Bab 1: Perkenalan yang Tidak Terduga
Dita merasa dunia kecilnya yang tenang akan segera terganggu. Di balik layar laptopnya, jari-jarinya menari dengan lincah di atas tombol-tombol keyboard, merangkai kata demi kata. Sebagai seorang penulis lepas, hidupnya sudah terbiasa dengan rutinitas menulis cerita di malam hari dan mengedit naskah di pagi hari. Meskipun ia tidak punya banyak teman atau kehidupan sosial yang ramai, ia merasa puas dengan pekerjaan yang dijalaninya. Kata-kata adalah sahabat terbaiknya, dan ia sudah cukup bahagia dengan itu.
Namun, semuanya mulai berubah ketika kantor penerbit tempat Dita bekerja memutuskan untuk merekrut seorang editor baru. Sejak pengumuman itu, Dita merasa ada sesuatu yang akan mengganggu keseimbangannya. Sebagai seorang penulis, ia sudah terbiasa bekerja dengan editor yang tidak banyak berbicara, hanya memberikan koreksi kecil pada naskahnya. Tapi kali ini, Dita tidak tahu mengapa, ia merasa sedikit cemas.
Pagi itu, saat Dita tiba di kantor, suasana sedikit berbeda. Beberapa kolega terlihat berbisik, dan suasana yang biasanya santai berubah menjadi lebih serius. Dita duduk di meja kerjanya, mengatur dokumen-dokumen yang tertumpuk, dan mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman itu. Tiba-tiba, pintu ruang kerja terbuka, dan seorang pria memasuki ruangan. Ia mengenakan kemeja putih rapi, celana gelap, dan jas yang terlihat sangat formal. Dita langsung menoleh, dan matanya bertemu dengan mata pria itu. Sejenak, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh antara mereka.
“Selamat pagi, semuanya,” kata pria itu dengan suara yang tegas dan penuh percaya diri. “Nama saya Rafi, dan saya akan menjadi editor baru di sini.”
Dita menelan ludah, sedikit terkejut. Rafi, pria yang berdiri di depan mereka semua dengan aura profesional yang begitu kuat, tampaknya sangat berbeda dengan orang-orang yang biasanya bekerja di penerbit ini. Tidak ada yang bisa membantah bahwa ia memiliki kehadiran yang kuat. Bahkan, cara ia berbicara seolah-olah ia sudah lama bekerja di sini, meskipun kenyataannya baru saja bergabung.
Rafi melanjutkan, “Saya tahu kalian semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tetapi saya ingin memperkenalkan diri dan siap membantu jika ada yang membutuhkan bantuan.” Matanya melirik ke seluruh ruangan, hingga akhirnya berhenti pada Dita, yang sedang sibuk dengan laptopnya.
Dita merasa ada sesuatu yang tidak beres, seperti ada perhatian khusus yang diberikan pada dirinya. Tentu saja, ini hanya perasaan Dita, tetapi entah mengapa ia merasa sedikit canggung. Tidak ada yang istimewa tentang dirinya, ia hanyalah seorang penulis lepas biasa. Namun, saat itu, ia merasakan tatapan Rafi yang tajam, dan itu membuatnya merasa sedikit gugup.
Ketika perkenalan selesai, Rafi langsung menuju meja kerjanya, yang terletak di sisi lain ruangan. Dita merasa sedikit lega, tetapi rasa penasaran tetap menggelayuti pikirannya. Sejak hari itu, Dita tidak bisa menghindari Rafi yang tampaknya selalu ada di sekitar, berjalan dengan langkah pasti dan penuh kepercayaan diri. Bahkan, ketika Dita sedang asyik menulis, ia sering mendengar suara langkah kaki Rafi yang mendekat dan kemudian berlalu begitu saja.
Namun, yang benar-benar membuat Dita tidak nyaman adalah cara Rafi melihat pekerjaannya. Dalam beberapa minggu pertama, mereka jarang berinteraksi secara langsung, kecuali ketika ada proyek bersama. Namun, suatu hari, Dita diminta untuk memberikan naskah terbarunya untuk diedit oleh Rafi. Ini adalah pertama kalinya mereka bekerja bersama.
Saat Dita menyerahkan naskahnya, Rafi hanya memandangnya sejenak sebelum mulai membaca. “Apa ini?” katanya, suara Rafi sedikit terkejut.
Dita merasa sedikit tersinggung, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Itu naskah terbaru saya. Saya harap Anda bisa memberikan beberapa masukan.”
Rafi menyandarkan diri pada kursinya, menyilangkan tangan di dada, dan mulai membaca naskah itu dengan cermat. Beberapa saat kemudian, ia menghela napas dan menatap Dita dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Ini terlalu banyak drama, Dita,” ujarnya. “Sepertinya kamu mencoba membuat semua emosi itu terlalu tebal. Pembaca bisa merasa kewalahan.”
Dita terkejut mendengar pendapatnya. Ia tahu bahwa tulisannya memang cenderung emosional, tetapi baginya, kata-kata itu adalah cara untuk menyampaikan perasaan yang mendalam. “Apa maksud Anda?” tanya Dita, mencoba menahan ketegangan dalam dirinya.
“Ini seperti kamu memaksa pembaca untuk merasa sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dirasakan,” jawab Rafi dengan suara tegas. “Cinta bukan hanya tentang kata-kata indah, Dita. Kadang-kadang, terlalu banyak kata justru mengurangi makna.”
