• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
TAKDIR BONEKA AJAIB

TERIKAT TANPA CINTA

February 25, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
TAKDIR BONEKA AJAIB

TERIKAT TANPA CINTA

by SAME KADE
February 25, 2025
in Romansa
Reading Time: 19 mins read

Bab 1: Pernikahan yang Tak Diinginkan

Langit sore mulai berangsur gelap ketika Alina menatap bayangannya di cermin. Gaun pengantinnya yang berwarna putih gading seharusnya melambangkan kebahagiaan, tapi di matanya, itu hanyalah simbol keterpaksaan. Ia menelusuri kain halus yang membalut tubuhnya, tetapi tak menemukan kenyamanan di dalamnya.

Suara ketukan pelan terdengar di pintu. Ibunya masuk dengan senyum yang dipaksakan.

“Alina, sudah waktunya,” ucapnya dengan suara lirih.

Alina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dadanya yang bergemuruh. Ia bangkit dengan langkah berat, seolah kakinya membawa beban yang tak terlihat. Ketika ia keluar dari kamar, tatapan para tamu yang hadir menusuk seperti ribuan jarum. Mereka tersenyum, seakan hari ini adalah momen yang indah, padahal bagi Alina, ini adalah awal dari kisah yang tak pernah ia inginkan.

Di pelaminan, berdiri seorang pria berjas hitam dengan ekspresi dingin. Rayhan. Suami yang kini harus ia terima dalam hidupnya.

Alina tak bisa membaca pikirannya. Ia bahkan nyaris tak mengenalnya. Satu-satunya hal yang ia tahu adalah bahwa pria itu merupakan anak dari sahabat ayahnya, dan pernikahan ini terjadi karena hutang budi yang harus dibayar. Ayahnya yang mengalami kebangkrutan tak punya pilihan lain selain menerima tawaran dari keluarga Rayhan.

“Sah?” suara penghulu terdengar setelah Rayhan mengucapkan ijab kabul dengan lantang.

“Sah!” jawab para saksi serempak.

Alina menunduk. Ia kini resmi menjadi istri Rayhan.

Suara riuh tepuk tangan terdengar di sekeliling mereka, tapi semua itu terasa hampa. Matanya bertemu dengan tatapan Rayhan, tapi pria itu segera mengalihkan pandangannya. Tidak ada kebahagiaan di sana, hanya ada kehampaan yang sama seperti yang ia rasakan.

Setelah resepsi yang panjang dan melelahkan, akhirnya mereka memasuki kamar pengantin. Ruangan itu luas dengan dekorasi yang romantis, tetapi atmosfer di dalamnya terasa begitu dingin. Alina berdiri canggung di dekat tempat tidur, sementara Rayhan membuka dasi dan melepaskan jasnya.

Keheningan menyelimuti mereka, sebelum akhirnya pria itu berbicara, “Aku tidak akan menyentuhmu.”

Alina mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan kaget.

“Pernikahan ini hanya formalitas. Aku terpaksa melakukannya, dan aku yakin kau juga begitu,” lanjutnya dengan nada datar.

Alina merasa dadanya sesak. Ia memang tahu sejak awal pernikahan ini bukan karena cinta, tapi mendengar kata-kata itu langsung dari mulut Rayhan tetap menyakitkan.

“Aku tidak meminta apa pun darimu,” ucap Alina pelan. “Aku juga tidak menginginkan pernikahan ini.”

Rayhan menatapnya, seolah mencoba membaca apakah kata-kata itu benar adanya. Setelah beberapa detik, ia hanya mengangguk kecil.

“Kita bisa menjalani hidup masing-masing. Aku tidak akan mencampuri urusanmu, dan aku harap kau juga tidak mencampuri urusanku,” katanya sebelum berbalik dan berjalan menuju balkon.

Alina menelan ludah, lalu duduk di tepi tempat tidur. Ia menatap cincin pernikahan di jarinya. Benda itu begitu berkilau, tetapi mengapa terasa begitu berat?

Matanya melirik ke arah Rayhan yang berdiri membelakangi dirinya di balkon, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Apa yang pria itu pikirkan? Apakah ia juga merasa terkekang seperti dirinya?

Alina mendesah dan berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.

Mungkin benar kata orang, pernikahan seharusnya menjadi awal kebahagiaan. Tetapi bagi Alina, ini adalah awal dari sesuatu yang tak pasti—ikatan yang tak berlandaskan cinta, hanya keterpaksaan.

Di dalam hati kecilnya, ia bertanya-tanya: apakah ia akan mampu bertahan?

Malam semakin larut, tetapi Alina masih terjaga. Tubuhnya memang terbaring di tempat tidur, tetapi pikirannya melayang ke mana-mana. Rasanya begitu aneh berada di satu ruangan dengan pria yang bahkan tidak ia kenal baik.

Rayhan masih berada di balkon. Dari sudut matanya, Alina bisa melihat punggung tegap pria itu. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuatnya penasaran.

“Apa kau selalu sedingin ini?” tanya Alina tiba-tiba, memecah kesunyian.

Rayhan tidak segera menjawab. Ia tetap menatap langit, sebelum akhirnya berkata, “Aku hanya tidak suka dipaksa melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan.”

Alina tersenyum pahit. “Aku juga.”

Keheningan kembali mengisi ruangan. Namun kali ini, bukan lagi keheningan yang menyesakkan, melainkan keheningan yang mengandung pemahaman. Keduanya sama-sama terjebak dalam situasi yang tidak mereka inginkan.

Akhirnya, Rayhan kembali masuk ke kamar. Ia berjalan ke arah sofa yang berada di sisi ruangan, mengambil bantal dan selimut.

“Aku akan tidur di sini,” katanya singkat.

Alina hanya mengangguk. Ia tidak keberatan. Malah, mungkin itu lebih baik.

Setelah lampu dimatikan, kamar itu menjadi gelap dan sunyi.

