Bab 1: Rumah Warisan
Matahari senja perlahan tenggelam di balik cakrawala saat Anya berdiri di depan rumah tua yang kini menjadi miliknya. Bangunan itu menjulang megah dengan arsitektur kolonial yang elegan, jendela-jendelanya tinggi dan lebar, seakan menjadi mata-mata bisu yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Rumah ini adalah peninggalan Adrian, suaminya, yang meninggal tiga bulan lalu dalam sebuah kecelakaan tragis.
Angin sore berembus pelan, menggoyangkan dedaunan di halaman yang luas. Anya merapatkan jaketnya, merasakan hawa dingin yang merayapi kulitnya. Ada sesuatu yang aneh tentang rumah ini. Ia tidak pernah benar-benar merasa nyaman setiap kali datang ke sini bersama Adrian dulu. Kini, rumah ini menjadi miliknya sepenuhnya, tapi ada perasaan ganjil yang tak bisa ia abaikan.
Anya menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia melangkah ke pintu utama, membuka kunci yang telah lama berkarat, dan mendorong pintu itu dengan sedikit usaha. Engselnya berderit pelan, menambah suasana suram yang menyelimuti rumah tersebut. Aroma kayu tua bercampur debu langsung menyeruak ke hidungnya, membawa serta kenangan-kenangan yang telah lama terkubur.
Interior rumah itu masih sama seperti terakhir kali ia datang—meja kayu mahoni di ruang tamu, sofa berwarna cokelat tua, dan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit tinggi. Dindingnya dipenuhi rak buku yang berisi koleksi Adrian, kebanyakan tentang hukum dan sejarah. Sejak kematian suaminya, ia belum pernah kembali ke sini. Bahkan, ia nyaris melupakan keberadaan rumah ini hingga pengacara keluarga menghubunginya untuk mengurus warisan.
Anya melangkah masuk lebih dalam, menyalakan satu per satu lampu ruangan. Cahaya kekuningan berpendar lembut, tetapi tetap saja tak mampu mengusir bayang-bayang yang bersembunyi di sudut-sudut rumah. Rasanya seperti ada yang mengawasinya dari kegelapan.
Ia menggigit bibir, menertawakan dirinya sendiri dalam hati. “Hanya perasaanku saja,” gumamnya pelan.
Namun, perasaan tidak nyaman itu tak kunjung hilang. Ia memutuskan untuk berkeliling rumah, memastikan bahwa semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Ia berjalan menuju dapur, membuka lemari-lemari tua yang berderit setiap kali disentuh. Tak ada yang aneh. Hanya beberapa piring dan cangkir yang tersusun rapi.
Saat ia kembali ke ruang tamu, matanya tertuju pada tangga kayu yang mengarah ke lantai dua. Sejak dulu, ia tidak terlalu menyukai bagian atas rumah ini. Adrian selalu melarangnya masuk ke salah satu kamar di sana, dengan alasan bahwa itu adalah ruang kerja pribadinya.
Kini, ketika Adrian sudah tiada, rasa ingin tahunya semakin membuncah. Ia ingin tahu apa yang selama ini disembunyikan suaminya.
Dengan langkah ragu, ia menaiki tangga perlahan, setiap pijakan mengeluarkan suara berderit yang terdengar nyaring di tengah kesunyian. Jantungnya berdegup lebih cepat. Saat tiba di lantai atas, ia menyapu pandangan ke lorong panjang yang diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu gantung kecil.
Pintu-pintu kamar berjejer di sepanjang lorong, tetapi ada satu yang menarik perhatiannya. Pintu kayu berwarna gelap di ujung lorong, satu-satunya yang terkunci selama ini.
Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Ia mencoba membukanya, tetapi terkunci. Anya mendesah, mengutuk dirinya sendiri karena tidak berpikir untuk mencari kunci sebelumnya.
Saat ia hendak berbalik, sesuatu menarik perhatiannya. Ada selembar kertas kecil yang terselip di bawah pintu. Dengan hati-hati, ia membungkuk dan mengambilnya. Kertas itu tampak tua, dengan tulisan tangan yang tampak terburu-buru.
“Jangan percaya siapa pun. Rahasia ada di ruang bawah tanah.”
Dada Anya berdebar kencang. Tulisan siapa ini? Apa maksudnya?
Anya menggigit bibir, mencoba berpikir jernih. Jika ada ruang bawah tanah, mengapa ia tidak pernah mengetahuinya? Seingatnya, rumah ini hanya memiliki dua lantai dan tidak pernah disebut-sebut memiliki ruang bawah tanah.
Ia kembali menelusuri lorong dengan langkah cepat, perasaannya semakin tak menentu. Begitu tiba di ruang tamu, ia mulai memeriksa lantai, dinding, dan sudut-sudut rumah, mencari sesuatu yang mungkin luput dari perhatiannya selama ini.
Setelah beberapa saat, ia melihat sesuatu yang aneh di bagian belakang perpustakaan kecil Adrian. Sebuah rak buku tampak lebih menonjol dibanding rak-rak lainnya, seperti tidak benar-benar menempel di dinding.
Jantungnya berdebar saat ia mencoba menarik rak itu. Butuh sedikit usaha sebelum akhirnya rak itu bergeser, memperlihatkan sebuah pegangan kecil di dinding.
Dengan napas tertahan, Anya menarik pegangan itu. Sebuah suara mekanis terdengar, dan lantai di dekatnya bergeser perlahan, memperlihatkan tangga yang mengarah ke kegelapan.
Sebuah ruang bawah tanah.