Dita merasa tergores oleh kata-kata itu, tetapi ia mencoba tetap bersikap profesional. “Mungkin kita memiliki pandangan yang berbeda tentang itu, Rafi,” jawabnya. “Kata-kata, bagi saya, adalah cara untuk menggali emosi yang lebih dalam. Tanpa kata-kata, bagaimana kita bisa mengungkapkan perasaan?”
Rafi tidak segera menjawab, hanya menatapnya sebentar. “Cinta itu lebih dari sekadar kata-kata, Dita,” katanya akhirnya. “Cinta adalah tentang tindakan, tentang bagaimana kita memilih untuk bertindak berdasarkan perasaan kita, bukan sekadar berbicara tentangnya.”
Perdebatan itu berlanjut cukup lama, dan Dita merasa ada jarak yang besar di antara cara mereka memandang dunia. Namun, meskipun ada ketegangan, Dita tidak bisa menahan perasaan kagumnya terhadap Rafi. Meskipun cara pandangnya kadang-kadang terasa keras, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Dita terpesona. Rafi tidak hanya seorang editor profesional, tetapi juga seseorang yang sangat percaya pada prinsip-prinsipnya.
Setelah pertemuan itu, Dita merasa tidak nyaman setiap kali bertemu Rafi. Ada perasaan canggung yang menggelayuti mereka berdua. Namun, di balik rasa kesal dan kebingungannya, Dita merasa ada suatu ketertarikan yang aneh, yang membuatnya tidak bisa sepenuhnya membenci Rafi. Sebaliknya, ia merasa penasaran dengan cara pria itu berpikir dan melihat dunia.
Namun, ia juga tahu bahwa mereka berada di dua dunia yang berbeda. Dita adalah seorang penulis yang mencari kedalaman dalam kata-kata, sementara Rafi adalah seorang editor yang lebih melihat ke praktikalitas dan efisiensi. Mungkin, kata-kata yang menghubungkan mereka hanya akan menjadi perdebatan panjang yang tak berujung. Tapi, siapa yang tahu? Mungkin, di antara kata-kata itulah, suatu hari mereka akan menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar perbedaan pandangan.*
Bab 2: Konflik di Luar Kata-kata
Beberapa minggu setelah pertemuan pertama mereka, Dita merasa semakin terperangkap dalam ketegangan yang tak terlihat antara dirinya dan Rafi. Meskipun mereka harus bekerja bersama pada beberapa proyek, setiap pertemuan dengan Rafi seolah selalu diwarnai perbedaan pandangan yang tak bisa dihindari. Dita, yang selalu percaya bahwa kata-kata bisa menjadi jembatan antara perasaan dan pikiran, merasa kesulitan untuk menyatu dengan cara pandang Rafi yang pragmatis dan tegas.
Pagi itu, Dita sedang duduk di mejanya, memandangi layar laptopnya yang kosong. Ia sedang mencoba menulis sebuah artikel untuk kliennya, namun pikirannya tak bisa fokus. Dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang dalam pekerjaannya. Mungkin, itu adalah kegelisahan yang timbul dari perbedaan besar antara dirinya dan Rafi.
Tugas terbaru mereka adalah mengedit dan menyempurnakan naskah novel bersama. Dita sudah terbiasa bekerja dengan editor, tetapi bekerja dengan Rafi adalah hal yang berbeda. Setiap kali mereka bertemu, mereka terlibat dalam perdebatan panjang mengenai kata-kata, gaya penulisan, dan cara menyampaikan emosi dalam cerita. Dita merasa Rafi terlalu kaku, sementara Rafi merasa tulisan Dita terlalu dramatis dan tidak realistis. Mereka seakan-akan tidak bisa menemukan titik temu, meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama: menyelesaikan novel yang baik.
Hari itu, Dita dipanggil untuk bertemu dengan Rafi di ruang rapat. Ia tahu bahwa ini bukan pertemuan biasa—mereka harus membahas bab terakhir dari novel yang sedang mereka garap. Bab yang paling penting. Dita berjalan ke ruang rapat dengan perasaan yang campur aduk, merasa sedikit cemas, namun juga penasaran bagaimana Rafi akan menanggapi revisi terbarunya.
Begitu ia memasuki ruang rapat, Rafi sudah duduk di meja, menatap naskah yang terbuka di depannya. Tanpa menoleh, Rafi berkata, “Kita perlu berbicara tentang bab terakhir.”
Dita menarik napas panjang dan duduk di hadapan Rafi, mempersiapkan diri untuk perdebatan lain. “Apa ada yang salah dengan bab itu?” tanya Dita dengan hati-hati, meskipun ia merasa cukup yakin dengan revisinya.
Rafi menatap naskah itu, lalu menutupnya perlahan. “Bab ini terlalu melankolis, Dita,” ujarnya dengan nada yang serius. “Kamu terlalu fokus pada perasaan, terlalu banyak menggambarkan kesedihan dan kehilangan. Pembaca akan merasa bosan dan terjebak dalam drama yang tak perlu.”
Dita merasa darahnya mendidih. “Tapi, Rafi, ini adalah bagian puncak dari cerita. Semua konflik yang dibangun dari awal harus memiliki resolusi yang emosional, yang menggugah hati pembaca,” jawab Dita, berusaha mempertahankan sudut pandangnya.
