• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
DI ANTARA LANGIT DAN LAUT

DI ANTARA LANGIT DAN LAUT

February 28, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
DI ANTARA LANGIT DAN LAUT

DI ANTARA LANGIT DAN LAUT

by SAME KADE
February 28, 2025
in Romansa
Reading Time: 22 mins read

Bab 1: Pesan di Laut

Laras berjalan di sepanjang pantai, merasa butuh udara segar setelah berhari-hari terkurung dalam kesunyian apartemennya yang sempit di kota. Laut yang membentang di hadapannya tampak begitu luas, dengan ombak yang berkejaran ke tepi pantai, seolah-olah berusaha menenangkan pikirannya yang terus berkecamuk. Ini adalah liburan pertama Laras setelah tiga tahun bekerja keras sebagai penulis lepas, mencoba menulis cerita yang sesuai dengan apa yang diinginkan penerbit, namun seringkali berakhir dengan kekosongan.

Pekerjaan yang semula ia cintai kini terasa seperti sebuah beban yang menekan jiwanya. Ia merasa tersesat dalam dunia yang penuh dengan kata-kata, tapi tidak menemukan makna sejati dalam tulisannya. Bahkan novel terbarunya, yang sudah hampir selesai, tak lagi membangkitkan gairah yang dulu pernah ia rasakan. Setiap huruf yang ia ketik terasa hampa.

Di pantai yang sunyi ini, Laras berharap menemukan kedamaian yang bisa mengembalikan inspirasi yang hilang. Ia menduduki sebuah batu besar yang terletak tepat di tepi pantai, melihat bagaimana cahaya matahari sore memantul dari permukaan air laut, menciptakan kilauan yang menyilaukan mata. Ia membiarkan angin laut mengusir lelah dari tubuhnya.

“Seandainya aku bisa melupakan semua itu,” gumamnya dalam hati, merasa terasing dari dunia luar. Dunia yang penuh dengan tuntutan dan ekspektasi yang kadang-kadang terasa begitu membebani.

Tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga muncul di pandangannya. Sebuah botol kaca berkilauan di antara bebatuan, terhanyut oleh ombak dan terdampar di pantai. Laras terkesiap, seolah-olah sebuah keajaiban baru saja terjadi. Ia mendekat, meraihnya dengan hati-hati, dan menemukan bahwa botol itu tertutup rapat dengan sekeping kayu.

“Pesan dalam botol?” pikirnya, agak terheran-heran. Ia membuka tutup botol itu perlahan, penasaran dengan apa yang ada di dalamnya. Sebuah gulungan kertas kuno muncul dari dalam botol, terikat dengan tali rafia yang usang. Laras menarik kertas itu keluar dan membuka gulungannya dengan hati-hati.

Tulisan di atas kertas itu tampak seperti tulisan tangan seseorang yang sudah berusia, namun masih cukup terbaca. Dengan cepat, ia membaca pesan tersebut, dan seketika itu juga, hatinya berdebar kencang.

“Aku menunggu di ujung dunia, di pulau yang hanya terlihat saat matahari terbenam.”

Pesan itu singkat, tetapi memiliki daya tarik yang luar biasa. Laras memutar botol itu dalam tangannya, mencari petunjuk lain. Namun, selain pesan tersebut, tidak ada apa-apa lagi yang tertera. Tidak ada nama pengirim atau alamat, hanya kalimat yang penuh misteri itu.

“Siapa yang menulis ini?” Laras bergumam, mencoba mencerna maksud dari pesan yang baru saja ia temukan. Ia memandang sekeliling pantai, seolah berharap seseorang akan muncul untuk menjelaskan misteri ini. Tetapi, pantai itu tetap sunyi, hanya ada suara deburan ombak yang berirama.

Rasa penasaran yang mendalam mulai menguasai dirinya. Mengapa ada pesan seperti itu di sini, di pantai yang tampak begitu sepi? Apakah itu hanya kebetulan, atau ada yang menginginkan agar pesan ini sampai padanya? Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam pikirannya.

Laras mengumpulkan keberanian untuk memeriksa pesan itu lebih lanjut. Di bagian bawah kertas itu, ada sebuah tanda tangan, meskipun sangat sederhana: *Aksa*. Nama yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Ia memiringkan kepalanya, mencoba memikirkan apakah nama itu memiliki arti tertentu, tetapi tidak ada yang terlintas di benaknya.

“Aksa?” Laras bergumam, mencoba membiarkan nama itu bergema di pikirannya. Ia menatap laut yang terbentang luas, merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dunia yang ia kenal. Perasaan aneh mulai merayap di hatinya, sebuah perasaan yang tak bisa ia jelaskan, seolah pesan ini bukan hanya sekadar kebetulan.

Namun, apa yang harus ia lakukan dengan pesan ini? Apakah ia hanya membiarkannya begitu saja, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang harus ia cari tahu? Laras menggenggam kertas itu erat-erat, memutuskan bahwa ia tidak akan membiarkan misteri ini terlewat begitu saja. Ia merasa, entah mengapa, pesan ini datang untuknya—untuk memberinya tujuan baru.

Tanpa sadar, Laras sudah berdiri, berjalan kembali ke villa tempat ia menginap. Setiap langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah ada sesuatu yang menariknya untuk menjawab panggilan yang tidak bisa ia hindari. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi yang ia tahu adalah bahwa pesan ini membawanya ke sebuah petualangan yang tak terduga.

Saat kembali ke villa, Laras duduk di balkon dengan laut yang masih bisa terlihat dari sana. Ia menatap pesan itu lagi, berusaha menafsirkan maknanya. “Ujung dunia? Pulau yang hanya terlihat saat matahari terbenam?” pikirnya. Setiap kata terasa seperti teka-teki yang harus dipecahkan, dan dia merasa bahwa ini bukanlah kebetulan semata.

