Bab 1: Bayangan di Wat Arun
Lara baru saja mendarat di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, Thailand, dengan tujuan meliput cerita yang cukup menarik: Wat Arun, kuil yang dikenal sebagai salah satu simbol kebanggaan negara ini. Meski banyak orang yang menganggapnya hanya sebagai destinasi wisata, Lara merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan arsitektur yang ditawarkan kuil ini.
Sejak mendarat, perasaan yang tak bisa dijelaskan menyelimuti dirinya. Mungkin itu hanya kelelahan perjalanan panjang, atau mungkin karena cerita-cerita aneh yang ia dengar mengenai kuil itu. Namun, rasa penasaran Lara terus membangkitkan semangatnya. Ia ingin membuktikan bahwa cerita-cerita mistis yang beredar bukanlah hal yang hanya bisa diceritakan oleh orang-orang yang percaya pada takhayul.
Saat ia tiba di Wat Arun, suasana senja menyelimuti tempat tersebut. Cahaya matahari yang redup memantul dari ubin keramik yang menutupi menara kuil, menciptakan pemandangan yang memesona. Lara terpesona oleh keindahan arsitektur yang memukau. Namun, ada sesuatu yang janggal, sebuah aura yang melingkupi kuil tersebut. Sesuatu yang lebih gelap dan tak terlihat.
Lara disambut oleh Somchai, seorang pemandu lokal yang telah bertugas selama lebih dari dua puluh tahun di sekitar kuil. Somchai, seorang pria tua dengan tubuh kurus dan mata yang tajam, langsung memperkenalkan dirinya dan menawarkan untuk memandu Lara berkeliling kuil.
“Anda mungkin akan terpesona dengan keindahannya,” kata Somchai, berjalan di samping Lara. “Tapi ada cerita lain yang tak banyak orang tahu. Orang-orang yang datang pada malam hari seringkali merasa tidak nyaman. Mereka mengaku melihat bayangan-bayangan yang bergerak tanpa ada orang di sana.”
Lara mengangkat alis, merasa skeptis. “Bayangan-bayangan? Maksud Anda hantu?”
Somchai mengangguk perlahan. “Bukan hanya itu. Ada yang hilang di sini, bertahun-tahun lalu. Orang-orang yang mencarinya tidak pernah menemukan apa pun. Ada yang bilang dia masih ada di sini, terjebak di antara dunia ini dan dunia lain.”
Lara merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan cerita Somchai. “Siapa orang itu? Apa yang terjadi padanya?”
Somchai berhenti sejenak di depan patung Buddha besar yang berada di bagian belakang kuil, tatapannya menjadi lebih serius. “Namanya Chatri. Seorang arsitek muda. Dia datang untuk melihat restorasi kuil, namun ia menghilang tanpa jejak sepuluh tahun yang lalu. Beberapa orang mendengar cerita aneh tentangnya. Mereka bilang dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.”
Mata Lara terbuka lebar. Sebagai seorang jurnalis, ia sudah terbiasa dengan cerita-cerita mistis. Namun, ini berbeda. Sesuatu tentang Wat Arun membuatnya merasa seperti ada yang mengintai, sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan. Apakah ada kebenaran di balik cerita yang diceritakan Somchai? Lara merasa semakin tertarik.
Somchai melanjutkan, “Terkadang, pengunjung merasa ada sesuatu yang mengawasi mereka di sini, terutama di dekat patung Buddha besar. Banyak yang merasa seakan mereka dibuntuti, bahkan saat tidak ada seorang pun di sekitar.”
Lara menatap patung Buddha besar yang terletak di tengah halaman kuil. Dari sudut matanya, ia bisa melihat sesuatu yang bergerak di antara bayang-bayang yang membentuk tembok-tembok kuil. Namun, saat ia menoleh, tak ada siapa-siapa.
“Apakah Anda merasa itu juga?” tanya Somchai, dengan nada lembut namun tajam.
Lara tidak bisa menyembunyikan rasa cemas yang mulai menguasai dirinya. “Saya… saya rasa saya harus melihatnya lebih dekat.”
Somchai tersenyum samar. “Mungkin lebih baik Anda melakukannya pada siang hari. Malam ini, cuaca bisa sangat berubah.”
Namun, rasa penasaran Lara lebih kuat daripada rasa takut. “Saya ingin melihatnya malam ini. Saya ingin memahami lebih banyak tentang cerita ini.”
Somchai tidak membantah. “Baiklah, tapi ingat, Lara. Ada hal-hal yang lebih baik tidak diungkapkan.”
Malam mulai turun, dan Wat Arun tampak berbeda. Kuil itu tak lagi tampak seperti tempat wisata yang ramai, namun berubah menjadi tempat yang penuh dengan kesunyian yang tak tertandingi. Tiga ratus patung Buddha, masing-masing menyimpan kisah dan doa, kini tampak seperti penjaga yang tak bisa didekati.
Lara melangkah pelan menuju bagian belakang kuil, tempat patung Buddha besar berdiri megah. Suara langkah kakinya bergema pelan di sepanjang jalan batu yang dingin. Saat ia mencapai ujung tangga, angin sepoi-sepoi meniupkan aroma kemenyan yang kuat, seakan memberikan tanda bahwa ia telah memasuki ruang yang berbeda.
Di sinilah ia merasa pertama kali merasakan kehadiran itu. Bayangan yang bergerak cepat di sudut matanya. Sesuatu yang tak bisa dilihat sepenuhnya, namun jelas ada. Lara menoleh, namun tak ada apa-apa di sana.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar—ringan, namun jelas—seperti ada seseorang yang mengikutinya. Dengan cepat, Lara berbalik, tetapi hanya menemukan kesunyian. Namun, bayangan itu semakin jelas. Sesuatu bergerak di balik patung Buddha besar, tepat di belakangnya.
