Bab 1: Pertemuan Tanpa Waktu
Pagi itu, Nina berdiri di tepi tebing yang curam, matanya terfokus pada langit yang mulai berwarna oranye. Di bawahnya, deburan ombak yang tak henti-hentinya menghantam batu karang memberikan irama yang menenangkan. Kota kecil itu, dengan jalan-jalan sempit yang berliku dan rumah-rumah berwarna pastel, tampak seperti sebuah lukisan hidup yang belum disentuh tangan siapa pun. Nina datang ke tempat ini untuk mencari ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk kota besar yang selalu membuatnya merasa terjepit.
Sebagai seorang fotografer, Nina sudah terbiasa bekerja di tempat-tempat sunyi, menangkap keindahan alam yang jarang terlihat oleh mata manusia. Namun, kali ini, ia datang bukan untuk menghasilkan karya fotografi yang sempurna, melainkan untuk mencari jawaban atas kebingungannya yang mendalam tentang hidupnya. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang hilang, dan ia berharap alam bisa memberinya jawabannya.
Setelah beberapa jam mengamati pemandangan, ia memutuskan untuk mengubah sudut pandangnya. Dengan perlahan, ia membalikkan tubuh dan berjalan menyusuri jalan setapak di bawah tebing. Di sanalah dia bertemu dengannya, Dimas.
Dimas adalah sosok yang tidak terlihat mencolok, namun ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Pakaiannya sederhana: kaos putih lusuh dan celana panjang hitam yang sudah agak pudar warnanya. Dia sedang duduk di bangku kayu, tampaknya sedang menulis sesuatu di buku catatannya. Hanya sebuah pena dan kertas yang ada di hadapannya, tidak ada laptop atau perangkat digital lainnya. Nina merasa aneh, mengingat dunia kini hampir seluruhnya beralih ke dunia maya.
Tanpa sengaja, Nina menabrak sebuah batu kecil di jalan dan mengeluarkan suara, membuat Dimas menoleh. Tatapan mereka bertemu dalam diam, sejenak. Nina merasa canggung, namun Dimas hanya tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan gangguan seperti itu.
“Maaf, aku tidak sengaja,” kata Nina, cepat-cepat melangkah menjauh, tetapi Dimas mengangkat tangannya dengan santai.
“Tidak apa-apa,” jawab Dimas, suaranya rendah dan tenang. “Aku justru senang ada orang yang lewat. Terlalu lama duduk sendirian di sini.”
Nina, yang merasa agak tidak enak, memutuskan untuk berhenti dan sedikit berinteraksi. “Kamu menulis?” tanyanya, sambil melihat ke arah buku yang ada di tangan Dimas.
Dimas mengangguk, lalu menepuk bangku di sampingnya. “Ya, aku sedang mencoba menyusun cerita. Kalau kamu ingin duduk sejenak, tidak masalah.”
Mereka duduk berdampingan tanpa banyak kata. Angin laut yang sejuk berhembus, membawa aroma garam dan kesegaran yang menenangkan. Nina merasa aneh, seperti ada sesuatu yang menyatu dalam ketenangan tersebut, meskipun dia belum mengenal pria ini sama sekali. Sepertinya mereka berdua tengah berbagi momen yang sama, meski tidak ada satu pun yang berbicara tentang itu.
“Tempat ini seperti memberi jeda bagi siapa saja yang datang,” kata Nina akhirnya, mencoba membuka percakapan. “Seperti… waktu berhenti, bahkan kalau hanya untuk sesaat.”
Dimas tersenyum, tetapi senyum itu tampak penuh makna. “Iya, aku sering datang ke sini ketika merasa terjebak dalam dunia yang terlalu cepat. Kadang, kita hanya perlu melambat untuk melihat lebih jelas.”
Nina mengangguk. Tidak tahu kenapa, kata-kata Dimas menyentuh hatinya. Ia sering merasa terjepit dalam ritme hidupnya yang penuh tuntutan dan ekspektasi. Berbicara dengan orang asing, tanpa agenda atau tujuan jelas, rasanya seperti sesuatu yang jarang terjadi.
“Tapi,” lanjut Dimas dengan suara yang sedikit lebih dalam, “Kadang aku berpikir, apakah kita benar-benar bisa melarikan diri dari waktu? Atau justru waktu yang melarikan diri dari kita?”
Pertanyaan itu membuat Nina terdiam sejenak. Ia belum pernah memikirkan hal itu sebelumnya. “Aku rasa… waktu itu hanya ilusi,” jawabnya perlahan. “Kita mengukurnya berdasarkan apa yang kita lakukan. Tapi sebenarnya, ia tidak benar-benar ada. Mungkin yang ada hanya momen-momen seperti ini.”