Sambil menatap matahari yang mulai tenggelam di cakrawala, Laras memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Ia harus menemukan siapa Aksa itu, dan mengapa pesan ini datang padanya. Tapi, satu hal yang ia tahu pasti: ini bukan hanya tentang pesan dalam botol. Ini adalah tentang menemukan bagian dari dirinya yang hilang—tentang mencari kembali makna dalam hidup yang selama ini terasa kosong.

Pikirannya berkelana jauh, membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Apakah ia akan menemukan pulau yang dimaksud, ataukah itu hanya sekadar khayalan? Dan jika pulau itu ada, siapa sebenarnya Aksa? Apa yang membuatnya menulis pesan ini? Segudang pertanyaan mengisi benaknya, namun satu hal yang jelas: ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul dalam dirinya. Ada sesuatu yang begitu kuat yang membuatnya merasa, seolah-olah, perjalanan ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar dari sekadar pencarian untuk inspirasi.

“Sepertinya aku harus menemukannya,” kata Laras dengan suara pelan, seolah mengonfirmasi pada dirinya sendiri.

Laras pun bertekad untuk memulai pencariannya. Langkah pertama: mencari tahu tentang pulau yang disebutkan dalam pesan. Dan siapa tahu, mungkin ini adalah awal dari sebuah kisah baru yang akan mengubah hidupnya selamanya.***

Bab 2: Pulau yang Tak Dikenal

Laras tidak pernah menyangka bahwa menemukan sebuah pesan dalam botol di tepi pantai akan mengubah hidupnya. Hari-hari setelah penemuannya, pikirannya terus terobsesi pada pesan tersebut. Kalimat yang tertera di kertas itu masih berputar di kepala: “Aku menunggu di ujung dunia, di pulau yang hanya terlihat saat matahari terbenam.” Sejak pertama kali membacanya, Laras merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pesan misterius—sebuah panggilan yang tak bisa ia abaikan.

Ia tahu bahwa ia harus mencari tahu lebih banyak. Namun, informasi tentang pulau yang disebutkan dalam pesan itu sangat minim. Peta-peta yang ia periksa tidak menunjukkan pulau yang dimaksud, dan penelitian online pun hanya memperlihatkan deretan pulau-pulau besar yang biasa. Tak ada yang menunjukkan tempat yang bisa “hanya terlihat saat matahari terbenam.” Semakin ia mencari, semakin ia merasa semakin terjerat dalam misteri ini.

Pada suatu malam, ketika Laras sedang tenggelam dalam tumpukan buku dan peta lama, ia memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Aksa. Nama itu terasa familiar, meski tak pernah ia dengar sebelumnya. Setelah berjam-jam mencari, ia akhirnya menemukan sebuah artikel tua tentang sebuah pulau kecil di luar rute pelayaran utama, sebuah pulau yang dipercaya sebagai tempat yang hilang dalam sejarah. Artikel itu menyebutkan sebuah legenda tentang pulau yang muncul hanya dalam waktu tertentu—pada saat matahari terbenam, tepat seperti yang tertulis dalam pesan itu.

“Apakah ini kebetulan?” Laras bertanya pada dirinya sendiri, sambil menatap layar komputer. Peta yang dilampirkan dalam artikel itu terlihat seperti peta kuno, dengan pulau kecil yang tak tercatat di peta modern. Lokasi pulau itu terletak di tengah lautan yang tak terjamah, jauh dari peradaban. Laras merasa bahwa ini adalah petunjuk yang selama ini ia cari.

Keesokan harinya, ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Jika benar pulau itu ada, maka hanya satu cara untuk menemukannya: ia harus pergi ke sana. Walaupun keraguan masih ada di hatinya, rasa penasaran dan dorongan untuk mengetahui lebih banyak tentang Aksa dan misteri pulau itu lebih kuat dari apapun.

Dengan membawa peta yang ia temukan, Laras mencari pelayaran yang menuju ke lokasi yang tertera di peta. Ia merasa aneh, tetapi juga terbangkitkan semangat petualangan yang sudah lama terkubur dalam dirinya. Dia merasa, seolah-olah, ada takdir yang membawanya menuju tujuan ini. Namun, sebelum berangkat, ada satu hal yang ia butuhkan—seseorang yang mengenal daerah tersebut.

Itulah sebabnya Laras pergi ke pelabuhan untuk bertemu dengan seorang pria yang ia duga bisa membantunya. Pria itu bernama Arief, seorang nelayan tua yang sudah lama tinggal di sekitar perairan itu. Ia pernah mendengar cerita tentang pulau yang hanya muncul saat matahari terbenam, meskipun menurutnya pulau itu hanya sekadar legenda.

“Pulau itu bukan tempat untuk orang yang mencari sesuatu yang nyata,” kata Arief saat mereka duduk di sebuah kedai kopi di pelabuhan. “Orang-orang yang mencarinya biasanya pulang dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.”

Laras menatap Arief dengan serius, merasa bahwa lelaki itu tahu lebih banyak dari yang ia akui. “Tapi saya harus mencarinya,” jawab Laras, suara penuh tekad. “Ada sesuatu yang memanggil saya untuk pergi ke sana.”

Arief menghela napas panjang, matanya yang telah banyak melihat dunia itu menatap Laras dengan penuh keheranan. “Jangan salah, anak muda. Pulau itu tak pernah ingin ditemukan. Kalau sudah memanggil, tak ada jalan kembali.”

Laras terdiam, memikirkan kata-kata Arief. Namun, hatinya semakin yakin. “Saya harus pergi. Saya harus tahu apa yang ada di sana.”

Arief akhirnya setuju untuk membantunya. Ia memberikan Laras sebuah perahu kecil dan menjelaskan arah pelayaran menuju pulau yang ia maksud. Pulau itu terletak cukup jauh dari perairan biasa, dan hanya bisa dijangkau oleh kapal kecil. “Tapi ingat,” Arief memperingatkan, “jika kau pergi, kau akan meninggalkan semuanya di belakang. Pulau itu tak pernah mengizinkan siapa pun untuk kembali dengan utuh.”