Lara menggenggam kameranya, berusaha untuk tetap tenang. “Ini hanya permainan cahaya,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha menenangkan diri.
Namun, ketika ia memotret dengan kamera, gambar yang muncul di layar kamera tampak aneh. Ada sebuah sosok samar berdiri di sudut, memandangnya dengan mata kosong yang tak terlihat oleh mata telanjang.
Itulah saat pertama kalinya Lara merasa bahwa cerita Somchai mungkin bukan sekadar mitos. Ada sesuatu yang lebih besar yang menunggu untuk diungkap.*
Bab 2: Misteri Pria Hilang
Keheningan malam menyelimuti Wat Arun, dan Lara merasa tubuhnya semakin tegang. Setelah pengalamannya yang menakutkan di dekat patung Buddha besar, rasa ingin tahu yang menggebu membawanya lebih dalam ke dalam misteri yang belum terungkap. Namun, saat ia berjalan kembali menuju pemanduannya, Somchai, pikirannya terjebak pada satu nama: *Chatri*.
Lara tidak bisa mengusir bayangan wajah pria itu dari pikirannya. Chatri, arsitek muda yang menghilang sepuluh tahun yang lalu. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Mengapa kisahnya masih bergaung di kalangan penduduk lokal, meskipun sudah begitu lama?
Keesokan harinya, Lara memutuskan untuk melanjutkan pencariannya. Setelah berbincang dengan Somchai, ia mengetahui bahwa banyak orang yang sudah berusaha untuk menyelidiki hilangnya Chatri. Namun, semua usaha mereka berakhir dengan kegagalan. Tidak ada bukti, tidak ada jejak. Semua yang tersisa hanya cerita-cerita dan rumor yang mulai kabur.
Satu-satunya orang yang mungkin bisa memberinya informasi lebih lanjut adalah keluarga Chatri. Lara memutuskan untuk mengunjungi rumah keluarga itu, yang terletak di pinggiran kota Bangkok. Setelah perjalanan panjang, ia tiba di sebuah rumah sederhana yang tampak sepi. Di depan rumah, seorang wanita tua berdiri, dengan wajah yang lelah dan matanya yang penuh kecemasan. Itu adalah ibu Chatri.
“Ibu Chatri?” tanya Lara dengan suara lembut.
Wanita itu mengangguk perlahan. “Anda datang untuk bertanya tentang anak saya, bukan?”
Lara merasakan betapa besar kesedihan yang terkandung dalam mata wanita itu. “Saya ingin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi pada Chatri. Apa yang sebenarnya terjadi padanya di Wat Arun?”
Wanita itu terdiam sejenak, seolah-olah mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Chatri… dia bukan hanya seorang arsitek. Dia sangat tertarik dengan hal-hal yang tak bisa dijelaskan, terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan spiritualitas dan dunia arwah. Dia percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar apa yang terlihat di dunia ini.”
Lara mendekat, memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibir wanita itu. “Jadi, dia percaya pada hal-hal gaib?”
Wanita itu mengangguk pelan. “Ya. Dia sering mengatakan kepada saya bahwa ada sesuatu yang mengawasinya. Dia merasa seolah-olah sesuatu yang besar dan gelap sedang mengincarnya. Sebelum dia hilang, dia sempat bercerita tentang bayangan yang mengikuti langkahnya di Wat Arun. Dia takut… takut sekali.”
Lara mendengar penuturan itu dengan serius. Ternyata, apa yang diceritakan Somchai bukanlah hal yang tidak beralasan. Chatri, dengan keyakinannya yang kuat terhadap dunia spiritual, mungkin telah menemukan sesuatu yang tak seharusnya ia ketahui. Ada kemungkinan besar bahwa dia terjebak dalam dunia lain, terperangkap dalam ruang yang tak terlihat oleh manusia biasa.
Wanita itu melanjutkan, “Pada hari dia menghilang, dia terakhir kali menghubungi saya lewat telepon. Dia bilang dia akan pergi ke Wat Arun lagi untuk menyelidiki sesuatu. Tapi, setelah itu, tidak ada kabar. Teleponnya mati. Kami mencari ke sana, tetapi tidak ada yang tahu di mana dia berada.”
Lara merasa hatinya berdebar. “Apakah ada yang aneh terjadi setelah itu? Apakah ada orang yang melihatnya setelah dia menghilang?”
“Beberapa hari setelah dia menghilang, ada orang yang mengaku melihatnya di sekitar Wat Arun,” kata ibu Chatri dengan suara serak. “Namun, orang itu mengatakan bahwa Chatri tampak berbeda—matanya kosong, seperti orang yang tidak mengenali dirinya sendiri. Mereka bilang dia berjalan ke arah patung Buddha besar, lalu menghilang begitu saja.”
Lara menghela napas, mencatat informasi baru yang ia dapatkan. Semua ini semakin mengarah pada satu kesimpulan: Chatri tidak hanya hilang begitu saja, tetapi kemungkinan besar dia telah terperangkap dalam sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang melibatkan kekuatan gelap dan dunia arwah.
Setelah berbicara lebih lama dengan ibu Chatri, Lara pamit untuk pergi. Namun, saat melangkah keluar dari rumah, ia merasa ada sesuatu yang mengikutinya. Suara langkah kaki di belakangnya terdengar jelas, meskipun jalanan sepi. Lara berhenti sejenak, berbalik, namun tak ada siapa-siapa. Angin berhembus kencang, membawa aroma yang mengingatkannya pada kemenyan yang ia rasakan di Wat Arun. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi nyata.
