Bab 1: Awal yang Tak Terduga
Hari itu, langit tampak cerah seperti biasa, tetapi angin yang berhembus di sepanjang jalan kota memberikan sensasi sejuk yang sedikit berbeda dari biasanya. Di antara hiruk-pikuk kesibukan pagi, Alia berjalan dengan langkah cepat. Sebagai seorang wanita muda yang penuh ambisi, ia sudah terbiasa dengan jadwal padat, proyek-proyek yang selalu menuntut perhatian, dan pertanyaan-pertanyaan tentang kapan dia akan memulai hidup yang lebih “normal.” Di balik senyum ramah dan sikap profesional, Alia menyembunyikan sebuah kekosongan dalam hatinya—kekosongan yang ia rasa semakin lebar seiring berjalannya waktu.
Sementara itu, di sisi lain kota, Ardan, seorang pria muda dengan hidup yang terstruktur, sedang mempersiapkan perjalanan bisnis yang penting. Ardan selalu mengutamakan efisiensi dan pragmatisme, berpikir bahwa hidup yang sukses adalah hidup yang terencana dengan matang. Karier, keluarga, dan masa depan yang stabil adalah hal-hal yang selalu ia prioritaskan. Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal dalam pikirannya—ia merasa bahwa kehidupannya terlalu teratur, terlalu dipenuhi dengan rutinitas yang membosankan, tanpa ruang untuk hal-hal spontan dan emosional.
Pagi itu, takdir mempertemukan mereka dalam sebuah kejadian yang tak terduga.
Alia sedang berlari menuju stasiun untuk mengejar kereta terakhir yang bisa membawanya ke kantor tepat waktu. Dalam keburu-buruannya, ia tidak menyadari bahwa sebuah tas yang terjatuh dari tangan seorang pria yang tengah terburu-buru di depannya. Tanpa sengaja, ia menginjak tas tersebut, menyebabkan pria itu terjatuh ke tanah. Alia dengan cepat menunduk, merasa panik.
“Maaf, saya tidak sengaja…,” ujar Alia dengan nada cemas, sambil berusaha membantu pria itu berdiri.
Pria itu, yang ternyata adalah Ardan, memandangnya dengan tatapan sedikit bingung, seolah tidak menyangka akan mengalami kejadian seperti ini di pagi yang biasa-biasa saja. Ardan berdiri perlahan dan tersenyum, mencoba untuk meredakan suasana yang canggung.
“Tidak apa-apa,” jawab Ardan, meski wajahnya sedikit merah karena malu. “Saya yang terburu-buru, tidak memperhatikan jalan.”
Alia merasa sangat tidak enak, merasa bahwa kejadian ini semakin membuatnya canggung. “Benar-benar maafkan saya,” kata Alia, seraya mengembalikan tas yang terjatuh ke tangan Ardan.
Ardan memandang wajahnya sejenak, menilai sosok wanita di depannya. Alia terlihat cantik meski wajahnya tampak lelah, dengan rambut yang sedikit berantakan dan riasan yang sederhana namun menawan. Ada sesuatu dalam tatapan mata Alia yang menunjukkan bahwa dia bukan hanya sekadar wanita yang tergesa-gesa—ada cerita yang tersembunyi di balik tatapan itu.
“Tidak masalah. Sering kali saya juga bertindak terburu-buru,” ujar Ardan, sedikit tersenyum. “Kapan-kapan, kita bisa berbicara lebih lama. Saya rasa kita berdua butuh sedikit lebih banyak waktu untuk berhenti sejenak.”
Alia terkejut dengan kata-kata Ardan. Ia biasanya tidak mudah berinteraksi dengan orang asing, apalagi setelah kejadian memalukan seperti ini. Namun, ada sesuatu dalam sikap Ardan yang membuatnya merasa nyaman, meskipun hanya sesaat. Tapi, tidak lama setelah itu, mereka berdua mendengar suara kereta yang mendekat, memaksa mereka untuk buru-buru melangkah menuju platform.
“Sepertinya kita berdua sedang terburu-buru,” kata Ardan sambil mengangguk ke arah kereta yang hampir tiba. “Semoga hari ini berjalan lancar.”
Alia hanya bisa tersenyum, merasa sedikit lega setelah kejadian yang agak memalukan itu. “Iya, semoga begitu,” jawabnya, sebelum akhirnya berlari menuju gerbong kereta yang sudah hampir penuh.
Ardan menyaksikan langkahnya, entah mengapa, rasa ingin tahu muncul dalam dirinya. Ia tidak pernah bertemu dengan seseorang yang bisa membuatnya merasa sedikit terganggu dalam rutinitasnya. Ia terdiam beberapa saat, masih merasakan kehangatan dari percakapan singkat itu.
Setelah beberapa jam di kantor, Alia merasa pikirannya melayang kembali pada pertemuan tadi pagi. Dia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, tetapi entah mengapa wajah pria itu, Ardan, terus terulang dalam benaknya. “Apa yang salah dengan diriku?” pikirnya. “Mengapa aku merasa begitu terhubung dengan seseorang yang hanya beberapa menit lalu adalah orang asing?”
Sementara itu, Ardan yang sedang duduk di ruang kerjanya juga merasa gelisah. Pikiran tentang Alia terus menghantuinya, meskipun ia berusaha menenangkan dirinya dengan memikirkan pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun, setiap kali ia melihat layar komputernya, ia merasa ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tidak bisa ia definisikan dengan kata-kata.
Malam itu, ketika Alia sedang duduk di balkon apartemennya, menghirup udara malam yang sejuk, ia teringat kembali pada percakapan singkat dengan Ardan. Sebuah perasaan aneh, yang sulit dijelaskan, menyelimutinya. Apakah itu rasa penasaran? Atau mungkin, hanya mungkin, itu adalah sebuah kesempatan yang tak terduga?
Alia tahu bahwa hidupnya selama ini telah teratur—terlalu teratur, hingga ia merasa ada sesuatu yang hilang. Mungkin, hanya mungkin, kejadian pagi itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar yang akan mengubah arah hidupnya. Tetapi, apakah ia siap untuk itu?
Di sisi lain kota, Ardan menatap bintang-bintang dari jendela kantornya, perasaan yang sama memenuhi dadanya. Kejadian yang tampaknya sepele itu seakan membuka celah dalam hidupnya yang sebelumnya terasa penuh rutinitas. Apakah dia siap untuk mengubah semuanya?
Awal yang tak terduga, hanya sebuah pertemuan singkat—namun cukup untuk mengguncang dunia mereka berdua.*
Bab 2: Keputusan yang Mengguncang
Keputusan, bagi Alia, selalu menjadi sesuatu yang berat. Sejak kecil, ia telah terbiasa untuk mengambil jalan yang jelas, yang terarah, dan terencana. Bahkan dalam hal cinta, ia selalu memilih untuk menahan perasaannya, lebih memilih untuk mengejar kariernya yang cemerlang daripada terjebak dalam hubungan yang mungkin akan menghambat masa depannya. Namun, semenjak pertemuannya dengan Ardan beberapa hari yang lalu, sebuah perasaan baru mulai tumbuh dalam dirinya—perasaan yang ia tidak tahu harus diberi nama apa. Sesuatu yang mengusik kenyamanan hidupnya, mengguncang ketenangannya.
Malam itu, setelah seharian bekerja, Alia duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang cerah. Di bawah sana, lampu kota berkelip-kelip, tapi pikirannya tetap terfokus pada satu hal: Ardan. Pria yang hanya ia kenal beberapa menit, tetapi entah mengapa, hadir begitu kuat dalam pikirannya. Kenapa ia bisa merasa seperti ini? Mengapa pertemuan singkat itu seakan meninggalkan jejak yang mendalam?