Rafi memutar bola matanya, seolah-olah sudah lelah dengan penjelasan itu. “Emosi tidak bisa dipaksakan, Dita. Kamu bisa menggambarkan perasaan tanpa harus berlebihan. Kadang, ketenangan itu jauh lebih efektif daripada ledakan emosi yang tidak terkendali.”
Dita tidak bisa menahan diri. “Dan saya rasa kamu tidak mengerti bagaimana rasanya berusaha menulis tentang perasaan yang mendalam. Kata-kata adalah cara untuk mengungkapkan perasaan yang sulit diungkapkan, Rafi. Tanpa itu, kita hanya berbicara tentang fakta kosong. Cinta tidak hanya tentang perhitungan logis atau ketenangan.”
Rafi menatapnya dengan tajam. “Dan saya rasa kamu tidak mengerti bahwa kadang-kadang, cinta itu bisa membuat kita kehilangan kendali, tapi itu tidak berarti kita harus menulisnya dengan cara yang membuat pembaca merasa seperti mereka sedang tenggelam dalam banjir emosi yang tak ada ujungnya.”
Keduanya terdiam sejenak, menahan napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Dita bisa merasakan ketegangan yang semakin memuncak, seolah-olah setiap kata yang mereka ucapkan menambah jarak di antara mereka. Mereka berdua tahu bahwa mereka sedang berada di persimpangan yang sama sekali berbeda.
“Saya tahu kita tidak akan pernah sepenuhnya sepakat tentang ini,” kata Dita akhirnya, suara agak lirih. “Tapi saya percaya kita bisa menemukan jalan tengah. Mungkin kita bisa fokus pada cara-cara yang lebih halus untuk menggambarkan perasaan, tanpa kehilangan kekuatan cerita.”
Rafi mengangguk perlahan, meskipun wajahnya tetap serius. “Saya menghargai usaha kamu, Dita. Tapi saya tetap berpikir, kita perlu lebih realistis dalam menyampaikan cerita ini. Jangan terlalu menggantungkan diri pada emosi semata.”
Dita merasa lelah, tapi ia tahu bahwa mereka harus menyelesaikan perbedaan ini agar bisa melangkah maju. “Baiklah,” jawab Dita, “Saya akan coba menyesuaikan beberapa bagian. Tapi saya juga berharap kamu bisa lebih terbuka dengan cara saya menyampaikan perasaan melalui kata-kata.”
Perdebatan itu berlanjut sepanjang hari, dan meskipun mereka berdua tidak sepenuhnya sepakat, mereka akhirnya menyepakati beberapa perubahan pada bab terakhir tersebut. Namun, Dita merasa bahwa konflik mereka belum selesai. Dalam benaknya, ia terus bertanya-tanya apakah mereka benar-benar bisa bekerja bersama dengan baik, atau apakah ketegangan ini akan mengganggu hasil akhir mereka.
Setelah pertemuan tersebut, Dita merasa sangat lelah. Ia duduk di mejanya dan memandangi layar komputer yang kini terlihat kosong dan tak berarti. Ia membuka dokumen baru dan mulai mengetik, mencoba menulis tentang perasaan yang sulit ia ungkapkan. Kata-kata tidak lagi datang dengan mudah, dan ia merasa terhambat oleh konflik batinnya sendiri.
Hari-hari berikutnya, Dita dan Rafi semakin jarang berbicara di luar pekerjaan. Setiap kali mereka bertemu, suasana terasa kaku dan penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Meskipun mereka berusaha untuk tetap profesional, Dita merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang terjadi—sesuatu yang lebih dari sekadar perbedaan cara pandang dalam menulis.
Pada suatu malam, setelah jam kantor selesai, Dita memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat kantor untuk menenangkan pikirannya. Ia duduk di sebuah bangku, menatap langit malam yang cerah, mencoba meresapi ketenangan itu. Ia tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk mengatasi perasaan ini, untuk mengembalikan rasa nyaman dalam bekerja dengan Rafi.
Namun, tanpa diduga, suara langkah kaki di belakangnya membuatnya menoleh. Rafi berdiri di sana, tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya berjalan mendekat.
“Dita,” katanya dengan suara pelan. “Aku… aku ingin meminta maaf. Mungkin aku terlalu keras dalam membicarakan ide-ideku. Aku tahu kamu hanya ingin yang terbaik untuk cerita ini.”
Dita terkejut dengan permintaan maaf itu, tapi ia juga merasakan kelegaan yang tiba-tiba. “Tidak masalah, Rafi,” jawabnya, tersenyum lembut. “Kita hanya memiliki cara yang berbeda untuk melihat dunia.”
Rafi duduk di sampingnya, dan mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan malam yang anehnya terasa lebih ringan. Mungkin, kata-kata mereka tidak selalu.*
Bab 3: Penerimaan yang Tertunda
Hari-hari berlalu dengan cepat, membawa Dita dan Rafi semakin jauh ke dalam rutinitas yang dipenuhi dengan perdebatan tanpa ujung, kesepian yang sulit diungkapkan, dan kekakuan yang mulai terasa seperti dinding yang tak bisa dihancurkan. Meski mereka terus bekerja bersama, Dita merasa semakin terasingkan, seolah-olah ada batas yang tak terlihat antara dirinya dan Rafi. Tugas mereka untuk menyelesaikan novel bersama seharusnya menyatukan mereka, tetapi justru semakin membuat jarak di antara keduanya. Kata-kata yang seharusnya membangun jembatan kini terasa seperti penghalang yang kokoh.
