• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

February 27, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

by SAME KADE
February 27, 2025
in Romansa
Reading Time: 17 mins read

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

Angin sore yang sejuk menyapu wajah Aria saat ia berjalan perlahan menyusuri taman kota. Di sekelilingnya, pepohonan rindang tampak menyambut, daunnya yang bergoyang pelan oleh angin menciptakan suara lembut yang menenangkan. Namun, perasaan di hatinya sangat jauh dari tenang. Ia baru saja mengalami perpisahan yang sulit dengan orang yang selama ini ia cintai, dan rasa sakit itu begitu dalam, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang.

Langit senja memberikan nuansa oranye keemasan yang mempesona, namun tak mampu menghapus bayangan kesedihan di wajah Aria. Beberapa langkah lagi, dan ia akan sampai di bangku yang biasa ia datangi setiap kali merasa perlu menyendiri. Ia memilih tempat itu karena seringnya ia merasa terhubung dengan alam, tempat di mana pikirannya bisa terlepas dari beban.

Sebelum duduk, Aria berhenti sejenak dan mengamati sekitar. Hanya ada beberapa orang yang tampak berjalan santai, menikmati suasana sore yang damai. Tapi, matanya tertuju pada sesuatu yang tak biasa. Seorang pria berdiri di dekat air mancur di tengah taman, memegang kamera dengan tali yang melingkar di lehernya. Dia tampak sedang menunggu sesuatu atau seseorang.

Pria itu menarik perhatian Aria, bukan hanya karena kehadirannya yang menonjol di tengah taman yang kosong, tetapi juga karena ekspresi wajahnya yang tampak sangat fokus pada objek yang dilihatnya. Namun, apa yang membuat Aria semakin tertarik adalah aura misterius yang mengelilinginya. Wajahnya terlihat serius, namun matanya yang hijau cerah mencerminkan ketenangan yang aneh, seperti dia sedang mencari makna di balik setiap detail di sekitarnya.

Tak lama setelah itu, pria tersebut mengalihkan pandangannya dan melangkah ke arah Aria. Ia sedikit terkejut, tidak menyangka ada seseorang yang akan mendekat.

“Maaf,” suara pria itu tiba-tiba terdengar, lembut namun penuh perhatian. “Apakah kamu baik-baik saja? Kamu tampak sedikit… jauh.”

Aria terkejut. Terkadang, orang yang sedang galau seperti dirinya ingin menghindari perhatian, tapi entah mengapa, ada sesuatu dalam tatapan pria ini yang membuatnya tidak merasa terganggu.

“Ah, aku baik-baik saja,” jawab Aria sambil tersenyum tipis. “Hanya… sedikit lelah.”

Pria itu mengangguk pelan, tampak ragu untuk melanjutkan percakapan. Namun, sepertinya dia merasa perlu mengatakan sesuatu lagi. “Jika kamu butuh seseorang untuk berbicara, aku bisa mendengarkan. Terkadang, berbicara dengan orang asing bisa lebih mudah, bukan?”

Aria terdiam, perasaan aneh tiba-tiba muncul. Ada rasa ketenangan dalam tawaran itu, sesuatu yang tidak ia temui dari siapapun dalam beberapa minggu terakhir. Mungkin karena pria ini tidak mengenalnya, dia tidak tahu apa yang sedang ia alami. Tanpa beban, tanpa prasangka. Terkadang, berbicara dengan orang asing memang bisa terasa lebih ringan.

Aria akhirnya memutuskan untuk duduk di bangku taman yang berjarak beberapa meter dari pria itu. “Terima kasih, tapi aku rasa aku hanya butuh waktu sendiri. Aku sedang… memikirkan banyak hal,” katanya dengan suara pelan, mencoba menjaga jarak emosional. Namun, pria itu tidak pergi begitu saja.

“Kami semua pernah berada di tempat itu,” kata pria itu lagi, kali ini duduk di bangku sebelah Aria. “Tapi, aku bisa memastikan satu hal—kehidupan ini penuh kejutan. Terkadang, kita hanya perlu sedikit waktu untuk menerima kenyataan dan menemukan kebahagiaan lagi.”

Aria menatap pria itu dengan rasa ingin tahu yang tumbuh. Ia tidak tahu mengapa pria ini begitu terbuka, tapi sesuatu dalam cara dia berbicara memberi rasa nyaman yang belum pernah ia rasakan dalam beberapa waktu.

“Siapa namamu?” Aria akhirnya bertanya, merasa sedikit lebih tenang.

“Nama saya Niko,” jawabnya, sambil tersenyum tipis. “Dan kamu?”

“Aria,” jawabnya singkat, kemudian ada hening sejenak.

Niko tampak memandang langit yang mulai berubah menjadi biru keunguan, seakan meresapi kata-kata yang baru saja ia ucapkan. “Aku seorang fotografer. Kadang-kadang, aku datang ke tempat seperti ini untuk mencari inspirasi,” kata Niko, seakan membiarkan Aria menyelami sedikit tentang dirinya.