Lara tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Chatri? Mengapa ia terjebak dalam dunia yang tidak bisa dimengerti oleh orang biasa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggerogoti pikirannya, dan Lara tahu bahwa ia harus kembali ke Wat Arun untuk mencari jawaban.
Sesampainya di kuil pada malam hari, suasana di sana tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Angin malam berdesir melalui celah-celah di sekitar kuil, menciptakan suara yang seperti bisikan, seakan tempat ini menyimpan rahasia yang tak bisa diungkapkan.
Lara kembali ke tempat yang ia kunjungi malam sebelumnya, dekat patung Buddha besar. Kembali, ia merasa ada yang mengikutinya, meskipun kali ini ia tidak dapat melihat bayangan yang jelas. Ia merasa sesuatu yang lebih besar sedang memperhatikannya—sesuatu yang terhubung dengan hilangnya Chatri.
Tiba-tiba, sesosok bayangan putih muncul di ujung tangga, menghilang dengan cepat ke dalam kegelapan. Lara bergegas mengikuti bayangan itu, meskipun perasaan takut mulai menguasainya. Namun, bayangan itu menghilang begitu saja, meninggalkan jejak keheningan yang semakin mendalam.
Lara tahu bahwa jawaban untuk misteri ini hanya bisa ditemukan di dalam kuil. Ia hanya harus mencari lebih dalam, meskipun itu berarti ia harus menghadapi sesuatu yang lebih gelap dari apa yang ia bayangkan.*
Bab 3: Arwah yang Tersisa
Malam semakin larut saat Lara kembali melangkah di dalam Wat Arun, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Setiap langkah yang diambil semakin terasa berat, seakan ada sesuatu yang menariknya lebih dalam ke dalam misteri yang belum terpecahkan. Sebelumnya, ia telah mendengar cerita-cerita tentang hilangnya Chatri dan bayangan-bayangan yang mengikuti langkahnya, tetapi malam ini, ia merasa seakan dirinya sedang menghadapi sesuatu yang lebih besar dari apa yang ia bisa pahami.
Lara berhenti di depan patung Buddha besar lagi, tempat ia melihat bayangan putih yang menghilang beberapa malam lalu. Kini, keheningan malam terasa lebih mencekam. Angin malam bertiup pelan, membawa aroma kemenyan yang familiar, yang semakin memperdalam rasa cemas dalam dirinya. Lara menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa jika ingin menemukan jawaban tentang Chatri, ia harus mencari lebih dalam, meskipun ia tidak tahu apa yang akan ia temui.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Lara menoleh dengan cepat, namun tidak ada siapa-siapa. Hanya bayang-bayang kuil yang tampak memanjang di bawah sinar bulan. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengamatinya dari kegelapan, seolah-olah ada sesuatu yang sedang bersembunyi di balik patung-patung yang tersembunyi di sekitar kuil.
Tapi, Lara tak mundur. Ia melangkah maju, menuju bagian belakang kuil, tempat di mana ia mendengar cerita tentang Chatri yang terakhir kali terlihat. Di sini, suara-suara aneh mulai terdengar—sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. Sesekali, Lara merasa seolah ada sesuatu yang mengikutinya, sesuatu yang melintas di sudut matanya, meskipun ia tidak bisa melihat dengan jelas.
Tiba-tiba, ia melihat sosok samar yang berdiri di depan patung besar. Lara terkejut, dan dengan hati-hati, ia melangkah lebih dekat. Namun, saat ia mendekat, sosok itu menghilang begitu saja, meninggalkan jejak ketakutan yang dalam. Lara merasa darahnya membeku sejenak, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Itu bukan hal yang pertama kali ia alami dalam penyelidikannya, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Lara memutuskan untuk melanjutkan pencariannya. Ia berjalan menuju sebuah pintu rahasia yang pernah ia temui sebelumnya, di bawah tanah kuil. Dengan hati-hati, ia menuruni tangga yang sempit dan gelap, merasa semakin terperangkap dalam kegelapan yang semakin pekat. Di dalam ruang bawah tanah itu, ada sebuah udara dingin yang seakan menembus kulitnya. Di dinding-dinding yang lembab, terdapat lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan berbagai jenis ritual dan dewa-dewa kuno.
Namun, ada satu lukisan yang menarik perhatian Lara. Lukisan itu menggambarkan seseorang yang mirip dengan Chatri, hanya dengan wajah yang tampak sangat berbeda. Dalam lukisan itu, Chatri digambarkan dengan mata yang kosong, tanpa ekspresi, seakan-akan ia tidak lagi menjadi manusia, tetapi sesuatu yang lebih gelap, lebih terperangkap. Ada sesuatu yang sangat mencekam dalam gambar itu, dan Lara merasa sebuah perasaan aneh menguasai dirinya.
“Ini bukan hanya tentang hilangnya Chatri,” bisik Lara pada dirinya sendiri. “Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di sini.”
Lara melangkah lebih jauh ke dalam ruangan itu, menuju sebuah altar kecil di ujung ruangan yang tampaknya telah lama terlupakan. Di sana, ia melihat sebuah patung kecil yang tampaknya terbuat dari batu hitam. Patung itu menggambarkan seorang pria dengan ekspresi wajah yang sangat mencekam, hampir seperti sosok yang ia lihat dalam lukisan itu. Tanpa sadar, Lara merasakan sebuah getaran aneh di udara, seperti ada sesuatu yang hidup di sekitar patung tersebut.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar di belakangnya. Suara itu lemah, namun sangat jelas. “Jangan… jangan datang ke sini.”