Alina menutup matanya, mencoba tidur. Namun, pikirannya masih terus berputar.

Bagaimana kehidupannya akan berjalan setelah ini? Apakah ia akan selamanya terjebak dalam hubungan yang hambar ini?

Di sisi lain ruangan, Rayhan juga masih terjaga. Tatapannya kosong, pikirannya jauh melayang.

Mereka berdua kini terikat dalam pernikahan tanpa cinta.

Dan malam pertama mereka berlalu tanpa kebahagiaan—hanya dua hati yang terkurung dalam ketidakpastian.*

Bab 2: Dingin dan Jarak di Antara Kita

Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menciptakan bias cahaya lembut di kamar yang masih sunyi. Alina membuka matanya perlahan, menyadari bahwa ini adalah pagi pertama sebagai seorang istri. Namun, perasaan yang memenuhi dadanya bukan kebahagiaan, melainkan kehampaan.

Ia menoleh ke sofa di sudut kamar, tempat Rayhan tidur semalam. Pria itu masih terlelap, wajahnya tampak tenang dalam cahaya pagi. Ini pertama kalinya Alina benar-benar memperhatikannya. Rahangnya tegas, alisnya sedikit berkerut, seolah bahkan dalam tidur pun pikirannya tidak pernah benar-benar damai.

Alina menghela napas pelan dan bangkit dari tempat tidur. Ia tidak ingin membangunkan Rayhan, jadi ia berjalan pelan keluar kamar dan menuju dapur.

Ketika ia sampai di sana, suasana rumah masih sepi. Rumah besar ini, yang sekarang menjadi tempat tinggalnya, terasa begitu asing. Berbeda dengan rumah orang tuanya yang selalu hangat dengan tawa dan obrolan.

“Selamat pagi, Nyonya,” sapa seorang wanita paruh baya yang tampaknya adalah kepala pelayan rumah ini.

Alina sedikit terkejut dipanggil seperti itu. Ia belum terbiasa dengan sebutan tersebut.

“Selamat pagi,” jawabnya dengan canggung.

“Apakah Anda ingin sarapan sekarang? Kami bisa menyiapkannya sesuai keinginan Anda,” lanjut wanita itu.

Alina menggeleng pelan. “Tidak perlu repot-repot. Aku hanya ingin membuat teh sendiri.”

Wanita itu tampak terkejut, tetapi kemudian tersenyum ramah. “Baiklah, jika Anda membutuhkan bantuan, jangan ragu untuk memanggil saya.”

Alina mengangguk dan mulai menyeduh teh. Ia butuh sesuatu yang menenangkan pikirannya.

Saat ia sedang menuangkan air panas ke dalam cangkir, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Ia menoleh dan melihat Rayhan berjalan menuju dapur.

Pria itu sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam, rambutnya masih sedikit basah sehabis mandi. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi.

“Selamat pagi,” sapa Alina pelan.

Rayhan hanya mengangguk kecil. “Pagi.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membuka kulkas, mengambil sebotol air, lalu meneguknya dengan cepat.

Suasana di antara mereka terasa canggung. Alina merasa seperti sedang tinggal dengan orang asing.

“Apakah kau ingin sarapan?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.

Rayhan menggeleng. “Aku sudah harus pergi ke kantor.”

“Oh…” Alina menggigit bibirnya.

Rayhan melirik jam di pergelangan tangannya sebelum akhirnya menatapnya sekilas. “Kau bisa melakukan apa pun yang kau mau di rumah ini. Aku tidak akan mengaturmu.”

Perkataan itu terdengar lebih seperti pernyataan daripada izin.

Alina hanya bisa mengangguk. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Rayhan berjalan menuju pintu, tetapi sebelum ia keluar, Alina memberanikan diri bertanya, “Kapan kau pulang?”

Rayhan berhenti sejenak, lalu menjawab, “Larut malam. Jangan tunggu aku.”

Kemudian, ia pergi.

Alina tetap berdiri di dapur, menatap pintu yang kini tertutup.

Dingin. Itu satu-satunya kata yang bisa menggambarkan hubungan mereka saat ini.

Hari itu terasa panjang bagi Alina. Ia mencoba membiasakan diri dengan lingkungan barunya, berjalan mengelilingi rumah, berbicara dengan beberapa pelayan, tetapi tetap saja ada perasaan asing yang menghantuinya.

Ia merasa seperti tamu di rumah suaminya sendiri.

Saat sore tiba, Alina memutuskan untuk keluar rumah. Ia tidak bisa terus-terusan terjebak dalam ruangan yang membuatnya merasa terasing.

Dengan sopir yang disediakan oleh keluarga Rayhan, ia pergi ke sebuah taman di pusat kota. Ia butuh udara segar, butuh sedikit kebebasan.

Saat ia duduk di bangku taman, pikirannya melayang kembali ke masa lalu.

Seandainya ia bisa memilih, ia pasti tidak akan pernah menerima pernikahan ini. Sejak kecil, ia selalu percaya bahwa pernikahan harus dilandasi cinta. Tapi kini, ia malah terjebak dalam hubungan tanpa perasaan dengan pria yang bahkan nyaris tidak berbicara dengannya.

“Alina?”

Suara familiar itu membuatnya menoleh. Matanya membesar saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya.

“Reza?”

Pria itu tersenyum. “Lama tak bertemu. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”

Alina tersenyum kecil. Reza adalah teman masa kecilnya, seseorang yang dulu pernah dekat dengannya sebelum mereka berpisah karena kesibukan masing-masing.

“Apa kabarmu?” tanya Reza, duduk di sebelahnya.

“Aku baik,” jawab Alina, meskipun hatinya terasa kosong.

Reza menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Aku dengar kau menikah…”

Alina mengangguk pelan. “Ya.”

Ada sesuatu dalam ekspresi Reza yang sulit dijelaskan. Seperti keheranan, atau mungkin kesedihan.