Suatu hari, setelah hampir seminggu penuh terjebak dalam kebisuan yang menekan, Dita memutuskan untuk keluar dari kantornya. Ia merasa terperangkap di ruang itu, di tengah atmosfer yang seolah menenggelamkan semua rasa nyaman yang dulu pernah ia rasakan saat menulis. Tanpa tujuan yang jelas, Dita berjalan kaki menuju kafe kecil yang selalu ia kunjungi untuk mencari ketenangan. Kafe itu sudah menjadi tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa melarikan diri sejenak dari perasaan sesak yang terus mengikutinya.
Ketika Dita memasuki kafe, aroma kopi yang baru diseduh langsung menyambutnya, menenangkan jiwanya yang lelah. Ia memilih meja di pojok, jauh dari keramaian, dan duduk di sana, meresapi setiap detik yang berjalan. Ia mulai membuka laptopnya, berusaha untuk kembali menulis. Namun, kata-kata masih sulit datang. Ia memikirkan Rafi, perdebatan mereka yang tak kunjung selesai, dan segala ketegangan yang terjadi. Dita tahu, ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kebingungan ini. Ia harus menemukan cara untuk menerima perbedaan itu, atau mereka akan terus terperangkap dalam siklus yang sama.
Tak lama setelah Dita duduk, pintu kafe terbuka dan suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan Rafi. Pria itu tampaknya baru saja selesai dengan pekerjaannya, karena ia mengenakan jas tanpa dasi dan tampak sedikit lebih santai daripada biasanya. Rafi terlihat terkejut melihat Dita di sana, tapi setelah beberapa detik, dia tersenyum dan mendekat.
“Dita?” tanya Rafi, suara sedikit ragu. “Kamu di sini?”
Dita tersenyum lelah. “Iya, hanya ingin sedikit melarikan diri dari semuanya. Terkadang, aku merasa kata-kata lebih mudah ditemukan di tempat seperti ini.”
Rafi mengangguk, lalu duduk di meja yang sama, tanpa banyak bicara. Keheningan yang terjadi di antara mereka terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa canggung yang menekan, hanya sebuah ketenangan yang aneh. Setelah beberapa saat, Rafi membuka pembicaraan.
“Kamu tahu,” kata Rafi, memecah kesunyian, “Aku merasa seperti kita berada di jalur yang salah. Kita terlalu fokus pada perbedaan kita daripada mencari cara untuk bekerja sama.”
Dita menatapnya, terkejut. Ia tak menyangka Rafi akan berbicara tentang ini. “Maksudmu?” tanya Dita, meskipun hatinya mulai berdebar. Perasaan yang semula tersisa hanya dalam kebingungannya, mulai terbuka perlahan.
Rafi menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu kita tidak selalu sepakat, Dita. Aku tahu cara menulisku yang praktis dan tegas sering kali berbenturan dengan caramu yang penuh perasaan dan imajinasi. Tapi kadang, aku merasa kita sudah terlalu keras terhadap satu sama lain. Mungkin kita harus lebih saling mendengarkan daripada saling membuktikan siapa yang benar.”
Dita terdiam, mendengarkan dengan seksama. Terkadang, mendengar sesuatu dari orang lain lebih sulit diterima daripada mengatakannya sendiri. “Aku juga merasa begitu,” jawabnya perlahan. “Aku sering kali merasa tertekan, seperti ada dinding di antara kita yang tidak bisa hancur.”
Rafi mengangguk, menatap matanya dengan tatapan yang lebih lembut dari sebelumnya. “Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti itu, Dita. Aku cuma… aku cuma ingin agar cerita kita bisa sampai pada pembaca dengan cara yang lebih… langsung, lebih jelas.”
Dita tersenyum tipis. “Aku tahu, Rafi. Aku tahu kamu tidak berniat membuatku merasa tertekan. Tapi aku juga ingin agar perasaan yang aku tuangkan dalam tulisan kita bisa sampai dengan cara yang halus, bukan hanya dipotong dengan logika semata.”
Keduanya terdiam lagi, namun kali ini, keheningan itu terasa penuh dengan pemahaman yang lebih mendalam. Dita mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—sesuatu yang membuatnya merasa lebih dekat dengan Rafi, meski perbedaan mereka masih ada. Ternyata, setelah semua perdebatan dan ketegangan itu, ada sebuah titik di mana mereka bisa saling mengerti, meskipun jalan mereka berbeda.
“Aku tahu ini mungkin terdengar klise,” lanjut Dita, “tapi aku rasa cinta, dalam cerita kita ini, bukan hanya tentang kata-kata atau aksi. Cinta itu tentang bagaimana kita bisa menerima ketidaksempurnaan, dan menghargai cara orang lain melihat dunia.”
Rafi tersenyum mendengar itu. “Mungkin itu benar, Dita. Mungkin aku terlalu fokus pada apa yang harus terjadi, hingga lupa bahwa dalam cinta, tidak ada yang benar-benar harus terjadi dengan cara tertentu. Kita hanya perlu menerima perbedaan itu, bukan?”