Dengan kata-kata itu menggantung di udara, Laras memulai perjalanan menuju pulau misterius yang disebut-sebut sebagai ujung dunia. Ia merasa terombang-ambing antara kecemasan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Di tengah perjalanan, laut terlihat tenang, namun semakin ia mendekat ke titik yang tertera di peta, suasana mulai berubah.

Gelombang menjadi lebih kuat, dan awan gelap mulai menggantung di langit. “Apakah ini tanda-tanda bahwa saya seharusnya berhenti?” Laras bertanya pada dirinya sendiri, tapi ia tahu jawabannya. Ia tak bisa mundur sekarang. Ia ingin tahu siapa Aksa, dan apa yang ada di balik pesan yang telah ia temukan.

Laras mengarahkan perahunya lebih jauh, berharap bisa menemukan petunjuk lain. Ketika matahari mulai terbenam, ia tiba di sebuah pulau yang sepi. Pulau itu terbungkus kabut tipis, dan suasananya tampak sangat berbeda dari pulau-pulau lainnya yang pernah ia lihat. Tidak ada jejak kaki manusia, hanya pepohonan yang tumbuh lebat dan tepi pantai yang murni.

Laras mendarat di sebuah teluk kecil dan segera turun dari perahunya. Ia berjalan menyusuri pasir putih, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Sepertinya pulau ini sudah lama tidak dijamah manusia. Namun, ada sesuatu yang aneh di sini—sesuatu yang membuat hatinya berdebar. Laut yang tenang, angin yang membawa aroma segar, dan matahari yang sudah terbenam memberikan atmosfer yang begitu misterius.

Tanpa tahu apa yang akan ia temui, Laras memutuskan untuk mencari tempat berlindung dan menjelajahi pulau ini lebih lanjut. Ia tahu bahwa sesuatu besar sedang menunggunya. Namun, ia belum tahu bahwa pertemuannya dengan Aksa, dan dengan rahasia pulau itu, akan mengubah hidupnya selamanya.***

Bab 3: Pulau Sunyi

Laras berjalan pelan di sepanjang jalan setapak yang terbuat dari batu besar yang tertutup lumut. Setiap langkahnya terasa berat, seakan-akan pulau itu sendiri sedang menguji tekadnya. Di kanan kiri, pepohonan besar tumbuh rapat, memberikan kesan bahwa dunia luar sudah sangat jauh, terisolasi dalam kedamaian yang mengerikan. Pulau ini begitu sunyi—terlalu sunyi untuk ukuran sebuah tempat yang dihuni.

Sore itu, langit tampak memudar, memeluk bumi dengan warna jingga kemerahan. Sinar matahari yang terbenam menciptakan bayangan panjang yang menari di atas pasir. Laras merasakan angin laut yang lembut menyentuh wajahnya, tapi anehnya, tidak ada suara burung, tidak ada riuh gelombang, hanya suara langkah kaki yang beradu dengan kesunyian.

“Apakah ini yang disebut pulau yang hanya muncul saat matahari terbenam?” gumam Laras, merasa terperangkap dalam sebuah dunia yang tak dia kenal. Ia mencoba mengingat-ingat lagi kata-kata Arief, yang memberi peringatan agar tidak mendekati pulau ini. Tetapi sekarang, dengan kaki yang sudah melangkah begitu jauh, Laras merasa bahwa ia tidak bisa mundur lagi.

Laras memutuskan untuk mencari tempat berlindung sebelum malam benar-benar datang. Ia berjalan melewati hutan yang semakin lebat, menyusuri jalur setapak yang semakin sulit dilalui. Dalam perjalanan itu, ia mulai merasa bahwa ia tidak sendirian—ada sesuatu yang mengamatinya dari balik pepohonan. Sesekali ia mendengar suara gesekan halus di balik semak-semak, atau sekelebat bayangan yang bergerak cepat di antara batang pohon.

Namun, setiap kali ia berhenti dan berbalik, tidak ada apa-apa di belakangnya. Ketegangan itu semakin meningkat seiring berjalannya waktu, membuat Laras merasa tidak nyaman.

Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya ia menemukan sebuah rumah kayu kecil yang tersembunyi di balik semak-semak, seolah-olah rumah itu telah lama dilupakan. Bangunan itu terlihat tua, dengan cat yang sudah pudar dan dinding kayu yang berderit setiap kali angin berhembus. Laras merasa sedikit lega, karena setidaknya dia memiliki tempat untuk berlindung dari kegelapan yang mulai menyelimuti pulau.

Ia membuka pintu dengan hati-hati dan melangkah masuk. Di dalamnya, udara terasa lembab, dan hanya ada sedikit cahaya yang masuk melalui jendela-jendela kecil yang tertutup sebagian oleh dedaunan. Meskipun kesan pertama adalah rumah itu tidak terawat, Laras merasakan ada sesuatu yang aneh. Ada sebuah perasaan tidak biasa yang menghantui setiap sudut ruangan. Di meja dekat jendela, ia melihat beberapa benda yang tertata dengan rapi—sebuah buku terbuka, beberapa alat tulis, dan sebuah cangkir kosong yang tampak baru saja digunakan.

Laras melangkah lebih jauh, menghampiri meja itu dan memerhatikan buku yang tergeletak. Judulnya samar, tertutup sebagian oleh kertas yang berserakan. Ia membalik beberapa halaman, dan menemukan tulisan tangan yang sangat familiar, mirip dengan tulisan yang ia lihat di pesan dalam botol. Tulisan itu milik Aksa. Ia menemukan beberapa kalimat yang seolah bercerita tentang perasaan kesepian yang dalam, tentang pulau ini, dan tentang sebuah takdir yang mengikatnya.