“Kau bahagia?” tanyanya hati-hati.

Alina terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Melihat reaksi itu, Reza tersenyum tipis. “Aku mengerti. Kau tidak perlu menjawab jika tidak ingin.”

Alina menunduk, menggenggam ujung mantelnya.

“Aku hanya berharap kau baik-baik saja,” lanjut Reza. “Jika ada sesuatu yang mengganggumu, kau bisa berbicara denganku.”

Perkataan itu seharusnya menenangkan, tetapi justru membuat dada Alina semakin sesak.

Seandainya semua ini tidak terjadi, mungkin ia akan menjalani kehidupan yang berbeda.

Ketika Alina pulang malam itu, rumah masih sepi.

Ia duduk di ruang tamu, menunggu Rayhan. Ia tahu pria itu mengatakan tidak perlu menunggunya, tetapi ia tetap melakukannya.

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam ketika suara mobil terdengar di luar. Beberapa menit kemudian, pintu utama terbuka dan Rayhan masuk.

Ia tampak lelah, tetapi ekspresinya tetap tidak menunjukkan emosi apa pun.

“Kau belum tidur?” tanyanya, sedikit terkejut melihat Alina masih terjaga.

“Aku ingin menunggu,” jawab Alina jujur.

Rayhan menghela napas dan melepas jasnya. “Kau tidak perlu melakukan itu.”

Alina terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku tahu pernikahan ini bukan sesuatu yang kita inginkan. Tapi, kita sudah menikah. Apa kita tidak bisa mencoba untuk saling mengenal lebih baik?”

Rayhan menatapnya lama, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. “Aku tidak yakin itu perlu.”

Jawaban itu menusuk hati Alina lebih dalam dari yang ia kira.

“Rayhan…” ia mencoba berbicara, tetapi pria itu sudah melangkah pergi.

Lagi-lagi, ia dibiarkan sendiri dalam keheningan.

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh.

Jarak di antara mereka terasa semakin jauh.

Dan Alina mulai bertanya-tanya, apakah pernikahan ini akan selamanya seperti ini.*

Bab 3: Retak yang Mulai Luruh

Malam itu Alina kembali tidur dengan perasaan hampa. Ia mencoba memahami posisi Rayhan, mencoba menerima sikap dinginnya, tetapi semakin hari, ia merasa seperti bayangan di rumahnya sendiri.

Pagi datang seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda hari ini. Ketika Alina turun ke ruang makan, ia terkejut melihat Rayhan duduk di meja, membaca koran sambil menyeruput kopi. Biasanya, pria itu sudah pergi sebelum ia bangun.

“Pagi,” sapa Alina hati-hati.

Rayhan meliriknya sekilas. “Pagi.”

Mungkin hanya satu kata, tetapi setidaknya hari ini ia mendapat jawaban.

Alina duduk di seberang Rayhan, mengambil sepotong roti panggang, lalu memakannya dalam diam. Ia ingin berbicara, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.

Setelah beberapa saat, Rayhan melipat korannya dan menatapnya. “Hari ini kau ada rencana?”

Pertanyaan itu mengejutkan Alina. Ini pertama kalinya Rayhan menanyakan kegiatannya.

“Aku mungkin akan pergi keluar sebentar,” jawabnya pelan.

Rayhan mengangguk kecil. “Baiklah. Aku akan pulang lebih awal hari ini.”

Alina berhenti mengunyah dan menatapnya dengan kaget. “Benarkah?”

Rayhan menyesap kopinya. “Ada urusan yang harus kuselesaikan di rumah.”

Alina ingin bertanya lebih lanjut, tetapi Rayhan sudah bangkit dari kursinya.

“Sampai nanti.”

Tanpa menunggu jawaban, pria itu mengambil jasnya dan pergi.

Alina masih duduk di tempatnya, merenungkan perubahan kecil dalam sikap Rayhan. Apakah ini pertanda baik?

Siang itu, Alina kembali mengunjungi taman tempat ia bertemu Reza kemarin. Ada sesuatu tentang tempat ini yang membuatnya merasa lebih tenang.

Ia duduk di bangku favoritnya, membiarkan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya. Saat ia sedang menikmati ketenangan, suara seseorang menyapanya.

“Kebetulan sekali.”

Alina menoleh dan melihat Reza berdiri di dekatnya, membawa secangkir kopi.

“Kau lagi?” tanyanya dengan senyum kecil.

Reza tertawa. “Aku bekerja di sekitar sini. Biasanya aku makan siang di taman ini.”

Ia duduk di samping Alina, menatapnya dengan mata yang penuh perhatian. “Bagaimana kabarmu hari ini?”

Alina menghela napas. “Sedikit lebih baik.”

Reza mengangkat alis. “Kabar baik, kalau begitu.”

Alina tersenyum samar. Ia tahu Reza ingin tahu lebih banyak, tetapi pria itu tidak menekan. Dan ia menghargai itu.

Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang pekerjaan Reza, tentang masa lalu mereka, tentang hal-hal kecil yang membuatnya melupakan pernikahan yang dingin sejenak.

Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ada batas yang tidak boleh ia lewati.

Sore itu, Alina kembali ke rumah lebih awal dari biasanya.

Ketika ia masuk, ia terkejut melihat Rayhan sudah ada di ruang tamu, mengenakan pakaian santai, sesuatu yang jarang ia lihat sebelumnya.

“Kau sudah pulang,” gumamnya tanpa sadar.

Rayhan menoleh padanya. “Aku bilang akan pulang lebih awal, bukan?”

Alina merasa sedikit canggung. Ia tidak terbiasa melihat Rayhan di rumah selain larut malam.

“Aku memesan makanan. Kau sudah makan?” tanyanya.

Alina menggeleng. “Belum.”

“Baik. Makan malam sebentar lagi datang.”

Ia tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah pertama kalinya Rayhan menunjukkan perhatian kecil seperti ini.