Alia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. “Tidak, ini tidak bisa terjadi. Aku tidak boleh terjebak dalam perasaan ini,” pikirnya. Tapi setiap kali ia berusaha mengabaikan perasaan itu, gambar wajah Ardan muncul lagi—senyumnya yang hangat, tatapan matanya yang penuh rasa ingin tahu. Perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya datang begitu saja, mengganggu setiap sudut hatinya.
Beberapa hari setelah pertemuan mereka, Alia dan Ardan tanpa sengaja bertemu lagi di kafe favorit mereka, masing-masing dalam rutinitas harian mereka. Alia yang sedang duduk sendiri, tengah menikmati secangkir kopi panas sambil membuka laptop, terkejut saat mendengar suara yang familiar.
“Rupanya kita bertemu lagi,” suara Ardan terdengar lembut di sampingnya. Alia menoleh dan mendapati pria itu berdiri di dekat meja, tersenyum padanya dengan cara yang santai namun ramah.
Alia merasa canggung, tetapi mencoba untuk tetap tenang. “Oh, kamu juga di sini,” jawabnya, meskipun hatinya berdebar lebih cepat daripada yang ia harapkan.
Ardan menarik kursi dan duduk di seberang meja Alia. “Aku hanya ingin menyapa. Sepertinya kita berdua sering mencari tempat yang sama untuk menenangkan diri.”
Alia tersenyum tipis, meski dalam hati, ia merasakan perasaan yang sulit untuk dipahami. Mereka berbincang-bincang tentang hal-hal kecil—cuaca, pekerjaan, bahkan masalah ringan dalam hidup mereka. Namun, semakin lama, Alia semakin merasakan adanya ketegangan di antara mereka. Ada ketertarikan yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Ardan begitu terbuka dan mudah diajak bicara, sementara Alia merasa ada sisi dirinya yang ingin ia bagikan, meskipun itu sulit.
Ketika pertemuan itu berakhir, Alia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Pertemuan itu bukan hanya sekadar kebetulan lagi. Ia merasa lebih banyak berpikir tentang Ardan, tentang bagaimana perasaan mereka bisa berkembang lebih jauh jika mereka membiarkan diri mereka lebih dekat satu sama lain. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa begitu saja meninggalkan segalanya untuk seseorang yang baru ia kenal.
Keesokan harinya, Alia mendapat kabar buruk. Perusahaan tempat ia bekerja memberi tawaran yang sangat menggiurkan untuk promosi jabatan yang sudah lama ia dambakan—sebuah kesempatan yang akan membawa kariernya ke level berikutnya. Namun, ada satu hal yang perlu ia pertimbangkan dengan matang. Tawaran itu mengharuskannya untuk pindah ke luar negeri dalam waktu dekat. Ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini tentang masa depannya, yang telah ia bangun dengan susah payah selama ini. Semua yang telah ia rencanakan bisa tercapai dalam hitungan bulan.
Namun, Alia tahu, ada hal yang lebih penting. Ardan. Keputusan yang harus ia ambil tidak hanya berkaitan dengan kariernya, tetapi juga dengan perasaannya. Jika ia menerima tawaran itu, maka ia harus meninggalkan segalanya, termasuk perasaan yang baru ia sadari tumbuh dalam dirinya. Dia harus meninggalkan Ardan.
Sore itu, Alia duduk di ruang kerjanya, melihat tawaran promosi yang terletak di mejanya. Penawaran itu menarik, bahkan mungkin menjadi puncak dari perjalanan kariernya. Tapi semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa ada bagian dari dirinya yang terlupakan, bagian yang tidak bisa ia abaikan. Perasaan terhadap Ardan bukanlah sesuatu yang bisa ia lepaskan begitu saja. Tidak semudah itu.
Alia membuka pesan terakhir dari Ardan, yang baru saja ia terima beberapa jam sebelumnya. “Aku berharap kita bisa berbicara lebih lama suatu saat nanti. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu,” tulis Ardan. Sederhana, tetapi ada ketulusan yang terasa begitu nyata. Alia merasakan sesuatu di dalam dadanya, perasaan yang campur aduk antara keinginan untuk mengejar impian dan takut kehilangan kesempatan untuk merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Setelah beberapa lama merenung, Alia memutuskan untuk menelepon ibunya. Ia tahu, ibunya selalu memberikan nasihat yang bijak dan bisa melihat masalah dari perspektif yang lebih luas.
“Ibu, aku punya keputusan besar yang harus aku buat,” kata Alia dengan suara yang penuh kebingungan. “Tawaran promosi ini luar biasa, tetapi aku merasa… ada sesuatu yang hilang. Aku merasa terjebak antara dua pilihan yang sangat berbeda.”
Ibunya di ujung telepon terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara lembut, “Anakku, hidup ini memang penuh dengan pilihan, dan kadang kita harus memilih antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita butuhkan. Tetapi ingatlah, apa pun yang kamu pilih, yang paling penting adalah kamu mengikuti hatimu. Tidak ada yang lebih buruk daripada menyesal karena tidak berani mencoba.”
Alia menutup telepon itu dengan perasaan yang semakin bingung. Ibunya memang benar, tetapi hatinya kini dipenuhi oleh rasa takut dan harapan. Ardan datang dengan cara yang tak terduga, mengusik dunia yang telah ia rencanakan begitu matang. Dan kini, ia harus memilih: apakah ia akan mengejar impian yang sudah jelas di depannya, atau ia akan mengikuti perasaan yang tumbuh begitu cepat dan belum ia mengerti sepenuhnya?
Keputusan itu, seperti halnya keputusan-keputusan besar lainnya, tak hanya mengubah hidupnya. Keputusan itu akan menentukan arah perjalanan hidupnya selamanya.*
Bab 3: Batasan yang Membatasi
Alia duduk di bangku taman yang sepi, memandangi bunga-bunga yang mulai bermekaran di musim semi. Udara segar yang menyelimuti tubuhnya seolah tidak bisa mengusir rasa bingung yang terus menggerogoti pikiran dan hatinya. Seminggu setelah pertemuan terakhirnya dengan Ardan, semuanya terasa lebih rumit. Keputusan besar yang harus ia ambil semakin dekat, dan semakin banyak hal yang ia pertimbangkan. Tawaran promosi yang luar biasa itu menawarkan masa depan yang cemerlang, namun di sisi lain, perasaannya terhadap Ardan semakin kuat dan sulit untuk disangkal.
Tetapi, ada sesuatu yang mengganggu. Sesuatu yang sangat jelas, yang tak bisa ia abaikan: batasan yang membatasi. Batasan yang datang bukan hanya dari luar dirinya, tetapi juga dari dalam hatinya. Apakah mungkin, setelah sekian lama hidup dengan prinsip-prinsip yang telah ia bangun, ia bisa membiarkan perasaan ini mengubah segalanya?
Hari itu, Alia menerima telepon dari Ardan. Nada suaranya terdengar lebih ceria dari biasanya, tetapi Alia merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam pembicaraan mereka. Mungkin Ardan juga mulai merasakan perasaan yang semakin dalam terhadapnya, tetapi ia belum berani mengatakannya. Mereka berbicara dengan santai, membahas kehidupan sehari-hari, tetapi di balik setiap kalimat, Alia bisa merasakan bahwa keduanya saling tertarik lebih dari sekadar percakapan biasa.