“Aku terjebak di tempat ini, tempat yang tidak bisa kutinggalkan. Pulau ini menahan semua yang datang ke sini. Tidak ada yang bisa pergi, karena pulau ini memilih siapa yang bisa tinggal.”

Laras membaca kalimat itu berulang kali, merasa bahwa setiap kata mengandung makna yang lebih besar dari sekadar curahan hati. Aksa, siapa pun dia, tampaknya sudah lama terperangkap dalam kesendirian ini. Tetapi apa sebenarnya yang membuatnya terjebak? Dan kenapa pesan itu harus sampai ke Laras?

Laras meletakkan buku itu kembali di atas meja dan berjalan menuju jendela. Dari sana, ia bisa melihat pemandangan pulau yang lebih jelas. Laut yang begitu tenang, seolah tak bergerak sedikit pun. Di kejauhan, matahari hampir sepenuhnya tenggelam di balik horizon, meninggalkan jejak jingga yang memudar. Ia merasa seolah dunia yang ada di sekelilingnya hanyalah sebuah ilusi—sebuah ruang yang terisolasi dari waktu.

Saat itu, suara langkah kaki yang terhuyung datang dari luar rumah, menghentikan lamunannya. Laras menoleh cepat, matanya mencari-cari sosok yang mungkin sedang mendekat. Dari balik pintu, muncul seorang lelaki. Tubuhnya tinggi, dengan rambut hitam yang acak-acakan, mengenakan pakaian sederhana yang tampak usang. Tatapan lelaki itu kosong, namun ada sesuatu yang dalam di matanya—sebuah beban yang tampaknya tak bisa ia lepaskan.

“A-Aksa?” suara Laras hampir tak keluar, takut bahwa ia hanya membayangkan semuanya. Tetapi lelaki itu mengangguk perlahan, memberi tanda bahwa dialah orang yang ia cari.

Aksa berjalan perlahan ke dalam rumah, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia duduk di kursi kayu di dekat jendela, tatapannya tetap kosong menatap ke luar. Laras merasa bingung, tak tahu apa yang harus ia katakan. Akhirnya, dengan suara yang pelan, ia bertanya, “Kenapa kamu menulis pesan itu? Kenapa aku yang harus menemukanmu?”

Aksa menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya, ia menatap Laras. Ada kesedihan yang mendalam dalam matanya. “Aku tidak tahu,” jawabnya perlahan. “Pulau ini tidak pernah memilih siapa yang datang, tetapi ia memilih siapa yang bisa tinggal. Aku tidak pernah bermaksud membuatmu terjebak di sini. Tetapi aku tidak bisa pergi…”

Laras merasa hatinya terhimpit oleh kata-kata itu. “Apa maksudmu? Apa yang membuat pulau ini begitu kuat? Kenapa kamu terperangkap di sini?”

Aksa terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Pulau ini bukan sekadar tempat. Ia hidup, Laras. Ia menarik orang-orang yang merasa kesepian, yang kehilangan arah. Ia memberi mereka kesempatan untuk menemukan diri mereka. Tapi tidak ada yang bisa keluar, karena jika kamu tinggal di sini, kamu harus meninggalkan bagian dari dirimu yang paling berharga.”

Laras merasa seolah-olah seluruh dunia sedang berputar di sekelilingnya. Ia terjebak dalam sebuah teka-teki yang semakin rumit, tetapi hatinya merasa ada sesuatu yang penting yang harus ia ketahui. Aksa, seorang lelaki yang terperangkap dalam pulau sunyi ini, tampaknya membawa sebuah rahasia yang lebih besar—sesuatu yang akan mengubah segala hal yang ia ketahui tentang takdir dan cinta.

Sambil menatap mata Aksa, Laras bertekad untuk mencari tahu lebih dalam tentang pulau ini, meski tahu bahwa ia mungkin harus menghadapi pilihan yang sulit. Akankah ia juga terperangkap, atau akankah ia menemukan cara untuk keluar.**

Bab 4: Jejak Cinta yang Hilang

Malam itu, Laras terjaga dalam keheningan yang mencekam. Lampu kecil di sudut ruangan yang menerangi buku-buku usang dan meja kayu mengeluarkan cahaya temaram, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak seiring dengan hembusan angin. Meskipun rumah kayu itu tampak seperti tempat berlindung yang aman, Laras merasa ada sesuatu yang menyelubungi udara—sebuah perasaan hampa yang menyesakkan dada. Ia tak bisa menghilangkan kesan bahwa ia sedang berada di tempat yang tak sepenuhnya miliknya.

Setelah berbicara dengan Aksa semalam, Laras merasa bingung. Lelaki itu, yang katanya sudah lama terjebak di pulau ini, menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa Laras pahami. Namun ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa ia hindari—suatu dorongan untuk menggali lebih dalam, untuk memahami mengapa Aksa merasa terperangkap dalam cinta yang telah lama hilang.

Laras berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan menuju jendela. Di luar, langit malam terlihat pekat, dihiasi oleh ratusan bintang yang bersinar samar-samar. Pulau ini begitu tenang, seperti dunia yang terhenti, seolah memanggil untuk menemukan jawabannya. Keheningan malam ini justru membuat Laras semakin terdorong untuk mencari tahu lebih banyak, dan tidak hanya tentang Aksa, tetapi juga tentang dirinya sendiri.

“Kenapa aku merasa begitu terikat pada tempat ini?” pikir Laras, berusaha menggali perasaannya yang semakin kuat. Ada ikatan yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar rasa penasaran. Seolah-olah pulau ini mengingatkan dirinya pada sesuatu yang ia lupakan, sebuah bagian dari dirinya yang hilang dalam perjalanan hidupnya.