Dita mengangguk, dan mereka saling tersenyum. Terkadang, kata-kata yang paling sulit untuk diucapkan adalah kata-kata yang menyentuh hati, yang mengandung makna lebih dari sekadar bentuknya. Mereka berdua akhirnya tiba pada kesadaran yang sama: bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan bagian dari perjalanan yang harus dijalani bersama.
Setelah pertemuan itu, suasana antara Dita dan Rafi berubah. Mereka mulai bekerja bersama dengan cara yang lebih terbuka dan penuh pengertian. Perdebatan mereka tidak lagi keras dan penuh ketegangan, melainkan menjadi diskusi yang lebih produktif. Setiap kali mereka menemui titik perbedaan, mereka mencoba untuk melihatnya dari sudut pandang masing-masing, mencari solusi yang dapat menyatukan cara pandang mereka.
Dita merasa ada perasaan baru yang tumbuh dalam dirinya—perasaan yang ia tidak bisa jelaskan sepenuhnya. Mungkin itu adalah bentuk penerimaan yang tertunda, sebuah proses panjang yang akhirnya membawa mereka lebih dekat. Perasaan itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi ia tahu bahwa ia mulai melihat Rafi dengan cara yang berbeda.
Pada suatu sore yang cerah, ketika mereka sedang duduk bersama di kafe yang sama, meninjau naskah yang telah mereka revisi bersama, Dita merasa ada ketenangan yang datang begitu saja. Suasana yang dulu penuh dengan ketegangan kini terasa lebih hangat dan nyaman. Mereka duduk bersebelahan, berbicara tentang hal-hal kecil, dan mendengarkan satu sama lain tanpa terburu-buru.
“Aku rasa kita sudah berada di jalur yang benar, Rafi,” kata Dita, tersenyum lembut.
Rafi menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka mulai bekerja bersama, ia memberikan senyum yang penuh arti. “Aku rasa begitu juga, Dita.”
Dan dalam kebisuan itu, mereka berdua tahu bahwa mereka tidak hanya menemukan titik temu dalam pekerjaan mereka, tetapi juga dalam cara mereka memahami dan menerima satu sama lain.
menyatukan hati, tetapi malam itu, mereka menemukan cara untuk saling mendengarkan tanpa perlu kata-kata yang berlebihan.*
Bab 4: Langkah Kecil Menuju Cinta
Hari-hari berlalu dengan lebih tenang setelah Dita dan Rafi mulai menerima perbedaan mereka. Proses menulis yang dulu penuh dengan gesekan kini terasa lebih ringan. Mereka mulai menemukan cara untuk bekerja sama, memadukan gaya penulisan mereka, dan menciptakan cerita yang, meskipun berbeda dari awal yang mereka bayangkan, akhirnya bisa merangkul keduanya. Kekuatan cerita yang mereka tulis mulai terasa seimbang—gabungan antara emosi yang mendalam dan pendekatan logis yang menenangkan.
Namun, meskipun segala sesuatunya berjalan lebih lancar di kantor, Dita masih merasa ada jarak yang tidak bisa sepenuhnya diatasi hanya dengan kata-kata. Ia mulai sadar bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di antara dirinya dan Rafi, sesuatu yang tidak bisa hanya dijelaskan dengan profesionalisme atau kerja sama semata. Setiap kali mereka bekerja bersama, Dita merasa hatinya berdebar sedikit lebih cepat. Setiap kali Rafi tersenyum atau berbicara dengan nada yang lebih lembut, ia merasa sesuatu yang aneh menggelitik dalam dirinya.
Pada suatu sore yang cerah, mereka akhirnya menyelesaikan draf akhir novel mereka. Semua konflik, baik dalam cerita maupun di antara mereka, tampaknya sudah menemukan penyelesaiannya. Dita menatap layar komputernya, merasa lega. Selesai sudah pekerjaan berat yang mereka lakukan bersama. Namun, sebuah perasaan aneh melanda dirinya, sebuah perasaan yang lebih dari sekadar lega—sebuah kekosongan yang perlahan mulai terisi.
Rafi berdiri dari kursinya dan menatap Dita, wajahnya yang biasanya serius kini terlihat lebih santai. “Kita berhasil, Dita,” katanya dengan senyum tipis.
Dita mengangguk, masih belum bisa menutupi rasa kagumnya. “Iya, kita berhasil,” jawabnya, sedikit terkejut dengan perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat.
Mereka berdua berdiri di sana, berhadapan satu sama lain, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka tidak perlu berbicara untuk merasakan kedekatan itu. Keheningan itu terasa nyaman. Mereka berdua tahu bahwa perasaan yang mereka rasakan bukan hanya tentang pekerjaan atau keberhasilan yang telah dicapai, melainkan ada sesuatu yang lebih pribadi, lebih dalam, yang sedang berkembang di antara mereka.
“Rafi,” kata Dita, mencoba memecah keheningan. “Aku ingin mengucapkan terima kasih. Tidak hanya untuk kerja samanya, tapi juga… untuk semua yang sudah kita lewati bersama.”
Rafi menatapnya dengan mata yang penuh makna. “Aku juga berterima kasih, Dita. Tanpa kamu, aku rasa aku tidak akan pernah melihat dunia ini dengan cara yang sama. Kamu telah mengajariku banyak hal—tentang bagaimana merasakan, bukan hanya menganalisis.”