Dimas memandang Nina sejenak, seolah mengukur kata-katanya, lalu mengangguk perlahan. “Momen-momen yang akan hilang begitu saja, tapi tetap meninggalkan jejak.”
Percakapan mereka berhenti sejenak saat matahari mulai turun lebih rendah,
Bab 2: Kenangan yang Menggugah
Pagi setelah pertemuan pertama itu, Nina merasa ada sesuatu yang berbeda. Keheningan kota kecil di tepi laut itu tampak lebih hidup, lebih berbicara. Langit biru yang tanpa awan, udara segar yang berhembus dari laut, dan suara ombak yang terus bergulung, semuanya tampak lebih nyata, lebih berarti. Mungkin karena semalam, percakapan singkat dengan Dimas masih bergema dalam pikirannya.
Hari-harinya setelah itu terasa aneh. Nina yang biasa menikmati kesendirian, kali ini merasa seperti ada ruang kosong dalam pikirannya yang ingin diisi. Ia merasa tersentuh oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemuan biasa. Dan perasaan itu semakin kuat saat ia membuka lensa kameranya di pagi hari, berusaha menangkap keindahan alam yang sudah begitu sering ia lihat.
Namun, hari itu, matanya terhenti pada sesuatu yang tak terduga. Dalam gulungan ombak yang memecah di pantai, dia melihat sesuatu yang menarik—sebuah momen yang seolah berbicara padanya. Dimas. Ya, Dimas sedang duduk di atas batu besar, menulis di buku catatannya, seperti yang dia lakukan pada hari pertama mereka bertemu. Entah kenapa, gambaran itu terasa sangat kuat, seperti sebuah kenyataan yang menggugah perasaan Nina.
Dengan langkah hati-hati, Nina mengalihkan fokus kameranya ke arah Dimas, mencoba mengabadikan gambar yang bisa menggambarkan suasana hati yang begitu rumit. Ketika tangannya menggenggam kamera, ia merasa ada dorongan untuk lebih lama menatap Dimas daripada sekadar memotret. Keheningan pagi itu terasa semakin dalam, dan sesaat Nina terhenti, merasakan ketenangan yang memancar dari sosok Dimas yang tenggelam dalam dunia tulisannya.
Beberapa hari berlalu, dan entah kenapa, Nina merasa terus tertarik untuk mengunjungi tempat itu lagi. Kafe kecil di ujung jalan yang pernah mereka kunjungi bersama, tempat mereka berbicara ringan, mulai menjadi titik temu yang tak bisa dihindari. Ia merasa aneh, seperti kembali ke sana bukan karena tempat itu, melainkan karena perasaan yang belum selesai.
Suatu sore, seperti biasa, Nina kembali ke kafe itu, duduk di pojok ruangan, dengan secangkir teh hangat di depannya. Pemandangan luar jendela yang menggambarkan senja berwarna oranye mulai menyelimuti kota kecil itu, memberikan suasana yang lebih damai dari biasanya. Nina memandang ke luar, namun pikirannya kembali melayang ke Dimas.
Tidak lama kemudian, pintu kafe terbuka, dan Dimas masuk dengan langkah santai, matanya yang tampak lelah mengarah ke meja yang biasa ia duduki. Ketika mereka saling menatap, Nina merasa ada kecanggungan yang tiba-tiba muncul, namun itu tidak menghalangi mereka untuk saling tersenyum.
Dimas duduk di meja yang berseberangan, dengan sedikit senyum yang lebih hangat daripada sebelumnya. “Kamu sering datang ke sini?” tanyanya dengan suara tenang.
Nina mengangguk pelan, merasa sedikit ragu. “Ya, entah kenapa, tempat ini seperti punya daya tarik sendiri.”
“Tempat ini memang aneh,” kata Dimas sambil membuka buku catatannya. “Aku sering datang ke sini untuk mencari inspirasi. Tapi, kadang, aku merasa seperti… aku hanya datang untuk melarikan diri.”
Nina menatapnya. Ada sesuatu dalam cara Dimas berbicara yang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Seperti ada keresahan yang tak terucapkan, namun begitu jelas di balik kata-katanya.
“Melarikan diri?” Nina mengulangi kata-kata itu, seolah ingin memastikan apa yang dimaksud Dimas.
Dimas tersenyum tipis, lalu melirik ke luar jendela. “Aku rasa, kita semua punya alasan untuk melarikan diri, bukan? Dari rutinitas, dari kehidupan yang kadang terlalu menuntut, atau bahkan dari diri kita sendiri.”