Jantungnya semakin berdegup. Ia ragu sejenak, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar daripada ketakutannya. Dengan senter dari ponselnya, ia mulai menuruni tangga. Suasana semakin dingin dan lembap, membuat bulu kuduknya meremang.
Setelah beberapa langkah, ia tiba di sebuah ruangan kecil yang hanya diterangi oleh cahaya samar dari sela-sela lantai atas. Di dalamnya, ada sebuah meja kayu, tumpukan dokumen, dan sebuah brankas besi tua.
Anya melangkah lebih dekat, menatap tumpukan dokumen yang tertata rapi. Dengan tangan gemetar, ia mengambil salah satu berkas dan mulai membacanya.
Matanya membelalak.
Dokumen-dokumen ini bukan sekadar dokumen biasa. Ini adalah bukti transaksi keuangan yang mencurigakan, sejumlah nama yang dicoret dengan tinta merah, dan… sebuah surat dengan tanda tangan Adrian.
Anya menggigit bibirnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk.
Apa yang telah Adrian lakukan?
Saat ia masih berusaha memahami dokumen-dokumen itu, suara dari atas membuatnya terkejut.
Seseorang ada di rumahnya.
Langkah kaki terdengar pelan namun jelas di lantai atas.
Anya menahan napas, ketakutan menjalar di tubuhnya. Ia menutup dokumen-dokumen itu dengan cepat dan mematikan lampu ponselnya.
Dalam kegelapan ruang bawah tanah, ia hanya bisa mendengar detak jantungnya yang berpacu kencang.
Langkah kaki itu semakin mendekat.
Seseorang… sedang mencarinya.**
Bab 2: Bayangan di Balik Jendela
Anya duduk di sofa ruang tamu dengan gelisah. Pikirannya masih dipenuhi oleh apa yang baru saja ia temukan di ruang bawah tanah—dokumen-dokumen mencurigakan yang menyangkut nama suaminya, Adrian. Siapa orang-orang dalam dokumen itu? Apa yang sebenarnya terjadi sebelum Adrian meninggal?
Namun, yang lebih mengganggunya adalah suara langkah kaki yang ia dengar di lantai atas tadi. Ia tahu rumah ini seharusnya kosong. Sejak ia datang sore tadi, tidak ada seorang pun selain dirinya.
Tapi tadi, suara langkah itu begitu jelas.
Ia meneguk segelas air untuk menenangkan diri, lalu memutuskan untuk mengecek keadaan sekitar. Dengan tangan gemetar, ia meraih senter dan perlahan berjalan ke lantai dua. Tangga kayu berderit pelan di bawah pijakannya. Setiap langkah terasa begitu berat, seakan-akan ia sedang menuju sesuatu yang tak ingin ia temui.
Saat tiba di lantai atas, ia berhenti sejenak dan mengatur napas. Ia menatap lorong panjang yang remang-remang. Lampu kecil di ujung lorong berkedip sesekali, menambah kesan menyeramkan. Ia melangkah perlahan, memastikan setiap pintu tertutup seperti sebelumnya.
Sampai akhirnya, ia sampai di depan kamar tamu.
Jendela kamar itu menghadap halaman belakang yang dipenuhi pepohonan rindang. Dulu, Adrian sering menggunakan kamar ini sebagai ruang kerja cadangan ketika ia ingin suasana berbeda. Tapi yang menarik perhatian Anya sekarang bukanlah kenangan masa lalu, melainkan sesuatu yang ia lihat sekilas saat menaiki tangga tadi.
Bayangan.
Ia yakin tadi ada bayangan seseorang berdiri di balik jendela kamar ini. Sesosok siluet samar, seolah sedang mengawasinya.
Dengan tangan gemetar, ia meraih gagang pintu dan perlahan mendorongnya.
Pintu terbuka dengan sedikit derit, memperlihatkan ruangan yang gelap dan sunyi. Tidak ada siapa pun di sana.
Anya menyalakan lampu dan melangkah masuk. Ruangan itu terlihat normal—tidak ada tanda-tanda orang lain. Namun, ketika ia berbalik untuk menutup pintu, sesuatu membuatnya merinding.
Di kaca jendela, ada bekas tangan.
Bekasnya samar, seperti baru saja disentuh oleh seseorang yang tangannya lembap atau berkeringat. Anya menelan ludah. Ia yakin tadi tidak ada siapa pun di rumah ini. Lalu, siapa yang meninggalkan jejak itu?
Jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat, ia menutup tirai jendela dan kembali ke ruang tamu. Perasaannya semakin tidak tenang. Ia harus mencari tahu lebih banyak tentang rumah ini dan rahasia yang mungkin ditinggalkan oleh Adrian.
Malam itu, ia mencoba tidur di kamar utama, tetapi kegelisahan membuatnya tetap terjaga. Setiap suara kecil terdengar begitu jelas dalam kesunyian rumah tua itu. Angin yang berhembus membuat jendela berderit, dan dedaunan di luar bergesekan seperti bisikan samar.
Kemudian, sekitar pukul dua dini hari, ia mendengar sesuatu.
Suara langkah kaki.
Tapi kali ini, suara itu bukan dari lantai atas. Suara itu berasal dari luar kamar, di lorong.
Anya membeku.
Ia menahan napas, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya ilusi atau mungkin suara rumah yang bergerak karena usia. Namun, langkah itu semakin mendekat.
Pelan. Berhati-hati.
Seperti seseorang yang sedang berjalan di luar kamarnya.