“Fotografer?” Aria melirik ke arah tas kamera yang tergeletak di samping Niko. “Apa yang kamu cari di sini?” tanyanya dengan penasaran.

“Keindahan dalam ketenangan,” jawab Niko dengan nada lembut. “Ada sesuatu yang menenangkan di sini—di taman ini, di udara ini, di detik-detik yang berlalu begitu cepat. Aku sering datang untuk mengabadikan momen seperti ini.”

Aria memandang Niko, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin ini yang ia butuhkan—berbicara dengan seseorang yang tidak mengenal latar belakangnya, seseorang yang bisa memberinya sedikit perspektif baru. “Aku bisa melihatnya,” kata Aria, memandang sekeliling dengan matanya yang lebih terbuka. “Terkadang kita terjebak dalam rutinitas kita, dan melupakan betapa indahnya hal-hal sederhana di sekitar kita.”

Niko tersenyum, dan pandangannya kembali ke kamera yang ia pegang. “Kadang-kadang kita perlu melihat dunia melalui lensa orang lain untuk bisa menghargai hal-hal yang kita anggap biasa. Apa yang kamu lihat bisa berbeda jika kamu melihatnya dengan mata yang baru.”

Aria terdiam, berpikir tentang apa yang baru saja dikatakan Niko. Kata-kata itu menyentuh hatinya, seolah memberi pencerahan. Mungkin ia sudah terlalu lama terperangkap dalam kesedihannya sendiri dan lupa untuk melihat dunia di sekitarnya dengan cara yang lebih positif. Terkadang, kita memang butuh seseorang yang memberi kita sedikit pengingat tentang hal-hal sederhana dalam hidup.

Percakapan itu terus mengalir, semakin akrab meskipun baru dimulai. Seiring dengan senja yang semakin gelap, Aria merasa seolah ia sudah lama mengenal Niko. Ada sesuatu yang alami dan menyenangkan dalam kebersamaan mereka, meskipun itu hanya pertemuan pertama.

Ketika akhirnya mereka berpisah, Niko memberikan senyum terakhirnya yang hangat dan berkata, “Semoga hari-harimu menjadi lebih baik, Aria. Jika kamu butuh seseorang lagi, aku akan selalu ada di sini.”

Aria mengangguk, sedikit terkejut dengan kata-kata itu, namun juga merasa lega. “Terima kasih, Niko. Aku rasa, aku akan mengingat hari ini.”

Dan dengan itu, mereka berpisah, namun dalam hati Aria, sebuah rasa penasaran tumbuh. Siapa sebenarnya Niko, dan mengapa pertemuan tak terduga ini memberi dampak begitu besar dalam dirinya.*

Bab 2: Cinta dalam Diam

Hari demi hari berlalu, namun rasa yang tumbuh di dalam hati Aria tidak kunjung pudar. Sejak pertemuannya yang tak terduga dengan Niko di taman, segala sesuatu terasa berbeda. Ia sering kembali ke taman itu, berharap bertemu dengan Niko lagi, meskipun ia tahu itu sangat kecil kemungkinannya. Namun, anehnya, setiap kali Aria merasa sendirian, tanpa rencana apapun, langkahnya selalu membawa dia ke sana, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke tempat itu.

Pada hari-hari berikutnya, mereka mulai lebih sering berbicara. Niko mengirim pesan singkat setiap kali ia selesai dengan sesi pemotretan, bertanya bagaimana kabar Aria, dan terkadang berbagi foto-foto indah yang ia ambil. Foto-foto itu menggambarkan dunia dari perspektif yang berbeda, keindahan yang sering kali terlewatkan mata kebanyakan orang. Foto-foto itu menjadi jendela baru bagi Aria, membuka matanya pada keindahan yang ada di sekelilingnya.

Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada perasaan aneh yang menggelayuti Aria. Niko tampaknya selalu menjaga jarak emosional. Meski tidak pernah menghindar, dia tidak pernah secara terang-terangan menunjukkan perasaan atau komitmen lebih jauh. Dalam setiap obrolan mereka, Aria bisa merasakan ada dinding tipis yang membatasi kedekatan mereka. Niko tidak pernah bercerita banyak tentang dirinya, dan meskipun Aria merasa nyaman berbicara dengannya, dia tetap merasa ada sesuatu yang tertahan.

Suatu sore, ketika matahari terbenam dengan warna oranye yang hangat, Aria menerima pesan singkat dari Niko. Hanya beberapa kata, namun cukup membuat jantungnya berdegup lebih cepat: “Aku akan berada di taman sekitar jam lima. Kalau kamu ada waktu, kita bisa berbicara lagi.”

Aria tersenyum tipis, merasakan kegembiraan yang tak bisa disembunyikan. Ia merasa seakan dunia mengalir ke arah yang benar. Tidak ada yang lebih ia inginkan daripada berbicara lebih banyak dengan Niko, meski ia tahu ada sesuatu yang tak bisa ia pahami sepenuhnya tentang pemuda itu. Tanpa berpikir panjang, Aria memutuskan untuk pergi ke taman lebih awal. Ia memilih bangku yang sama, yang selalu menjadi tempat ia meluangkan waktu untuk dirinya sendiri.