Dita merasa pipinya memanas, dan ia mengalihkan pandangannya ke jendela untuk menyembunyikan senyum yang tak bisa ia tahan. “Aku… aku juga merasa begitu, Rafi.”
Mereka terdiam sejenak, tetapi kali ini, keheningan itu tidak lagi menambah jarak di antara mereka. Sebaliknya, itu terasa seperti ruang yang memberi mereka kesempatan untuk merenung dan merasakan perasaan yang tak terucapkan.
Setelah beberapa detik yang panjang, Rafi akhirnya membuka mulutnya, berbicara dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Dita, aku rasa kita sudah melewati banyak hal bersama. Aku tahu kita belum pernah berbicara tentang ini secara langsung, tapi… aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional di antara kita.”
Dita merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak bisa menahan perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya, tetapi ia masih ragu untuk mengakuinya. “Rafi, aku…” kata Dita, suaranya sedikit gemetar. “Aku merasa hal yang sama. Tapi aku tidak tahu apakah ini hanya perasaan sementara atau sesuatu yang lebih dalam.”
Rafi mendekat, matanya yang tajam namun lembut menatap Dita dengan penuh perhatian. “Mungkin ini bukan perasaan yang bisa dijelaskan dengan kata-kata, Dita. Mungkin ini hanya langkah kecil, tapi aku ingin melangkah lebih jauh.”
Dita menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kebingungannya. “Aku juga ingin melangkah lebih jauh, Rafi. Aku takut, tapi aku merasa ada sesuatu yang nyata di sini. Sesuatu yang tak bisa kuabaikan.”
Rafi tersenyum, senyum yang penuh makna, dan dengan perlahan ia meraih tangan Dita. “Aku juga takut, Dita. Takut bahwa aku bisa saja kehilangan semuanya jika kita salah melangkah. Tapi aku percaya, ini adalah langkah yang tepat.”
Untuk pertama kalinya, Dita merasa hatinya benar-benar terbuka. Ia merasakan kehangatan yang luar biasa ketika Rafi menggenggam tangannya, sebuah tanda bahwa mereka sedang berada di jalur yang benar, meskipun langkah-langkah kecil mereka belum pasti. Perasaan ini, yang semula tak terduga dan penuh dengan ketegangan, kini mulai menemukan bentuknya—bentuk yang lebih lembut dan penuh kepercayaan.
Hari berikutnya, mereka memutuskan untuk merayakan pencapaian mereka. Tidak dengan pesta besar atau perayaan yang meriah, tetapi dengan makan malam sederhana di sebuah restoran kecil yang terletak di pinggiran kota. Tempat itu tidak ramai, hanya ada beberapa meja yang terisi, dengan lampu redup dan suasana yang tenang. Mereka duduk berhadapan, menikmati makanan mereka, tetapi percakapan mereka kali ini terasa berbeda.
“Rafi,” kata Dita, menatap pria di depannya. “Aku tahu kita sudah banyak berbicara tentang pekerjaan, tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu. Apa yang sebenarnya kamu inginkan dalam hidup ini? Apa yang kamu impikan?”
Rafi tersenyum, meskipun senyum itu terlihat sedikit cemas. “Aku… aku selalu berpikir bahwa impian itu harus realistis, Dita. Aku ingin hidup yang tenang, tanpa banyak keributan. Tapi aku juga ingin merasa bahwa apa yang aku lakukan punya makna. Aku ingin bekerja dengan orang-orang yang bisa aku percayai. Dan aku ingin…”
Dita menunggu, sedikit tersenyum, “Apa lagi, Rafi?”
Rafi menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa terbebani dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Aku ingin seseorang yang bisa memahami diriku, Dita. Seseorang yang tidak hanya melihat logika, tetapi juga bisa merasakan hal-hal yang tidak terucapkan.”
Dita merasakan jantungnya berdegup kencang. “Aku juga ingin begitu, Rafi. Aku ingin seseorang yang bisa mengerti aku tanpa perlu banyak kata. Seseorang yang bisa berbagi perasaan tanpa takut.”
Malam itu, mereka berbicara lebih banyak tentang kehidupan mereka, tentang hal-hal yang mereka impikan, dan tentang ketakutan mereka. Tanpa sadar, langkah-langkah kecil mereka semakin mendekatkan satu sama lain, meskipun keduanya masih terjebak dalam keraguan yang wajar. Tetapi malam itu, dengan percakapan yang begitu terbuka dan jujur, mereka mulai memahami satu sama lain dengan cara yang lebih mendalam.
Ketika makan malam selesai, mereka berjalan keluar restoran bersama, saling berbicara dengan suara yang lebih tenang. Di bawah langit malam yang cerah, dengan bintang-bintang yang tampak begitu dekat, Dita merasa bahwa meskipun perjalanan mereka belum selesai, langkah kecil menuju cinta ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang lebih indah, yang mungkin hanya bisa dipahami dengan merasakannya.
Dita menggenggam tangan Rafi, dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak perlu lagi takut. Mereka telah melalui banyak hal bersama, dan sekarang, mereka siap untuk melangkah lebih jauh—bersama.*
Bab 5: Cinta di Antara Kata-Kata
Keheningan yang dulu mengisi setiap sudut ruang kini telah digantikan dengan gelak tawa yang lembut, bisikan yang penuh makna, dan sebuah rasa yang tumbuh perlahan, namun pasti. Dita dan Rafi kini menyadari bahwa hubungan mereka bukan hanya sebatas kerja sama profesional atau sekadar perasaan sementara. Ada sesuatu yang lebih besar yang terjalin di antara mereka—sesuatu yang tumbuh dari kata-kata yang mereka tulis bersama, dari setiap kalimat yang mereka bagi, dan dari perasaan yang perlahan mereka ungkapkan.