Mereka duduk di meja makan, menikmati hidangan yang dipesan tanpa banyak bicara. Namun, tidak seperti biasanya, keheningan di antara mereka tidak lagi terasa seberat sebelumnya.

Ketika mereka selesai makan, Rayhan tiba-tiba berkata, “Besok ada acara keluarga di rumah orang tuaku. Mereka ingin kita datang.”

Alina sedikit terkejut. “Keluarga besarmu?”

Rayhan mengangguk. “Ibu ingin bertemu denganmu lebih banyak.”

Alina menelan ludah. Sejak menikah, ia memang hanya bertemu ibu mertuanya sekali, dan itu pun hanya sebentar.

“Baiklah,” jawabnya akhirnya.

Rayhan tampak puas dengan jawaban itu. Ia kemudian bangkit dan berkata, “Aku akan di balkon kalau kau butuh sesuatu.”

Alina memperhatikannya pergi, merasa ada sesuatu yang mulai berubah di antara mereka.

Mungkin, sedikit demi sedikit, dinding es itu mulai mencair.

Malam itu, Alina duduk di tempat tidurnya, menatap langit malam dari jendela kamar. Pikirannya penuh dengan perasaan campur aduk.

Untuk pertama kalinya, Rayhan terlihat lebih manusiawi. Ia tidak lagi sekadar pria dingin yang hanya ada di atas kertas sebagai suaminya.

Namun, apakah perubahan kecil ini berarti sesuatu?

Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu.

Alina menoleh. “Masuk.”

Pintu terbuka, dan Rayhan muncul di ambangnya.

“Kau sudah tidur?” tanyanya.

Alina menggeleng. “Belum.”

Rayhan ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya masuk dan duduk di kursi dekat jendela.

“Kau gugup bertemu keluargaku besok?” tanyanya.

Alina terkejut dengan pertanyaan itu.

“Sedikit,” jawabnya jujur.

Rayhan menatapnya sejenak, lalu berkata, “Mereka tidak seburuk yang kau bayangkan. Ibuku mungkin sedikit menuntut, tetapi dia sebenarnya orang yang baik.”

Alina tersenyum kecil. “Aku akan mencoba.”

Mereka kembali terdiam, tetapi kali ini, keheningan terasa lebih nyaman.

“Apa kau… pernah menyesali pernikahan ini?” tanya Alina tiba-tiba.

Rayhan terdiam lama sebelum akhirnya menjawab, “Awalnya, ya.”

Jawaban itu membuat dada Alina mencelos.

“Tapi sekarang…” Rayhan melanjutkan, menatapnya dalam. “Aku tidak tahu.”

Alina menahan napas. Ada sesuatu dalam tatapan Rayhan yang berbeda malam ini.

Mungkin, perlahan-lahan, mereka bisa menemukan jalan untuk saling memahami.*

Bab 4: Bayangan di Balik Senyuman

Pagi itu, Alina bangun lebih awal dari biasanya. Hari ini, ia akan menghadiri acara keluarga Rayhan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka. Perasaan gugup menyelimuti hatinya, tetapi ia berusaha menenangkan diri.

Ketika ia keluar dari kamar, Rayhan sudah menunggunya di ruang tamu. Pria itu mengenakan kemeja biru tua yang rapi, membuatnya tampak lebih santai daripada biasanya.

“Kau sudah siap?” tanyanya.

Alina mengangguk pelan. “Ya.”

Rayhan memperhatikannya sejenak sebelum berkata, “Kau tidak perlu terlalu tegang. Ibu hanya ingin mengenalmu lebih baik.”

Alina tersenyum tipis. “Aku akan mencoba.”

Tanpa banyak bicara lagi, mereka keluar rumah dan masuk ke mobil. Perjalanan menuju rumah keluarga Rayhan terasa sunyi, hanya diiringi suara radio yang diputar pelan.

Di dalam hati, Alina bertanya-tanya, seperti apa keluarga suaminya sebenarnya?

Setibanya di rumah keluarga Rayhan, Alina terpana. Rumah itu jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan, dengan arsitektur klasik yang megah dan taman luas di depannya.

Begitu mereka masuk, seorang wanita paruh baya dengan penampilan anggun segera menghampiri.

“Rayhan, kau akhirnya datang.”

Suara lembut namun penuh wibawa itu berasal dari seorang wanita yang tidak lain adalah ibu mertuanya, Ny. Adelia.

Rayhan tersenyum tipis. “Ibu.”

Tatapan Ny. Adelia kemudian beralih pada Alina. Matanya mengamati menantu barunya dengan penuh ketelitian.

“Kau pasti Alina,” katanya.

Alina tersenyum sopan. “Ya, Bu. Senang bertemu dengan Anda lagi.”

Ny. Adelia tersenyum kecil. “Ayo, masuk. Semua orang sudah menunggu.”

Saat mereka melangkah ke dalam, Alina merasakan atmosfer yang berbeda. Keluarga Rayhan tampaknya adalah keluarga terpandang yang terbiasa dengan tata krama formal. Beberapa anggota keluarga menyambutnya dengan hangat, tetapi beberapa hanya mengamatinya dengan tatapan penuh penilaian.

Di antara para tamu, seorang wanita muda dengan gaun merah mencolok berjalan mendekati mereka.

“Rayhan,” panggilnya dengan nada lembut yang terlalu akrab.

Rayhan menoleh dan ekspresinya langsung berubah sedikit tegang.

Alina mengamati wanita itu dengan rasa ingin tahu. Wajahnya cantik, dengan sorot mata tajam yang penuh percaya diri.

“Astaga, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” lanjut wanita itu dengan senyum menggoda.

Rayhan menghela napas. “Nadia.”

Nama itu membuat Alina tersentak. Ia tidak pernah mendengar tentang wanita ini sebelumnya, tetapi jelas bahwa ada sejarah antara mereka.

