terhempas ke tanah dengan keras.

Ia tidak bergerak lagi.

Sari berlari ke arahnya, mengguncang tubuhnya. “Paman! Bangun!”

Darah mengalir dari kepalanya, tetapi ia masih bernapas lemah.

Arman menatap roh yang masih bergerak liar. “Sari, kita harus mengakhiri ini.”

Sari menggigit bibirnya. Ia menatap pamannya dengan air mata berlinang.

“Maafkan aku…” bisiknya.

Dengan tangan gemetar, ia meraih belati yang tergeletak di tanah—belati yang digunakan dalam ritual.

Paman Sari membuka matanya samar-samar, seolah mengerti apa yang akan terjadi.

Ia tersenyum lemah. “Aku sudah terlalu jauh… lakukanlah…”

Sari menahan tangisnya.

Dengan segenap keberanian yang tersisa, ia menancapkan belati itu ke dada pamannya.

Darah membasahi tanah.

Roh di udara tiba-tiba mengeluarkan raungan mengerikan. Angin berhenti berembus. Pusaran hitam di langit mulai memudar.

Dan perlahan, roh itu menghilang.

Malam itu, desa kembali sunyi.

Tetapi di hati Arman dan Sari, luka itu tidak akan pernah benar-benar sembuh.***

Bab 5: Desa Tanpa Angin

Pagi datang dengan sunyi. Tidak ada angin yang bertiup, tidak ada suara gemuruh dari langit. Semua terasa hampa, seolah desa ini telah kehilangan napasnya.

Arman berdiri di tepi lapangan ritual yang kini hanya menyisakan lingkaran bekas darah dan jejak tanah yang tercabik angin semalam. Tubuh Paman Sari telah dikuburkan dengan tenang, tetapi kesan mencekam dari kejadian semalam masih terasa jelas di udara.

Sari berdiri tak jauh darinya, menatap makam pamannya dengan mata kosong. Ia tidak menangis lagi, tetapi ada kehampaan yang sulit diungkapkan.

“Sudah selesai,” gumamnya.

Arman menoleh padanya. “Tapi harga yang kita bayar sangat mahal.”

Sari mengangguk pelan. “Aku tahu.”

Desa ini selamat, tetapi tidak akan pernah sama lagi.

Warga mulai keluar dari rumah mereka dengan wajah penuh keheranan. Mereka melihat ke langit yang kini cerah, mendengar suara burung yang kembali berkicau setelah seminggu penuh diteror oleh badai angin.

“Tapi…” salah satu warga, seorang lelaki tua, berbisik dengan nada ragu. “Kenapa tidak ada angin sama sekali?”

Arman juga menyadarinya. Biasanya, meski kecil, angin selalu berembus di desa ini. Tetapi kini, udara begitu diam. Tidak ada daun yang bergoyang, tidak ada debu yang berputar.

Sari menggigit bibirnya. “Apa ini… efek dari ritual itu?”

Arman kembali membuka buku catatan tua yang masih ia genggam. Ia membolak-balik halaman, mencari jawaban atas fenomena aneh ini.

Kemudian ia menemukannya.

‘Jika roh dukun telah kembali ke tanah dengan pengorbanan yang setimpal, keseimbangan akan kembali. Namun, jika ritual dihentikan sebelum waktunya, desa akan kehilangan satu unsur alamnya.’

Arman membaca kalimat itu berulang-ulang, lalu menatap ke sekeliling.

“Tidak ada angin,” katanya pelan. “Itu harga yang harus kita bayar.”

Sari menatapnya, lalu menundukkan kepala. “Jadi, desa ini… akan selamanya tanpa angin?”

Arman tidak tahu harus menjawab apa.

Hari-hari berlalu, dan desa benar-benar berubah.

Tanaman yang sebelumnya bergoyang oleh angin kini diam seolah membeku. Burung-burung yang biasa terbang melayang di udara terlihat kesulitan, seakan kehilangan dorongan alami dari angin.

Lebih dari itu, ada sesuatu yang terasa berbeda. Udara di desa ini lebih berat, lebih sunyi.

Beberapa warga mulai merasa ada sesuatu yang masih mengintai mereka.