Beberapa saat kemudian, Niko muncul, berjalan dengan langkah tenang dan senyum khasnya yang selalu membuat Aria merasa seolah-olah dunia berhenti berputar sejenak. Ia duduk di samping Aria, dan untuk beberapa detik mereka terdiam, menikmati suasana senja yang tenang.

“Ada yang ingin kamu bicarakan, Niko?” tanya Aria pelan, mencoba membuka percakapan. Ia tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya yang terus menggelayuti hati.

Niko menatap ke depan, matanya memandang cakrawala yang memerah. “Aku hanya ingin tahu, bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini?” tanyanya dengan suara yang tenang, namun Aria bisa merasakan ada keraguan yang tersembunyi di balik kata-katanya.

Aria menoleh ke arahnya, mencoba menangkap ekspresi wajahnya yang penuh arti. “Perasaanku… agak campur aduk,” jawabnya jujur. “Ada banyak hal yang terjadi dalam hidupku, dan aku masih berusaha untuk memahaminya. Tapi, aku rasa, aku lebih baik sekarang. Terima kasih karena selalu ada untuk mendengarkan.”

Niko hanya mengangguk pelan. Dia tampak merenung sejenak, lalu menoleh kepada Aria. “Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakan ini, tapi aku merasa ada sesuatu yang… berbeda antara kita, Aria.”

Tiba-tiba, hati Aria berdegup lebih kencang. Kata-kata itu, meskipun tidak diucapkan dengan jelas, membawa sebuah harapan baru. Tapi, Niko melanjutkan kalimatnya dengan penuh kehati-hatian.

“Aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menghargai persahabatan kita,” kata Niko, menatap Aria dengan penuh perhatian. “Tapi ada bagian dari diriku yang merasa belum siap untuk lebih dari itu.”

Aria merasa seperti ada yang jatuh di dalam dadanya, sesuatu yang keras dan menyakitkan. Namun, ia mencoba untuk tidak menunjukkan rasa sakit itu di wajahnya. Meskipun hatinya berontak, ia hanya mengangguk, mencoba menerima kenyataan yang tak ingin ia dengar.

“Aku paham,” jawab Aria pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia menundukkan kepala, menahan air mata yang nyaris ingin keluar. “Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya… merasa nyaman berada di dekatmu, Niko.”

Niko menatapnya, seolah merasakan ketulusan dalam kata-kata Aria. “Aku juga merasa nyaman. Tapi terkadang, ada hal-hal yang kita butuhkan waktu untuk memahaminya, bukan? Kita harus memberi ruang untuk diri kita sendiri.”

Ada sesuatu dalam cara Niko berbicara yang membuat Aria merasa lebih bingung. Ia merasa ada sesuatu yang lebih, tetapi Niko tampaknya menahan dirinya. Bagaimana ia bisa merasakan sesuatu yang begitu kuat, namun Niko tetap menjaga jarak? Apa yang sebenarnya Niko rasakan? Aria tidak tahu. Ia hanya tahu bahwa saat ini, ia tidak ingin kehilangan hubungan yang telah terjalin begitu dalam antara mereka.

Setelah beberapa saat, mereka berbicara tentang hal-hal lain—kehidupan sehari-hari, impian, dan bahkan foto-foto indah yang Niko ambil. Namun, meskipun percakapan itu mengalir dengan lancar, ada sebuah ketegangan yang tak terungkapkan di antara mereka. Aria merasa hatinya berada dalam keadaan hampa. Ia merasa seolah-olah ia sedang bermain dengan perasaan yang tidak pernah ia pahami.

Hari itu berakhir dengan Niko mengantarnya pulang. Di sepanjang jalan, mereka tidak banyak bicara, dan Aria merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Meski ia sangat ingin melangkah lebih jauh, ia tahu bahwa ia harus menunggu. Menunggu sampai Niko siap untuk membuka hatinya sepenuhnya. Tetapi, apakah itu akan terjadi? Ataukah, perasaan yang berkembang ini hanya akan terpendam dalam diam?

Setelah beberapa minggu, komunikasi mereka tetap berjalan, tetapi ada sesuatu yang tidak pernah Aria ungkapkan—perasaan yang semakin mendalam namun tak pernah bisa ia katakan. Ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Niko, namun cinta itu terasa seperti sebuah rahasia yang terkubur dalam hati, tidak bisa ia ungkapkan, dan mungkin tidak akan pernah bisa.

Ia mencoba untuk menerima kenyataan itu, meskipun hatinya masih berharap. Namun, di dalam hatinya, Aria tahu bahwa cinta tidak selalu harus diungkapkan secara langsung. Kadang, cinta yang paling tulus adalah cinta yang tidak membutuhkan kata-kata, hanya bisa dirasakan dalam diam, seperti halnya ia merasakan perasaan yang begitu kuat untuk Niko, meski tak ada kata-kata yang mengungkapkan semuanya.