Tiba-tiba, Nina merasa seolah Dimas sedang berbicara tentang dirinya. Tentang rasa kehilangan yang ia pendam selama ini, tentang ketakutannya menghadapi kenyataan yang belum sepenuhnya ia pahami. Selama ini, ia terlalu sibuk mencari kebahagiaan dalam kesendirian, tetapi mungkin, yang ia butuhkan adalah keberanian untuk berhadapan dengan perasaan-perasaan yang tersembunyi.
“Apakah kamu merasa ada hal yang hilang dalam hidupmu?” tanya Nina pelan, tanpa sadar membuka ruang bagi Dimas untuk berbagi.
Dimas terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Mungkin… aku merasa seperti hidupku berhenti di satu titik, dan aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkannya.”
Nina menundukkan kepala, merasa perasaan itu begitu familiar. Dimas berbicara tentang kehilangan, tentang kebuntuan dalam hidup, dan Nina merasakannya dengan sangat dalam. Ada kesamaan yang tak terucapkan antara mereka. Sebuah perasaan kosong yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang pernah merasakannya.
“Kehilangan memang sulit,” kata Nina dengan suara lembut. “Tapi aku rasa, kita tidak perlu selalu melarikan diri darinya. Mungkin kita hanya perlu memberi ruang untuk merasakannya, lalu belajar dari itu.”
Dimas menatap Nina dengan tatapan yang lebih serius kali ini. “Aku tidak tahu apakah aku sudah siap untuk itu. Terkadang, aku merasa lebih nyaman dengan melupakan semuanya.”
Mereka terdiam sejenak. Di tengah senja yang mulai meredup, keduanya merasakan kedekatan yang tiba-tiba muncul di antara mereka, tanpa kata-kata yang harus diucapkan. Tidak ada yang tahu ke mana perasaan ini akan membawa mereka, tetapi satu hal yang pasti: kenangan tentang pertemuan pertama mereka, tentang obrolan ringan yang menggugah, mulai menggambar jalan yang lebih dalam antara mereka.
Bab 3: Hujan yang Menghubungkan
Pagi itu, langit tampak gelap, berbeda dari hari-hari sebelumnya yang cerah dan terang. Udara terasa lebih lembap, dan meskipun belum ada tanda-tanda hujan, Nina bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Ia keluar dari apartemennya dan berjalan menuju kafe kecil yang sudah menjadi rutinitasnya sejak beberapa waktu lalu. Ada sesuatu yang mengundangnya untuk datang ke sana, sesuatu yang sulit ia jelaskan. Mungkin perasaan ingin bertemu lagi dengan Dimas, atau mungkin hanya sekadar keinginan untuk melarikan diri dari kesendiriannya.
Namun, begitu ia melangkah ke jalanan sempit kota, hujan turun begitu cepat dan deras, memaksa Nina untuk mencari perlindungan. Ia segera berlari menuju kafe, merasakan butiran hujan yang membasahi rambut dan pakaian tipisnya. Saat tiba di pintu kafe, ia masuk dengan napas terengah-engah, dan segera berlari menuju pojok ruangan yang sudah menjadi tempat favoritnya.
Begitu memasuki ruangan yang hangat, Nina melihat Dimas sudah duduk di meja yang sama seperti sebelumnya. Kali ini, dia tidak menulis, melainkan duduk dengan tatapan kosong, menatap jendela yang dipenuhi tetesan hujan. Seolah-olah, hujan itu menyembunyikan segala pikirannya yang sedang berkecamuk.
Dimas mengangkat wajahnya saat mendengar pintu kafe terbuka. Ketika matanya bertemu dengan Nina, ada sedikit keheranan di wajahnya, namun segera digantikan dengan senyuman ringan. “Sepertinya kamu datang tepat waktu,” katanya, sambil menunjuk hujan yang semakin deras.
Nina hanya mengangguk, duduk di kursi seberang Dimas. “Hujan ini datang begitu tiba-tiba,” jawabnya, menatap ke luar jendela dengan pandangan yang sama kosongnya. “Tapi aneh, aku merasa… hujan ini seperti datang untuk sesuatu.”
Dimas mengangkat alisnya, lalu menyandarkan tubuh ke kursinya. “Kamu tahu,” katanya, “Hujan sering membuat kita merasa seperti sedang berada di dunia lain. Ada semacam perasaan melankolis yang muncul, seolah segala sesuatu yang tidak terucapkan bisa diterima oleh hujan.”