“Alia, apakah kamu sudah memutuskan apa yang akan kamu lakukan?” tanya Ardan dengan suara yang lembut, seolah mencoba mencari tahu lebih dalam. “Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi aku ingin tahu apa yang ada di pikiranmu.”
Alia terdiam sejenak. Ia ingin menjawab dengan jujur, mengatakan bahwa ia merasa bingung dan terjebak di antara dua dunia yang sangat berbeda. Tapi, pada saat yang sama, ia merasa takut. Takut akan perubahan yang datang, takut akan konsekuensi dari keputusan yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.
“Belum, Ardan. Aku masih memikirkannya. Banyak yang harus aku pertimbangkan,” jawab Alia dengan suara yang terdengar lebih berat dari biasanya.
Ada hening di ujung telepon, dan Alia bisa merasakan ketegangan yang muncul di antara mereka. Ardan, seperti biasa, mencoba untuk memberi dukungan, meskipun ia sendiri mungkin merasa cemas akan keputusan yang sedang dipertimbangkan oleh Alia.
“Aku mengerti,” jawab Ardan akhirnya. “Aku tidak ingin membuatmu merasa terburu-buru. Tapi, satu hal yang pasti, apa pun keputusanmu, aku akan tetap mendukungmu.”
Kata-kata itu seolah membuat Alia merasa lebih bingung. Ia ingin percaya pada perasaan ini, ingin merasakan kedekatan dengan Ardan, tetapi ia juga tahu bahwa setiap keputusan yang ia ambil akan membawa dampak yang besar. Cinta itu indah, tetapi apakah ia bisa menyeimbangkan antara cinta dan ambisi yang telah membentuk dirinya selama ini?
Malam itu, Alia kembali duduk di balkon apartemennya. Di bawah sana, kota tampak penuh dengan kehidupan, tetapi Alia merasa kesepian. Ia menyandarkan kepala ke dinding dingin, berpikir tentang hidup yang telah ia bangun. Setiap langkah, setiap pilihan yang ia ambil, selalu berdasarkan rasionalitas dan pertimbangan yang matang. Tetapi perasaan ini—perasaan terhadap Ardan—datang begitu tiba-tiba, tanpa peringatan, tanpa persiapan.
Alia menatap bintang-bintang di langit, mencoba mencari jawaban dari semesta yang seolah diam. Hatinya terombang-ambing di antara dua pilihan yang tampaknya saling bertentangan. Di satu sisi, ada tawaran promosi yang begitu menggiurkan, sebuah kesempatan langka yang tidak bisa disia-siakan begitu saja. Di sisi lain, ada Ardan, seorang pria yang telah mulai menempati ruang yang begitu besar di hatinya.
Tetapi, di balik semua itu, Alia tahu ada satu hal yang tak bisa ia pungkiri: ada batasan yang membatasi. Batasan yang ia sendiri ciptakan untuk melindungi dirinya dari kekecewaan. Batasan yang mengajarkan bahwa hidup harus terencana, bahwa perasaan itu bisa menjadi penghalang dalam mencapai tujuan. Cinta, bagi Alia, selalu menjadi sesuatu yang bisa menunggu, sesuatu yang tidak bisa ia prioritaskan di atas impian dan karier yang telah ia perjuangkan.
Keesokan harinya, Alia memutuskan untuk menemui Ardan. Ia merasa harus berbicara langsung dengannya, mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan. Ketika mereka bertemu di kafe tempat pertama kali mereka berbincang, suasana terasa lebih serius dari sebelumnya. Ardan menatapnya dengan penuh perhatian, seolah menunggu Alia untuk membuka percakapan.
“Ardan, ada sesuatu yang perlu aku sampaikan,” kata Alia, suara serak karena ketegangan yang terasa begitu dalam.
Ardan menatapnya dengan cemas. “Apa yang terjadi, Alia? Apa yang mengganggumu?”
Alia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. “Aku merasa terjebak, Ardan. Aku tahu aku tidak bisa menghindari keputusan besar yang harus aku buat. Tawaran promosi itu luar biasa, dan aku tahu aku harus mengambilnya jika aku ingin maju dalam karierku. Tetapi, di sisi lain, aku tidak bisa menahan perasaan yang tumbuh terhadapmu. Aku merasa terpecah, bingung antara dua hal yang begitu penting dalam hidupku.”
Ardan terdiam, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Alia. Dia bisa melihat betapa beratnya keputusan yang dihadapi oleh Alia. Ada ketegangan di antara mereka, seperti ada jarak yang semakin melebar meskipun mereka duduk begitu dekat.
“Aku mengerti, Alia,” jawab Ardan akhirnya, suaranya penuh dengan kehangatan dan pemahaman. “Aku tidak akan pernah memaksamu untuk memilih di antara aku dan kariermu. Aku tahu kamu telah berjuang keras untuk mencapai apa yang kamu capai, dan aku tidak ingin menjadi penghalang untuk itu.”
Tapi, dalam hati Alia, ada suara yang berteriak, berusaha meyakinkan dirinya untuk memilih apa yang menurut hatinya benar. Cinta ini mungkin bukan penghalang, tetapi sebuah bagian penting dari hidupnya yang mungkin telah lama ia abaikan. Namun, realitas hidup yang penuh dengan tanggung jawab dan ambisi tidak membiarkannya melupakan batasan yang ia ciptakan sendiri.
“Ardan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” kata Alia dengan suara yang penuh keraguan. “Tapi aku rasa aku harus memilih jalan yang telah aku rencanakan. Aku tidak bisa membiarkan perasaan ini mengubah arah hidupku begitu saja.”
Ardan hanya mengangguk, meskipun di matanya, Alia bisa melihat bahwa dia kecewa. Namun, ia juga bisa merasakan betapa besar rasa hormat Ardan terhadap keputusannya. Dia tidak ingin menjadi alasan Alia mengabaikan impiannya, tetapi pada saat yang sama, hatinya terasa hancur.
“Mungkin ini memang batasan yang kita miliki, Alia,” jawab Ardan pelan. “Mungkin kita harus terpisah dulu untuk menemukan apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup ini.”
Ketegangan di antara mereka terasa kental. Alia tahu bahwa keputusan yang baru saja ia buat akan mengubah banyak hal, tetapi ia juga tahu bahwa ada batasan yang tak bisa ia lewati—batasan yang mengajarkannya bahwa cinta dan ambisi mungkin tidak selalu bisa berjalan beriringan.*
Bab 4: Dua Dunia yang Bertabrakan
Alia duduk di meja kerjanya dengan pandangan kosong, menatap layar komputer yang penuh dengan spreadsheet dan email yang belum terbaca. Hari itu, semuanya terasa berjalan seperti biasa, namun ada kekosongan yang menggelayuti hatinya. Keputusan yang ia buat beberapa hari lalu—memilih kariernya dan meninggalkan perasaan terhadap Ardan—seolah membawa perubahan yang lebih besar dari yang ia kira. Di luar sana, dunia berjalan seperti biasa, namun di dalam dirinya, ada dua dunia yang terus bertabrakan.
Karier yang selama ini ia perjuangkan dengan keras, yang selalu menjadi fokus utamanya, kini terasa begitu sepi. Tawaran promosi yang dulunya begitu menggoda kini seakan terasa hampa. Alia merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak lagi memberi kebahagiaan. Setiap pencapaian yang ia raih tidak lagi memberi kepuasan seperti dulu. Bahkan, meskipun ia memiliki segala yang diinginkan—pekerjaan yang stabil, lingkungan yang mendukung, dan masa depan yang cerah—semuanya tampak begitu kosong tanpa adanya seseorang yang benar-benar bisa ia bagikan momen-momen itu.