Lara terkejut, dan berbalik dengan cepat. Di sana, berdiri seorang pria muda dengan pakaian yang tampak usang. Wajahnya pucat, dan matanya kosong, seperti wajah yang ia lihat dalam lukisan itu. Sosok itu tidak berbicara lagi, hanya menatap Lara dengan tatapan yang penuh ketakutan.
Lara tidak bisa menahan rasa takut yang datang begitu mendalam. “Si-siapa kamu?” tanyanya, suaranya bergetar.
Pria itu tidak menjawab. Namun, langkahnya semakin mendekat, dan semakin Lara melihat wajahnya, semakin ia menyadari bahwa ini bukanlah orang biasa. Sosok itu tampak seperti bayangan yang hidup, entitas yang terperangkap dalam dunia yang tak terlihat oleh orang biasa. Lara merasa tubuhnya kaku, seperti terjebak dalam cengkeraman arwah yang tak bisa dilepaskan.
“Ini Chatri,” Lara berpikir, hatinya berdetak kencang. “Dia terjebak di sini. Arwahnya masih ada di dunia ini.”
Sosok itu semakin mendekat, namun tiba-tiba berhenti dan menatap Lara dengan tatapan yang penuh ketakutan. “Jangan biarkan mereka tahu… Mereka akan mengikutimu,” bisik pria itu, suaranya begitu lemah, hampir seperti angin yang berbisik.
Lara merasa takut. “Siapa yang akan mengikutiku? Apa yang kamu maksud?”
Namun, saat ia berusaha untuk mendekat, sosok itu menghilang begitu saja, meninggalkan Lara sendirian di ruang bawah tanah yang gelap. Suasana di sekitarnya semakin mencekam, seakan ada kekuatan besar yang sedang mengawasinya dari jauh. Lara merasa tubuhnya seperti dipenuhi rasa takut yang tak bisa dijelaskan. Apakah ini benar-benar arwah Chatri, ataukah ia hanya salah paham?
Ketika ia kembali ke permukaan, Lara tahu bahwa ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih gelap daripada yang ia bayangkan. Arwah Chatri, jika itu benar arwahnya, terperangkap di dunia yang tak dapat dilihat oleh manusia biasa. Ada sesuatu yang lebih besar yang mengikatnya, dan mungkin, Lara juga sudah terperangkap di dalamnya.
Dengan hati yang cemas dan penuh pertanyaan, Lara tahu bahwa untuk mengungkap kebenaran, ia harus melanjutkan pencariannya. Tapi kali ini, ia tidak lagi hanya menghadapi misteri hilangnya Chatri—ia juga harus berhadapan dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap, yang mungkin tak bisa ia lari dari.*
Bab 4: Di Balik Bayangan
Lara terjaga di tengah malam, keringat dingin membasahi dahinya. Bayangan yang ia lihat di ruang bawah tanah Wat Arun terus menghantui pikirannya. Sosok itu—pria muda dengan wajah kosong dan tubuh yang tampak seperti bayangan—mencengkeram pikirannya. Arwah Chatri, atau entitas lain yang terperangkap, telah mengungkapkan sesuatu yang lebih gelap daripada yang bisa ia bayangkan. Ketakutan meresap ke dalam tubuhnya, namun rasa penasaran yang lebih kuat mendorongnya untuk terus mencari kebenaran.
Keesokan harinya, meskipun tubuhnya terasa lelah, Lara memutuskan untuk kembali ke Wat Arun. Ia tahu bahwa pencarian ini sudah mengarah pada sesuatu yang tak terduga—sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada sekadar misteri hilangnya seorang arsitek muda. Wat Arun bukan hanya kuil kuno; tempat ini menyimpan kekuatan yang lebih dari sekadar spiritual. Ada sesuatu yang mengikatnya, sesuatu yang telah mengikat Chatri, dan mungkin, kini mulai mengikat dirinya.
Setibanya di kuil, suasana tampak berbeda. Matahari mulai terbenam, menyisakan langit yang gelap dengan sentuhan warna merah keemasan. Lara merasa angin yang berhembus lebih kencang dari biasanya, seolah menandakan sesuatu yang akan terjadi. Langkahnya membawa dirinya ke bagian belakang kuil, tempat ia pertama kali melihat bayangan yang menghilang. Namun kali ini, Lara merasa ada yang salah. Suasana terasa sangat sunyi, terlalu sunyi.
Dia berdiri di depan patung Buddha besar, merasakan tekanan yang semakin kuat. Di sini, di tempat yang seharusnya penuh kedamaian, ia merasakan aura yang sangat gelap. Sesuatu sedang mengintainya. Tanpa sadar, ia melangkah maju, mendekati bagian dalam kuil yang lebih dalam dan tersembunyi. Di sanalah ia merasa bayangan-bayangan itu lebih nyata, lebih mendalam.
Tiba-tiba, bayangan hitam melintas di depan matanya. Lara berbalik cepat, namun tak ada apa-apa. Hanya keheningan dan bayangan dari tiang-tiang kuil yang terpantul di dinding. Jantungnya berdegup kencang, dan ia merasakan keringat dingin mengalir di sepanjang punggungnya. Sesuatu—seseorang—sedang mengamatinya.
Lara melangkah dengan hati-hati, mengikuti jejak yang tak terlihat, hingga akhirnya ia tiba di tempat yang pernah ia lihat malam sebelumnya, sebuah tangga menuju ruang bawah tanah yang tersembunyi. Langkahnya semakin pelan, setiap detik yang berlalu terasa seperti seribu tahun. Lara tahu, di bawah sana, jawabannya menunggu, tetapi ia juga tahu bahwa ia mungkin tak akan pernah kembali dari tempat ini dengan selamat.