Nadia menoleh ke arah Alina, memperhatikannya dengan senyum tipis.

“Dan kau pasti Alina, istri Rayhan,” katanya, seolah ingin memastikan sesuatu.

Alina mengangguk. “Ya.”

Nadia tersenyum, tetapi ada sesuatu dalam senyumannya yang terasa menusuk.

“Kau sangat beruntung bisa menikah dengan Rayhan,” katanya sambil melirik ke arah pria itu.

Alina hanya tersenyum tipis, meskipun di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa maksud perkataan Nadia.

Rayhan tampak tidak nyaman. “Kita harus menemui Ibu.”

Ia meraih tangan Alina, membimbingnya pergi dari Nadia.

Namun, sebelum mereka benar-benar menjauh, Alina sempat melihat ekspresi puas di wajah wanita itu.

Siapa sebenarnya Nadia?

Dan mengapa kehadirannya membuat Rayhan tampak begitu gelisah?

Acara makan malam berjalan cukup lancar, meskipun Alina tidak bisa menghilangkan perasaan canggungnya.

Sepanjang makan, ia merasakan tatapan Ny. Adelia padanya, seolah-olah wanita itu sedang menilainya dari atas ke bawah.

Setelah makan malam, semua orang berkumpul di ruang keluarga untuk mengobrol.

Alina duduk di sebelah Rayhan, mendengarkan percakapan para anggota keluarga. Namun, pikirannya terus melayang pada Nadia.

Saat ia sedang melamun, suara Ny. Adelia memanggilnya.

“Alina.”

Alina langsung menoleh. “Ya, Bu?”

Wanita itu menatapnya dengan mata penuh wibawa. “Bagaimana kehidupan pernikahanmu dengan Rayhan sejauh ini?”

Pertanyaan itu mengejutkannya. Semua orang di ruangan tampaknya menunggu jawabannya.

Alina melirik Rayhan sekilas sebelum menjawab, “Baik, Bu.”

Ny. Adelia mengangkat alis, seolah mencoba membaca kebohongan di balik jawaban itu.

“Kalian sudah mulai saling memahami?” tanyanya lagi.

Alina tersenyum kecil. “Kami masih dalam proses mengenal satu sama lain.”

Ny. Adelia tidak langsung menanggapi. Ia hanya mengangguk tipis, seolah-olah menyimpan sesuatu di pikirannya.

Namun, sebelum percakapan berlanjut, Nadia tiba-tiba ikut bicara.

“Rayhan bukan tipe pria yang mudah terbuka,” katanya dengan nada santai. “Butuh waktu lama untuk memahami apa yang ada di pikirannya.”

Alina menoleh ke arahnya, tetapi Nadia hanya tersenyum samar.

Rayhan menghela napas. “Nadia, tidak semua orang perlu tahu tentang aku.”

Nadia terkekeh. “Aku hanya mencoba membantu.”

Ny. Adelia melirik mereka bertiga dengan ekspresi berpikir.

“Alina, aku ingin berbicara sebentar denganmu,” katanya tiba-tiba.

Alina merasa gugup, tetapi ia mengangguk dan mengikuti ibu mertuanya ke ruang kerja yang lebih sepi.

Begitu mereka berdua duduk, Ny. Adelia menatapnya dalam.

“Kau tahu siapa Nadia?” tanyanya langsung.

Alina menggeleng. “Tidak, Bu.”

Wanita itu mendesah pelan. “Dia adalah mantan tunangan Rayhan.”

Jawaban itu membuat dada Alina mencelos.

“Tunangan?” ulangnya pelan.

Ny. Adelia mengangguk. “Mereka bertunangan hampir dua tahun lalu, tetapi hubungan mereka berakhir karena sesuatu yang tidak bisa diperbaiki.”

Alina menelan ludah. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap informasi ini.

Ny. Adelia menatapnya lebih serius. “Aku menyukai perempuan yang kuat, Alina. Pernikahan bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang memahami. Rayhan mungkin pria yang sulit, tetapi jika kau menyerah terlalu cepat, kau akan selalu berada di bawah bayang-bayang Nadia.”

Alina terdiam. Kata-kata ibu mertuanya terasa seperti peringatan.

Ketika ia kembali ke ruang tamu, Rayhan menatapnya dengan sedikit ragu.

“Apa yang Ibu katakan?” tanyanya.

Alina hanya menggeleng. “Tidak ada yang penting.”

Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang berubah.

Nadia bukan sekadar seseorang dari masa lalu Rayhan.

Ia adalah bayangan yang masih menghantui pernikahan mereka.

Dan Alina tidak tahu apakah ia cukup kuat untuk menghadapi semua ini.*

Bab 5: Akhir dari Bayangan

Alina duduk di teras rumahnya malam itu, membiarkan angin malam menyapu wajahnya yang dipenuhi kebingungan. Pikirannya masih terpaku pada pertemuannya dengan Ny. Adelia dan fakta yang baru saja ia ketahui tentang Nadia.

Mantan tunangan.

Ia tidak mengerti mengapa Rayhan tidak pernah memberitahunya. Apakah karena itu pernikahan mereka terasa begitu dingin sejak awal? Apakah Rayhan masih memiliki perasaan untuk Nadia?

Langkah kaki terdengar dari belakang. Alina tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.

“Kau belum tidur?” Suara Rayhan terdengar pelan.

“Aku tidak bisa tidur,” jawab Alina tanpa menatapnya.

Rayhan berdiri di sampingnya, menyandarkan tubuhnya ke pagar teras. Ia tampak ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Ibu bilang sesuatu padamu tadi?”

Alina mengangguk pelan. “Dia memberitahuku tentang Nadia.”

Rayhan terdiam. Untuk beberapa saat, hanya suara angin yang terdengar.

“Aku ingin bertanya,” lanjut Alina dengan hati-hati. “Apakah kau masih mencintainya?”