Nina tersenyum tipis, menyadari bahwa kata-kata Dimas mengena dalam dirinya. Sejak beberapa waktu terakhir, ia merasa seperti ada banyak hal yang belum ia ungkapkan, perasaan yang terkubur dalam-dalam, dan hujan itu—meskipun hanya membawa basah—seperti mengundangnya untuk mengungkapkan sesuatu yang telah lama terpendam.
“Mungkin,” jawab Nina dengan suara pelan, “aku merasa seperti hujan ini juga menggugah kenangan-kenangan lama.”
Dimas menoleh, menatap Nina dengan penuh perhatian. “Kenangan lama?”
Nina terdiam sejenak, matanya terfokus pada cangkir teh yang ada di depannya. “Aku kehilangan seseorang dalam hidupku, seseorang yang aku cintai. Kecelakaan yang tak terduga. Sejak saat itu, aku merasa seperti hidupku terhenti. Aku terus melarikan diri, mencari tempat yang jauh dari semua perasaan itu. Tapi hujan… kadang hujan membuatku merasa seperti kembali ke waktu itu.”
Dimas mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari Nina. Ada keheningan yang mendalam di antara mereka, seperti hujan yang membuat waktu seolah berhenti, memberikan ruang bagi perasaan mereka untuk mengalir tanpa terburu-buru.
“Aku mengerti,” jawab Dimas, suaranya lembut namun penuh empati. “Aku juga pernah merasakannya. Tapi mungkin, yang lebih menyakitkan dari kehilangan itu adalah kenyataan bahwa kita merasa terjebak dalam kenangan yang tidak bisa kita ubah.”
Nina menatap Dimas, perasaan yang selama ini ia sembunyikan muncul begitu saja. Ia merasa seolah-olah Dimas sedang mengerti dirinya tanpa perlu banyak bicara. “Aku merasa… seperti aku tak bisa melanjutkan hidup. Setiap kali aku mencoba, aku selalu merasa terhalang oleh rasa takut akan kehilangan lagi.”
Dimas menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Hujan yang terus mengguyur membuat suasana semakin hening, tapi kali ini, keheningan itu tidak terasa canggung. Seolah mereka berdua saling merasakan perasaan yang sama, meski tidak mengungkapkannya dengan kata-kata.
“Aku pernah merasa seperti itu,” ujar Dimas, suara rendah. “Hidupku dulu juga penuh dengan kehilangan. Sahabat terbaikku pergi ke luar negeri tanpa sempat mengatakan selamat tinggal, dan aku merasa ditinggalkan. Aku merasa… kosong.”
Nina menatap Dimas, merasa ada keterikatan yang tak terucapkan di antara mereka. “Apa yang kamu lakukan untuk menghadapinya?” tanyanya dengan rasa ingin tahu.
Dimas tersenyum pahit. “Aku mencoba untuk mengisi kekosongan itu dengan pekerjaan, dengan menulis, dengan apa pun yang bisa mengalihkan pikiranku. Tapi, pada akhirnya, aku sadar—rasa kehilangan itu tidak bisa disembunyikan begitu saja. Hanya waktu yang bisa menyembuhkannya. Tapi waktu itu… kadang terlalu lama, dan kadang tidak cukup.”
Nina terdiam, merenungkan kata-kata Dimas. “Jadi… apakah itu berarti kita tidak akan pernah benar-benar bisa melupakan mereka yang telah pergi?”
Dimas menggelengkan kepala. “Tidak. Mungkin kita tidak bisa melupakan. Tapi kita bisa belajar untuk menerima dan hidup dengan kenangan itu. Seperti hujan ini. Ia tidak bisa kembali ke langit setelah jatuh, tetapi hujan akan selalu datang lagi. Kita hanya perlu memberi ruang untuk merasakannya.”
Percakapan itu meninggalkan kesan yang mendalam di hati Nina. Hujan di luar jendela masih mengguyur deras, tetapi kali ini, hujan itu terasa lebih menenangkan, lebih bisa diterima. Mungkin, sama seperti hujan, perasaan kehilangan yang selama ini ia simpan di dalam diri juga bisa diterima, dihargai, dan akhirnya dibiarkan pergi, memberi ruang bagi sesuatu yang baru.
“Aku rasa,” kata Nina akhirnya, “hujan ini tidak hanya membersihkan udara, tapi juga… sedikit demi sedikit membersihkan perasaan kita.”
Dimas tersenyum, dan ada kehangatan dalam senyumannya. “Mungkin itu benar. Hujan selalu memiliki cara untuk menghubungkan kita dengan perasaan yang kadang kita sembunyikan jauh di dalam hati.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini, keheningan itu tidak menakutkan. Seperti hujan yang tak pernah berhenti membawa kedamaian, perasaan Nina dan Dimas seolah mulai menemukan jalannya, meski belum tahu ke mana arah itu akan membawa mereka.