Saat ia turun lebih jauh ke dalam ruang gelap yang lembab itu, udara terasa semakin berat. Suara angin yang berhembus di atas permukaan terasa jauh dan samar di bawah sini. Lara membuka senter kecil yang dibawanya, sinar terang menyoroti dinding-dinding basah yang dihiasi dengan lukisan-lukisan kuno yang sudah pudar. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengawasinya, sesuatu yang lebih dari sekadar bayangan. Sesuatu yang lebih hidup, lebih jahat.
Tiba-tiba, Lara mendengar suara bisikan lembut, suara itu datang dari sudut gelap ruangan yang lebih dalam. “Jangan… jangan pergi lebih jauh…”
Suara itu terdengar sangat lemah, hampir seperti sebuah peringatan, tetapi tidak ada yang bisa ia lihat. Hanya bayangan yang bergerak di antara dinding yang berlumut. Lara mengumpulkan keberaniannya, melangkah maju dengan hati-hati, mengikuti suara itu. Setiap langkahnya bergema dalam keheningan yang menakutkan, seolah mengganggu ketenangan yang telah berabad-abad lamanya ada di tempat ini.
Di ujung ruang bawah tanah, sebuah pintu kayu yang sudah rapuh tergeletak, setengah terbuka. Pintu itu tampaknya menuntunnya ke dalam ruang yang lebih besar dan lebih gelap. Lara menahan napas, merasa ada sesuatu yang sangat penting di balik pintu ini. Ia mendorong pintu itu pelan, dan saat terbuka sepenuhnya, ia terkejut melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di ruang tersebut, di tengah-tengah ruangan, sebuah altar besar terletak. Namun, yang paling mengejutkan adalah sosok yang berdiri di samping altar. Chatri. Atau lebih tepatnya, sosok yang tampak seperti Chatri. Wajahnya kini lebih pucat dan kosong, dan tubuhnya tampak seperti bayangan yang setengah terbentuk. Arwahnya terperangkap di sini, di antara dunia ini dan dunia lain, terikat pada tempat ini, pada kuil ini.
“Chatri?” suara Lara tergetar, tidak yakin apakah itu benar-benar dia atau hanya bayangan.
Sosok itu menoleh perlahan, matanya yang kosong menatapnya dengan tatapan yang dalam dan penuh penderitaan. “Kamu harus pergi,” bisiknya. “Kamu tak tahu apa yang sedang terjadi di sini… apa yang telah mereka lakukan…”
Lara merasa hatinya berdebar semakin kencang. “Apa yang terjadi? Apa yang kau maksud dengan mereka?”
Sosok itu hanya menatapnya, lalu perlahan berkata, “Mereka… para dewa kuno… mereka yang terperangkap dalam kuil ini… dan aku, aku adalah bagian dari mereka… Aku terjebak di sini, dan kamu… kamu juga bisa terperangkap.”
Lara merasa tercekik. “Apa yang kamu bicarakan? Apa yang ada di balik semua ini?”
Sosok itu mulai menghilang, perlahan-lahan, seiring dengan suara bisikan yang semakin memudar. “Bayangan… tak ada yang bisa melarikan diri dari bayangan ini…”
Sebelum Lara bisa bertanya lebih banyak, sosok itu lenyap begitu saja, meninggalkan ruangan yang kini terasa lebih gelap dan lebih berat. Lara berdiri terpaku, merasa perasaan tak terungkapkan memenuhi dirinya. Apa yang baru saja ia lihat? Arwah Chatri terjebak oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar hilangnya dia.
Tiba-tiba, Lara merasakan kehadiran lain, sebuah energi yang mengelilinginya. Sesuatu yang tak kasat mata, namun terasa nyata. Sepertinya, ia tidak sendirian. Sesuatu—atau seseorang—sedang mengikutinya, menunggunya di balik bayangan gelap yang menyelimuti kuil ini.
Saat ia hendak berbalik, segerombolan bayangan gelap muncul dari kegelapan, mengelilinginya dengan cepat. Lara terperangkap di antara dunia ini dan dunia yang lain. Ia sadar, kehadiran itu bukan hanya bayangan, tetapi entitas yang lebih besar, yang telah terperangkap di sini selama berabad-abad. Sesuatu yang lebih jahat dari yang pernah ia bayangkan.
Bayangan-bayangan itu mendekat, dan Lara tahu—jika ia tidak segera keluar, ia akan menjadi bagian dari mereka, bagian dari bayangan yang akan tetap terperangkap di antara dunia ini dan dunia lain.*
Bab 5: Kehidupan Setelah Kematian
Lara terengah-engah, matanya terbuka lebar saat ia terjaga dalam kegelapan yang mencekam. Bayangan-bayangan yang mengelilinginya di ruang bawah tanah Wat Arun baru saja menghilang, tetapi rasa terperangkap yang ditinggalkan oleh kehadiran mereka tetap menghantuinya. Tubuhnya lemas, seakan-akan ada sesuatu yang menyedot semua kekuatannya, dan di dalam pikirannya, suara-suara itu—suara bisikan yang lemah dan penuh penderitaan—masih terus bergema.
Dengan napas yang terengah-engah, Lara berusaha mengumpulkan kekuatannya untuk berdiri. Kegelapan di sekelilingnya semakin pekat, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Tiba-tiba, sosok bayangan yang mirip dengan Chatri muncul lagi di hadapannya, kali ini lebih jelas dan lebih nyata daripada sebelumnya. Arwah Chatri, atau apa pun itu, tampaknya berusaha berkomunikasi lagi.