Rayhan menoleh, tampak sedikit terkejut. “Kenapa kau bertanya begitu?”

“Karena sikapmu selama ini,” jawab Alina jujur. “Karena kau selalu menjaga jarak dariku. Karena kau terlihat begitu canggung saat bertemu dengannya tadi.”

Rayhan menghela napas panjang sebelum akhirnya duduk di samping Alina.

“Aku dan Nadia dulu memang bertunangan,” katanya akhirnya. “Kami sudah mengenal satu sama lain sejak kecil, dan semua orang mengira kami akan menikah. Tapi hubungan kami tidak berjalan seperti yang diharapkan.”

Alina mendengarkan dalam diam.

“Aku mencintainya,” Rayhan mengakui, suaranya terdengar datar. “Tapi dia mengkhianatiku.”

Alina menatapnya dengan mata melebar.

“Nadia berselingkuh,” lanjut Rayhan dengan nada pahit. “Saat itu, aku percaya padanya sepenuhnya. Tapi ternyata, aku hanya salah satu pilihan baginya. Ketika aku tahu kebenarannya, aku mengakhiri segalanya.”

Alina menelan ludah. Ia tidak menyangka ada cerita seperti itu di balik tatapan dingin Rayhan.

“Jadi,” gumamnya, “kau masih belum bisa melupakannya?”

Rayhan menoleh padanya, menatapnya dalam. “Aku sudah melupakannya. Tapi aku belum bisa melupakan rasa sakitnya.”

Alina mengerti sekarang. Bukan karena Rayhan masih mencintai Nadia, tetapi karena luka dari masa lalu membuatnya sulit untuk percaya lagi.

Mereka kembali terdiam. Kali ini, keheningan terasa lebih ringan, lebih jujur.

Kemudian, dengan suara pelan, Alina berkata, “Rayhan… aku ingin pernikahan ini tidak hanya menjadi sebuah kewajiban.”

Rayhan menatapnya. “Maksudmu?”

“Aku ingin kita mencoba,” lanjut Alina. “Bukan hanya sekadar bertahan dalam pernikahan ini karena keluarga atau keadaan. Aku ingin kita memberi diri kita sendiri kesempatan.”

Rayhan terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk. “Baik. Kita akan mencoba.”

Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Alina merasa bahwa ada sesuatu yang benar-benar mulai berubah.

Beberapa minggu berlalu, dan perlahan-lahan, hubungan Alina dan Rayhan mulai membaik.

Rayhan mulai pulang lebih awal, mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, dan meskipun masih ada canggung di antara mereka, setidaknya dinding yang dulu terasa begitu tinggi mulai retak.

Suatu malam, mereka duduk di ruang tamu, menonton film bersama. Alina tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia merasa setenang ini.

Ketika film berakhir, Rayhan menoleh ke arahnya. “Alina.”

“Hm?”

“Aku ingin bertanya sesuatu,” katanya dengan sedikit ragu.

Alina menunggu.

“Kau pernah menyesali pernikahan ini?”

Pertanyaan itu membuatnya terdiam. Ia memikirkan kembali semua yang telah terjadi—perasaan terjebak, kesedihan, harapan yang perlahan muncul.

“Aku pernah merasa ingin menyerah,” jawabnya jujur. “Tapi sekarang… aku tidak menyesal.”

Rayhan menatapnya lama, lalu tiba-tiba mengulurkan tangannya.

Alina menatap tangan itu, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya.

Dan di saat itu, ia tahu—pernikahan ini mungkin dimulai dengan paksaan, tetapi bagaimana akhirnya tergantung pada mereka berdua.

Rayhan tersenyum kecil. “Terima kasih telah bertahan.”

Alina tersenyum balik. “Terima kasih karena mau mencoba.”

Dan untuk pertama kalinya, bayangan masa lalu mulai pudar, digantikan oleh cahaya harapan baru.

Mereka tidak tahu ke mana jalan ini akan membawa mereka, tetapi satu hal pasti—mereka tidak lagi berjalan sendirian.*

Alina menghela napas panjang, matanya terpejam sesaat, merasakan kedamaian yang perlahan menggantikannya dengan rasa percaya diri yang lebih besar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi satu hal yang pasti—ia mulai merasa bahwa ia memiliki kendali atas hidupnya, meskipun pernikahannya sempat dimulai dengan paksaan.

Malam itu, setelah film selesai, mereka duduk berdua dalam keheningan yang nyaman. Tidak ada lagi kecanggungan yang mengganggu, meskipun masih ada banyak hal yang perlu mereka bicarakan. Alina merasa sedikit cemas, namun kali ini, ia tahu bahwa langkah yang diambil Rayhan—dan dirinya sendiri—akan membawa perubahan.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Alina, mencoba mengurangi kecanggungan yang mulai muncul lagi.

Rayhan menatapnya sejenak, senyum samar di bibirnya. “Aku rasa kita mulai dengan langkah kecil dulu. Mungkin lebih banyak bicara, saling mengenal lebih dalam.”

Itulah yang ia inginkan—sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban. Ia ingin mereka membangun sesuatu yang lebih nyata dari pernikahan ini. Dengan langkah itu, mungkin mereka bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini tak pernah mereka rasakan.

“Sepertinya itu ide yang baik,” jawab Alina, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih sedikit ragu.

Pernikahan mereka masih muda, dan meskipun banyak luka di masa lalu, Alina merasa ada secercah harapan di dalamnya. Harapan yang mulai tumbuh sejak percakapan mereka malam itu. Ia ingin membangun sesuatu yang lebih daripada hubungan yang didasari oleh rasa sakit dan kebimbangan.

“Rayhan,” Alina berkata lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut, “Aku tahu kita tidak bisa menghapus masa lalu begitu saja. Tapi aku ingin berusaha lebih baik. Aku ingin kita punya masa depan yang lebih baik, bersama-sama.”