Anya meraih ponselnya dengan tangan gemetar dan membuka kamera. Ia mengarahkan kamera ke celah bawah pintu, berharap bisa melihat sesuatu tanpa harus membuka pintu.
Saat ia melihat layar ponselnya, napasnya tercekat.
Bayangan kaki seseorang berhenti tepat di depan kamarnya.
Ia hampir menjerit, tetapi segera menutup mulutnya dengan tangan. Dadanya terasa sesak, tubuhnya bergetar hebat. Siapa itu? Apa yang mereka inginkan?
Langkah itu berhenti selama beberapa detik, lalu perlahan menjauh. Anya menunggu hingga suara itu benar-benar menghilang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengintip keluar.
Lorong itu kosong.
Ia merasa seakan kehilangan keseimbangan. Ini bukan lagi perasaan tidak nyaman—ini adalah teror nyata. Seseorang ada di rumah ini bersamanya.
Dengan tangan gemetar, ia menelepon polisi. Suaranya hampir tak terdengar saat berbicara dengan petugas, tetapi ia berhasil menjelaskan bahwa ia merasa ada penyusup di rumahnya.
Tidak butuh waktu lama sebelum dua petugas tiba di depan rumahnya. Mereka langsung memeriksa setiap sudut rumah, termasuk lantai atas dan halaman belakang. Setelah beberapa saat, salah satu petugas, Pak Ridwan, kembali kepadanya.
“Tidak ada tanda-tanda ada orang lain di sini, Bu Anya,” katanya dengan nada lembut. “Semua pintu dan jendela terkunci dari dalam. Tidak ada tanda-tanda perampokan atau penyusupan.”
Anya masih gemetar. “Tapi saya mendengar langkah kaki. Saya melihat bayangan di jendela, dan… ada bekas tangan di kaca.”
Pak Ridwan bertukar pandang dengan rekannya, lalu mengangguk pelan. “Mungkin Anda terlalu lelah, Bu. Rumah ini sudah lama kosong, dan kadang-kadang rumah tua memang mengeluarkan suara-suara aneh.”
Anya ingin membantah, tetapi ia menyadari bahwa tidak ada bukti nyata yang bisa ia tunjukkan. Kamera ponselnya tidak merekam kejadian tadi, dan bekas tangan di jendela entah bagaimana menghilang.
Setelah memastikan tidak ada ancaman nyata, polisi akhirnya pergi, meninggalkan Anya sendirian lagi.
Ia duduk di sofa, memeluk dirinya sendiri. Ini bukan sekadar paranoia. Ia tahu ada sesuatu di rumah ini. Sesuatu yang tersembunyi.
Ia mengambil napas dalam-dalam dan menguatkan hatinya. Jika polisi tidak bisa membantunya, maka ia harus mencari jawaban sendiri.
Keesokan paginya, ia memutuskan untuk menghubungi seorang teman lama, Satria, yang bekerja sebagai jurnalis investigasi.
“Aku butuh bantuanmu,” katanya begitu Satria menjawab telepon.
“Apa yang terjadi, Anya?” tanya Satria dengan nada serius.
“Aku merasa ada sesuatu yang janggal di rumah ini. Aku menemukan dokumen aneh di ruang bawah tanah, lalu semalam aku melihat bayangan seseorang di jendela. Aku juga mendengar langkah kaki… tapi polisi tidak menemukan apa pun.”
Satria terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku akan ke sana sore ini. Jangan lakukan apa pun sampai aku datang.”
Anya menghela napas lega. Setidaknya, ada seseorang yang percaya padanya.
Namun, saat ia menutup telepon dan berbalik, jantungnya nyaris berhenti.
Di jendela ruang tamu, di balik tirai tipis yang tertiup angin, bayangan itu masih ada. **
Bab 3: Rahasia Adrian
Pagi itu, Anya duduk di meja dapur dengan secangkir kopi yang hampir dingin di tangannya. Ia belum tidur sejak kejadian semalam. Bayangan seseorang di jendela, langkah kaki di lorong, dan perasaan terus-menerus diawasi membuat pikirannya kalut.
Satria, teman lamanya yang bekerja sebagai jurnalis investigasi, akan datang sore ini. Itu memberinya sedikit ketenangan. Setidaknya, ada seseorang yang percaya bahwa apa yang ia alami bukan sekadar imajinasi atau efek rumah tua yang kosong terlalu lama.
Namun, Anya tahu ia tidak bisa hanya duduk diam menunggu. Ada sesuatu yang disembunyikan Adrian, dan ia harus mengetahuinya.
### *Misteri Dokumen di Ruang Bawah Tanah*
Ia berjalan menuju perpustakaan tempat ia menemukan ruang bawah tanah tersembunyi. Rak buku besar yang sebelumnya ia geser masih dalam posisi terbuka, memperlihatkan tangga yang mengarah ke ruangan gelap di bawahnya.
Dengan senter di tangan, ia kembali turun. Aroma lembap dan debu memenuhi udara. Cahaya samar dari celah lantai atas membuat suasana semakin suram. Ia menatap meja kayu tempat dokumen-dokumen mencurigakan itu berada.
Tangannya gemetar saat ia membuka salah satu berkas lagi. Kali ini, ia membaca lebih teliti.
Di antara tumpukan kertas, ada beberapa dokumen keuangan yang menunjukkan transaksi dalam jumlah besar. Nama Adrian tertera di beberapa dokumen, tetapi ada juga nama-nama lain yang tidak ia kenal. Salah satunya adalah *Johan Pratama*, seorang pengusaha yang cukup terkenal di kota ini.