“Jangan biarkan mereka menjeratmu,” suara Chatri terdengar lembut, namun sangat jelas. “Mereka akan membuatmu menjadi bagian dari dunia mereka… dunia yang sudah mati…”
Lara merasa tubuhnya membeku. “Apa yang kamu maksud? Apa yang terjadi denganmu? Apa yang terjadi di sini?”
Sosok itu menghela napas panjang, seakan-akan mengumpulkan kekuatan untuk berbicara lebih banyak. “Kehidupan setelah kematian bukanlah apa yang kalian bayangkan. Kami, kami tidak pergi begitu saja. Kami terperangkap di dunia ini, di antara dimensi yang tak terlihat. Seperti bayangan, kami terjebak dalam lingkaran waktu yang tak bisa dipahami.”
Lara merasakan hatinya berdegup kencang. “Tapi… apakah ini semua nyata? Atau aku hanya bermimpi? Kenapa kamu bisa ada di sini?”
“Ini nyata,” jawab Chatri dengan nada yang penuh penderitaan. “Kami adalah korban dari ritual yang salah… ritual yang membuka pintu menuju dunia lain. Mereka yang melakukannya—mereka yang membebaskan kekuatan yang seharusnya tetap terkunci—mereka menciptakan tempat ini, tempat di mana jiwa-jiwa yang terperangkap tidak bisa pergi. Dan sekarang, kamu juga telah terjebak di sini.”
Lara mencoba untuk memahami kata-kata Chatri. Ia bisa merasakan betapa dalamnya penderitaan yang tersisa dalam arwahnya. “Jadi, apa yang terjadi dengan orang-orang yang terperangkap? Apakah kita akan hilang begitu saja, tanpa bisa kembali ke dunia yang kita kenal?”
“Saat kalian mati, kalian pikir kalian akan menuju ke tempat yang lebih baik, ke dunia yang lebih damai,” jawab Chatri dengan suara yang sangat pelan. “Tetapi kenyataannya, kalian terjebak di antara dunia ini dan dunia lain, di tempat yang tidak terlihat. Kami, para arwah yang terperangkap, tidak bisa melanjutkan perjalanan kami. Kami hanya ada, berkelana di dunia ini, terperangkap dalam kenangan dan bayangan yang berulang. Seperti hantu yang tidak bisa meninggalkan tempatnya.”
Lara merasa getaran ketakutan menyelimuti tubuhnya. “Apakah ada jalan keluar? Apakah ada cara untuk melepaskan diri dari semua ini?”
Chatri menatapnya dengan tatapan yang penuh kepedihan. “Tidak ada cara yang mudah. Jalan keluar hanya bisa ditemukan oleh mereka yang memahami dunia ini dengan cara yang sangat dalam, dengan pengorbanan yang besar. Mereka yang terperangkap seperti kami, tidak bisa kembali begitu saja. Kami harus menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi hidup, tetapi juga tidak mati.”
Lara merasa hatinya semakin berat. Ia tidak bisa membayangkan kehidupan seperti itu—terjebak di dunia yang tidak memiliki batas waktu, tidak ada akhir, hanya berputar di dalam lingkaran yang tak berujung. Namun, sesuatu di dalam dirinya juga merasa bahwa ia harus mencari jalan keluar, bahwa ia tidak bisa terperangkap di sini seperti yang terjadi pada Chatri dan arwah-arwah lainnya.
“Sekarang,” lanjut Chatri dengan suara yang semakin pudar, “kamu harus pergi. Tidak ada yang bisa dilakukan di sini, tetapi kamu bisa membantu… kamu bisa menghentikan ini semua. Tetapi kamu harus melakukannya dengan cara yang benar.”
Lara merasa sesuatu yang kuat merasuk ke dalam dirinya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud oleh Chatri, tetapi ada dorongan yang tak bisa ia hindari. Sesuatu yang mengarah padanya untuk mencari lebih dalam, untuk menemukan kebenaran yang lebih besar dari yang ia kira. Apa yang sebenarnya terjadi di Wat Arun? Apa yang telah terjadi dengan Chatri dan arwah-arwah yang terperangkap?
“Saya akan melakukannya,” kata Lara dengan suara yang penuh tekad. “Saya tidak akan membiarkan kalian terjebak di sini. Saya akan mencari jalan untuk membebaskan kalian.”
Chatri mengangguk lemah. “Hati-hati, Lara. Kamu akan menghadapi kekuatan yang tidak bisa kamu pahami. Jangan biarkan mereka menemukanmu, atau kamu akan menjadi bagian dari bayangan ini selamanya.”
Tiba-tiba, sosok itu menghilang begitu saja, meninggalkan Lara sendiri di ruang bawah tanah yang gelap. Namun, perasaan takut yang mencekam itu tidak hilang. Lara tahu bahwa ia telah memasuki dunia yang lebih gelap, lebih penuh dengan kekuatan yang lebih kuat dari apa yang bisa ia bayangkan.
Dengan langkah yang ragu-ragu, Lara melangkah keluar dari ruang bawah tanah, menuju permukaan. Ia tahu bahwa ia baru saja melihat sedikit dari kebenaran yang lebih besar. Kekuatan yang mengikat arwah-arwah ini bukan hanya sekedar kekuatan mistis atau gaib, tetapi sesuatu yang lebih berbahaya. Sesuatu yang terkait dengan ritual kuno, yang bisa mengubah dunia yang dikenal oleh manusia.
Sambil berjalan menuju pintu keluar, Lara mendengar suara bisikan yang hampir tak terdengar. “Kehidupan setelah kematian adalah ilusi, Lara,” bisik suara itu. “Yang nyata adalah apa yang ada di antara kedua dunia ini. Kamu tidak bisa melarikan diri, Lara… karena kamu sudah menjadi bagian dari bayangan ini.”