Hari-hari berlalu, dan cinta itu tetap ada dalam diam—terpendam dalam hati Aria, yang dengan sabar menunggu kapan Niko akan melihatnya lebih dari sekadar teman.*

Bab 3: Rahasia yang Tersembunyi

Malam itu, Aria duduk di tepi jendela kamar apartemennya yang sempit, menatap langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang berkelip. Suasana di luar begitu damai, tapi hatinya bergejolak. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Niko, segalanya terasa berbeda. Mereka masih berteman, tetap berbicara melalui pesan singkat, tetapi ada ketegangan yang tidak bisa ia hindari. Perasaan yang belum terungkap itu seakan semakin dalam, membebani pikirannya setiap kali ia berusaha untuk tidur.

Niko. Sosok yang kini tak hanya menjadi teman, tetapi lebih dari itu. Seiring waktu, Aria merasa semakin dekat dengannya. Namun, ada satu hal yang mengganjal di hatinya—Niko selalu tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Setiap kali percakapan mereka semakin mendalam, Niko akan mengubah topik atau tampak sibuk dengan pekerjaannya. Ia tidak pernah berbicara tentang kehidupan pribadinya. Aria merasakan ada jarak yang tak terjangkau oleh kata-kata. Ada sesuatu yang tidak Niko ungkapkan, dan itu membuatnya semakin penasaran.

Hari itu, seperti biasa, Niko menghubunginya lewat pesan singkat. Namun, kali ini, pesan itu terasa berbeda. “Aria, aku ingin bertemu. Ada yang perlu aku katakan. Bisa kita bertemu di kafe jam tiga sore ini?”

Pesan itu langsung membuat jantung Aria berdegup kencang. Ada rasa cemas yang tumbuh begitu saja di dadanya. Biasanya, percakapan mereka ringan dan santai, tetapi kali ini, sepertinya Niko serius. Ada perasaan tak menentu yang menyelimuti Aria. Apa yang akan Niko katakan? Apa yang membuatnya ingin bertemu? Aria tahu, ada sesuatu yang Niko sembunyikan, dan entah kenapa, ia merasa saat ini adalah saat yang tepat untuk mengetahuinya.

Pukul tiga sore, Aria tiba di kafe kecil yang biasa mereka kunjungi. Suasana di dalam kafe itu nyaman, dengan pencahayaan lembut dan aroma kopi yang menyegarkan. Ia duduk di meja yang biasa mereka pilih, menunggu dengan perasaan cemas yang semakin besar. Tidak lama kemudian, Niko masuk, mengenakan jaket hitam yang membuatnya terlihat lebih serius dari biasanya. Senyum yang biasanya cerah kini menghilang, digantikan oleh ekspresi wajah yang penuh ketegangan.

Tanpa basa-basi, Niko langsung duduk di hadapan Aria, dan mereka saling memandang beberapa detik tanpa kata. Aria bisa merasakan adanya ketegangan yang hampir nyata di udara. Niko tidak langsung berbicara, hanya memainkan gelas kopinya dengan jari-jarinya, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat.

“Ada apa, Niko?” tanya Aria akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut daripada yang ia inginkan. Ia tidak ingin terdengar cemas, tetapi perasaan itu tak bisa ia pungkiri.

Niko menarik napas panjang. “Aria, aku tidak tahu bagaimana menjelaskan ini. Aku… aku merasa bersalah.”

Kata-kata itu membuat Aria sedikit terkejut. “Bersalah?” Ia mengerutkan kening, mencoba mencari tahu apa maksudnya. “Apa yang kamu maksud?”

Niko menatap Aria dengan pandangan yang berat. “Sebenarnya, aku punya sesuatu yang harus kamu ketahui. Sesuatu yang… mungkin akan mengubah pandanganmu tentang aku.”

Aria semakin bingung, jantungnya berdegup semakin kencang. “Apa itu, Niko?”

Niko terdiam sejenak, seolah mencari cara yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Akhirnya, ia memutuskan untuk berbicara langsung. “Aku sudah memiliki seseorang. Seorang yang sudah lama ada dalam hidupku.”

Kata-kata itu seakan membekukan Aria dalam diam. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Hati yang tadinya berdebar kini terasa kosong. Niko, yang selama ini ia anggap lebih dari sekadar teman, ternyata sudah terikat dengan seseorang. Aria mencoba menahan diri, tapi rasa sakit itu mulai menggerogoti hatinya.

“Maaf, Aria. Aku seharusnya memberitahumu lebih awal,” lanjut Niko dengan suara yang terdengar penuh penyesalan. “Aku sudah lama berhubungan dengan seseorang, dan aku tidak ingin kamu merasa ada sesuatu yang lebih dari persahabatan kita.”