Anya mengerutkan kening. Johan Pratama sering muncul di berita sebagai pebisnis sukses, tetapi ada desas-desus bahwa ia terlibat dalam kasus korupsi dan pencucian uang. Mengapa nama Adrian ada di sini bersamanya?
Ia terus membaca, hingga matanya menangkap sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Sebuah surat tangan yang tampaknya ditulis oleh Adrian sendiri.
Anya, jika kau menemukan ini, itu berarti aku sudah tidak ada. Aku minta maaf karena menyembunyikan banyak hal darimu. Aku hanya ingin kau aman. Tapi jika mereka datang mencarimu, kau harus pergi. Jangan percaya siapa pun. Johan bukan satu-satunya yang terlibat. Aku sudah menggali terlalu dalam.
Tangannya mulai gemetar. Ini bukan hanya tentang dokumen keuangan. Adrian tahu sesuatu yang berbahaya. Sesuatu yang cukup besar untuk membuatnya takut akan nyawanya sendiri.
Tapi siapa ‘mereka’ yang ia maksud?
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara ketukan keras di pintu depan membuatnya tersentak.
Tamu Tak Diundang
Anya buru-buru naik ke lantai atas dan menutup kembali rak buku yang menyembunyikan ruang bawah tanah. Ia mengintip dari balik tirai ruang tamu.
Di depan rumahnya, berdiri seorang pria berpakaian formal dengan jas hitam. Wajahnya kaku, ekspresinya dingin.
Ia tidak mengenal pria itu.
Ketukan kembali terdengar, lebih keras kali ini.
Dengan hati-hati, Anya membuka pintu sedikit. “Ya?” tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin.
“Anya Putri?” pria itu bertanya dengan suara rendah.
“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”
Pria itu mengamati Anya sejenak sebelum mengeluarkan kartu namanya. *Reza Kurniawan – Investigator Swasta.*
“Ada yang ingin saya tanyakan tentang suami Anda, Adrian,” katanya.
Anya menegang. “Saya tidak tahu apakah saya bisa membantu.”
“Percayalah, Anda ingin mendengar ini,” kata Reza dengan nada serius.
Ragu-ragu, Anya akhirnya membuka pintu lebih lebar dan mengizinkan pria itu masuk.
Mereka duduk di ruang tamu. Anya memperhatikan pria itu dengan cermat, mencoba membaca niatnya.
“Saya sudah lama menyelidiki kasus Adrian,” kata Reza, langsung ke intinya. “Sebelum meninggal, suami Anda sedang mencari bukti untuk mengungkap sebuah jaringan korupsi dan kejahatan terorganisir yang melibatkan beberapa nama besar.”
Anya menggigit bibir. “Saya menemukan beberapa dokumen di rumah ini… dan sebuah surat dari Adrian.”
Mata Reza menyipit. “Dokumen apa?”
Anya tidak langsung menjawab. Ia tidak tahu apakah bisa mempercayai pria ini.
Seolah bisa membaca pikirannya, Reza berkata, “Saya tahu ini sulit bagi Anda. Tapi percayalah, saya ada di pihak Anda. Adrian pernah menghubungi saya beberapa minggu sebelum kecelakaannya. Dia mengatakan bahwa jika sesuatu terjadi padanya, kemungkinan besar itu bukan kecelakaan.”
Jantung Anya mencelos. “Apa maksud Anda?”
“Saya yakin Adrian tidak meninggal karena kecelakaan biasa,” kata Reza pelan. “Dia dibunuh.”
Anya merasa seluruh tubuhnya melemah. “Tapi polisi bilang itu kecelakaan. Mobilnya tergelincir ke jurang.”
“Itu yang ingin mereka percayai,” kata Reza. “Tapi ada beberapa kejanggalan. Kamera CCTV di sekitar lokasi kecelakaan mati selama satu jam sebelum kejadian. Selain itu, beberapa saksi di sekitar tempat itu melaporkan melihat sebuah SUV hitam yang tampak mencurigakan tidak lama sebelum kecelakaan terjadi.”
Anya merasakan hawa dingin merayapi tubuhnya. Adrian… dibunuh?
“Siapa yang melakukannya?” suaranya hampir berbisik.
Reza menghela napas. “Saya belum tahu pasti. Tapi Johan Pratama adalah salah satu tersangka utama. Ia punya banyak koneksi, termasuk ke dalam kepolisian dan politikus. Adrian mungkin menemukan sesuatu yang bisa menjatuhkan mereka.”
Anya memejamkan mata sejenak. Semua ini terlalu banyak untuk dicerna sekaligus.
“Saya harus menunjukkan sesuatu,” akhirnya ia berkata. Ia bangkit dan berjalan menuju perpustakaan, lalu membuka rak buku yang menyembunyikan ruang bawah tanah.
Reza mengikutinya dengan mata penuh kewaspadaan. “Jadi, ini yang Adrian sembunyikan…”
Mereka turun ke ruang bawah tanah, dan Anya menunjukkan dokumen-dokumen yang ia temukan. Reza membolak-balik halaman dengan ekspresi serius.
“Ini… lebih besar dari yang saya kira,” gumamnya. “Jika ini sampai ke tangan yang salah, nyawa Anda dalam bahaya.”
Anya menelan ludah. “Jadi, apa yang harus saya lakukan?”
Reza berpikir sejenak. “Pertama, kita harus menyimpan salinan semua dokumen ini. Saya punya koneksi di media yang bisa membantu mengungkap ini ke publik. Tapi yang lebih penting, kita harus berhati-hati. Jika Johan tahu Anda memiliki ini, Anda bisa menjadi target berikutnya.”