“Apakah… roh itu benar-benar pergi?” bisik seorang ibu saat berbicara dengan tetangganya.

“Seharusnya begitu,” jawab tetangganya ragu.

Arman dan Sari tahu mereka harus mencari tahu lebih lanjut.

Mereka kembali ke rumah tua tempat mereka menemukan buku catatan itu.

Di dalamnya, mereka menemukan sesuatu yang belum mereka lihat sebelumnya—sebuah lembaran halaman yang tersembunyi di lipatan sampul buku.

Dengan hati-hati, Arman membukanya dan membaca isinya.

‘Jika angin hilang, maka roh itu masih ada, tetapi dalam bentuk yang lain.’

Sari menatapnya dengan mata melebar. “Jadi… dia masih di sini?”

Arman mengangguk perlahan.

“Tidak pergi,” bisik Sari, suaranya hampir tak terdengar. “Hanya berubah.”

Malam itu, Arman tidak bisa tidur.

Ia duduk di depan rumahnya, menatap pepohonan yang diam membisu. Bulan bersinar terang di langit, tetapi ada sesuatu yang membuatnya gelisah.

Sari datang menghampirinya. “Aku juga tidak bisa tidur,” katanya pelan.

Arman menoleh padanya. “Aku merasa… kita melewatkan sesuatu.”

Sari menarik napas dalam-dalam. “Aku juga merasa begitu. Tapi apa?”

Tiba-tiba, mereka mendengar suara gemerisik.

Mereka berdua menoleh ke arah kebun di belakang rumah. Tidak ada angin, tetapi dedaunan bergoyang.

Arman berdiri perlahan.

“Tidak mungkin…” gumamnya.

Mereka berjalan mendekati sumber suara itu. Setiap langkah terasa berat, karena ada ketakutan yang menyelinap di hati mereka.

Ketika mereka sampai di kebun, mereka melihat sesuatu yang membuat jantung mereka berhenti sesaat.

Bayangan hitam berdiri di tengah kebun.

Sosok tinggi dengan tubuh berselubung kabut hitam pekat, matanya bersinar merah, persis seperti yang mereka lihat pada malam ritual.

Tetapi kali ini, ia tidak bergerak liar. Ia hanya… berdiri di sana.

Sari menggenggam lengan Arman erat. “Dia masih di sini,” bisiknya, suaranya bergetar.

Arman menelan ludah. “Tapi kenapa dia tidak menyerang?”

Roh itu hanya berdiri di sana, menatap mereka.

Lalu, perlahan, ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah mereka.

Bibir Sari bergetar. “Apa maksudnya?”

Arman menelan ludah, lalu teringat sesuatu.

Ia membuka buku catatan itu sekali lagi dan membaca bagian terakhir dengan suara keras.

‘Jika roh masih bertahan, maka ada tugas yang belum selesai. Ia bukan hanya menuntut balas, tetapi juga meminta penerusnya.’

Arman merasakan hawa dingin menjalar di tubuhnya.

Ia menatap Sari dengan tatapan panik. “Dia… dia ingin seseorang menggantikannya.”

Sari membelalakkan mata. “Maksudmu… dia ingin kita menjadi penjaga keseimbangan desa ini?”

Arman tidak tahu harus berkata apa. Tetapi saat ia kembali menatap roh itu, ia bisa merasakan sesuatu.

Roh itu tidak lagi penuh kemarahan. Ada ketenangan di matanya yang bersinar merah.

Mereka bisa merasakan sebuah perintah yang tak terucapkan.

Dan kemudian, perlahan, roh itu mulai menghilang ke dalam tanah.

Ketika sosoknya lenyap, sesuatu terjadi.

Hembusan angin pertama sejak ritual itu terjadi.

Pelan, tetapi nyata.

Sari menatap Arman dengan wajah penuh kebingungan. “Apa yang baru saja terjadi?”

Arman menatap ke langit yang mulai berubah. “Aku tidak tahu…”

Tetapi mereka tahu satu hal.

Angin telah kembali.