Esok pagi, setelah sarapan yang sunyi bersama Aksa, Laras memutuskan untuk pergi lebih jauh lagi ke dalam pulau. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang pulau ini dan apa yang membuat Aksa begitu terperangkap di dalamnya. Aksa, yang tampaknya semakin dalam terjerat dalam kesedihan, tak banyak berbicara. Sesekali, ia melirik Laras dengan tatapan yang begitu kosong, namun tak pernah melontarkan pertanyaan atau bahkan memberi petunjuk.

“Kenapa kamu tidak pernah mencoba keluar?” tanya Laras suatu pagi, saat mereka duduk bersama di depan rumah kayu itu, menghadap ke lautan yang sunyi.

Aksa menatap laut sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya ke Laras. “Aku sudah mencoba. Banyak kali. Tetapi, pulau ini… ia tidak akan membiarkanku pergi. Ia akan mengingatkanmu tentang semua yang telah hilang dalam hidupmu, dan hanya jika kamu bisa menerima dan melepaskannya, maka kamu akan bebas. Tapi banyak yang gagal. Banyak yang tetap terperangkap di sini, terbuai oleh kenangan.”

Laras menatapnya, mencerna kata-kata itu. “Lalu, kenapa kamu tetap tinggal di sini? Apa yang kamu coba lepaskan?”

Aksa terdiam, seolah merenung. Lalu, ia berkata perlahan, “Aku pernah mencintai seseorang. Namun, cintaku hilang begitu saja. Pulau ini… ia membuatmu mengingat cinta yang telah hilang, dan itu adalah hukuman.”

Laras merasa hatinya tersentak. “Cinta yang hilang?” ulangnya, berusaha memahami lebih dalam.

Aksa mengangguk. “Cinta itu adalah bagian dari diriku yang tidak bisa aku lepaskan. Aku mencintainya dengan sepenuh hati, namun takdir memisahkan kami. Pulau ini mengingatkanmu pada kenangan itu, membuatmu terjebak dalam perasaan yang tak bisa kamu tinggalkan. Aku tidak tahu bagaimana cara keluar, karena kenangan itu terus menghantui.”

Laras terdiam. Ia bisa merasakan kesedihan yang mendalam dalam suara Aksa. Cinta yang hilang, kenangan yang tak bisa dilepaskan—semua itu menggambarkan sebuah penderitaan yang seolah tak ada ujungnya. Tanpa sadar, Laras merasakan simpati yang mendalam pada Aksa. Ia bisa merasakan bahwa cinta itu bukan hanya milik Aksa saja—ia juga merasa terperangkap dalam perasaan yang sama. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Pulau ini sepertinya memiliki kekuatan yang lebih besar dari dirinya.

Laras memutuskan untuk berjalan lebih jauh, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut. Di perjalanan, ia melewati hutan yang semakin lebat, dengan daun-daun yang berserakan di bawah kaki, dan dedaunan yang hampir menutup jalan setapak. Di antara pepohonan, ia menemukan sebuah kuil tua yang tampak terlupakan. Pintu kuil itu terbuka sedikit, seolah-olah memanggil Laras untuk masuk.

Dengan rasa penasaran yang mendorongnya, Laras melangkah masuk. Di dalam kuil, bau tanah lembab bercampur dengan aroma kayu tua yang menyengat. Suasana terasa berat, seolah-olah masa lalu masih hidup di sini. Laras berjalan lebih jauh, menemukan sebuah patung besar yang tampak usang di tengah ruangan. Patung itu menggambarkan sepasang kekasih yang sedang berdiri berhadap-hadapan, seolah tak terpisahkan.

Di kaki patung, terdapat ukiran yang hampir pudar, namun Laras bisa membacanya. “Cinta yang hilang akan selalu kembali. Jangan lari dari kenangan, karena hanya dengan itu kamu bisa bebas.”

Laras menatap ukiran itu, merasakan getaran yang menyentuh jiwanya. Kata-kata itu seolah berbicara langsung kepadanya. Cinta yang hilang, kenangan yang tak bisa dilepaskan—semua itu adalah bagian dari dirinya yang ia abaikan selama ini. Tiba-tiba, ia merasakan sebuah pencerahan yang datang begitu tiba-tiba. Ia tidak bisa terus melarikan diri dari kenangannya sendiri. Mungkin, untuk bisa keluar dari pulau ini, ia harus menerima dan melepaskan sesuatu dari masa lalunya.

Dengan tekad baru, Laras kembali ke rumah Aksa. Ketika ia sampai, Aksa sedang duduk di luar, menatap lautan yang kosong. Laras mendekat dan duduk di sampingnya. Mereka terdiam sejenak, hanya mendengarkan suara ombak yang memecah keheningan.

“Aksa,” Laras memulai, “aku rasa aku mengerti sekarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu dan cintamu yang hilang, tapi aku merasa seperti aku juga terjebak. Aku terjebak dalam kenangan tentang hal-hal yang tidak bisa aku ubah.”

Aksa menoleh padanya, ada keheranan dalam matanya. “Kenangan yang tak bisa kamu ubah? Kamu juga merasa begitu?”

Laras mengangguk. “Ya. Aku merasa seperti… aku terus mengejar hal-hal yang sudah hilang. Tapi mungkin aku harus berhenti dan menerima bahwa tidak semua hal dalam hidup ini bisa kembali.”

Aksa terdiam, dan akhirnya ia mengangguk pelan. “Mungkin kamu benar. Mungkin itulah jalan keluar dari pulau ini—menerima dan melepaskan.”

Malam itu, Laras merasa seolah-olah ada sesuatu yang telah berubah. Ia tidak tahu apakah ia bisa sepenuhnya melepaskan kenangan tentang masa lalunya, namun ia merasa bahwa ia telah menemukan sebagian dari jawaban yang ia cari. Pulau ini, dengan semua misterinya, sepertinya hanya akan memberi kebebasan kepada mereka yang berani melepaskan sesuatu yang paling berharga.

