Bab 1: Pesan di Laut
Laras berjalan di sepanjang pantai, merasa butuh udara segar setelah berhari-hari terkurung dalam kesunyian apartemennya yang sempit di kota. Laut yang membentang di hadapannya tampak begitu luas, dengan ombak yang berkejaran ke tepi pantai, seolah-olah berusaha menenangkan pikirannya yang terus berkecamuk. Ini adalah liburan pertama Laras setelah tiga tahun bekerja keras sebagai penulis lepas, mencoba menulis cerita yang sesuai dengan apa yang diinginkan penerbit, namun seringkali berakhir dengan kekosongan.
Pekerjaan yang semula ia cintai kini terasa seperti sebuah beban yang menekan jiwanya. Ia merasa tersesat dalam dunia yang penuh dengan kata-kata, tapi tidak menemukan makna sejati dalam tulisannya. Bahkan novel terbarunya, yang sudah hampir selesai, tak lagi membangkitkan gairah yang dulu pernah ia rasakan. Setiap huruf yang ia ketik terasa hampa.
Di pantai yang sunyi ini, Laras berharap menemukan kedamaian yang bisa mengembalikan inspirasi yang hilang. Ia menduduki sebuah batu besar yang terletak tepat di tepi pantai, melihat bagaimana cahaya matahari sore memantul dari permukaan air laut, menciptakan kilauan yang menyilaukan mata. Ia membiarkan angin laut mengusir lelah dari tubuhnya.
“Seandainya aku bisa melupakan semua itu,” gumamnya dalam hati, merasa terasing dari dunia luar. Dunia yang penuh dengan tuntutan dan ekspektasi yang kadang-kadang terasa begitu membebani.
Tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga muncul di pandangannya. Sebuah botol kaca berkilauan di antara bebatuan, terhanyut oleh ombak dan terdampar di pantai. Laras terkesiap, seolah-olah sebuah keajaiban baru saja terjadi. Ia mendekat, meraihnya dengan hati-hati, dan menemukan bahwa botol itu tertutup rapat dengan sekeping kayu.
“Pesan dalam botol?” pikirnya, agak terheran-heran. Ia membuka tutup botol itu perlahan, penasaran dengan apa yang ada di dalamnya. Sebuah gulungan kertas kuno muncul dari dalam botol, terikat dengan tali rafia yang usang. Laras menarik kertas itu keluar dan membuka gulungannya dengan hati-hati.
Tulisan di atas kertas itu tampak seperti tulisan tangan seseorang yang sudah berusia, namun masih cukup terbaca. Dengan cepat, ia membaca pesan tersebut, dan seketika itu juga, hatinya berdebar kencang.
“Aku menunggu di ujung dunia, di pulau yang hanya terlihat saat matahari terbenam.”
Pesan itu singkat, tetapi memiliki daya tarik yang luar biasa. Laras memutar botol itu dalam tangannya, mencari petunjuk lain. Namun, selain pesan tersebut, tidak ada apa-apa lagi yang tertera. Tidak ada nama pengirim atau alamat, hanya kalimat yang penuh misteri itu.
“Siapa yang menulis ini?” Laras bergumam, mencoba mencerna maksud dari pesan yang baru saja ia temukan. Ia memandang sekeliling pantai, seolah berharap seseorang akan muncul untuk menjelaskan misteri ini. Tetapi, pantai itu tetap sunyi, hanya ada suara deburan ombak yang berirama.
Rasa penasaran yang mendalam mulai menguasai dirinya. Mengapa ada pesan seperti itu di sini, di pantai yang tampak begitu sepi? Apakah itu hanya kebetulan, atau ada yang menginginkan agar pesan ini sampai padanya? Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam pikirannya.
Laras mengumpulkan keberanian untuk memeriksa pesan itu lebih lanjut. Di bagian bawah kertas itu, ada sebuah tanda tangan, meskipun sangat sederhana: *Aksa*. Nama yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Ia memiringkan kepalanya, mencoba memikirkan apakah nama itu memiliki arti tertentu, tetapi tidak ada yang terlintas di benaknya.
“Aksa?” Laras bergumam, mencoba membiarkan nama itu bergema di pikirannya. Ia menatap laut yang terbentang luas, merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dunia yang ia kenal. Perasaan aneh mulai merayap di hatinya, sebuah perasaan yang tak bisa ia jelaskan, seolah pesan ini bukan hanya sekadar kebetulan.