Bab 5: Perjalanan Bersama
Malam itu, ketika hujan mulai reda dan langit mengerling dengan bintang-bintang yang perlahan muncul, Nina dan Dimas berdiri di depan pintu kafe kecil yang sering mereka kunjungi. Angin malam mengalir lembut, seakan mengundang mereka untuk melangkah keluar dari kenyamanan yang sudah mereka kenal. Mereka memutuskan untuk berjalan bersama, meninggalkan jejak-jejak kaki mereka di jalanan kota yang sepi.
Meskipun jarak mereka semakin dekat, Nina merasa ada sesuatu yang baru—sesuatu yang masih terasa asing, tetapi juga menggugah. Ia merasa seperti perjalanan mereka baru saja dimulai, meskipun mereka sudah berbagi banyak momen bersama. Kali ini, perjalanan itu tidak hanya tentang berdua, tetapi lebih kepada menemukan bagian-bagian baru dalam diri mereka yang belum pernah terungkap sebelumnya.
“Aku suka berjalan malam seperti ini,” kata Dimas, sambil melangkah pelan di samping Nina. “Suasananya tenang, dan kita bisa lebih banyak mendengar pikiran kita sendiri.”
Nina tersenyum mendengarnya. “Aku juga. Tapi kadang, aku merasa kita tak perlu berbicara banyak. Hanya dengan berjalan bersama, kita sudah bisa saling memahami, bukan?”
Dimas mengangguk, senyumannya menyiratkan pemahaman yang dalam. “Terkadang, kata-kata memang tak cukup. Perasaan yang kita bagi, dalam keheningan seperti ini, justru yang paling berarti.”
Mereka melanjutkan langkah, dan meskipun jalanan itu sudah sering mereka lalui, kali ini terasa berbeda. Seperti ada kedamaian yang melingkupi setiap langkah mereka. Keheningan di malam itu bukanlah kesunyian yang mengisolasi, melainkan kedekatan yang tidak memerlukan banyak kata. Mereka tahu bahwa perjalanan ini, meskipun perlahan, telah mengubah cara mereka memandang satu sama lain.
Setiap momen kecil yang mereka bagi kini menjadi penting. Dari tawa ringan saat mereka berbicara tentang hal-hal sepele, hingga pandangan mata yang saling bertemu saat terjatuh dalam keheningan. Nina mulai menyadari bahwa perjalanan ini bukan sekadar langkah fisik, tetapi perjalanan hati yang perlahan mulai menyatu.
“Kamu pernah merasa takut, Dimas?” tanya Nina suatu ketika, memecah kebisuan yang telah mereka nikmati cukup lama. “Takut akan kehilangan lagi?”
Dimas berhenti sejenak dan menatap Nina dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan. Matanya mencerminkan ketulusan yang membuat Nina merasa seperti dia bisa membuka dirinya lebih dalam lagi. “Aku rasa kita semua punya ketakutan itu. Takut akan kehilangan, takut akan melukai orang yang kita sayangi. Tapi semakin kita berjalan, semakin aku merasa bahwa kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Cinta, seperti perjalanan ini, adalah tentang menemukan keberanian untuk melangkah meski kita tidak tahu apa yang ada di depan.”
Nina menghela napas perlahan, merenungkan kata-kata Dimas. Ada kenyamanan yang aneh dalam jawaban itu—sebuah pengertian yang terasa jauh lebih dalam daripada yang ia duga. “Aku juga merasa begitu. Tapi kadang aku merasa masih sulit untuk benar-benar membuka diri. Seperti ada bagian dari diriku yang masih terkunci.”
Dimas menoleh dan tersenyum. “Tidak ada yang perlu dipaksakan, Nina. Perjalanan ini bukan tentang seberapa cepat kita tiba di tujuan, tetapi bagaimana kita menjalani setiap langkahnya. Dan aku rasa, kamu sudah cukup membuka dirimu kepadaku.”
Perasaan itu kembali datang, mengalir begitu saja. Ada kehangatan yang mulai tumbuh, seolah perlahan mereka berdua saling memberi ruang untuk tumbuh bersama. Dengan setiap percakapan, dengan setiap tawa, dan setiap keheningan yang mereka nikmati bersama, mereka mulai menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang tujuan, tetapi juga tentang proses yang mereka jalani bersama.
Langkah mereka membawa mereka ke sebuah taman kecil yang biasanya sepi di malam hari, hanya diterangi cahaya lampu jalan yang redup. Di sana, mereka duduk di bangku taman yang sudah berumur, memandang langit yang kini dipenuhi bintang-bintang. Suasana ini terasa begitu sederhana, tetapi juga penuh dengan makna.