Rayhan menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam, seolah mencoba membaca setiap kata yang keluar dari mulut Alina. Ia mengangguk, meskipun masih ada keraguan yang tersisa di wajahnya.

“Bukan hanya masa depan kita, Alina,” jawabnya pelan, “Tapi juga masa depan kita sebagai pasangan. Aku ingin menjadi lebih baik, untukmu.”

Alina merasakan kehangatan di dalam hatinya mendengar kata-kata itu. Meskipun penuh dengan keraguan, ia tahu bahwa Rayhan berbicara dengan ketulusan. Dan ia ingin memberi kesempatan kepada dirinya sendiri untuk merasakannya.

Namun, di saat yang sama, bayangan Nadia masih menghantui pikirannya. Alina tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Rayhan pernah mencintai perempuan itu, dan meskipun ia mengakui luka lama, ia merasa tidak bisa benar-benar menghapus bayangan itu begitu saja.

“Rayhan,” katanya lagi, kali ini suara sedikit tergagap. “Bagaimana kalau aku tidak bisa sepenuhnya melupakan masa lalu itu? Bagaimana jika bayangan Nadia selalu ada di antara kita?”

Rayhan terdiam, dan Alina bisa merasakan ketegangan dalam dirinya. Namun, setelah beberapa detik, ia meraih tangan Alina dengan lembut, memegangnya erat.

“Kau tidak harus melupakan semuanya, Alina,” jawabnya, kali ini dengan suara lebih tenang. “Tapi aku ingin kita menatap ke depan, bukan terjebak di masa lalu. Aku berjanji, aku tidak akan pernah membiarkan masa lalu menghancurkan masa depan kita.”

Alina menatapnya dalam-dalam, mencari kejujuran di matanya. Ia ingin percaya, ia ingin percaya bahwa mereka bisa melewati semua ini bersama-sama.

Kemudian, sebuah ide melintas di benaknya—sesuatu yang bisa membantu mereka lebih memahami satu sama lain. “Apa kalau kita pergi ke tempat yang lebih tenang?” katanya, ragu. “Mungkin ke tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota. Menghabiskan waktu berdua, untuk lebih mengenal diri masing-masing.”

Rayhan terkejut mendengarnya, tapi setelah beberapa saat, ia tersenyum. “Kedengarannya bagus. Aku rasa kita memang butuh waktu seperti itu.”

Keputusan untuk pergi berlibur bersama menjadi titik balik kecil dalam hubungan mereka. Meskipun perjalanan itu sederhana, bagi Alina, itu adalah langkah pertama untuk benar-benar membuka hati, bukan hanya untuk masa depan, tetapi juga untuk diri mereka sendiri. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus terus berjuang, tetapi setidaknya kini mereka melakukannya bersama.

Beberapa minggu setelahnya, mereka tiba di sebuah tempat yang jauh dari kota. Alam yang indah dan udara segar memberi mereka ketenangan yang selama ini sulit ditemukan. Hari-hari berlalu dengan perbincangan ringan, berbagi tawa, dan kadang-kadang, keheningan yang penuh makna. Alina merasakan ikatan yang mulai tumbuh antara dirinya dan Rayhan, meskipun perlahan-lahan.

Pada suatu sore, mereka berjalan di sepanjang pantai. Air laut yang tenang memantulkan sinar matahari yang mulai tenggelam. Rayhan memandang Alina dengan tatapan yang penuh arti.

“Alina, aku ingin bertanya sesuatu,” katanya, suara agak gemetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tenang.

“Ya?”

Rayhan menatapnya, matanya penuh dengan keinginan dan harapan. “Apakah kamu bersedia untuk melangkah ke depan bersamaku? Tanpa lagi menoleh ke belakang?”

Alina merasakan hatinya berdegup kencang. Kata-kata itu mengandung banyak arti, lebih dari sekadar pertanyaan biasa. Ini adalah tentang komitmen, tentang membuka pintu untuk masa depan bersama.

“Ya,” jawabnya dengan tegas, “Aku siap.”

Dan saat itu, dengan suara ombak yang lembut di latar belakang, mereka berdua tahu bahwa mereka telah melangkah ke arah yang benar—ke arah yang penuh dengan harapan dan cinta yang baru tumbuh.*

Prolog: Terikat Tanpa Cinta

Hujan rintik-rintik mengalir perlahan di jendela kaca rumah yang sunyi. Setiap tetes air yang menetes menambah kesendirian yang semakin terasa di dalam hati. Di ruang tamu, sebuah lampu redup berpendar, menerangi sebuah meja kayu yang sudah mulai usang. Di atas meja itu, sebuah surat tertumpuk rapat, masih belum dibuka. Surat itu bukan hanya kertas biasa, tetapi sebuah pengikat yang tak terucap, sebuah perjanjian yang terbentuk tanpa ada pilihan, tanpa ada cinta di dalamnya.

Sementara itu, di dalam kamar yang sepi, seorang perempuan duduk termenung di pinggir ranjang. Matanya menatap kosong ke luar jendela, melintasi hujan yang mengguyur kota kecil di mana dia tinggal. Namanya Alana, seorang perempuan muda yang menjalani hidup yang dipenuhi dengan rutinitas dan kebosanan. Hidupnya tidak ada yang istimewa, kecuali kenyataan bahwa dirinya terikat pada seseorang yang tidak pernah dia pilih untuk dicintai.

Tahun pertama pernikahan mereka terasa seperti perjalanan panjang yang penuh dengan ketidakpastian. Ia ingat saat pertama kali mereka dipertemukan, di bawah bayang-bayang harapan keluarga yang terlalu besar untuk mereka bawa. Pernikahan yang disusun dengan alasan yang tidak pernah dia pahami sepenuhnya, tetapi di sana dia berdiri, di altar, di hadapan seorang pria yang tidak lebih dari seorang asing baginya. Dita, suaminya, berdiri di sampingnya, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. Tidak ada senyuman, tidak ada harapan. Semua berjalan begitu saja, tanpa ada perasaan yang mengisi ruang di antara mereka.