Namun, apa yang harus ia lakukan dengan pesan ini? Apakah ia hanya membiarkannya begitu saja, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang harus ia cari tahu? Laras menggenggam kertas itu erat-erat, memutuskan bahwa ia tidak akan membiarkan misteri ini terlewat begitu saja. Ia merasa, entah mengapa, pesan ini datang untuknya—untuk memberinya tujuan baru.
Tanpa sadar, Laras sudah berdiri, berjalan kembali ke villa tempat ia menginap. Setiap langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah ada sesuatu yang menariknya untuk menjawab panggilan yang tidak bisa ia hindari. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi yang ia tahu adalah bahwa pesan ini membawanya ke sebuah petualangan yang tak terduga.
Saat kembali ke villa, Laras duduk di balkon dengan laut yang masih bisa terlihat dari sana. Ia menatap pesan itu lagi, berusaha menafsirkan maknanya. “Ujung dunia? Pulau yang hanya terlihat saat matahari terbenam?” pikirnya. Setiap kata terasa seperti teka-teki yang harus dipecahkan, dan dia merasa bahwa ini bukanlah kebetulan semata.
Sambil menatap matahari yang mulai tenggelam di cakrawala, Laras memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Ia harus menemukan siapa Aksa itu, dan mengapa pesan ini datang padanya. Tapi, satu hal yang ia tahu pasti: ini bukan hanya tentang pesan dalam botol. Ini adalah tentang menemukan bagian dari dirinya yang hilang—tentang mencari kembali makna dalam hidup yang selama ini terasa kosong.
Pikirannya berkelana jauh, membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Apakah ia akan menemukan pulau yang dimaksud, ataukah itu hanya sekadar khayalan? Dan jika pulau itu ada, siapa sebenarnya Aksa? Apa yang membuatnya menulis pesan ini? Segudang pertanyaan mengisi benaknya, namun satu hal yang jelas: ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul dalam dirinya. Ada sesuatu yang begitu kuat yang membuatnya merasa, seolah-olah, perjalanan ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar dari sekadar pencarian untuk inspirasi.
“Sepertinya aku harus menemukannya,” kata Laras dengan suara pelan, seolah mengonfirmasi pada dirinya sendiri.
Laras pun bertekad untuk memulai pencariannya. Langkah pertama: mencari tahu tentang pulau yang disebutkan dalam pesan. Dan siapa tahu, mungkin ini adalah awal dari sebuah kisah baru yang akan mengubah hidupnya selamanya.***
Bab 2: Pulau yang Tak Dikenal
Laras tidak pernah menyangka bahwa menemukan sebuah pesan dalam botol di tepi pantai akan mengubah hidupnya. Hari-hari setelah penemuannya, pikirannya terus terobsesi pada pesan tersebut. Kalimat yang tertera di kertas itu masih berputar di kepala: “Aku menunggu di ujung dunia, di pulau yang hanya terlihat saat matahari terbenam.” Sejak pertama kali membacanya, Laras merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pesan misterius—sebuah panggilan yang tak bisa ia abaikan.
Ia tahu bahwa ia harus mencari tahu lebih banyak. Namun, informasi tentang pulau yang disebutkan dalam pesan itu sangat minim. Peta-peta yang ia periksa tidak menunjukkan pulau yang dimaksud, dan penelitian online pun hanya memperlihatkan deretan pulau-pulau besar yang biasa. Tak ada yang menunjukkan tempat yang bisa “hanya terlihat saat matahari terbenam.” Semakin ia mencari, semakin ia merasa semakin terjerat dalam misteri ini.
Pada suatu malam, ketika Laras sedang tenggelam dalam tumpukan buku dan peta lama, ia memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Aksa. Nama itu terasa familiar, meski tak pernah ia dengar sebelumnya. Setelah berjam-jam mencari, ia akhirnya menemukan sebuah artikel tua tentang sebuah pulau kecil di luar rute pelayaran utama, sebuah pulau yang dipercaya sebagai tempat yang hilang dalam sejarah. Artikel itu menyebutkan sebuah legenda tentang pulau yang muncul hanya dalam waktu tertentu—pada saat matahari terbenam, tepat seperti yang tertulis dalam pesan itu.
“Apakah ini kebetulan?” Laras bertanya pada dirinya sendiri, sambil menatap layar komputer. Peta yang dilampirkan dalam artikel itu terlihat seperti peta kuno, dengan pulau kecil yang tak tercatat di peta modern. Lokasi pulau itu terletak di tengah lautan yang tak terjamah, jauh dari peradaban. Laras merasa bahwa ini adalah petunjuk yang selama ini ia cari.