Anya merasa ketakutan, tetapi juga marah. Adrian telah mati karena mencoba mengungkap kebenaran. Ia tidak bisa membiarkan kematiannya sia-sia.
“Apa pun yang terjadi, saya ingin tahu kebenarannya,” katanya dengan suara tegas.
Reza mengangguk. “Kalau begitu, kita harus bergerak cepat.”
Saat mereka kembali ke ruang tamu, Anya tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada seseorang yang mengawasi mereka.
Ia melirik ke jendela.
Dan di sana, di balik kaca, bayangan itu masih ada.***
Bab 4: Jejak Kematian
Anya tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa seseorang terus mengawasinya. Sejak Reza datang dan mereka menemukan dokumen mencurigakan yang disembunyikan Adrian, ia merasa terjebak dalam konspirasi yang lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.
Bayangan di balik jendela tadi hanya memperkuat ketakutannya.
“Reza, kau melihatnya, kan?” bisiknya, tetap berdiri di dekat jendela sambil menatap bayangan samar itu.
Reza menoleh cepat, ekspresinya langsung berubah tegang. Ia bergerak cepat menuju pintu depan, menariknya dengan paksa, dan keluar ke halaman.
Anya menahan napas, menunggu sesuatu terjadi. Tapi beberapa saat kemudian, Reza kembali.
“Tidak ada siapa-siapa,” katanya, nadanya masih waspada. “Tapi aku yakin ada orang di luar tadi.”
Anya menggigit bibir. “Aku juga yakin. Aku sudah merasa diawasi sejak semalam.”
Reza terdiam sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya. “Kita tidak bisa diam saja. Aku akan coba mencari tahu lebih banyak tentang kecelakaan Adrian. Aku punya beberapa kontak di kepolisian dan media yang mungkin bisa membantu.”
Anya mengangguk. “Aku juga ingin tahu lebih banyak tentang Johan Pratama. Jika dia memang terkait dengan kematian Adrian, aku ingin bukti.”
Reza memandangnya dengan serius. “Kita harus hati-hati, Anya. Jika Johan benar-benar terlibat, dia pasti akan melakukan segala cara agar kebenaran tidak terbongkar.”
Anya menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini berbahaya, tapi ia sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.
Mengunjungi Lokasi Kecelakaan
Keesokan paginya, Anya dan Reza memutuskan untuk mengunjungi lokasi kecelakaan Adrian. Mereka menaiki mobil Reza, berkendara melewati jalanan kota sebelum akhirnya sampai di jalan berkelok yang menuju pegunungan.
“Di sinilah mobil Adrian ditemukan,” kata Reza ketika mereka tiba di sebuah tikungan tajam yang menghadap ke jurang dalam. Di bawah sana, Anya bisa melihat sisa-sisa puing kendaraan yang telah ditinggalkan begitu saja.
Anya merasakan dadanya sesak. Berdiri di tempat ini membuatnya seolah kembali ke hari itu—hari ketika polisi meneleponnya dan memberi tahu bahwa suaminya telah meninggal dalam kecelakaan tragis.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya.
Reza berjalan mengitari area tersebut, memperhatikan tanda-tanda di tanah. “Menurut laporan polisi, Adrian kehilangan kendali dan menabrak pagar pembatas sebelum jatuh ke bawah.”
Anya menatap pagar besi yang sekarang telah diganti dengan yang baru. “Tapi tadi kau bilang ada kejanggalan dalam kasus ini. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Reza mengangguk. “Seorang saksi mata yang tinggal tidak jauh dari sini melaporkan bahwa sebelum kecelakaan terjadi, ia melihat SUV hitam terparkir di seberang jalan. Mobil itu berada di sana sekitar sepuluh menit sebelum Adrian jatuh ke jurang. Anehnya, begitu kecelakaan terjadi, SUV itu langsung pergi.”
Anya merinding. “Jadi ada kemungkinan Adrian sengaja dibunuh?”
Reza menghela napas. “Itu yang sedang kita coba buktikan.”
Ia berjongkok, mengamati bekas rem di aspal. “Lihat ini. Bekas ban yang cukup panjang, menandakan bahwa Adrian mungkin mencoba mengerem sebelum jatuh.”
Anya ikut menunduk, mengamati dengan cermat. Ia tidak terlalu mengerti soal investigasi kecelakaan, tapi nalurinya mengatakan sesuatu tidak beres.
“Tapi jika dia mengerem, seharusnya ada kemungkinan dia bisa menghindari jatuh, kan?” tanya Anya.
Reza mengangguk. “Kecuali ada faktor lain.”
Ia berdiri dan menatap pagar pembatas. “Aku ingin memeriksa rekaman CCTV yang ada di sekitar sini. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang tidak terlihat sebelumnya.”
Rekaman CCTV yang Hilang
Mereka kembali ke kota dan menemui seorang kenalan Reza yang bekerja sebagai teknisi keamanan di sebuah perusahaan yang bertanggung jawab atas kamera lalu lintas di daerah tersebut.
“Bisa kau bantu kami mendapatkan rekaman dari malam kecelakaan Adrian?” tanya Reza pada pria bernama Dimas itu.
Dimas menghela napas. “Seharusnya bisa, tapi ada masalah.”
“Maksudmu?” tanya Anya.
Dimas menatap mereka dengan ekspresi serius. “Rekaman dari malam itu… hilang.”
Anya menegang. “Bagaimana bisa hilang?”