Kata-kata Niko itu seperti sebuah tamparan yang membuat Aria terjaga dari segala perasaan indah yang sempat ia rasakan. Perasaan yang ia simpan diam-diam dalam hatinya kini terasa seperti beban yang tak tertahankan. Aria mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa sangat dipaksakan.

“Aku tidak tahu harus berkata apa, Niko,” kata Aria pelan. “Aku pikir… aku pikir kita hanya berteman. Aku tidak tahu kalau kamu sudah memiliki seseorang.”

Niko menundukkan kepala, seolah merasa lebih buruk lagi. “Aku tahu aku salah. Aku merasa sangat nyaman denganmu, Aria, tapi aku takut kalau aku menyakitimu dengan membuka semua ini lebih awal. Aku tidak ingin kamu salah paham, dan aku juga tidak ingin menghancurkan apa yang sudah kita miliki.”

Aria menelan ludah, berusaha untuk tetap tenang meskipun perasaan dalam hatinya seperti pecah. “Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal? Kenapa harus sekarang?”

Niko mengangkat wajahnya, matanya memancarkan penyesalan yang mendalam. “Aku tidak tahu, Aria. Mungkin aku takut kehilanganmu. Tapi aku sadar sekarang, aku tidak bisa terus berbohong pada diriku sendiri atau pada kamu. Kamu pantas tahu kenyataannya.”

Aria menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa sangat bingung. Di satu sisi, ia merasa dihargai karena Niko akhirnya jujur padanya. Namun, di sisi lain, hatinya hancur mendengar kenyataan bahwa Niko sudah memiliki seseorang yang lebih dulu ia cintai. Aria tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan perasaan ini.

“Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang,” kata Aria, suaranya hampir pecah. “Aku ingin tetap menjadi temanmu, Niko, tapi aku rasa itu akan sulit untukku. Aku merasa… aku merasa seperti aku telah jatuh cinta padamu.”

Niko terdiam, wajahnya berubah menjadi sangat serius. “Aria, aku… aku tidak ingin kamu merasa seperti ini. Aku tidak bisa memberikan apa yang kamu inginkan, dan itu membuatku sangat buruk.”

Aria mengangguk perlahan, mencoba menerima kenyataan yang pahit. “Aku paham,” katanya, meskipun hatinya meronta. “Aku rasa aku perlu waktu untuk berpikir.”

Mereka duduk dalam keheningan yang panjang, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka. Niko merasa sangat bersalah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah kenyataan. Aria, di sisi lain, merasa hancur, tetapi ia juga tahu bahwa ia harus menerima keputusan ini, meskipun itu sangat sulit.

Setelah beberapa saat, Aria bangkit, berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa kosong. “Terima kasih, Niko, karena sudah jujur padaku. Aku… aku butuh waktu untuk sendiri.”

Niko hanya mengangguk, tidak mampu berkata apa-apa lagi. Mereka berpisah malam itu dengan perasaan yang berat, dan Aria merasa seolah-olah dunia di sekitarnya menjadi kabur. Cinta yang ia simpan dalam diam selama ini ternyata tidak bisa terbalas, dan sekarang, ia harus belajar untuk merelakan perasaan itu.

Namun, di dalam hati Aria, ia tahu satu hal: meskipun ia merasa hancur, ia akan tetap berusaha untuk bangkit. Cinta itu memang tak selalu berbalas, tetapi hidup harus terus berjalan.*

Bab 5: Bawa Langit yang Sama

Minggu itu terasa lebih sepi dari biasanya. Aria berjalan menyusuri trotoar dengan langkah yang lebih ringan, meskipun hatinya masih sesekali dihantui kenangan tentang Niko. Sejak percakapan itu, sejak ia memutuskan untuk memberi jarak, dunia seakan bergerak lebih lambat. Setiap hari terasa lebih panjang, namun ia merasa ada ruang yang perlahan mulai terbuka dalam dirinya—ruang yang memungkinkan perasaan-perasaan lama untuk sembuh.

Pagi itu, udara terasa segar dan matahari bersinar cerah. Meskipun langit biru yang luas membentang, Aria tahu, dalam hatinya, ia masih merasakan perasaan yang tidak sepenuhnya hilang. Niko, meskipun ia telah memilih untuk menjauhkan diri, masih ada di sudut pikirannya. Tapi dia kini lebih fokus pada dirinya sendiri, mencoba untuk menyembuhkan luka yang perlahan-lahan sembuh.

Hari ini, Aria berencana untuk bertemu dengan Dira, sahabatnya yang selalu memberikan dukungan tanpa syarat. Mereka sepakat untuk berjalan-jalan di taman kota. Aria tahu bahwa waktunya untuk sepenuhnya mengikhlaskan Niko semakin dekat, tetapi ia juga memahami bahwa proses itu tidak bisa terburu-buru. Melepas perasaan adalah perjalanan panjang yang membutuhkan waktu dan pengertian.