Jejak cinta yang hilang, yang selama ini mengikatnya, mungkin mulai pudar. Tetapi apa yang akan datang selanjutnya—bagaimana ia akan menemukan kembali dirinya sendiri dan masa depannya—masih menjadi misteri yang harus ia selesaikan.**

Bab 5: Cinta di Ujung Dunia

Matahari terbit dengan lembut di cakrawala, menyinari pulau yang semakin lama semakin tampak seperti sebuah kenangan yang mulai terlupakan. Udara pagi terasa sejuk, seolah menyapu rasa cemas yang telah lama menghantui Laras. Malam itu, setelah berbicara dengan Aksa, ia merasa ada sebuah kelegaan yang mulai merayap masuk ke dalam dirinya. Sebuah kesadaran baru mulai tumbuh—bahwa untuk bisa keluar dari pulau ini, ia harus berhenti mencari jalan keluar dan menerima kenyataan tentang dirinya sendiri.

Laras berdiri di tepi pantai, memandangi laut yang biru jernih. Ombak-ombak kecil bergulung pelan, menyentuh pasir dengan lembut, seakan membisikkan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh jiwa yang sudah siap menerima takdirnya. Di sisi lain, Aksa berdiri jauh darinya, menghadap ke arah yang sama, namun dengan tatapan kosong yang seolah-olah melampaui jauh ke dalam horizon.

“Aksa,” Laras memulai dengan suara pelan, memecah keheningan yang terasa begitu tebal. “Aku sudah memikirkannya. Aku tidak bisa terus berlarian dari masa lalu. Aku harus melepaskannya.”

Aksa menoleh perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Laras melihat ekspresi yang berbeda di wajahnya—sebuah kesedihan yang terasa lebih ringan. “Itulah yang aku coba katakan padamu. Pulau ini… ia hanya akan membiarkanmu pergi jika kamu menerima kenangan itu. Cinta itu, kesedihan itu, semua yang telah hilang. Setelah itu, kamu bisa bebas.”

Laras menatap Aksa dengan penuh arti. “Tapi apa yang harus kita lakukan setelah itu? Setelah kita melepaskan semuanya? Apa yang ada di luar sana?”

Aksa tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh kepahitan. “Aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Mungkin dunia yang kita tinggalkan sudah berubah, atau mungkin kita akan kembali ke tempat yang sama lagi. Tapi satu hal yang pasti, kita tidak bisa kembali menjadi siapa kita dulu.”

Laras mengangguk perlahan, meresapi kata-kata Aksa. Ia merasa hatinya mulai lapang, seolah beban yang sudah lama membebani dirinya akhirnya mulai terangkat. Namun, ada satu pertanyaan yang masih mengganjal. Bagaimana jika ia tidak pernah bisa benar-benar melupakan masa lalunya? Bagaimana jika cinta yang hilang itu masih membayangi setiap langkahnya?

“Aksa,” suara Laras kali ini lebih berat, “apa kamu pernah mencoba untuk mencintai lagi?”

Aksa terdiam. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia menjawab dengan suara serak, “Aku… aku tidak tahu apakah aku bisa. Cinta itu telah menghancurkanku, dan aku takut untuk merasakannya lagi. Tetapi aku tahu, jika aku ingin bebas, aku harus membiarkan diriku merasakan cinta itu lagi. Tanpa rasa takut.”

Laras merasa hatinya tergetar. Aksa, lelaki yang terperangkap oleh kenangan tentang cinta yang telah hilang, akhirnya membuka diri. Mereka berdua, meskipun terperangkap dalam kesedihan yang sama, akhirnya saling memahami—bahwa mereka tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.

“Kalau begitu,” Laras berkata dengan penuh keyakinan, “mari kita coba. Kita coba untuk mencintai lagi, meski itu terasa menakutkan. Kita coba untuk mulai melangkah maju.”

Aksa memandang Laras dengan tatapan yang tajam, namun ada sesuatu yang lembut di balik matanya. “Kamu yakin?”

Laras tersenyum. “Aku tidak yakin, tapi aku merasa kita bisa melakukannya bersama.”

Keduanya berdiri dalam keheningan yang penuh makna, seakan dunia di sekitar mereka berhenti sejenak untuk memberi ruang bagi perasaan yang baru tumbuh. Lautan yang luas di hadapan mereka bukan lagi sebuah batasan yang menakutkan, melainkan sebuah jalan yang terbuka menuju kemungkinan baru. Ada sesuatu yang indah yang tumbuh di antara mereka, meski itu hanya dimulai dengan sebuah keputusan kecil—keputusan untuk melepaskan dan mencintai lagi.

Namun, meskipun ada harapan baru yang mulai muncul, Laras tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah. Pulau ini, dengan segala misterinya, tidak akan begitu saja membiarkan mereka pergi. Mereka masih harus menghadapi ujian besar yang akan menguji kekuatan cinta mereka, dan apakah mereka benar-benar siap untuk melepaskan kenangan-kenangan yang telah lama mengikat mereka.

Setelah beberapa waktu berjalan bersama, Laras dan Aksa akhirnya sampai di tempat yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya—sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik tebing curam. Gua itu tampak gelap dan menakutkan, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang seolah memanggil mereka.

“Apa ini?” tanya Laras, merasa sedikit ragu.

“Ini adalah tempat terakhir yang harus kita hadapi,” jawab Aksa. “Tempat di mana kita harus melepaskan kenangan yang telah membuat kita terperangkap.”

Laras merasa ada ketegangan yang menyesakkan di dadanya. Ia tahu ini adalah langkah terakhir yang harus mereka ambil, tetapi ia juga tahu bahwa keputusan ini tidak mudah. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam gua, di mana suasana semakin gelap dan sunyi. Tanpa cahaya, hanya ada suara napas mereka yang terdengar di dalam kegelapan.