Cinta? Entah kenapa, kata itu begitu jauh dari mereka. Seperti dua orang asing yang terpaksa hidup bersama, mereka terus menjalani hari-hari tanpa kehadiran emosi yang sejati. Dita bukanlah pria yang jahat, tetapi dia juga bukan pria yang penuh dengan perhatian. Kehidupan mereka lebih mirip dua manusia yang saling mengabaikan, menjalani peran masing-masing tanpa pernah menyentuh perasaan satu sama lain. Mereka terikat, tetapi ikatan itu hanyalah sesuatu yang dibuat oleh orang lain, sesuatu yang terpaksa mereka jalani karena janji yang pernah terucap.

Malam ini, seperti malam-malam lainnya, Alana merasa sepi. Dita masih belum pulang. Sejak menikah, ia hanya melihat suaminya beberapa kali dalam seminggu, dan itu pun lebih banyak untuk urusan bisnis daripada urusan pribadi. Mereka tinggal di rumah besar ini, tetapi hampir tidak pernah bertemu. Mereka berdua terjebak dalam rutinitas hidup yang tidak ada ujungnya. Alana merasa seperti bayangan yang melayang di antara dua dunia yang tidak bisa dipertemukan, antara harapan yang hilang dan kenyataan yang pahit.

Pernikahan mereka bukanlah sesuatu yang dibangun dengan kasih sayang. Itu adalah perjanjian yang dibuat oleh orang tua mereka, dua keluarga yang berharap bisa saling menguntungkan satu sama lain. Pada awalnya, Alana mencoba untuk menerima kenyataan itu. Ia berusaha mengisi hari-harinya dengan pekerjaan rumah dan kegiatan lain yang membuatnya tidak merasa terlalu kosong. Namun, semakin lama ia merasa semakin terperangkap dalam dunia yang tidak ada ruang untuknya. Dunia yang terbuat dari kebohongan, kesepian, dan kewajiban.

Sementara itu, Dita, suaminya, juga merasakan hal yang sama. Meskipun ia tidak mengungkapkan perasaannya, hatinya penuh dengan kekecewaan. Pernikahan yang tidak pernah dia pilih, seorang istri yang tidak pernah dia cintai, semuanya terasa seperti beban yang harus dia tanggung. Dalam kesibukannya, Dita mencoba mencari pelarian, pergi ke luar kota, atau menyibukkan diri dengan urusan bisnis yang tak ada habisnya. Namun, di setiap malam yang sunyi, di setiap perjalanan yang panjang, ada satu pertanyaan yang selalu menghantuinya: apakah ia akan menemukan cinta dalam pernikahannya yang terpaksa ini?

Di sebuah ruang tamu yang gelap, Alana kembali menatap surat yang tergeletak di atas meja. Surat itu adalah hasil dari pertemuan antara keluarga mereka dan keluarga Dita beberapa bulan lalu. Sebuah perjanjian yang mengikat, sebuah janji yang mengharuskan mereka untuk tetap bersama, meskipun tak ada rasa cinta di dalamnya. Alana tidak pernah merasa bebas. Ia merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh tali tak terlihat, terikat pada sebuah kehidupan yang bukan pilihannya.

Tetapi di dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah kehidupan seperti ini bisa terus berlangsung? Apakah mereka akan terus hidup dalam kesendirian yang sama, terjebak dalam pernikahan yang hanya ada di atas kertas? Ataukah suatu hari, mungkin, mereka akan menemukan jalan untuk merasakan cinta? Alana tidak tahu jawabannya. Yang ia tahu adalah bahwa ia lelah. Lelah dengan kebohongan yang harus ia jalani, lelah dengan kehidupan yang seakan berjalan tanpa arah.

Di sisi lain rumah, Dita memasuki kamar dengan langkah yang perlahan. Di tangannya, ia membawa tumpukan dokumen yang harus diselesaikan untuk pekerjaannya. Namun, begitu ia melihat Alana yang duduk di pinggir ranjang, matanya terasa kosong. Ia merasa tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa tidak punya tempat di dunia ini selain dalam pekerjaan yang terus menuntut perhatian dan waktu. Dita menatap Alana, namun tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Mereka hanya terdiam.

“Alana,” suara Dita akhirnya memecah keheningan. “Kita… kita harus tetap bertahan, kan?”

Alana menoleh pelan. Ada sesuatu yang aneh di dalam suara Dita, seolah-olah dia bertanya lebih dari sekadar bertahan hidup bersama. Tetapi Alana tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menatap suaminya, mencoba mencari jawaban di mata yang tidak pernah benar-benar ia pahami. “Kita tidak punya pilihan, kan?” jawabnya lirih.

Dita terdiam. Jawaban itu bukan sesuatu yang baru. Mereka tidak memiliki pilihan lain selain terus terikat dalam ikatan ini, dalam kehidupan yang tidak ada cinta di dalamnya. Mereka hanya berjalan dalam dunia yang dibangun oleh orang lain, dengan harapan yang pudar, tanpa ada kebahagiaan yang bisa mereka sentuh.

Di tengah hujan yang terus mengguyur malam itu, mereka berdua terdiam, terikat dalam pernikahan yang tak pernah mereka pilih, terikat tanpa cinta.***

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: 2. #RomansaDinginMenjadiHangat 3. #CintaSetelahMenikah 4. #DariKewajibanMenjadiCinta 5. #MelawanBayanganMasaLalu 6. #KesempatanKeduaDalamCint
Previous Post

BAYANG-BAYANG KEJAYAAN MAJAPAHIT

Next Post

CINTA DI ANTARA HUJAN

Next Post
CINTA DI ANTARA HUJAN

CINTA DI ANTARA HUJAN

JARAK YANG MENGHALANGI

JARAK YANG MENGHALANGI

DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In