Dira sudah menunggu di taman saat Aria tiba. Sahabatnya itu tersenyum lebar, tampak penuh semangat seperti biasa. Dira selalu tahu bagaimana cara mengangkat semangat Aria, bahkan di saat-saat tersulit sekalipun.

“Aria! Kamu datang juga akhirnya,” kata Dira, melambai dengan ceria. “Ayo, kita jalan-jalan. Aku sudah lama menunggu!”

Aria tersenyum kecil. “Iya, aku datang. Terima kasih sudah mengajak aku keluar. Rasanya aku butuh sedikit udara segar.”

Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak di taman, dikelilingi oleh pepohonan hijau dan bunga-bunga yang bermekaran. Taman itu menjadi tempat favorit mereka sejak dulu, tempat yang penuh kenangan masa kecil dan saat-saat santai mereka bersama. Meskipun Aria merasa sedikit canggung, ia mencoba untuk menikmati momen itu, mencoba untuk melupakan sejenak beban di hatinya.

“Apa kabar dengan kamu, Aria?” tanya Dira setelah beberapa saat, seolah-olah ia tahu ada sesuatu yang masih mengganjal dalam diri Aria. “Kamu terlihat lebih tenang akhir-akhir ini. Apa kamu merasa lebih baik?”

Aria menarik napas dalam-dalam, memandangi langit biru yang begitu luas di atas mereka. “Aku rasa aku mulai terbiasa dengan kenyataan. Mungkin, sedikit lebih baik. Tapi aku masih merasa ada yang hilang.”

Dira mengangguk dengan bijak. “Itu wajar, kok. Mungkin kamu memang belum sepenuhnya bisa melepaskan, tapi aku tahu kamu sedang berusaha untuk melakukannya. Percaya deh, waktu akan membantu.”

Aria mengalihkan pandangannya ke arah Dira. “Tapi, Dira, bagaimana jika aku tidak bisa benar-benar melepaskan? Bagaimana jika perasaan itu tetap ada, meskipun aku sudah berusaha sekuat tenaga?”

Dira tersenyum lembut, menatap Aria dengan penuh pengertian. “Aria, melepaskan bukan berarti perasaan itu hilang begitu saja. Perasaan itu akan tetap ada, karena kamu manusia yang bisa mencintai. Tapi yang terpenting adalah kamu bisa menerima bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Cinta itu seperti langit. Tidak selalu cerah. Terkadang mendung, terkadang hujan. Tapi langit itu selalu ada, dan kita selalu bisa melihatnya dari tempat yang berbeda.”

Aria merasa kalimat Dira mengena di dalam hatinya. Ia memandangi langit biru yang luas itu, dan meskipun ada awan tipis yang menyelimuti sebagian besar cakrawala, ia tahu bahwa langit yang sama itu tetap menghadapinya. Cinta yang ia rasakan, perasaan yang ia simpan untuk Niko, mungkin tidak bisa ia miliki, tetapi langit—perasaan itu—masih ada di sana, dengan cara yang berbeda. Tidak harus dipaksakan, tetapi dihargai, meskipun itu hanya dalam kenangan.

“Jadi, maksud kamu, aku harus belajar untuk melihat langit ini dari perspektif yang berbeda?” tanya Aria, sedikit tersenyum.

“Ya, begitulah,” jawab Dira, dengan senyum penuh arti. “Kamu sudah berusaha melepaskan, dan itu adalah langkah besar. Langit itu tidak selalu tampak sama setiap hari, tapi itu tetap ada. Terkadang kita hanya perlu sedikit waktu untuk melihatnya dengan cara yang baru.”

Aria mengangguk perlahan. “Aku mengerti. Aku tidak bisa terus berharap pada sesuatu yang tak pasti. Aku harus belajar untuk menghargai apa yang ada, dan memperbaiki diri. Aku tahu itu tidak mudah, tapi aku akan coba.”

Dira mengangguk dengan penuh keyakinan. “Kamu pasti bisa, Aria. Aku tahu kamu kuat. Dan percayalah, suatu hari nanti, kamu akan melihat kembali semua ini dan merasa bahwa itu semua bagian dari perjalanan hidupmu yang membuatmu lebih baik.”

Mereka melanjutkan perjalanan mereka di taman, berbicara tentang banyak hal, tentang kehidupan, tentang impian, dan tentang apa yang mereka hadapi dalam hidup. Meskipun Aria masih merasa sedikit terluka, ia merasa lebih ringan. Ada kedamaian yang mulai ia rasakan, dan itu adalah langkah yang baik. Ia tahu bahwa langit yang sama yang ia pandang sekarang, adalah simbol dari perjalanan hidup yang akan ia jalani. Tidak semua hari akan cerah, tetapi selalu ada kesempatan untuk melihat keindahan di balik awan.

Setelah beberapa jam berjalan-jalan, Dira akhirnya bertanya, “Aria, ada yang ingin kamu ceritakan? Sesuatu yang mungkin belum sempat kamu ceritakan padaku?”