Namun, saat malam tiba, bayangan Ardan kembali datang dalam pikirannya. Setiap kali ia berusaha mengabaikannya, wajah pria itu muncul, dengan senyumnya yang hangat dan tatapan matanya yang penuh perhatian. Alia merasa ada kerinduan yang tak terucapkan, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Ardan adalah bagian dari hidupnya yang ia pilih untuk tinggalkan, namun kenangan tentang pertemuan mereka tetap hidup, mengganggu setiap langkah yang ia ambil.
Pada suatu sore, beberapa hari setelah keputusan besar itu, Alia berjalan keluar dari kantornya, merasa lelah dengan segala hal yang mengharuskan dirinya untuk terus berpura-pura bahagia. Ia memutuskan untuk berjalan kaki di sepanjang trotoar, mencoba menenangkan pikirannya. Tiba-tiba, di persimpangan jalan, ia bertemu dengan seseorang yang tak pernah ia duga akan muncul—Ardan.
“Alia?” suara Ardan yang khas terdengar lembut. Alia menoleh dan mendapati pria itu berdiri di depannya, mengenakan jaket hitam dan tampak sedikit terkejut melihatnya. Matanya mencari-cari, seolah mencoba memahami situasi yang terjadi.
Alia terdiam beberapa detik, kemudian tersenyum tipis. “Ardan, aku… aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” katanya, merasa canggung meskipun hatinya berdebar lebih cepat dari yang ia harapkan.
Ardan tersenyum, meskipun ada keheningan di antara mereka. “Aku juga tidak menyangka. Tapi, aku senang kita bisa bertemu. Apakah kamu punya waktu untuk sekadar berbicara?”
Alia ragu sejenak. Ia tahu pertemuan ini bisa menjadi ujian besar bagi dirinya—pertarungan antara perasaannya dan keputusan yang telah ia buat. Namun, ada sesuatu dalam suara Ardan yang membuatnya merasa nyaman. Tanpa berkata apa-apa, ia akhirnya mengangguk dan mengikuti Ardan ke sebuah kafe terdekat.
Mereka duduk di meja yang agak tersembunyi di pojok kafe, memesan dua cangkir kopi. Suasana yang awalnya canggung perlahan berubah lebih santai. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal kecil, tetapi di balik percakapan ringan itu, ada ketegangan yang terus mengintai.
“Aku melihat kamu tampak sibuk belakangan ini,” kata Ardan setelah beberapa saat hening. “Kamu terlihat… tidak seperti dirimu yang biasanya.”
Alia terdiam. Perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan mulai muncul kembali. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa mengabaikan perasaan itu, meskipun sudah berusaha keras untuk menutupinya.
“Aku memang sibuk,” jawab Alia akhirnya. “Banyak yang harus diselesaikan, banyak keputusan besar yang harus aku buat.”
Ardan menatapnya, mengamati dengan seksama. “Dan keputusan itu… kamu merasa sudah benar, kan?”
Alia menundukkan kepala sejenak, merenung. “Aku merasa seperti aku sedang menjalani dua kehidupan yang berbeda. Satu kehidupan yang terstruktur, penuh dengan pekerjaan dan target yang harus dicapai. Tapi, ada bagian dari diriku yang merasa hampa. Aku memilih karierku, memilih jalan yang sudah aku rencanakan sejak lama, tetapi ada perasaan yang terus mengganggu. Perasaan itu tentang kamu, tentang kita.”
Kata-kata Alia menggantung di udara, seolah menggambarkan ketegangan yang terpendam di dalam dirinya. Ardan, yang mendengarnya, tampak terdiam, memikirkan setiap kata yang baru saja diucapkan. Di dalam hati, ia merasa dilema yang sama—antara perasaan terhadap Alia dan kenyataan bahwa mereka berdua memiliki dunia yang berbeda.
“Aku mengerti, Alia,” kata Ardan perlahan. “Kita memang datang dari dua dunia yang berbeda. Kamu memiliki ambisi yang besar, yang mungkin tidak bisa aku pahami sepenuhnya. Dan aku, aku… mungkin tidak seambisius itu. Aku lebih suka menikmati hidup, mengejar kebahagiaan dengan cara yang lebih sederhana.”
Alia menatapnya, sedikit terkejut. Ia tahu bahwa Ardan selalu tampak lebih santai, lebih terbuka terhadap perubahan. Namun, ia tidak tahu bahwa Ardan juga merasa bahwa dunia mereka berbeda—bahwa perasaan mereka memiliki batasan yang tidak bisa mereka langkahi begitu saja.
“Tapi, Alia, aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan memaksamu untuk memilih antara aku atau kariermu,” lanjut Ardan. “Aku menghargai keputusan yang kamu buat, meskipun itu berarti kita harus berpisah. Aku tahu, aku bukan orang yang bisa mengubah hidupmu. Tapi aku ingin kamu bahagia, meskipun itu tidak melibatkan aku.”
Kata-kata itu menghantam hati Alia dengan begitu keras. Ia merasa seperti ada yang hilang, sebuah bagian dari dirinya yang tiba-tiba terlepas. Ia tahu bahwa ia harus memilih, tetapi apakah benar-benar ada pilihan yang tepat? Dunia yang telah ia bangun selama ini—dunia yang penuh dengan pekerjaan dan tujuan yang jelas—bertabrakan dengan dunia yang baru saja ia temui bersama Ardan, dunia yang penuh dengan kebebasan dan cinta yang tulus.
“Ardan, aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Alia, suara terbata. “Aku merasa… aku merasa terjebak antara dua dunia yang sangat berbeda. Aku ingin mengejar impianku, tetapi aku juga tidak ingin kehilangan kesempatan untuk merasakan sesuatu yang lebih dalam bersama kamu.”
Ardan menggenggam tangan Alia dengan lembut, seolah memberikan kekuatan yang selama ini Alia cari. “Tidak ada yang harus kamu pilih sekarang, Alia. Hidup ini bukan tentang memilih antara dua hal, tetapi tentang memahami apa yang paling penting bagi dirimu sendiri.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini, keheningan itu terasa berbeda. Tidak ada lagi ketegangan yang membebani hati mereka. Mereka berdua tahu bahwa mereka berada di titik pertemuan yang sulit, tetapi mereka juga tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil akan membawa dampak besar bagi masa depan mereka.
Namun, satu hal yang pasti—dua dunia mereka memang bertabrakan, tetapi kadang-kadang, hal yang terbaik adalah menerima kenyataan bahwa dunia itu bisa berdampingan, meskipun dengan tantangan yang harus mereka hadapi bersama.*
Bab 5: Keputusan yang Membelah
Malam itu, Alia duduk sendirian di ruang tamunya, menatap kalender di dinding dengan tatapan kosong. Hatinya penuh dengan kebingungan yang semakin mendalam. Waktu terasa begitu cepat berlalu, dan kini keputusan besar yang harus ia buat semakin mendekat. Tawaran promosi yang sudah lama ia impikan itu telah menjadi kenyataan—ia hanya tinggal mengambilnya atau membiarkannya begitu saja. Namun, di sisi lain, perasaan terhadap Ardan yang terus berkembang menambah kerumitan. Dalam dirinya, ada dua jalan yang harus ditempuh, dan keduanya menawarkan janji akan kehidupan yang berbeda.