Setiap pagi, Dita dan Rafi memulai hari mereka dengan berbicara tentang naskah yang sedang mereka kerjakan. Kata-kata yang dulu terasa begitu berat dan kaku, kini mengalir dengan lebih alami. Mereka tidak lagi hanya berbicara tentang plot atau karakter dalam cerita, tetapi juga tentang perasaan yang mereka alami, tentang mimpi mereka, dan tentang bagaimana hidup mereka saling terjalin meski mereka tidak pernah menginginkannya. Semuanya terasa seperti sebuah kisah yang sedang mereka tulis bersama, dengan perasaan yang semakin dalam seiring berjalannya waktu.
Namun, meskipun mereka telah saling membuka hati, Dita merasa masih ada satu hal yang belum bisa ia ungkapkan sepenuhnya. Ia merasa bahwa cinta di antara mereka—cinta yang berkembang di antara kata-kata—masih belum sepenuhnya diterima dengan sepenuh hati. Ia tahu Rafi memiliki perasaan yang sama, tetapi kadang-kadang, meskipun kata-kata sudah terucap, tindakan masih terasa terhambat oleh ketakutan yang tak terucapkan.
Pada suatu pagi yang cerah, Dita duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang masih kosong. Sebagian besar waktu mereka kini dihabiskan untuk menulis, tetapi hari ini, ia merasa sepertinya ada hal yang lebih penting yang harus diungkapkan. Ia meraih teleponnya dan melihat pesan yang baru masuk dari Rafi. Sederhana, hanya sebuah kalimat yang ditulis dengan hati-hati: “Dita, apakah kita siap untuk menulis bab baru dalam hidup kita?”
Dita tersenyum kecil. Kalimat itu, meskipun sederhana, mengandung makna yang dalam. Ia merasa seolah Rafi sedang mengajaknya untuk melangkah lebih jauh dari sekadar pekerjaan atau hubungan profesional. Seolah ia sedang menawarkan kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar cerita yang mereka tulis di layar komputer.
Ia membalas pesan itu dengan cepat. “Aku rasa kita sudah siap, Rafi. Tapi kadang-kadang aku masih merasa takut, takut jika kita salah memilih jalan.”
Tak lama kemudian, Rafi membalas. “Aku juga merasa takut, Dita. Tapi aku lebih takut jika kita tidak pernah mencoba untuk melangkah bersama.”
Dita meletakkan teleponnya dan merenung. Kata-kata Rafi itu mengena dalam hatinya. Rasa takut itu bukan hal yang aneh. Setiap orang pasti merasa takut ketika menghadapi ketidakpastian, terutama ketika berkaitan dengan perasaan yang begitu dalam. Tapi, apakah mereka akan membiarkan ketakutan itu menghalangi mereka untuk mencoba? Untuk menjelajahi cinta yang ada di antara mereka?
Ketika hari berlalu, Dita dan Rafi kembali bekerja bersama, namun ada sesuatu yang berbeda. Meskipun mereka masih membahas naskah yang hampir selesai, kali ini, setiap kalimat yang mereka tulis terasa lebih personal. Mereka saling memberikan pandangan tentang karakter dalam cerita, tetapi kini pandangan itu tidak hanya berkaitan dengan imajinasi, melainkan juga dengan diri mereka sendiri. Setiap kata yang mereka pilih tampaknya mengandung perasaan yang mereka coba ungkapkan, meskipun tidak langsung.
Pada sore hari, setelah rapat panjang mengenai finalisasi naskah, Dita dan Rafi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman yang dekat dengan kantor mereka. Langit sore itu berwarna oranye keemasan, dan suasana terasa begitu tenang. Mereka berjalan berdampingan, hanya ada suara langkah kaki mereka yang bergema di sepanjang jalan setapak.
“Aku masih tidak percaya kalau kita sudah hampir selesai, Rafi,” kata Dita dengan suara pelan, memecah keheningan. “Aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang terikat dengan cerita ini. Aku merasa seolah-olah kita telah menulis bukan hanya cerita, tetapi juga perjalanan kita.”
Rafi menatapnya, matanya lembut namun penuh perhatian. “Aku merasa hal yang sama, Dita. Setiap kalimat yang kita tulis terasa seperti bagian dari kita. Mungkin itu sebabnya kita merasa begitu terikat dengan cerita ini. Karena cerita kita juga bagian dari perjalanan hidup kita.”
Dita berhenti sejenak, menatap Rafi dengan perasaan yang semakin dalam. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, sesuatu yang selama ini terpendam, namun belum berani diungkapkan. “Rafi, aku…” kata Dita, suara itu sedikit gemetar. “Aku takut kita akan kehilangan semuanya jika kita melangkah lebih jauh. Aku takut jika perasaan ini tidak bisa bertahan.”