Di dalam gua, mereka menemukan sebuah batu besar yang tertutup dengan ukiran-ukiran yang tidak dapat mereka baca. Namun, ada satu simbol yang terlihat jelas di tengah batu itu—sebuah hati yang terbelah.

“Ini… ini adalah lambang dari cinta yang hilang,” kata Aksa, suaranya bergetar. “Tempat ini adalah tempat di mana kita harus meninggalkan bagian dari diri kita yang paling berharga. Itulah cara kita bisa bebas.”

Laras mendekat, merasakan keheningan yang begitu dalam. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa berkata-kata, ia melepaskan cincin yang sudah lama ia kenakan—cincin yang mengingatkannya pada cinta yang pernah ia miliki, cinta yang hilang dan tak bisa ia lupakan. Ia meletakkan cincin itu di atas batu besar, dan merasa beban di hatinya sedikit menghilang.

Aksa melakukan hal yang sama, melepaskan benda yang paling berharga baginya—sebuah kalung yang pernah diberikan oleh orang yang ia cintai dulu. Dengan perlahan, mereka meletakkan benda-benda itu di atas batu dan menutup matanya, merasakan perubahan yang mulai terjadi.Ketika mereka membuka mata, mereka melihat cahaya yang mulai menyinari gua. Cahaya itu datang dari dalam batu besar yang kini memancarkan cahaya lembut, seakan memberi mereka tanda bahwa mereka telah melepaskan kenangan-kenangan yang membelenggu mereka. Dan saat itulah mereka menyadari—bahwa cinta yang mereka cari tidak hilang. Cinta itu ada di dalam diri mereka sendiri, di dalam hati mereka, dan hanya dengan melepaskannya mereka bisa merasakannya kembali.

Saat mereka keluar dari gua, cahaya matahari pagi semakin terang. Laut yang sebelumnya tampak seperti sebuah batasan, kini terbuka lebar, mengundang mereka untuk melangkah ke masa depan.

“Aksa,” Laras berkata, suara penuh keyakinan, “kita sudah siap. Cinta kita tidak hilang. Itu hanya tertunda.”

Aksa tersenyum, sebuah senyuman tulus yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. “Kita di ujung dunia, Laras. Tapi ini adalah awal baru bagi kita.”

Mereka berdua berdiri di sana, di ujung dunia, tetapi hatinya kini terasa penuh—penuh dengan cinta yang mereka temukan kembali. Cinta yang tak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu untuk ditemukan kembali. Di ujung dunia, di pulau yang penuh misteri ini, mereka akhirnya menemukan rumah—tempat di mana cinta mereka akan tumbuh kembali, tak peduli seberapa besar dunia berubah.**

Prolog: Cinta yang Terlupakan

Pulau ini selalu sunyi. Seakan waktu berhenti berputar sejak ribuan tahun yang lalu, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan oleh ombak atau angin yang datang dan pergi. Ada sesuatu tentang pulau ini yang membuat siapa pun yang datang seolah terperangkap dalam ruang dan waktu yang tak pernah benar-benar ada. Pulau ini, yang terletak di ujung dunia, memiliki cerita-cerita yang tak terucapkan, kenangan yang tak bisa dilupakan, dan cinta yang telah lama terkubur dalam keheningan.

Laras tiba di pulau ini tanpa peringatan. Angin besar menghantam kapal yang ia tumpangi, dan badai yang datang begitu cepat memaksanya untuk berlayar lebih jauh, hingga tak menyadari bahwa ia telah meninggalkan peradaban dan menuju ke suatu tempat yang tak dikenal. Ketika kapal akhirnya merapat di pantai, Laras merasa seolah dunia luar tidak ada lagi—hanya ada dirinya, kapal yang karam, dan pulau ini yang tampaknya tak pernah dihuni oleh siapa pun.

Ia mendarat di pantai dengan hati yang penuh tanda tanya. Sebagai seorang penulis yang sering bepergian untuk mencari inspirasi, Laras sudah terbiasa dengan tempat-tempat asing, namun ada sesuatu yang berbeda tentang pulau ini. Keheningannya menekan, dan meskipun alamnya begitu indah, ada sesuatu yang terasa ganjil, seakan pulau ini menyimpan rahasia besar yang siap mengungkapkan dirinya jika seseorang cukup berani untuk mencari.

Pulau ini, yang tak terlihat di peta, memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan. Sejak pertama kali Laras menjejakkan kaki di pasir putihnya, ada perasaan yang membelit hatinya, perasaan bahwa ia seolah-olah telah berada di sini sebelumnya, meskipun ia tahu itu mustahil. Setiap langkah yang diambilnya di pulau ini seperti membawa jejak-jejak masa lalu yang kabur, jejak-jejak yang ia tidak bisa ingat, tetapi terasa begitu dekat.

Hari pertama di pulau itu, Laras hanya berjalan-jalan mengelilingi pantai, mencari cara untuk bertahan hidup—berpikir untuk mencari sinyal telepon atau mungkin bertemu dengan seseorang yang bisa memberi penjelasan. Namun, ia tak menemukan apa pun selain pepohonan rimbun dan suara ombak yang bergulung pelan di kejauhan. Ia bahkan tidak melihat tanda kehidupan lainnya, selain sebuah rumah kayu tua yang terletak jauh di ujung jalan setapak yang membelah hutan lebat.

Ketika Laras mendekat ke rumah itu, ia merasa seolah ada yang mengamatinya dari dalam. Jendela-jendela rumah itu tertutup rapat, dan pintu depannya sedikit terbuka, seolah mengundangnya masuk. Tanpa berpikir panjang, Laras melangkah maju dan mengetuk pintu. Beberapa saat berlalu tanpa jawaban. Ia hampir berpikir untuk pergi, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara dari dalam rumah. Suara langkah kaki yang pelan, seolah datang dari seorang yang lebih memilih bersembunyi dari dunia luar.