Hari itu, Alia kembali menerima telepon dari atasannya, yang semakin mendesaknya untuk segera memberikan jawaban mengenai tawaran promosi yang menantinya. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak datang dua kali. Tawaran itu membuka pintu bagi kariernya, mengarahkannya ke posisi yang lebih tinggi dengan tanggung jawab yang lebih besar. Tapi, dalam hati, ada rasa takut yang menggerogoti. Takut akan perubahan yang datang dengan keputusan itu. Takut bahwa ia akan kehilangan hal-hal yang lebih berharga dalam hidupnya jika memilih untuk mengejar ambisi semata.
Di sisi lain, Ardan masih ada dalam pikirannya. Setiap kali mereka bertemu, perasaan itu semakin nyata—perasaan yang tumbuh begitu kuat, begitu murni, namun terkadang terasa seperti beban. Mereka berdua sadar bahwa dunia mereka begitu berbeda. Alia dengan ambisinya yang jelas dan terstruktur, sementara Ardan dengan hidupnya yang lebih santai dan penuh dengan kebahagiaan sederhana. Mereka berdua tahu bahwa hubungan ini, meskipun penuh dengan perasaan, tetap menghadapi banyak tantangan.
Sore itu, setelah menerima telepon dari atasannya, Alia merasa semakin terpojok. Ia memutuskan untuk bertemu dengan Ardan. Mungkin, berbicara dengan orang yang selama ini membuatnya merasa nyaman dapat membantu menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Ia menghubungi Ardan, dan tak lama kemudian, mereka bertemu di kafe kecil yang menjadi tempat favorit mereka.
Ardan duduk menunggunya di sudut kafe, dengan senyum tipis yang terukir di wajahnya saat melihat Alia datang. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang mungkin membuat Alia merasa semakin terjebak. “Kamu terlihat berbeda, Alia,” kata Ardan pelan, matanya memperhatikan ekspresi Alia yang tampak lebih serius dari biasanya.
Alia duduk di depannya, menarik napas dalam-dalam. “Aku merasa terjebak, Ardan. Aku benar-benar merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak bisa aku hindari. Tawaran promosi itu… itu adalah kesempatan yang sangat besar untukku, tetapi di sisi lain, aku juga merasa ada yang hilang jika aku mengambilnya.”
Ardan mengangguk, memahami perasaan Alia. “Aku mengerti. Terkadang, kesempatan besar datang begitu tiba-tiba, dan kita harus memutuskan apakah kita siap untuk itu. Tetapi, kamu tahu, kadang-kadang hal-hal besar itu datang dengan pengorbanan.”
Kata-kata Ardan membuat Alia terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud oleh Ardan. Jika ia menerima tawaran itu, hidupnya akan berubah drastis. Karier yang lebih cemerlang, gaji yang lebih besar, tetapi ia juga harus mengorbankan banyak hal—termasuk waktu untuk dirinya sendiri dan hubungan dengan orang-orang yang ia cintai. Dan Ardan, meskipun begitu penting bagi Alia, tampaknya tidak bisa sepenuhnya menjadi bagian dari dunia yang ia tuju.
“Aku merasa seperti harus memilih antara aku dan karierku,” lanjut Alia, suara terdengar serak. “Aku tahu aku sudah memilih karier sebelumnya, tetapi aku tidak bisa menahan perasaan ini terhadapmu, Ardan. Aku tahu kita datang dari dua dunia yang sangat berbeda. Aku takut jika aku memilih untuk tetap bersama kamu, aku akan kehilangan kesempatan yang sangat besar dalam hidupku. Tapi jika aku memilih karier, aku takut aku akan kehilangan kebahagiaan yang datang dari perasaan ini. Aku merasa seperti… aku akan kehilangan semuanya.”
Ardan menatapnya dengan penuh perhatian. Wajahnya tenang, namun matanya menunjukkan bahwa ia merasakan kesedihan yang sama. “Alia, aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Aku tidak ingin kamu memilih antara aku dan kariermu. Kamu harus memutuskan apa yang benar-benar kamu inginkan dalam hidup ini. Tidak ada jawaban yang mudah, dan aku tidak bisa memberimu jawaban itu. Tapi aku ingin kamu bahagia, apapun keputusanmu.”
Alia merasa berat di dadanya. Kata-kata Ardan memang penuh dengan kebijaksanaan, tetapi itu justru semakin membuatnya merasa bingung. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia harus membuat pilihan, tetapi semuanya terasa begitu sulit. Dunia yang telah ia bangun dengan susah payah—dunia yang penuh dengan ambisi dan kerja keras—bertabrakan dengan dunia yang ditawarkan oleh Ardan, dunia yang penuh dengan kebahagiaan yang sederhana dan penuh cinta. Ia harus memilih salah satunya, tetapi tak satu pun yang ingin ia lepaskan.
Malam itu, setelah pertemuan dengan Ardan, Alia kembali pulang dengan perasaan yang semakin berat. Ia berjalan menyusuri lorong-lorong kosong di apartemennya, menyadari bahwa hidupnya sekarang dipenuhi dengan keputusan yang tidak bisa ia hindari. Ia memandang dirinya di cermin, mencoba mencari jawaban di balik mata yang lelah, di balik wajah yang kini tampak lebih tua dari umur sebenarnya. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Apa yang benar-benar membuatnya bahagia?
Pada pagi hari berikutnya, Alia duduk di meja kerjanya, kembali dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan email yang belum terbaca. Ia menerima telepon dari atasannya lagi, menanyakan apakah ia sudah membuat keputusan mengenai tawaran promosi tersebut. Sekali lagi, pertanyaan itu membuat hatinya berdegup kencang. Ia harus memilih, dan kali ini, ia tahu bahwa pilihannya akan membelah hidupnya menjadi dua bagian yang terpisah.
Ia menutup telepon dengan satu keputusan yang ia ambil dengan hati yang berat. Ia memilih untuk menerima tawaran promosi itu. Keputusan yang terasa seperti sebuah pengorbanan besar—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Ardan. Ia tahu bahwa dengan memilih karier, ia harus melepaskan perasaan itu, melepaskan hubungan yang telah tumbuh begitu dalam di hatinya.
Namun, meskipun keputusan itu membuat hatinya terluka, Alia merasa bahwa itu adalah pilihan yang paling rasional. Karier adalah masa depannya, dan ia tahu bahwa ia tidak bisa menoleh ke belakang lagi. Dunia yang ia tuju adalah dunia yang telah ia kenal, dunia yang lebih aman, lebih terstruktur. Ardan, meskipun ia mencintainya, bukan bagian dari dunia itu. Mungkin ini adalah keputusan yang membelah hidupnya menjadi dua—dua dunia yang tidak akan pernah bisa menyatu.
Dengan hati yang berat, Alia menatap ke depan, mencoba menerima kenyataan bahwa jalan hidupnya kini harus berpisah dengan seseorang yang begitu berarti baginya. Namun, di balik segala perasaan yang terluka, ada satu hal yang jelas dalam pikirannya: keputusan ini adalah titik awal dari perjalanan baru, meskipun terasa seperti mengorbankan sesuatu yang tak bisa ia ganti.*
Bab 6: Dua yang Terpisah
Hari-hari setelah keputusan besar itu terasa begitu hampa bagi Alia. Ia terus bekerja dengan penuh semangat, berusaha menenggelamkan dirinya dalam rutinitas yang padat, namun sesuatu dalam hatinya terasa kosong. Meskipun ia berhasil mendapatkan promosi yang selama ini diimpikannya, hidupnya tidak lagi semenyenangkan dulu. Karier yang seharusnya menjadi kebanggaan kini terasa seperti sebuah beban yang semakin berat. Ia tahu bahwa ia telah membuat pilihan yang benar secara profesional, namun perasaan di dalam dirinya selalu kembali pada satu titik—Ardan.