Keesokan harinya, ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Jika benar pulau itu ada, maka hanya satu cara untuk menemukannya: ia harus pergi ke sana. Walaupun keraguan masih ada di hatinya, rasa penasaran dan dorongan untuk mengetahui lebih banyak tentang Aksa dan misteri pulau itu lebih kuat dari apapun.
Dengan membawa peta yang ia temukan, Laras mencari pelayaran yang menuju ke lokasi yang tertera di peta. Ia merasa aneh, tetapi juga terbangkitkan semangat petualangan yang sudah lama terkubur dalam dirinya. Dia merasa, seolah-olah, ada takdir yang membawanya menuju tujuan ini. Namun, sebelum berangkat, ada satu hal yang ia butuhkan—seseorang yang mengenal daerah tersebut.
Itulah sebabnya Laras pergi ke pelabuhan untuk bertemu dengan seorang pria yang ia duga bisa membantunya. Pria itu bernama Arief, seorang nelayan tua yang sudah lama tinggal di sekitar perairan itu. Ia pernah mendengar cerita tentang pulau yang hanya muncul saat matahari terbenam, meskipun menurutnya pulau itu hanya sekadar legenda.
“Pulau itu bukan tempat untuk orang yang mencari sesuatu yang nyata,” kata Arief saat mereka duduk di sebuah kedai kopi di pelabuhan. “Orang-orang yang mencarinya biasanya pulang dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.”
Laras menatap Arief dengan serius, merasa bahwa lelaki itu tahu lebih banyak dari yang ia akui. “Tapi saya harus mencarinya,” jawab Laras, suara penuh tekad. “Ada sesuatu yang memanggil saya untuk pergi ke sana.”
Arief menghela napas panjang, matanya yang telah banyak melihat dunia itu menatap Laras dengan penuh keheranan. “Jangan salah, anak muda. Pulau itu tak pernah ingin ditemukan. Kalau sudah memanggil, tak ada jalan kembali.”
Laras terdiam, memikirkan kata-kata Arief. Namun, hatinya semakin yakin. “Saya harus pergi. Saya harus tahu apa yang ada di sana.”
Arief akhirnya setuju untuk membantunya. Ia memberikan Laras sebuah perahu kecil dan menjelaskan arah pelayaran menuju pulau yang ia maksud. Pulau itu terletak cukup jauh dari perairan biasa, dan hanya bisa dijangkau oleh kapal kecil. “Tapi ingat,” Arief memperingatkan, “jika kau pergi, kau akan meninggalkan semuanya di belakang. Pulau itu tak pernah mengizinkan siapa pun untuk kembali dengan utuh.”
Dengan kata-kata itu menggantung di udara, Laras memulai perjalanan menuju pulau misterius yang disebut-sebut sebagai ujung dunia. Ia merasa terombang-ambing antara kecemasan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Di tengah perjalanan, laut terlihat tenang, namun semakin ia mendekat ke titik yang tertera di peta, suasana mulai berubah.
Gelombang menjadi lebih kuat, dan awan gelap mulai menggantung di langit. “Apakah ini tanda-tanda bahwa saya seharusnya berhenti?” Laras bertanya pada dirinya sendiri, tapi ia tahu jawabannya. Ia tak bisa mundur sekarang. Ia ingin tahu siapa Aksa, dan apa yang ada di balik pesan yang telah ia temukan.
Laras mengarahkan perahunya lebih jauh, berharap bisa menemukan petunjuk lain. Ketika matahari mulai terbenam, ia tiba di sebuah pulau yang sepi. Pulau itu terbungkus kabut tipis, dan suasananya tampak sangat berbeda dari pulau-pulau lainnya yang pernah ia lihat. Tidak ada jejak kaki manusia, hanya pepohonan yang tumbuh lebat dan tepi pantai yang murni.
Laras mendarat di sebuah teluk kecil dan segera turun dari perahunya. Ia berjalan menyusuri pasir putih, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Sepertinya pulau ini sudah lama tidak dijamah manusia. Namun, ada sesuatu yang aneh di sini—sesuatu yang membuat hatinya berdebar. Laut yang tenang, angin yang membawa aroma segar, dan matahari yang sudah terbenam memberikan atmosfer yang begitu misterius.
Tanpa tahu apa yang akan ia temui, Laras memutuskan untuk mencari tempat berlindung dan menjelajahi pulau ini lebih lanjut. Ia tahu bahwa sesuatu besar sedang menunggunya. Namun, ia belum tahu bahwa pertemuannya dengan Aksa, dan dengan rahasia pulau itu, akan mengubah hidupnya selamanya.***