Rafi berhenti dan menatap Dita dengan penuh perhatian. Ia bisa merasakan kecemasan yang ada di dalam kata-kata Dita. “Aku juga takut, Dita,” jawabnya dengan lembut. “Tapi aku juga tahu bahwa perasaan ini sudah terlalu kuat untuk diabaikan. Aku merasa kita sudah melewati banyak hal bersama, dan mungkin, inilah saatnya untuk mengambil langkah berikutnya.”
Dita menunduk, mencoba menenangkan diri. Kata-kata Rafi seperti aliran air yang menenangkan jiwa yang gundah. Mereka tidak bisa mengendalikan perasaan, tetapi mereka bisa memilih untuk menghadapinya. Menghadapi ketakutan mereka dan melangkah bersama, meskipun tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan seperti yang mereka inginkan.
“Aku ingin mencoba, Rafi,” kata Dita akhirnya, suaranya lebih mantap. “Aku ingin melangkah bersama, meskipun aku takut. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika kita memberi kesempatan pada perasaan ini.”
Rafi tersenyum, senyum yang penuh arti, dan meraih tangan Dita. “Aku juga ingin mencoba, Dita. Kita akan melangkah bersama, dan kita akan mencari tahu apa yang ada di depan kita.”
Malam itu, setelah kembali ke kantor, mereka duduk bersama di ruang kerja, menatap layar yang menampilkan naskah mereka. Mereka telah menyelesaikan cerita mereka, tetapi kali ini, mereka merasa cerita mereka bukan hanya tentang kata-kata di atas kertas. Cerita mereka adalah perjalanan yang mereka jalani bersama, langkah-langkah kecil yang membawa mereka menuju sesuatu yang lebih besar—cinta yang tumbuh di antara kata-kata.
Dita menatap Rafi, matanya penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. “Rafi,” katanya, suara seraknya meluap dengan perasaan yang tak terkatakan, “Aku rasa kita sudah menulis bab terakhir dalam cerita kita. Tapi ini bukan akhir. Ini baru awal dari sesuatu yang lebih indah.”
Rafi menatapnya, dan tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Dita, menggenggamnya erat. Kata-kata itu, meskipun sederhana, adalah segala-galanya. Mereka tidak perlu lagi mencari kata-kata yang tepat. Karena, pada akhirnya, cinta mereka telah terwujud di antara kata-kata yang mereka tulis bersama—di antara kalimat yang penuh perasaan, di antara kalimat yang membentuk sebuah cerita yang lebih besar daripada yang mereka bayangkan.
Di antara kata-kata itu, mereka menemukan satu sama lain—dan di antara kata-kata itu pula, cinta mereka akhirnya ditemukan.***
Prolog
Di dunia yang penuh dengan kata-kata, ada sebuah kisah yang lahir dari dua jiwa yang terikat oleh kecintaan mereka terhadap cerita. Sebuah kisah yang dimulai dengan pertemuan yang tidak direncanakan, sebuah kerja sama yang terbentuk tanpa kesepakatan hati, dan sebuah perjalanan yang dipenuhi dengan perbedaan, ketegangan, dan kebingungannya sendiri.
Dita, seorang penulis dengan jiwa yang penuh dengan imajinasi, selalu mengandalkan kata-kata untuk mengungkapkan perasaan dan membentuk dunia yang hanya bisa dilihat dengan matanya. Rafi, seorang editor yang lebih menyukai logika dan analisis, selalu mencari kejelasan di balik setiap kalimat, memecahkan teka-teki yang ada dalam setiap paragraf. Keduanya tampaknya berasal dari dunia yang berbeda, dua kutub yang tak pernah bertemu.
Namun, takdir mempertemukan mereka di sebuah ruang yang penuh dengan ketegangan: ruang kerja. Mereka dipaksa untuk bekerja bersama, menyusun sebuah naskah yang harus diselesaikan dengan sempurna. Setiap kata yang Dita tulis, Rafi baca dengan cermat, mencari celah untuk perbaikan. Setiap keputusan yang Dita buat dalam ceritanya, Rafi pertanyakan dengan keraguan. Namun, dalam setiap perselisihan dan ketidaksepakatan, ada benih-benih yang mulai tumbuh—benih yang mungkin tak pernah mereka sadari, hingga akhirnya mereka mulai melihat sesuatu yang lebih dari sekadar kerja sama.
Seiring waktu, Dita dan Rafi mulai memahami bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar saling mengoreksi naskah. Mereka mulai menemukan keindahan dalam perbedaan, kekuatan dalam kata-kata yang mereka pilih bersama, dan mungkin, sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme. Di antara setiap kalimat yang mereka tulis, ada perasaan yang perlahan tumbuh. Di antara setiap argumentasi dan keraguan, ada kepercayaan yang dibangun.
Namun, cinta bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan dengan mudah. Seperti sebuah naskah yang panjang dan berliku, mereka harus melalui berbagai bab penuh ketegangan, keraguan, dan keinginan yang tertahan sebelum akhirnya menemukan kebersamaan yang sejati.
Ini adalah kisah tentang dua orang yang belajar bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang tak terduga—di antara kata-kata yang mereka tulis, di antara kalimat yang mereka pilih untuk mengungkapkan perasaan yang tak terucapkan. Ini adalah kisah tentang perjalanan yang dimulai dengan ketakutan, tetapi berakhir dengan keberanian untuk melangkah bersama.
Dan di antara kata-kata itu, mereka menemukan diri mereka—dan menemukan cinta yang selama ini mereka cari.***
——————–THE END ———————-