Lara merasakan tubuhnya seakan terhenti, seakan-akan ia sudah terperangkap. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti. Ia harus melanjutkan pencariannya, karena hanya dengan mengungkapkan rahasia ini, ia bisa menghentikan lingkaran kematian yang tak berujung.*
Bab 6: Ritual Terlarang
Lara berdiri di depan pintu besar Wat Arun, masih terhimpit oleh beban perasaan yang menguasainya. Perkataan Chatri berputar-putar di kepalanya—tentang arwah yang terperangkap, tentang bayangan yang tak bisa melarikan diri, dan terutama tentang ritual terlarang yang membuka pintu menuju dunia yang lebih gelap. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi Lara tahu satu hal: ia tidak bisa mundur. Kebenaran yang tersembunyi di balik tembok-tembok kuil ini harus diungkapkan, tidak peduli betapa berbahayanya hal itu.
Malam semakin larut, dan udara semakin dingin. Lara tahu waktunya semakin sedikit. Segera setelah ia keluar dari ruang bawah tanah, ia melangkah cepat menuju perpustakaan kuil, tempat ia sebelumnya menemukan beberapa naskah kuno yang bisa menjadi petunjuk. Perpustakaan itu penuh dengan buku-buku yang berdebu, sebagian sudah hampir rusak oleh usia. Ada rasa ganjil di udara—sesuatu yang lebih berat daripada sekadar aroma buku tua. Sesuatu yang menunggu.
Lara membuka salah satu buku yang lebih tebal dari yang lain. Dengan hati-hati, ia menyusuri halaman demi halaman. Tidak ada yang mencolok pada awalnya, hanya tulisan-tulisan dalam bahasa yang sangat kuno dan simbol-simbol yang tampaknya tidak terlalu penting. Tetapi saat ia membuka halaman terakhir, ia menemukan sebuah gambar yang mengerikan—sebuah gambar tentang sebuah ritual yang sangat gelap.
Di gambar itu, terlihat sekelompok orang berdiri dalam lingkaran, tangan mereka terangkat, seolah-olah mereka sedang memanggil sesuatu. Di tengah lingkaran, ada sebuah altar yang terbuat dari batu hitam, dan di atasnya, ada sebuah simbol yang menyerupai sebuah mata terbuka yang besar. Di bawah gambar tersebut, ada tulisan dalam bahasa yang sulit dipahami, namun dengan instingnya, Lara tahu bahwa ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar doa atau pemujaan biasa.
Tulisan itu berbunyi: “Dengan darah yang mengalir, dengan jiwa yang terikat, kami membuka pintu yang tertutup. Yang datang bukanlah cahaya, tetapi bayangan. Yang mati akan bangkit, yang hidup akan terperangkap. Sebelum fajar datang, dunia ini akan berubah.”
Lara menelan ludah, hati berdebar keras. Ini adalah ritual yang telah membawa malapetaka, ritual yang telah memanggil sesuatu dari dunia lain—sesuatu yang kini terperangkap di Wat Arun dan menghantui setiap sudutnya. Ini adalah ritual yang telah mengikat Chatri, dan yang sekarang mencoba mengikatnya juga.
Suaranya terdengar menggema di dalam ruang perpustakaan yang sepi, “Apakah ritual ini yang telah mengubah segalanya? Apakah ini yang membuatku terperangkap di sini bersama arwah-arwah lain?”
Di dalam dirinya, Lara merasa sebuah perasaan tak terlukiskan—sebuah dorongan yang sangat kuat untuk mengetahui lebih banyak. Tetapi ia juga tahu, semakin dalam ia menggali, semakin besar risiko yang ia hadapi. Ritual ini bukanlah sesuatu yang bisa dipahami dengan mudah. Ini adalah sesuatu yang telah menghancurkan banyak jiwa dan memanipulasi waktu dan ruang dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.
Lara memutuskan untuk mencari lebih banyak informasi. Ia tahu bahwa di balik setiap ritual terlarang ada sebuah kunci yang bisa menghentikan semuanya—atau mengakhiri pencariannya dengan sangat mengerikan. Namun, untuk itu, ia harus melangkah lebih jauh, menuju tempat yang lebih gelap, tempat di mana ritual ini pertama kali dilaksanakan.
Pagi mulai menyingsing saat Lara tiba di area belakang kuil yang lebih terpencil, tempat di mana batu-batu kuno terletak tersebar, sebuah lokasi yang seharusnya tidak pernah dijamah oleh pengunjung biasa. Namun di sinilah, menurut catatan yang ia temukan, tempat di mana ritual pertama kali dilaksanakan, lebih dari seratus tahun yang lalu. Sebuah altar kuno yang tersembunyi di balik reruntuhan batu yang telah lama terlupakan.
Langkah-langkah Lara terdengar jelas di udara pagi yang sunyi. Begitu ia sampai di tengah-tengah reruntuhan, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih berat, dan setiap nafas yang ia tarik seolah dipenuhi dengan energi yang tidak terlihat. Di depannya, terdapat sebuah altar besar, terlupakan dan tertutup lumut. Di atasnya, terdapat sebuah ukiran yang menyerupai simbol mata yang sama dengan yang ada di buku—tanda yang sama yang menunjukkan dimulainya ritual itu.