“Kita sudah lama berjalan bersama, ya?” kata Nina dengan lembut, matanya menatap jauh ke langit. “Tapi aku merasa kita masih banyak yang harus dipelajari tentang satu sama lain.”
Dimas menoleh padanya, senyum tipis terukir di wajahnya. “Benar. Tapi setiap perjalanan yang kita jalani bersama adalah pelajaran. Kita tidak perlu mengetahui semua jawaban sekarang, Nina. Yang penting adalah kita saling menemani, saling mendukung.”
Nina mengangguk, merasa sedikit lega. Meskipun perjalanan mereka belum mencapai ujung, ia tahu bahwa bersama Dimas, setiap langkah terasa lebih ringan, lebih berarti. Cinta itu tidak datang dengan kecepatan yang bisa diprediksi, tetapi tumbuh secara perlahan, seiring berjalannya waktu, seperti perjalanan itu sendiri.
Malam semakin larut, dan udara menjadi lebih dingin. Mereka berjalan kembali ke arah tempat mereka memulai, kali ini dengan langkah yang lebih santai, lebih nyaman. Ketika mereka kembali ke jalan yang lebih ramai, Dimas berhenti sejenak dan menatap Nina.
“Aku tidak tahu ke mana perjalanan ini akan membawa kita, Nina,” katanya, “Tapi aku tahu satu hal. Aku ingin terus berjalan bersamamu. Dalam suka dan duka, dalam setiap langkah yang kita ambil.”
Nina merasa hatinya berdegup lebih kencang, dan senyum tulus muncul di wajahnya. “Aku juga, Dimas. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku percaya, perjalanan ini sudah cukup indah untuk dijalani bersama.”
Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka, menghadap masa depan yang masih penuh dengan misteri, tetapi kini mereka tahu, mereka tidak akan pernah berjalan sendirian. Dalam setiap langkah yang mereka ambil bersama, perjalanan ini menjadi semakin berarti—bukan hanya sebagai tujuan, tetapi sebagai kisah cinta yang tumbuh di sepanjang jalan.
Bab 6: Senja yang Abadi
Senja itu datang seperti biasanya, dengan warna oranye keemasan yang memancar perlahan di langit, memecah keheningan sore yang mendalam. Tapi bagi Nina dan Dimas, senja kali ini terasa berbeda. Mereka duduk berdampingan di tepi pantai, tepat di tempat pertama kali mereka bertemu, tempat di mana mereka mulai menemukan satu sama lain dengan cara yang tak terduga.
Nina memandang langit yang mulai merona, berusaha mengingat kembali setiap momen yang telah mereka lewati bersama. Dari percakapan ringan yang kemudian berkembang menjadi pembicaraan lebih dalam, tentang kenangan yang mulai terungkap, hingga perasaan yang semakin tumbuh tanpa mereka sadari. Perjalanan bersama Dimas selama ini membawa mereka pada titik ini: sebuah perasaan yang tidak lagi bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Perasaan yang seakan sudah tumbuh begitu dalam, begitu akrab, dan begitu nyata.
“Senja ini indah,” kata Dimas, suaranya penuh ketenangan, namun ada nada yang berbeda kali ini. Ada semacam keheningan yang menyelimuti kata-katanya, seperti ia sedang berbicara tentang sesuatu yang lebih dari sekadar pemandangan.
Nina menoleh padanya dan tersenyum tipis. “Ya, ini salah satu senja terbaik yang pernah aku lihat. Mungkin karena aku bisa menikmatinya bersama seseorang.”
Dimas tersenyum, pandangannya kembali terarah ke langit. “Aku juga merasa begitu. Meskipun aku sudah sering datang ke sini, hari ini rasanya berbeda. Seperti senja ini, kita juga tumbuh bersama—perlahan, tak terburu-buru, tetapi selalu ada.”
Ada ketenangan dalam kata-kata Dimas, dan Nina merasa perasaan itu begitu menggugah. Mereka telah menjalani perjalanan bersama—melalui percakapan panjang, tawa, dan kadang juga kesunyian—dan sekarang, di sini, mereka berdiri di ambang sesuatu yang lebih besar dari sekadar hubungan biasa. Mereka telah saling memberi ruang untuk tumbuh, dan entah kenapa, senja yang indah ini terasa seperti lambang perjalanan mereka yang telah dimulai sejak pertemuan pertama di kafe kecil itu.