Keputusan untuk meninggalkan Ardan, meskipun dipenuhi dengan niat baik, tetap saja menyisakan luka yang sulit sembuh. Setiap kali ia berjalan di sekitar kota atau melihat tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, bayangan Ardan muncul begitu jelas. Kenangan-kenangan itu, meskipun manis, justru semakin membuat hatinya teriris. Ia merasa seolah telah kehilangan bagian dari dirinya yang tak bisa tergantikan. Dunia yang telah ia pilih—dunia yang lebih terfokus pada ambisi dan pencapaian—tampak semakin jauh dari kebahagiaan yang dulu ia rasakan.
Di sisi lain, Ardan menjalani hidupnya tanpa ada banyak perubahan. Setelah mendengar keputusan Alia, ia memutuskan untuk mundur perlahan, memberi ruang bagi Alia untuk tumbuh dalam dunia yang telah ia pilih. Meskipun hatinya juga terluka, ia tahu bahwa ia tidak bisa memaksa Alia untuk mengikuti jalannya. Ardan adalah pria yang lebih memilih kebahagiaan sederhana dan tidak menginginkan kehidupan yang penuh dengan tekanan. Ia mengerti bahwa Alia adalah sosok yang membutuhkan ruang untuk berkembang, dan meskipun ia mencintainya, ia tidak ingin menjadi penghalang dalam perjalanan hidupnya.
Namun, meskipun ia berusaha untuk menerima kenyataan itu, Ardan tetap merasakan kekosongan yang sama. Setiap kali ia melihat orang-orang di sekitarnya yang tampak bahagia dengan pasangan mereka, hatinya kembali teringat pada Alia. Ia merasa kehilangan, meskipun ia tahu bahwa keputusan itu adalah yang terbaik bagi mereka berdua. Terkadang, ia berjalan sendirian di malam hari, menyusuri jalan-jalan kota yang dulu sering ia lewati bersama Alia. Ia masih bisa mendengar suara tawa mereka, masih bisa merasakan sentuhan tangan Alia yang lembut. Semua itu kini hanya kenangan yang semakin memudar, namun tetap meninggalkan bekas yang mendalam.
Suatu hari, beberapa bulan setelah perpisahan mereka, Ardan mendapatkan kesempatan untuk bepergian ke luar kota untuk pekerjaan. Ia merasa bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk melupakan segala hal yang mengikatnya pada masa lalu. Ia berharap dengan berada jauh dari kota, jauh dari kenangan tentang Alia, ia bisa menemukan kedamaian. Namun, saat ia tiba di kota tempat ia akan bekerja, kenyataan kembali menghantamnya. Di tengah-tengah keramaian, ia tanpa sengaja bertemu dengan seorang wanita yang mengenakan gaun biru yang tampak begitu familiar di matanya. Alia.
Alia berdiri di depan kafe kecil di sudut jalan, tampak sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Rambutnya yang panjang tergerai dengan anggun, dan meskipun penampilannya terlihat lebih dewasa dan lebih serius dari sebelumnya, Ardan bisa melihat kilau yang sama di matanya. Tiba-tiba, mata mereka bertemu, dan dunia seakan berhenti sejenak. Alia tampak terkejut melihat Ardan di sana, dan meskipun ada jarak yang terasa begitu jauh di antara mereka, ada perasaan yang masih mengikat mereka—perasaan yang tak bisa diabaikan begitu saja.
“Ardan?” suara Alia terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Ia menurunkan ponselnya dan berjalan mendekati Ardan. Hatinya berdebar-debar, mencampur aduk antara kebingungan dan keinginan untuk lari. “Apa… apa kamu di sini?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar, berusaha menutupi perasaan yang muncul begitu mendalam.
Ardan tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa pedih. “Aku baru saja sampai. Sepertinya tak sengaja bertemu di sini.” Ia mencoba terdengar tenang, meskipun setiap kata yang ia ucapkan terasa berat. “Kamu terlihat baik-baik saja.”
Alia terdiam, melihat Ardan dengan pandangan yang tak bisa ia ungkapkan. Ada kerinduan yang begitu dalam, namun di sisi lain, ia tahu bahwa mereka berdua sudah memilih jalan yang berbeda. Waktu dan jarak telah memisahkan mereka, dan tidak ada cara untuk mengembalikan semuanya seperti semula.
“Mungkin kita perlu berbicara,” kata Ardan akhirnya, suara itu lebih lembut dari yang ia rencanakan. “Aku tahu kita sudah berpisah, Alia. Tapi, aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah menyesali keputusan yang kita buat, meskipun aku merindukanmu. Aku ingin kamu bahagia, meskipun itu bukan dengan aku.”
Alia menatapnya dengan mata yang berkilat, mencoba menahan air mata yang hampir keluar. Perasaan itu begitu kuat, namun ia tahu bahwa mereka sudah terpisah. Dunia yang mereka jalani sekarang sudah terlalu berbeda. “Ardan, aku… aku tidak tahu apa yang harus aku katakan,” ujarnya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku merindukanmu juga. Aku merindukan kita—tapi aku tahu bahwa aku harus melanjutkan hidupku dengan cara yang berbeda. Keputusan yang aku ambil, meskipun sulit, adalah jalan yang harus aku tempuh.”
Mereka berdiri di sana, dalam diam yang panjang. Alia merasa berat di dadanya. Keputusan yang ia buat untuk mengejar kariernya, untuk meninggalkan Ardan demi masa depan yang lebih cerah, ternyata bukanlah keputusan yang semudah yang ia bayangkan. Ia merasa bahwa meskipun ia sudah memilih, ada bagian dari dirinya yang terus meronta-ronta, meminta agar ia kembali pada apa yang benar-benar ia inginkan—kepada Ardan, kepada kebahagiaan yang dulu mereka bagi bersama.
Ardan, dengan segala perasaan yang masih ada, hanya mengangguk perlahan. “Aku mengerti, Alia. Aku tidak bisa memaksamu untuk kembali. Kita memang sudah berpisah, dan mungkin itu yang terbaik untuk kita berdua. Tapi, aku ingin kamu tahu, bahwa aku akan selalu ada untukmu, meskipun kita terpisah.”
Air mata mulai mengalir di pipi Alia. Ia tidak bisa lagi menahan perasaan itu. Ia tahu bahwa apa yang mereka hadapi sekarang adalah kenyataan yang tak bisa diputar kembali. Mereka berdua kini berjalan di jalan yang berbeda, jalan yang tidak akan pernah saling bertemu lagi.
“Mungkin ini yang terbaik, Ardan,” bisik Alia, suaranya hampir tak terdengar di antara keramaian kota. “Mungkin kita memang terpisah untuk selamanya.”
Dengan satu pelukan singkat, mereka berpisah tanpa kata-kata lagi. Alia melangkah pergi, sementara Ardan berdiri diam, menatap punggungnya yang semakin jauh. Mereka tahu, bahwa meskipun cinta itu ada, ada kalanya hidup membawa mereka ke arah yang berbeda—dan terkadang, keputusan yang membelah itu memang harus diterima dengan hati yang penuh kepedihan.