Namun, desa ini telah berubah untuk selamanya.***

Prolog: Angin Pembunuh

Malam itu, langit dipenuhi oleh awan gelap yang menutupi seluruh kota. Suasana sepi dan mencekam, seolah-olah waktu itu berhenti sejenak. Tidak ada suara riuh kehidupan seperti biasanya—hanya hening, di tengah angin yang berhembus pelan, menyapu jalanan yang kosong. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada malam itu. Sesuatu yang membuat udara terasa berat, penuh dengan ancaman yang tak tampak.

Di balik tirai hujan yang deras, sebuah kejadian mengerikan baru saja dimulai. Dari jauh, suara langkah kaki terdengar, namun tidak ada seorang pun yang bisa terlihat. Di jalanan yang sunyi itu, sosok seorang pria berdiri di tengah hujan, matanya terpaku pada sesuatu yang hanya ia yang bisa lihat.

Pria itu bernama Arman, seorang detektif yang telah banyak menghadapi kasus-kasus rumit dan menegangkan. Namun malam itu, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang melampaui pemahamannya. Angin yang berhembus membawa bau asing, seperti darah yang sudah lama mengering, mencampuri aroma hujan yang segar. Arman menyadari bahwa angin ini bukan hanya sekadar angin biasa. Ia merasakan ada sesuatu yang tak terlihat, namun sangat nyata, yang mengintai di setiap sudut kota. Sebuah ancaman yang bisa datang kapan saja.

Kematian yang datang tanpa peringatan, tanpa jejak apapun, itulah yang membingungkan Arman. Semua korban yang ditemukan selama beberapa minggu terakhir mati dalam keadaan yang sama—pucat pasi, tubuh terkulai kaku, dan seolah-olah mereka mati bukan karena kekerasan fisik, tetapi karena sesuatu yang tidak bisa dipahami. Tidak ada bekas luka, tidak ada tanda-tanda penyiksaan, hanya rasa takut yang tersisa di wajah mereka. Hanya satu kesamaan yang ditemukan—setiap korban ditemukan dengan posisi yang sama, di tempat yang sepi, tepat setelah angin malam bertiup kencang.

Saat Arman menyusuri jalanan yang basah itu, ia merasa bahwa setiap langkahnya semakin mendekat pada jawaban. Di ujung jalan, tepat di hadapan sebuah rumah tua yang terletak di sudut kota, Arman berhenti. Rumah itu tampak begitu sunyi, dikelilingi oleh bayang-bayang yang menciptakan kesan menyeramkan. Beberapa orang yang tinggal di sekitar sini menghindar untuk mendekati rumah tersebut. Mereka bilang rumah itu dikutuk, dan siapa pun yang mendekatinya akan merasakan sesuatu yang mengerikan—sesuatu yang lebih jahat daripada apa pun yang bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Namun, Arman tidak bisa membiarkan mitos dan cerita menakutkan menghentikannya. Dia tahu ada sesuatu di dalam rumah itu yang perlu ditemukan, sesuatu yang bisa mengungkap misteri di balik serangkaian kematian yang tidak bisa dijelaskan. Ia mendekati rumah itu dengan hati-hati, mengamati setiap sudut dan celah yang mungkin bisa memberikan petunjuk lebih lanjut.

Saat Arman membuka pintu rumah yang berderit pelan, ia merasa hawa dingin menyeruak keluar, menyapa kulitnya dengan rasa tajam yang langsung menyelinap ke dalam tulang. Rumah itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu jalan yang jauh di luar. Debu menutupi setiap permukaan, dan udara di dalamnya terasa kering, seolah-olah tidak ada kehidupan yang pernah memasuki tempat ini selama bertahun-tahun.

Langkah Arman terdengar pelan di atas lantai kayu yang usang, dan saat ia berjalan lebih jauh, tiba-tiba sebuah suara terdengar dari dalam rumah. Suara itu seperti bisikan angin yang menggema, tidak bisa dikenali dengan jelas, namun terasa mengerikan. Tanpa berpikir panjang, Arman mempersiapkan diri, menarik pistol dari pinggangnya, dan perlahan melangkah menuju sumber suara.

“Siapa di sana?” Arman berseru dengan suara yang tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Jawaban yang ia terima adalah sebuah keheningan yang mematikan. Sejenak, ia mengira bahwa mungkin suara itu hanya imajinasinya. Namun, saat ia terus melangkah lebih dalam, rasa takut yang menggerayangi hatinya semakin menguat.