“Kita sudah berjalan sejauh ini, Dimas,” kata Nina, suara itu lembut dan penuh rasa. “Dari hujan yang membuat kita berbicara, hingga perasaan yang mulai tumbuh, dari rindu yang menghubungkan kita, hingga perjalanan panjang yang telah kita lewati. Aku merasa… ini bukan hanya perjalanan biasa.”
Dimas menatapnya, mata mereka saling bertemu. Ada kehangatan dalam tatapan itu, seolah dunia di sekitar mereka sejenak berhenti. “Aku tahu apa yang kamu rasakan, Nina. Aku merasakannya juga. Kita bukan hanya berjalan bersama, kita telah membangun sesuatu yang lebih dari sekadar perjalanan—kita telah membangun kenangan yang akan bertahan.”
Senja itu memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti tubuh mereka, menambah kehangatan yang sudah ada di antara keduanya. Nina merasakan sesuatu yang sangat kuat—perasaan yang begitu tenang namun dalam. Sesuatu yang membuatnya merasa tidak perlu lagi takut pada masa depan, pada segala ketidakpastian yang sebelumnya membuatnya ragu. Bersama Dimas, perasaan itu menjadi lebih jelas: mereka tidak perlu tahu semua jawaban, karena mereka sudah memiliki satu sama lain. Itu sudah cukup.
“Mungkin kita tidak tahu ke mana kita akan pergi selanjutnya,” lanjut Nina, matanya tak lepas dari senja yang kini mulai meredup, “tapi aku tahu, aku ingin terus berjalan bersama kamu, menikmati setiap momen yang ada, seperti senja ini. Karena, senja ini… adalah milik kita.”
Dimas terdiam, kemudian meraih tangan Nina, memegangnya dengan lembut. “Aku juga merasa begitu, Nina. Mungkin senja ini tidak akan abadi, tapi kenangan kita, perasaan kita, itu akan tetap ada. Seperti senja yang selalu kembali, begitu juga dengan kita—kita akan selalu kembali satu sama lain, meskipun waktu terus berjalan.”
Mereka terdiam sejenak, saling berbagi rasa yang sulit untuk diungkapkan. Semua kata-kata itu mungkin tidak diperlukan, karena di dalam hati mereka sudah ada pemahaman yang mendalam. Senja yang mengakhiri hari ini bukanlah sebuah perpisahan, melainkan sebuah permulaan dari sesuatu yang abadi, sesuatu yang mereka berdua percayai.
Dengan tangan yang masih terhubung, mereka duduk bersama, memandangi senja yang perlahan menghilang di cakrawala. Dan meskipun senja itu akan berlalu, perasaan mereka akan tetap ada—seperti kenangan indah yang tak akan pernah pudar, seperti cinta yang tumbuh di tengah perjalanan yang penuh warna.
“Senja ini memang indah,” kata Nina akhirnya, dengan suara yang lebih tenang dari sebelumnya. “Tapi aku rasa, senja yang kita miliki bersama ini… jauh lebih indah.”
Dimas tersenyum, dan dengan lembut menjawab, “Aku setuju. Senja kita, adalah senja yang abadi.”
Bab 7: Pertemuan di Tengah Senja Pengembangan
Senja itu seperti lukisan alam yang tak bisa diulang, Aira berpikir. Langit di atasnya berubah perlahan, dari biru ke jingga keemasan, hingga akhirnya menjadi merah muda yang memudar. Ia berdiri di tepi pantai, kaki telanjangnya menyentuh pasir yang dingin, membiarkan angin laut mengelus wajahnya. Setiap angin yang datang membawanya kembali pada kenangan yang lama, kenangan yang pernah ia bagi dengan Raian di tempat ini.
Aira mengingat bagaimana dulu mereka datang ke sini bersama, berdua, menyaksikan senja yang hampir selalu mereka tunggu setiap sore. Waktu itu terasa indah, tanpa beban, tanpa keraguan. Namun kini, senja itu terasa berbeda. Kehilangan Raian membuat segalanya tampak kabur, meskipun senja tetap datang seperti biasa.
“Saat-saat seperti ini membuatku merindukannya,” Aira berbisik pada dirinya sendiri, matanya menatap laut yang berkilauan di bawah cahaya senja. Tak ada suara lain, kecuali deru ombak yang seakan berbisik, dan pelan-pelan, perasaan yang ia simpan dalam hati kembali muncul.
“Senja selalu bisa membuat kita kembali, bukan?” Suara itu datang dari belakangnya, menembus keheningan yang melingkupi mereka. Aira menegang, kenal benar dengan suara itu. Ia memutar tubuhnya perlahan, berharap yang ia dengar hanya khayalan. Namun, kenyataan berkata lain.