Kini, mereka adalah dua yang terpisah—masing-masing berjuang dengan dunia mereka sendiri, mengingat satu sama lain hanya sebagai kenangan yang sulit untuk dilupakan.*
Bab 7: Pengorbanan dan Kebahagiaan
Hari-hari berlalu dengan cepat bagi Alia. Seiring berjalannya waktu, ia semakin tenggelam dalam dunia barunya. Karier yang kini berada di jalur yang lebih tinggi memberinya banyak tantangan dan penghargaan, namun di balik itu semua, ada kekosongan yang tidak bisa ia penuhi dengan sukses semata. Meskipun ia sering kali merasa bangga dengan pencapaian-pencapaiannya, hatinya selalu teringat pada Ardan. Ia tahu bahwa keputusan untuk mengejar ambisinya bukanlah keputusan yang ringan. Itu adalah pengorbanan, pengorbanan yang mengharuskan ia melepaskan bagian dari dirinya yang ia cintai.
Di tempat yang lain, Ardan menjalani hidupnya dengan cara yang lebih sederhana. Ia tidak menginginkan hidup yang penuh dengan pencapaian besar, tetapi ia juga tidak bisa menahan perasaan kehilangan yang terus menghantuinya. Meskipun ia berusaha untuk melanjutkan hidup, kenangan tentang Alia tetap ada, seakan tak bisa dihapuskan begitu saja. Di antara pekerjaannya yang santai dan kehidupannya yang lebih bebas, ada bagian dari dirinya yang selalu merindukan kehangatan yang pernah mereka bagi bersama.
Alia kini menjalani rutinitas yang penuh dengan kesibukan. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor, berhadapan dengan rapat-rapat penting dan proyek-proyek besar yang menuntut segala perhatiannya. Ia tahu bahwa kariernya adalah bagian dari dirinya yang tak bisa digantikan, tetapi ada saat-saat di mana kesendirian itu begitu terasa. Meskipun ia dikelilingi oleh rekan-rekan kerja dan teman-teman baru, ia tetap merasa ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh kesuksesan semata. Kebahagiaan yang selama ini ia cari dalam pekerjaan, ternyata tak bisa mengusir rasa rindu yang ia rasakan terhadap Ardan.
Suatu sore, saat Alia sedang berada di kantornya, sebuah pesan masuk di ponselnya. Itu adalah pesan dari Ardan.
“Alia, aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku bahagia melihatmu sukses. Aku tidak pernah menginginkanmu untuk memilih antara aku dan kariermu. Tetapi aku juga ingin kamu tahu bahwa aku masih merindukan kita. Meski aku tahu kita tak bisa kembali, aku berharap kamu menemukan kebahagiaan yang seharusnya.”
Membaca pesan itu, hati Alia terasa terbakar. Perasaan yang ia pendam begitu lama kembali muncul ke permukaan. Ardan masih merindukannya. Meskipun mereka sudah berpisah dan menjalani hidup masing-masing, perasaan itu tetap ada. Pesan singkat itu, meskipun sederhana, membuka kembali luka yang sudah ia coba tutup rapat-rapat. Alia merasa seakan dunia yang ia bangun runtuh begitu saja. Ia tahu bahwa Ardan bukan hanya bagian dari masa lalunya, tetapi juga bagian dari hatinya yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.
Namun, di balik perasaan itu, ada satu hal yang Alia sadari—keputusan yang ia ambil memang penuh dengan pengorbanan, tetapi itu adalah pilihan yang harus ia jalani. Ia harus terus melangkah maju, meskipun jalan itu penuh dengan kerinduan. Karier yang ia impikan selama ini kini ada di tangannya, dan ia tidak bisa membiarkan diri tergoyahkan oleh perasaan yang datang dari masa lalu.
Pada malam itu, Alia memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Ardan. Sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama setelah hari-hari yang panjang. Alia duduk di meja yang biasa mereka tempati, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Sebuah perasaan hampa menyelimuti dirinya, namun ia tahu bahwa inilah harga dari pengorbanannya. Ia telah memilih jalannya, dan sekarang ia harus menerima segala konsekuensinya.
Tak lama setelah itu, seorang pelayan mendekati meja Alia dan memberinya secangkir kopi. Alia tersenyum tipis, berterima kasih, dan mulai menyesap kopi itu dengan perlahan. Namun, saat ia menatap ke luar jendela, ia melihat seseorang yang tak asing—Ardan. Ia berdiri di luar kafe, memandangnya dengan tatapan penuh arti. Matanya menyiratkan kesedihan, namun juga pengertian. Mereka berdua saling berpandangan dalam diam, seakan ada seribu kata yang tak terucapkan di antara mereka.
Setelah beberapa saat, Ardan akhirnya masuk ke dalam kafe dan duduk di meja yang tidak jauh dari Alia. Mereka saling menatap, dan Alia merasakan bahwa meskipun mereka terpisah oleh waktu dan keputusan, perasaan itu masih ada di antara mereka.
“Ardan,” kata Alia, suara itu terdengar lebih lembut dari yang ia rencanakan. “Aku… aku membaca pesanmu. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan.”
Ardan mengangguk perlahan, mengerti bahwa kata-kata tidak akan mengubah apapun. “Aku tahu kamu menjalani hidupmu dengan baik, Alia. Aku tidak pernah menyesal atas apa yang kita pilih, meskipun aku merindukanmu. Aku ingin kamu bahagia, apapun yang terjadi. Aku tahu bahwa kamu sudah memilih jalanmu, dan aku akan selalu menghormati itu.”
Mereka berbicara dalam bisikan yang hampir tak terdengar. Kata-kata mereka begitu penuh makna, namun di baliknya ada kenyataan pahit yang tak bisa dihindari. Mereka berdua telah memilih jalan yang berbeda, dan meskipun perasaan itu masih ada, mereka tidak bisa kembali ke masa lalu. Kebahagiaan yang mereka cari harus ditemukan di jalan yang berbeda, meskipun itu harus dicapai dengan pengorbanan.
“Aku merasa kehilangan,” kata Alia dengan suara serak. “Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa menoleh ke belakang. Aku telah membuat keputusan, dan aku harus menjalani hidupku dengan pilihan itu.”
Ardan tersenyum kecil, meskipun senyum itu tampak dipaksakan. “Kebahagiaan itu bukan tentang kembali ke masa lalu, Alia. Kebahagiaan itu tentang menerima pilihan kita dan menemukan kedamaian dalam perjalanan kita. Aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu mendukungmu, meskipun kita tak bisa bersama.”
Mereka duduk bersama dalam keheningan yang panjang, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Alia tahu bahwa pengorbanannya bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi itu adalah pilihan yang harus ia jalani. Ia harus menerima bahwa hidupnya kini berbeda, dan meskipun ada rasa kehilangan yang mendalam, ia juga harus menghargai kebahagiaan yang bisa ia temukan di dalam dirinya sendiri.
Ardan bangkit dari kursinya, memberikan senyum terakhir kepada Alia sebelum berbalik dan pergi. Alia menatapnya pergi, merasakan perasaan campur aduk di dalam hatinya. Ia tahu bahwa ia harus terus melangkah, meskipun perasaan itu akan selalu ada di dalam hatinya. Pengorbanan dan kebahagiaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Terkadang, untuk menemukan kebahagiaan yang sejati, kita harus rela melepaskan sesuatu yang sangat kita cintai.