Dimas mengusap tengkuknya. “Server yang menyimpan rekaman CCTV mengalami gangguan tepat pada malam kecelakaan. Selama satu jam penuh, tidak ada data yang terekam. Itu sangat tidak biasa.”
Reza mengepalkan tangan. “Seseorang sengaja menghapusnya.”
Dimas mengangguk pelan. “Itu kemungkinan besar yang terjadi.”
Anya merasakan ketakutan merayapi tubuhnya. “Jadi ada seseorang yang benar-benar ingin menghapus jejak kejadian malam itu?”
Reza menatapnya. “Dan itu semakin membuktikan bahwa kematian Adrian bukan kecelakaan.”
Anya merasa lututnya melemas. Ia bersandar pada meja, mencoba mengendalikan emosinya. Jika Adrian memang dibunuh, itu berarti orang-orang yang melakukannya masih bebas di luar sana.
Dan jika mereka tahu Anya sedang menyelidiki ini, maka ia juga dalam bahaya.
Malam itu, setelah kembali ke rumah, Anya duduk sendirian di ruang tamu. Reza telah pulang, berjanji akan mencari lebih banyak informasi.
Ia menatap dokumen-dokumen yang ia temukan di ruang bawah tanah. Nama Johan Pratama tertera di beberapa dokumen keuangan yang berhubungan dengan proyek-proyek ilegal. Apakah Adrian mengetahui sesuatu yang bisa menghancurkan Johan?
Tiba-tiba, ponselnya bergetar.
Nomor tidak dikenal.
Dengan ragu, ia menjawab. “Halo?”
Tidak ada suara di seberang. Hanya nafas pelan yang terdengar.
“Halo? Siapa ini?” tanyanya lagi.
Kemudian, suara seorang pria berbicara dengan nada rendah dan mengancam.
“Berhenti mencari tahu, Anya. Atau kau akan berakhir seperti suamimu.”
Anya merasa darahnya membeku. “Siapa kau?!”
Tapi panggilan itu terputus sebelum ia mendapatkan jawaban.
Ponselnya hampir jatuh dari tangannya yang gemetar. Ini bukan kebetulan. Seseorang tahu bahwa ia sedang menyelidiki kematian Adrian. Dan mereka ingin ia berhenti.
Tapi justru sebaliknya, ancaman itu semakin menguatkan tekadnya.
Ia tidak akan berhenti sampai kebenaran terungkap.**
Bab 5: Teror di Malam Hari
Malam itu, Anya duduk di ruang tamu dengan jantung masih berdegup kencang. Ancaman dari penelepon misterius tadi terus terngiang di kepalanya.
“Berhenti mencari tahu, Anya. Atau kau akan berakhir seperti suamimu.”
Tangannya masih gemetar saat ia meletakkan ponselnya di meja. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya. Tapi bagaimana bisa ia tenang, jika seseorang di luar sana tahu bahwa ia sedang menyelidiki kematian Adrian?
Anya mengalihkan pandangan ke jendela. Tirai masih tertutup rapat, tapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana… mengawasinya.
Seolah ada mata yang mengintai dari kegelapan.
Jam menunjukkan pukul 23.47 ketika suara ketukan terdengar dari pintu depan.
Anya terdiam.
Siapa yang datang selarut ini?
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.
Anya menelan ludah, jantungnya berdebar tak karuan. Ia mencoba melihat ke layar interkom, tapi anehnya, layar itu mati—padahal pagi tadi masih berfungsi.
Apakah ini hanya gangguan teknis, atau seseorang sengaja mematikan sistem keamanannya?
Ia mengintip dari celah tirai. Tapi tidak ada siapa pun di luar.
Ketukan itu berhenti.
Suasana hening.
Anya mundur perlahan, pikirannya kalut. Haruskah ia menelepon Reza? Atau polisi?
Tiba-tiba—
*BRAK!*
Sebuah suara keras terdengar dari belakang rumah. Seperti sesuatu jatuh atau pecah.
Anya tersentak, rasa panik mulai merayapi tubuhnya. Dengan tangan gemetar, ia meraih tongkat besi yang biasa ia simpan di dekat lemari—untuk berjaga-jaga.
Pelan-pelan, ia berjalan menuju dapur, tempat asal suara tadi.
Langkahnya terasa berat saat ia sampai di dapur. Semua lampu masih menyala, tidak ada tanda-tanda seseorang masuk.
Tapi kemudian matanya tertuju pada pintu belakang.
Pintu itu sedikit terbuka.
Padahal, ia yakin sudah menguncinya sebelum tidur.
Anya menahan napas. Jari-jarinya mencengkeram tongkat besi lebih erat. Jika ada seseorang di dalam rumah, ia harus bersiap.
Dengan hati-hati, ia mendorong pintu sedikit, mengintip ke luar. Halaman belakang tampak kosong, hanya diterangi cahaya lampu taman yang temaram.
Mungkin angin yang membukanya?
Tapi kemudian ia melihatnya.
Bayangan seseorang berdiri di sudut gelap halaman, nyaris tak terlihat di antara pohon-pohon.
Anya membeku. Napasnya tercekat di tenggorokan.
Orang itu tidak bergerak. Hanya berdiri diam, mengawasinya.
Seketika, Anya menutup pintu dengan cepat dan menguncinya rapat. Tubuhnya gemetar saat ia mundur.
*Siapa orang itu?*
Dan yang lebih penting… *apa yang dia inginkan?*
Tanpa berpikir panjang, Anya meraih ponselnya dan menelepon Reza.
“Halo?” suara Reza terdengar mengantuk, tapi segera berubah waspada ketika mendengar suara Anya yang panik. “Anya, ada apa?”