Raian, pria yang telah lama menghilang dari hidupnya, berdiri di sana, di bawah pohon besar yang biasa mereka datangi. Wajahnya masih sama, meskipun ada sedikit garis halus yang muncul di sekitar matanya—garis yang menunjukkan betapa banyak waktu telah berlalu. Senyumannya, meskipun tipis, tetap memiliki kekuatan untuk membuat jantung Aira berdegup lebih cepat.
“Raian… ini kamu?” Aira terkejut, suara itu bergetar. Wajahnya menegang, dan hatinya seperti terhenti sejenak. Ia tahu ia seharusnya tidak merasa seperti ini, bahwa waktu telah mengubah banyak hal, namun kenangan itu seperti api yang kembali menyala.
Raian mengangguk, perlahan mendekat. “Iya, Aira. Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu, tapi aku harus datang. Aku… harus bicara denganmu.”
Aira terdiam sejenak, mencoba mengatur napasnya yang sedikit terengah. Dalam hatinya, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Raian pergi begitu saja tanpa sepatah kata? Mengapa senja yang dulu begitu manis kini terasa begitu pahit?
“Kenapa kamu datang sekarang, setelah begitu lama?” Aira akhirnya bertanya, suaranya seperti terjebak di tenggorokannya. Pertanyaan itu sudah lama ingin ia lontarkan, namun tak pernah ada waktu yang tepat.
Raian menarik napas dalam-dalam, seperti menyiapkan diri untuk sesuatu yang berat. “Karena aku tak bisa terus hidup dengan rasa salah yang membebani pikiranku. Aku harus kembali, Aira. Aku harus mencari tahu apakah ada kesempatan kedua untuk kita.”
Aira terdiam, kata-kata itu membuat hatinya bergejolak. Rasa marah, kecewa, dan rindu bercampur aduk. Mengapa kini? Setelah semua waktu yang telah berlalu, setelah perasaan itu nyaris mati tertutup oleh kesibukan hidup, Raian muncul kembali.
“Kenapa harus di sini?” Aira bertanya lagi, meski ia tahu jawabannya. Raian tahu betul bahwa senja ini adalah milik mereka—mereka yang dulu selalu datang untuk berbicara tentang impian, cinta, dan harapan. Senja yang kini terasa seperti sebuah jejak yang tak bisa dihapuskan.
Raian mengalihkan pandangannya ke langit yang semakin gelap. “Karena senja ini selalu menjadi saksi bagi kita. Setiap kali aku melihat matahari tenggelam, aku selalu teringat padamu. Pada kita.”
Aira menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh. Betapa lama ia menyimpan perasaan ini, betapa keras ia mencoba untuk melupakan, dan betapa sulitnya saat perasaan itu kembali muncul.
“Kenapa kamu pergi dulu, Raian?” Aira bertanya, meski ia tahu jawabannya tidak akan pernah mudah.
Raian menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku takut, Aira. Takut bahwa aku akan kehilanganmu jika aku terus di sini. Aku merasa aku belum siap untuk memberikanmu semua yang kau butuhkan. Jadi aku pergi, berpikir itu yang terbaik.”
Aira menatap Raian, hatinya teriris oleh kenyataan bahwa semua yang terjadi dulu adalah karena ketakutan. Kepergian Raian membuatnya belajar untuk berdiri sendiri, tapi kenapa perasaan itu kini datang kembali? Apakah ia siap untuk membuka luka lama?
“Jadi, apa yang kamu harapkan sekarang, Raian?” Aira bertanya, suaranya lebih lembut kali ini, seolah membuka ruang untuk kata-kata yang belum terucap.
Raian menghela napas, seakan mengumpulkan kekuatan. “Aku berharap, Aira, kita bisa mulai lagi. Aku tahu aku tak bisa memperbaiki masa lalu, tapi aku ingin mencoba memperbaiki semuanya. Mungkin… jika kau masih memberi kesempatan, aku ingin kita berjalan bersama lagi.”
Aira terdiam, mulutnya terasa kering. Hatinya masih bimbang. Rasanya seperti ada sebuah pilihan besar yang menunggu, dan setiap pilihan itu bisa membawa mereka ke jalan yang tak terduga. Namun satu hal yang ia tahu pasti—senja ini tidak bisa dilewatkan begitu saja. Begitu banyak kenangan yang tergantung di udara, dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk memulai kembali.
Aira memandang matahari yang mulai tenggelam, merah di ujung cakrawala. “Aku tak tahu, Raian. Aku tak tahu.”
Namun, senja tetap datang, membawa harapan yang tak terucapkan, dan mungkin, itu adalah awal dari sesuatu yang baru.