Aria tersenyum, kali ini dengan senyum yang lebih tulus. “Ada satu hal, Dira. Aku merasa lebih damai sekarang. Aku memutuskan untuk melepaskan Niko, bukan karena aku tidak mencintainya, tapi karena aku tahu aku harus menghargai perasaanku sendiri. Aku juga harus memberi kesempatan bagi diriku untuk menemukan kebahagiaan di luar bayang-bayangnya.”

Dira memeluk Aria dengan penuh kasih sayang. “Aku bangga dengan kamu, Aria. Ini bukan hal yang mudah, tapi kamu sudah membuat langkah besar. Kamu sudah siap untuk hidup dengan dirimu sendiri, dan itu adalah hal yang paling penting.”

Aria merasa hangat di dalam hatinya, merasa lebih kuat. Sambil memandangi langit yang semakin senja, ia tahu bahwa meskipun perjalanan ini penuh tantangan, ia tidak sendiri. Ada langit yang sama yang membentang di atas mereka, memberikan keindahan, dan memberi kesempatan untuk memulai kembali.

Malam itu, ketika Aria pulang ke apartemennya, ia merasa lebih tenang dari sebelumnya. Ia tahu bahwa meskipun ia tidak bisa mengontrol perasaan atau memilih siapa yang akan mencintainya, ia bisa memilih untuk tetap mencintai dirinya sendiri dan menghargai hidup yang dimilikinya.

Dengan sebuah senyuman kecil, Aria menatap langit malam yang mulai gelap, tetapi dipenuhi bintang-bintang. Langit itu tetap ada, dan ia tahu, apapun yang terjadi, ia akan membawa langit yang sama ke dalam perjalanan hidupnya—selalu ada, meskipun tidak selalu cerah.*

Prolog: Sebuah Pertemuan Tak Terduga

Hari itu, Aria merasa seolah dunia sedang memandangnya dengan tatapan penuh rahasia. Suasana di kampus terasa lebih ramai dari biasanya, namun langkahnya terhenti di pintu masuk gedung fakultas. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan keheningan yang mendalam di dalam dirinya, seolah-olah sebuah perubahan besar sedang mengintai di balik sudut kehidupannya. Mungkin itu bukan hal yang bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu begitu nyata, begitu kuat. Dan semuanya dimulai pada hari itu—sebuah pertemuan yang tak terduga.

Aria tidak pernah membayangkan bahwa sebuah langkah kecil yang ia ambil, sebuah keputusan sederhana untuk menolong seseorang, bisa mengubah seluruh arah hidupnya. Pagi itu, ia terburu-buru menuju kelas karena terlambat, dengan tumpukan buku di tangannya dan pikiran yang penuh dengan tugas-tugas yang belum terselesaikan. Namun, ketika ia berjalan melewati koridor, matanya bertemu dengan sosok yang tidak asing. Sosok itu adalah Niko—teman sekelasnya yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan. Mereka tidak terlalu dekat, hanya saling mengenal, saling menyapa di antara deretan mahasiswa yang sibuk dengan kehidupan masing-masing. Tetapi pada hari itu, entah mengapa, Aria merasakan sesuatu yang berbeda.

Niko sedang berdiri di depan pintu kelas, tampak bingung memeriksa ponselnya. Pikirannya tampaknya sedang jauh, terlalu dalam untuk menyadari kedatangan Aria. Tanpa berpikir panjang, Aria melangkah mendekat, berharap untuk memberi salam seperti biasa, tapi tiba-tiba, ponsel Niko terjatuh dari genggamannya dan meluncur ke lantai.

Instingnya bekerja cepat. Dengan sigap, Aria membungkuk dan mengambil ponsel itu, menyerahkannya kembali kepada Niko yang terlihat sedikit canggung.

“Oh, terima kasih,” kata Niko, sedikit tersenyum, meskipun wajahnya tampak masih tampak dipenuhi dengan kekhawatiran.

Aria hanya mengangguk, sambil tersenyum kecil. “Tidak masalah,” jawabnya. “Ada yang bisa saya bantu?”

Niko menatapnya sejenak, lalu menggelengkan kepala. “Sebenarnya tidak, hanya saja… saya sedikit kesulitan dengan tugas ini. Ada hal yang harus saya urus, dan tiba-tiba semuanya terasa kacau,” katanya, suaranya penuh dengan keputusasaan.

Mendengar itu, Aria merasa sedikit kasihan. Meskipun mereka tidak terlalu akrab, ia merasa ada sesuatu dalam diri Niko yang membuatnya ingin membantu. Mungkin itu hanya rasa empati biasa, atau mungkin juga sesuatu yang lebih—perasaan yang sulit ia jelaskan.

“Jika kamu butuh bantuan dengan tugas, mungkin saya bisa membantu,” kata Aria dengan hati-hati, mencoba untuk meredakan kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Niko.

Niko tampak terkejut, tetapi senyum kecil mulai terbentuk di wajahnya. “Kamu akan membantu? Terima kasih, Aria. Saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana.”