“Seseorang ada di luar rumahku!” suara Anya bergetar. “Aku tidak tahu siapa, tapi dia berdiri di halaman belakang… mengawasi rumahku.”
Terdengar suara gerakan dari seberang telepon. “Dengar, kunci semua pintu dan jangan keluar. Aku akan segera ke sana.”
“Tolong cepat, Reza…”
Sebelum Anya bisa mengatakan lebih banyak, suara aneh terdengar dari luar.
*“Tik… tik… tik…”*
Sebuah bunyi samar, seperti kuku atau benda tajam yang menggores jendela.
Anya menoleh ke arah ruang tamu.
Dan di sana—di balik kaca jendela—sesosok bayangan berdiri.
Tertutup oleh cahaya remang dari lampu jalan, ia bisa melihat sosok itu lebih jelas. Seorang pria tinggi dengan wajah tertutup oleh masker hitam, hanya matanya yang terlihat… dan tatapannya begitu dingin, begitu kosong.
Jantung Anya hampir berhenti.
Pria itu mengangkat tangannya dan dengan perlahan, jari-jarinya yang tertutup sarung tangan kulit mulai mengetuk kaca.
*“Tik… tik… tik…”*
Seolah menikmati rasa takut yang melumpuhkan Anya.
Anya ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Dengan tangan gemetar, ia berlari ke kamar dan mengunci pintunya.
Ia bisa mendengar langkah-langkah di luar, bergerak perlahan mengitari rumah.
Ia mencoba menelepon Reza lagi, tapi sinyalnya tiba-tiba hilang.
Sial!
Anya menahan napas, tubuhnya menempel di dinding kamar.
Di luar, suara langkah itu berhenti.
Dan kemudian… *ketukan terdengar di pintu kamarnya.*
*“Tok… tok… tok…”*
Seseorang ada di dalam rumah.
Anya merasa darahnya membeku.
Matanya menatap ke segala arah, mencari sesuatu untuk melindungi dirinya. Ia meraih lampu meja, bersiap untuk menggunakannya sebagai senjata.
Pintu masih terkunci. Tapi ketukan itu terus berlanjut.
*“Tok… tok… tok…”*
Siapa pun di luar sana… mereka ingin masuk.
Tepat saat Anya merasa tidak sanggup lagi, suara klakson mobil terdengar dari depan rumah.
Reza!
Langkah-langkah di luar pintu kamar langsung berhenti.
Lalu terdengar suara lain—*suara seseorang berlari keluar rumah.*
Anya tetap diam, menunggu beberapa detik sebelum akhirnya memberanikan diri membuka pintu. Ia berlari ke ruang tamu dan melihat Reza keluar dari mobil dengan pistol di tangannya.
“Anya! Kau baik-baik saja?”
Anya berlari ke arahnya, nyaris jatuh karena tubuhnya masih gemetar. “Ada seseorang di sini… dia masuk ke rumahku…”
Reza tidak menunggu lama. Ia segera masuk, memeriksa setiap sudut rumah dengan pistol terangkat. Tapi orang itu sudah pergi.
Jendela belakang terbuka sedikit, menunjukkan jalur pelarian yang mereka gunakan.
Reza mengumpat pelan. “Mereka tahu kita sudah dekat dengan kebenaran.”
Anya menatapnya, napasnya masih tersengal. “Siapa mereka? Kenapa mereka ingin aku berhenti?”
Reza menggeleng. “Johan Pratama pasti terlibat. Dan jika dia mengirim orang untuk menerormu, itu berarti kita berada di jalur yang benar.”
Anya merasakan ketakutan yang lebih besar.
Ini bukan hanya tentang Adrian lagi.
Sekarang, *nyawanya sendiri juga dalam bahaya.* ***
Prolog: Rumah Warisan
Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran di halaman rumah tua itu. Cahaya bulan samar-samar menyoroti bangunan besar dengan cat yang mulai mengelupas, seolah berusaha mengungkap rahasia yang telah lama tersembunyi di dalamnya.
Anya berdiri di depan gerbang besi yang berkarat, menatap rumah warisan yang kini menjadi miliknya. Rumah ini dulunya milik Adrian, suaminya yang baru saja meninggal dalam kecelakaan tragis. Sekarang, ia berdiri di sana sendirian, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melangkah masuk ke dalam kehidupan baru yang terasa lebih asing daripada yang pernah ia bayangkan.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong gerbang itu perlahan. Suara gesekan besi tua terdengar nyaring di tengah keheningan malam. Langkahnya terasa berat saat ia berjalan di atas jalan setapak berbatu yang menuju pintu utama. Rerumputan liar tumbuh di antara celah-celah batu, mencerminkan bagaimana rumah ini telah lama ditinggalkan.
Ketika ia meraih gagang pintu, udara dingin menyentuh kulitnya, seolah ada sesuatu yang menyambutnya… atau memperingatkannya untuk pergi. Tapi Anya menepis perasaan aneh itu. Ini hanya rumah tua, tidak lebih.
Begitu pintu terbuka, bau debu dan kayu tua langsung menyergap indra penciumannya. Ia menyalakan saklar lampu, dan cahaya redup menerangi ruang tamu yang luas. Perabotan lama masih tertata seperti dulu, seakan Adrian tidak pernah benar-benar pergi. Foto pernikahan mereka tergantung di dinding, tersenyum dalam kebahagiaan yang kini terasa begitu jauh.