Kemudian, seolah-olah sebagai balasan, angin kencang tiba-tiba bertiup melalui jendela-jendela yang terbuka sedikit. Angin itu menyapu ruangan dengan keras, mengangkat beberapa tumpukan debu yang ada di lantai. Hembusan angin yang aneh itu mengarah langsung pada Arman, seperti menariknya menuju satu titik tertentu. Ada sesuatu di dalam angin itu—sebuah kekuatan yang tidak bisa dijelaskan.

Namun, sebelum Arman bisa melakukan apa pun, tubuhnya terasa berat. Angin itu semakin kuat, seakan berusaha menyeretnya ke dalam kegelapan. Rasa takut yang luar biasa menguasai tubuhnya, dan meskipun ia berusaha untuk tetap teguh, tubuhnya terasa semakin lemah. Mata Arman mulai berkunang-kunang, dan dalam sekejap, ia merasakan dirinya terjatuh ke tanah, tak berdaya.

Ketika Arman sadar kembali, ia sudah berada di sebuah ruangan yang asing, dengan lantai yang tertutup tanah basah. Suara angin masih terdengar, namun kali ini lebih halus, seolah berada di kejauhan. Punggungnya terasa sakit, dan saat ia mencoba bangkit, ia menyadari bahwa tubuhnya tidak bisa bergerak. Rantai besi yang dingin terikat di pergelangan tangannya, menghalanginya untuk bergerak.

Kemudian, sebuah suara terdengar dari balik bayangan gelap, suara yang membuat Arman merinding. “Kau sudah datang,” suara itu bergema dengan kekuatan yang menakutkan. “Angin yang membawa kematian telah datang, dan kau adalah salah satu yang terpilih.”

Arman terdiam. Suara itu bukan suara manusia. Itu suara sesuatu yang lebih besar, lebih jahat, dan lebih kuno. Angin itu—angin yang membawa kematian—bukan sekadar sebuah fenomena alam. Itu adalah kekuatan yang mengendalikan hidup dan mati, sebuah entitas yang mengatur takdir.

“Siapa kamu?” Arman berusaha bertanya meskipun suaranya tercekat. “Apa yang kamu inginkan dari semua ini?”

Tawa yang dalam dan mengerikan terdengar dari kegelapan. “Kami, penjaga angin, menjaga keseimbangan dunia. Kematian yang datang melalui angin adalah ujian, sebuah proses yang tidak dapat dihindari. Dan kini, kau akan menjadi bagian dari ujian ini.”

Arman merasakan darahnya dingin. Ia tahu, kini ia berada di hadapan sesuatu yang lebih besar dari sekadar misteri biasa. Ini bukan hanya tentang pembunuhan. Ini adalah tentang kekuatan yang lebih tua dari zaman manusia, yang mengendalikan hidup dan kematian.

Angin itu berhembus lagi, semakin kencang, dan Arman merasa tubuhnya semakin lemah. Suara-suara bisikan itu semakin mendalam, seolah berusaha menguasai pikirannya. Dan saat itu, Arman tahu bahwa untuk mengungkap kebenaran di balik angin pembunuh ini, ia harus menghadapi lebih dari sekadar ancaman fisik. Ia harus menghadapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya dan lebih tak terjangkau—sebuah kekuatan yang dapat mengubah takdir dan hidup manusia***

————–THE END————-

Tags: #Misteri #Horror #Thriller #Supernatural #Kutukan #RitualTerlarang #BalasDendam #LegendaDesa #RahasiaKuno #AnginMaut #Dukun #RohJahat #Pengorbanan #Kesunyian #CeritaMencekam #KisahTragis
Previous Post

Biadab dan Bangsat, Investigasi Horor Hutan Penambangan Ilegal

Next Post

BAYANGAN DI LORONG SUNYI

Next Post
BAYANGAN DI LORONG SUNYI

BAYANGAN DI LORONG SUNYI

MISTERI PEMBUNUHAN DI BALIK TIRAI

MISTERI PEMBUNUHAN DI BALIK TIRAI

MAKHLUK DARI BAYANGAN

MAKHLUK DARI BAYANGAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In