Hari itu, mereka akhirnya duduk bersama di sebuah kafe dekat kampus untuk mengerjakan tugas yang menjadi masalah bagi Niko. Aria membantu menjelaskan beberapa bagian yang sulit, sementara Niko sesekali mengangguk dan tersenyum. Meskipun pertemuan mereka terkesan biasa saja, ada sesuatu dalam percakapan mereka yang membuat Aria merasa nyaman. Niko bukan hanya teman yang menarik secara intelektual, tetapi ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Aria merasa terhubung lebih dalam. Namun, Aria berusaha menahan perasaan itu, karena ia tahu betul bahwa ia tidak bisa jatuh cinta pada seseorang yang hanya ditemuinya sesekali.

Namun, semakin lama mereka berbicara, semakin Aria merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang tumbuh di dalam dirinya. Perasaan itu begitu kuat, begitu mendalam, meskipun ia tidak ingin mengakuinya. Seperti aliran air yang mengalir perlahan, tetapi akhirnya menemukan jalannya. Cinta yang tak terucapkan, yang ia sembunyikan dalam hati.

Minggu demi minggu berlalu, dan setiap kali mereka bertemu, Aria merasa semakin dekat dengan Niko. Namun, ia sadar bahwa ia harus berhati-hati. Niko adalah sosok yang penuh perhatian, tetapi juga penuh dengan misteri. Aria merasa ada sesuatu yang belum ia ketahui sepenuhnya tentang dirinya. Meskipun begitu, ia tidak bisa menahan perasaan yang tumbuh begitu dalam, meskipun ia tahu bahwa Niko mungkin tidak merasakannya.

Suatu hari, mereka bertemu lagi di kafe yang sama. Kali ini, Niko tampak lebih serius dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya berbicara, ada keraguan yang jelas terpancar di matanya. Aria merasa ada ketegangan yang tak terungkapkan antara mereka, seperti dua orang yang sedang menari di tengah badai perasaan yang tak terkontrol.

“Aku harus memberitahumu sesuatu, Aria,” kata Niko, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Ada hal yang sedang aku pertimbangkan, sesuatu yang… mungkin akan mengubah segalanya.”

Aria menatapnya dengan penuh perhatian, merasa bahwa ini adalah momen yang penting. “Apa itu, Niko? Kamu bisa memberitahuku.”

Niko terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku sudah punya pacar, Aria,” katanya akhirnya, dengan suara yang cukup pelan. “Aku tahu mungkin kamu sudah mulai merasa ada sesuatu di antara kita, tapi aku tidak ingin kamu salah paham. Aku hanya… ingin kamu tahu bahwa aku tidak bisa membalas perasaanmu.”

Dunia Aria seakan berhenti berputar sejenak. Kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang besar, dan meskipun ia sudah menduga bahwa ada sesuatu yang tak bisa dimiliki, kenyataan itu tetap terasa sangat menyakitkan. Perasaan yang ia sembunyikan dengan rapat selama ini, yang tumbuh diam-diam di dalam hatinya, kini terasa seperti serpihan-serpihan kaca yang terinjak oleh langkah-langkah mereka yang berlawanan arah.

Namun, meskipun hatinya terasa hancur, Aria hanya bisa tersenyum kecil. “Aku mengerti, Niko. Aku tidak akan mengganggumu dengan perasaan ini,” jawabnya, berusaha menunjukkan bahwa ia bisa menerima kenyataan. “Terima kasih sudah jujur padaku.”

Aria tahu bahwa hidup kadang memang memberi kejutan yang tidak terduga. Mereka berdua berjalan di jalan yang berbeda, dan mungkin ini adalah jalan yang harus ia pilih—untuk melepaskan, untuk belajar mencintai dirinya sendiri, dan untuk bergerak maju meskipun perasaan itu masih ada. Ia tahu bahwa cinta tidak selalu datang dengan cara yang kita inginkan, tetapi hidup tetap berjalan, dan kita harus belajar untuk menemukan kebahagiaan dalam setiap langkah yang kita ambil.

Perasaan itu, meskipun tak terbalas, akhirnya membuka jalan baru bagi Aria untuk mengenal dirinya lebih dalam. Mungkin inilah awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran, yang akan membawanya menuju kebahagiaan yang sejati—tanpa harus bergantung pada seseorang untuk merasa lengkap.

Namun, siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa yang ia tahu pasti adalah, perjalanan ini baru saja dimulai.***

—————THE END————

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #Romansa #CintaTakTerbalas #PerjalananHidup #PertemuanTakTerduga #MelepaskanCinta
Previous Post

JARAK YANG MENGHALANGI

Next Post

CINTA YANG TERLARANG DITENGAH WAKTU

Next Post
CINTA YANG TERLARANG DITENGAH WAKTU

CINTA YANG TERLARANG DITENGAH WAKTU

DUA DIBAGI DUA

CINTA DI ANTARA KATA-KATA

CINTA DI ANTARA KATA-KATA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In