Pada akhirnya, Alia mengerti bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan oleh orang lain. Kebahagiaan sejati datang dari dalam diri kita sendiri, dan meskipun perjalanan hidupnya penuh dengan pengorbanan, ia tahu bahwa ia akan menemukan kebahagiaan dalam jalannya yang baru.*
Bab 8: Dua yang Utuh
Waktu berlalu, dan meskipun perjalanan hidup Alia dan Ardan telah membawa mereka ke tempat yang berbeda, ada satu hal yang tetap sama—kenangan. Kenangan tentang mereka yang dulu pernah bersama, kenangan tentang cinta yang tak pernah bisa sepenuhnya dilupakan. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya mulai memahami bahwa mereka tidak lagi bisa hidup hanya dengan mengenang masa lalu. Mereka harus terus melangkah maju, meskipun jalan yang mereka pilih kini berbeda.
Alia semakin nyaman dengan hidup barunya. Kariernya semakin cemerlang, dan ia mulai merasa bahwa hidupnya memiliki arti yang lebih besar. Setiap hari, ia bekerja keras, menghadapi tantangan, dan meraih kesuksesan. Namun, meskipun pencapaian itu memberikan kepuasan tersendiri, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong. Karier yang cemerlang dan segala hal yang ia raih seakan tidak cukup untuk mengisi kekosongan yang ada di dalam hatinya. Terkadang, saat malam tiba dan ia sendirian, perasaan rindu itu datang begitu kuat. Ia merindukan kedamaian yang pernah ia rasakan bersama Ardan.
Namun, meskipun perasaan itu ada, Alia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam masa lalu. Ia harus melanjutkan hidupnya, apapun yang terjadi. Ia harus menerima bahwa ada saat-saat dalam hidup ketika kita harus melepaskan sesuatu yang sangat kita cintai demi mencapai sesuatu yang lebih besar. Meskipun itu berarti meninggalkan Ardan, meskipun itu berarti menjalani hidup seorang diri, Alia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus ia tempuh.
Ardan, di sisi lain, telah menemukan kedamaian dalam hidupnya. Setelah pertemuan terakhir mereka, ia merasa bahwa ada suatu beban yang terangkat dari hatinya. Meskipun perasaan cinta itu masih ada, ia tahu bahwa ia harus melanjutkan hidup tanpa mengikat dirinya pada masa lalu. Ia mulai mengejar impian-impian yang dulu sempat ia lupakan, mulai menikmati hidupnya dengan cara yang lebih sederhana, tanpa tekanan dan ekspektasi yang tinggi. Ardan sadar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari pencapaian besar atau dari memiliki segala yang kita inginkan. Kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil, dalam kesederhanaan, dan dalam menjalani hidup dengan penuh rasa syukur.
Namun, meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, Ardan tidak bisa menghindari kenyataan bahwa perasaan terhadap Alia masih ada. Setiap kali ia melihat pasangan-pasangan lain yang tampak bahagia bersama, hatinya kembali teringat pada Alia. Tetapi ia juga tahu bahwa hidup mereka kini berjalan di jalur yang berbeda, dan meskipun ia mencintainya, ia tidak bisa memaksakan perasaan itu. Ia harus membiarkan Alia menemukan kebahagiaannya sendiri, seperti halnya ia harus menemukan kebahagiaannya sendiri.
Suatu hari, tak terduga, mereka bertemu lagi. Tidak ada yang merencanakan pertemuan itu, namun entah bagaimana, takdir membawa mereka kembali berhadap-hadapan. Alia sedang berjalan menuju sebuah acara penting ketika ia melihat Ardan di sudut jalan. Ia terkejut, namun tidak bisa menahan diri untuk mendekatinya. Ardan tersenyum tipis ketika melihatnya, dan mereka berdua saling bertukar pandang.
“Kamu di sini?” tanya Alia, suaranya terasa canggung namun ada kebahagiaan yang tersembunyi di dalamnya. Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi melihat Ardan di hadapannya mengingatkannya pada begitu banyak hal.
Ardan tersenyum, mengangguk. “Ya, aku sedang ada urusan di sini. Tidak menyangka bisa bertemu kamu.”
Mereka berdua berdiri di sana dalam keheningan, seakan menikmati momen yang jarang terjadi. Begitu banyak waktu yang telah berlalu, dan meskipun keduanya sudah berubah, ada satu hal yang tetap tidak berubah—perasaan yang masih ada di antara mereka.
“Aku… aku baik-baik saja, Ardan,” kata Alia akhirnya, mencoba memecahkan kebisuan itu. “Aku sudah cukup menerima semua yang terjadi, dan aku tahu sekarang apa yang harus aku lakukan.”
Ardan menatapnya dengan tatapan lembut, seolah mencoba membaca apa yang ada di balik kata-katanya. “Aku tahu. Aku juga sudah menerima kenyataan bahwa kita harus menjalani hidup masing-masing. Mungkin kita tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi aku selalu berharap kamu menemukan kebahagiaan yang pantas kamu dapatkan.”
Alia mengangguk, senyum kecil terukir di wajahnya. Ia tahu bahwa apa yang Ardan katakan adalah kebenaran. Mereka berdua telah menjalani perjalanan hidup yang sangat berbeda, dan meskipun ada banyak kenangan indah, mereka harus terus maju. Namun, perasaan itu tidak bisa dipadamkan begitu saja. Mereka tetap saling menghargai, meskipun sudah tidak ada lagi tempat untuk mereka bersama seperti dulu.
“Ardan,” kata Alia dengan suara yang penuh pengertian, “aku rasa kita sudah mencapai titik di mana kita bisa menjadi dua yang utuh. Aku tahu sekarang bahwa kita memang tidak lagi saling memiliki, tetapi itu bukan berarti kita tidak bisa bahagia. Kita sudah menemukan jalan kita masing-masing, dan itu sudah cukup.”
Ardan tersenyum lebar, dan untuk pertama kalinya sejak perpisahan mereka, ia merasa ada kedamaian yang mengalir dalam dirinya. “Aku juga merasa seperti itu, Alia. Kita memang berbeda, tapi kita tetap bisa bahagia dengan cara kita sendiri. Mungkin, inilah yang seharusnya terjadi.”
Mereka berdua berdiri di sana, dalam diam, tetapi kali ini tidak ada kesedihan yang mengisi ruang di antara mereka. Hanya ada kedamaian, dan pengertian yang dalam. Mereka tidak lagi saling membutuhkan untuk lengkap, karena mereka sudah menemukan kedamaian dalam diri mereka sendiri. Mereka adalah dua yang utuh—bukan karena mereka bersama, tetapi karena mereka telah menerima diri mereka sepenuhnya.
Alia mengulurkan tangan, dan Ardan menyambutnya dengan tangan yang penuh pengertian. Mereka berjabat tangan dengan lembut, tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi. Mereka telah menemukan kebahagiaan dalam perpisahan, dalam pengorbanan yang mereka buat, dan dalam hidup yang telah mereka pilih.
“Semoga kamu selalu bahagia, Ardan,” kata Alia, matanya berbinar dengan ketulusan.
Ardan mengangguk, matanya juga dipenuhi dengan rasa yang sama. “Semoga kamu juga, Alia.”
Dan dengan itu, mereka berpisah sekali lagi. Kali ini, bukan dengan perasaan terluka, tetapi dengan rasa syukur. Mereka telah menjalani perjalanan hidup yang panjang, dan meskipun mereka tidak lagi bersama, mereka tahu bahwa keduanya telah menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri—dua yang utuh, masing-masing mencari kebahagiaannya, namun tetap saling menghargai dalam cara yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Mereka adalah dua jiwa yang pernah bersatu, namun kini berjalan di jalan yang berbeda, dengan penuh kedamaian di hati mereka masing-masing.***
———–THE END———-