Anya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia berjalan melewati sofa tua, menuju meja kayu di sudut ruangan. Jari-jarinya menyentuh permukaan kayu yang berdebu, dan tanpa sadar pikirannya melayang ke masa lalu—hari-hari ketika Adrian masih hidup, ketika rumah ini dipenuhi dengan suara tawa dan kebersamaan.
Tapi sekarang, rumah ini terasa sepi.
Dan entah kenapa, juga terasa… salah.
Anya tidak tahu banyak tentang rumah ini selain bahwa ini adalah rumah keluarga Adrian. Setelah kematiannya, rumah ini diwariskan kepadanya, bersama dengan semua kenangan yang terkunci di dalamnya.
Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Sebelum Adrian meninggal, ia sering menyebutkan bahwa ada sesuatu yang harus ia ceritakan kepada Anya. Sesuatu yang penting. Tapi ia selalu menunda-nunda, seolah tidak yakin bagaimana harus mengatakannya.
Dan sekarang, Anya tidak akan pernah tahu apa itu.
Ia menghela napas, mencoba mengabaikan pikirannya yang kalut. Mungkin semua ini hanya karena kelelahan dan duka yang masih menyelimuti hatinya.
Tapi saat ia berjalan ke arah tangga, matanya menangkap sesuatu.
Sebuah amplop cokelat tergeletak di atas meja dekat perapian.
Anya mengerutkan kening. Ia tidak ingat meninggalkan sesuatu di sana. Dengan ragu, ia meraih amplop itu dan membukanya.
Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen tua dan sebuah catatan tangan yang ditulis oleh Adrian.
> *“Jika sesuatu terjadi padaku, jangan percaya siapa pun. Cari jawaban di ruang bawah tanah.”*
Jantung Anya berdegup kencang.
Apa maksudnya?
Kenapa Adrian meninggalkan pesan seperti ini?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas.
Anya membeku.
Ia tahu pasti bahwa ia datang sendirian. Tidak ada orang lain di rumah ini.
Jadi… siapa yang ada di atas?
Ketakutan merayapi tubuhnya. Ia menatap ke arah tangga yang menuju lantai dua. Cahaya dari lampu ruang tamu tidak cukup untuk menerangi bagian atas rumah, menyisakan sudut-sudut gelap yang terasa mengancam.
Anya mencoba berpikir rasional. Mungkin itu hanya suara rumah tua yang bergerak karena angin.
Tapi kemudian—
Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas.
Langkah kaki… bergerak pelan di lantai kayu.
Anya menahan napas, tubuhnya membeku di tempat. Tangannya menggenggam erat amplop yang masih ia pegang, sementara pikirannya berusaha mencari penjelasan logis.
Kemudian, matanya tertuju pada jendela di ruang tamu.
Dan di sana—di balik kaca yang sedikit buram—sebuah bayangan terlihat berdiri.
Jantungnya hampir berhenti berdetak.
Seseorang sedang mengawasinya dari luar.
Anya mundur perlahan, berusaha untuk tidak panik. Tapi sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, lampu ruang tamu tiba-tiba berkedip-kedip, lalu padam sepenuhnya.
Sekarang, rumah itu tenggelam dalam kegelapan.
Hanya cahaya bulan dari luar yang sedikit menerangi ruangan.
Anya bisa mendengar suara langkah kaki lagi, kali ini lebih dekat.
Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Dengan cepat, ia merogoh sakunya, mencari ponselnya. Namun, saat ia menyalakan layar, ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan.
*Tidak ada sinyal.*
Seolah-olah seseorang… atau sesuatu… tidak ingin ia meminta bantuan.
Ketakutan semakin menyesakkan dadanya. Tapi ia tahu ia tidak bisa diam saja. Dengan tangan gemetar, ia meraih lilin dan korek api yang ada di meja, menyalakannya dengan cepat.
Cahaya kecil dari lilin memberikan sedikit penerangan di sekitar ruangan. Tapi saat cahaya itu menyala, Anya merasakan bulu kuduknya berdiri.
Karena di seberang ruangan, tepat di dekat jendela… bayangan itu masih ada.
Dan kini, ia melihatnya lebih jelas.
Seorang pria bertubuh tinggi, mengenakan mantel panjang, berdiri diam di luar jendela. Wajahnya tertutup oleh kegelapan, tapi ia bisa merasakan tatapannya… menusuk ke arahnya.
Anya menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan rasa takutnya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa tinggal diam dan membiarkan seseorang mengawasinya seperti ini.
Dengan langkah cepat, ia meraih benda pertama yang bisa ia jadikan senjata—sebatang besi tua yang ia temukan di dekat perapian.
Kemudian, ia mengumpulkan keberanian dan berjalan ke arah jendela.
Namun saat ia mendekat… bayangan itu menghilang.
Anya menelan ludah. Ia mengintip ke luar, tapi tidak ada siapa pun di sana. Hanya halaman belakang yang sunyi, diterangi oleh cahaya bulan.
Seolah-olah… orang itu tidak pernah ada.
Tapi Anya tahu apa yang ia lihat.
Dan ia tahu bahwa seseorang… atau sesuatu… memang mengawasinya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan ketakutannya.
Kemudian, ia menatap amplop di tangannya.
Pesan Adrian kembali terngiang di pikirannya.
“Jika sesuatu terjadi padaku, jangan percaya siapa pun. Cari jawaban di ruang bawah tanah.”
Anya menatap ke arah pintu kayu di lantai, yang menuju ruang bawah tanah yang telah lama terkunci.
Ia tahu, jika ingin menemukan jawaban, ia harus masuk ke sana.***
—————–THE END —————