Pintu terbuka perlahan, dan di baliknya berdiri seorang lelaki—tinggi, tampan, dengan mata yang tampak kosong, namun penuh dengan cerita yang tak terucapkan. Lelaki itu menatap Laras dengan tatapan yang sulit dipahami, seolah ia sudah lama menunggu kedatangannya, meskipun Laras sama sekali tidak mengenalnya.

“Selamat datang di pulau ini,” kata lelaki itu, suaranya tenang namun penuh beban. “Aku Aksa. Kamu adalah orang pertama yang datang ke sini setelah bertahun-tahun.”

Laras merasa hatinya berdebar. Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi ada sesuatu dalam diri Aksa yang membuatnya menahan pertanyaan-pertanyaan itu. Ada sesuatu tentang lelaki ini yang membuatnya merasa bahwa ia tidak hanya berhadapan dengan seseorang yang terjebak di pulau ini, tetapi juga dengan seseorang yang telah lama melawan kenangan dan kehilangan yang dalam.

“Apa yang terjadi di sini?” tanya Laras akhirnya, mencoba mencari petunjuk tentang pulau yang seakan mengundang keheningan ini.

Aksa menghela napas panjang, seolah kata-kata yang akan ia ucapkan sudah lama terpendam. “Pulau ini memiliki kekuatan untuk membuatmu terjebak dalam kenangan yang hilang. Ini bukan tempat yang bisa kau tinggali jika kau belum siap melepaskan apa yang telah hilang dalam hidupmu. Aku sudah lama terperangkap di sini, Laras.”

Laras merasa seperti ada yang mengikat hatinya dengan kata-kata itu. Ia merasa ada cerita yang lebih besar dari sekadar pulau ini, dan cerita itu kini mulai melibatkan dirinya. Sejak saat itu, ia merasa seolah berada dalam mimpi yang tak bisa ia bangunkan, dengan setiap langkah yang ia ambil membawa dirinya semakin dalam ke dalam misteri yang tersembunyi di balik pulau ini.

Seiring waktu, Laras mulai mengetahui lebih banyak tentang Aksa. Lelaki itu bercerita sedikit tentang dirinya—bahwa ia datang ke pulau ini bertahun-tahun yang lalu, mencari kedamaian setelah kehilangan cintanya. Namun, takdir mempermainkannya, dan alih-alih menemukan kedamaian, ia justru terperangkap dalam kenangan yang tak bisa ia lupakan. Setiap sudut pulau ini, setiap ombak yang memecah di pantai, setiap hembusan angin seakan membawa ingatan tentang cintanya yang hilang—sebuah cinta yang tak pernah bisa ia lepaskan, bahkan meskipun ia telah mencoba untuk pergi.

“Aku tidak bisa melupakan dia, Laras,” ujar Aksa suatu hari, saat mereka duduk bersama di pantai, menghadap lautan yang sunyi. “Kami terpisah, dan aku tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Tetapi yang lebih menyakitkan, aku tidak tahu apakah aku bisa mencintai lagi setelah kehilangannya.”

Laras mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan kepedihan yang mendalam dalam kata-kata Aksa. Cinta yang hilang. Kenangan yang menghantui. Ia bisa merasakan bahwa Aksa bukan hanya terperangkap dalam fisik pulau ini, tetapi juga dalam dunia batinnya sendiri—sebuah dunia yang penuh dengan rasa sakit dan kehilangan.

Hari-hari berlalu, dan meskipun Laras merasa semakin terhubung dengan Aksa, ia juga mulai merasa terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu tentang pulau ini, tentang Aksa, yang membuatnya merasa seperti bagian dari dirinya yang hilang—sebuah bagian yang harus ia temukan. Namun, apa yang harus ia temukan? Dan kenapa ia merasa begitu terikat pada tempat ini, seolah ia sudah pernah berada di sini sebelumnya?

Perasaan itu semakin kuat saat Laras mulai menjelajahi lebih jauh ke dalam pulau. Ia menemukan sebuah kuil tua yang tersembunyi di hutan, dengan ukiran-ukiran kuno yang menggambarkan sepasang kekasih yang seolah tak terpisahkan oleh waktu atau ruang. Di sana, Laras merasa seperti menemukan bagian dari dirinya yang telah lama terlupakan—sesuatu yang menghubungkannya dengan tempat ini, dengan Aksa, dan dengan cinta yang sudah lama hilang.

Laras tahu, ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia hadapi di pulau ini. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran tentang kenapa Aksa terperangkap di sini. Sesuatu yang lebih dalam, yang berkaitan dengan cinta, kehilangan, dan penerimaan. Pulau ini bukan hanya tempat yang misterius—ia adalah tempat di mana kisah-kisah cinta yang terlupakan berkumpul, menunggu untuk ditemukan kembali.

Aksa mungkin sudah lama menyerah pada cinta yang hilang, tetapi Laras tahu bahwa perjalanan mereka berdua baru saja dimulai. Di ujung dunia ini, di pulau yang terperangkap dalam waktu, mereka harus menghadapi kenangan mereka, menghadapi cinta yang terpendam, dan akhirnya menemukan jalan keluar dari labirin hati mereka.

Karena di ujung dunia, mereka akan menemukan cinta yang bukan hanya hilang, tetapi yang telah lama menunggu untuk ditemukan kembali.***

——————–THE END —————-

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #Romansa #Misteri #Cinta Terlarang №Kenangan yang Hilang #Pulau Terpencil
Previous Post

DUA DIBAGI DUA

Next Post

DI UJUNG PELANGI

Next Post
DI UJUNG PELANGI

DI UJUNG PELANGI

Wajah Fans Manchester United Berlumur Tahi Kucing Basah Pasca-Imbang Lawan Everton

Hasrat Ambisius Fans Manchester United Punya Gudang Logistik Tahi Kucing

CINTA DI BAWAH LANGIT SENJA

CINTA DI BAWAH LANGIT SENJA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In