Saat Lara mendekat, ia melihat bahwa altar itu masih menyimpan bekas-bekas darah yang mengering, dan di sekitar altar terdapat gambar-gambar kuno yang menggambarkan sosok manusia yang terperangkap dalam lingkaran bayangan. Sesuatu yang sangat mengerikan terjadi di sini, dan Lara bisa merasakannya. Ritual itu telah memanggil sesuatu yang tidak seharusnya dibangkitkan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Lara berbalik dengan cepat, jantungnya berdetak keras. Sosok itu muncul dari bayangan di antara reruntuhan batu—seorang pria tua dengan mata yang tajam dan wajah yang penuh keriput, mengenakan pakaian monyet tradisional. Sosok itu tampak tidak terpengaruh oleh udara berat yang mengelilinginya, seolah ia sudah terbiasa dengan kegelapan ini.
“Kau tidak seharusnya ada di sini,” suara pria tua itu terdengar serius. “Ini bukan tempat bagi orang yang masih hidup.”
Lara menggigit bibirnya, berusaha tetap tenang. “Aku tahu apa yang terjadi di sini. Aku tahu tentang ritual itu. Apa yang telah kalian lakukan?”
Pria tua itu menatapnya dengan penuh keteguhan. “Ritual ini bukan untuk orang asing. Tidak ada yang bisa memahaminya, kecuali mereka yang terikat oleh takdir. Kami membuka pintu yang tak seharusnya dibuka, dan sekarang kami harus membayar harganya. Kematian bukanlah akhir, Lara. Itu hanya permulaan dari lingkaran tak berujung ini.”
Lara merasa tubuhnya membeku. “Apa maksudmu? Apa yang harus kulakukan untuk menghentikan semua ini?”
Pria itu menghela napas panjang. “Untuk menghentikan ritual ini, untuk menghentikan bayangan yang telah bebas… kamu harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga. Sebuah jiwa harus dibebaskan dari dunia ini, dan hanya dengan pengorbanan itulah pintu yang kamu lihat akan tertutup. Tetapi, itu tidak akan mudah. Mereka yang terperangkap di dunia ini tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”
Lara merasakan ketakutan yang mendalam. “Jadi, aku harus membuat pilihan. Untuk menghentikan semuanya, aku harus mengorbankan jiwa—dan mungkin, itu adalah aku sendiri.”
Pria tua itu mengangguk, matanya penuh keputusasaan. “Bahkan jika kamu berhasil, bayangan itu akan selalu ada di sini, menunggu untuk kembali.”
Dengan kata-kata itu, pria tua itu menghilang, seolah menyatu dengan kegelapan. Lara berdiri sendirian di antara reruntuhan, menyadari bahwa jalan ke depan kini sangat jelas—tetapi juga sangat berbahaya. Ritual terlarang itu bukan hanya masalah masa lalu; itu adalah ancaman nyata yang kini mengincar dirinya, dan hanya dengan pengorbanan besar, ia bisa menghentikannya. Namun, apakah dia siap untuk membayar harga yang diminta oleh takdir.*
Bab 7: Menghadapi Hantu Wat Arun
Lara merasakan napasnya terengah-engah, setiap langkah yang diambilnya di dalam Wat Arun kini terasa lebih berat dari sebelumnya. Udara di dalam kuil itu semakin pekat, seolah dipenuhi dengan sesuatu yang tidak terlihat—suatu ancaman yang siap menjebaknya dalam kegelapan selamanya. Ia tahu bahwa hanya ada satu cara untuk menghentikan semua ini, satu jalan yang penuh dengan bahaya, yang mungkin akan membawanya ke dalam liang kubur, atau bahkan lebih buruk lagi, mengubahnya menjadi bagian dari bayangan yang menghantui tempat ini.
Ia mendekati altar kuno yang pernah dilihatnya di reruntuhan. Tidak ada lagi jalan mundur. Ritual terlarang yang telah dimulai begitu lama ini harus diakhiri. Seiring langkahnya, ia mendengar bisikan halus, seperti suara angin yang mengalir melalui celah-celah batu. Namun, itu bukanlah angin biasa—suara itu dipenuhi dengan penderitaan dan amarah. Bayangan-bayangan yang sebelumnya ia lihat di ruang bawah tanah kini mulai muncul kembali, berkelindan di antara tiang-tiang kuil dengan gerakan yang tidak alami. Mereka adalah arwah yang terperangkap, jiwa-jiwa yang meronta-ronta mencari jalan keluar, namun mereka tidak tahu bahwa mereka hanya memperpanjang penderitaan mereka sendiri.
Lara tahu bahwa ia kini berada di pusat kekuatan itu—di jantung Wat Arun, tempat di mana ritual terlarang pertama kali dilaksanakan. Di sini, bayangan itu hidup, dan ia harus menghadapi kekuatan gelap yang membawanya ke dalam dunia yang tidak bisa dipahami.
“Ini adalah saatnya,” Lara bergumam pada dirinya sendiri, mengingat peringatan yang diberikan oleh pria tua di reruntuhan. Untuk menghentikan ritual ini, ia harus melakukan sesuatu yang sangat berisiko—mengorbankan jiwa. Tetapi, siapakah yang akan menjadi korban? Apakah ia bisa menemukan cara untuk mengakhiri semuanya tanpa harus membayar harga yang mematikan?
Ketika ia mendekati altar, suasana sekitar semakin gelap. Bayangan yang sebelumnya hanyalah kilasan kini semakin jelas, dan Lara bisa merasakan kehadiran mereka yang menakutkan—hantu-hantu yang terperangkap di sini, tidak bisa pergi, tidak bisa mati. Mereka memandangnya dengan mata yang kosong, seperti memohon bantuan, namun juga penuh dengan kebencian. Mereka adalah korban, dan mereka ingin dibebaskan, tetapi untuk itu, mereka harus menemukan cara untuk menghancurkan lingkaran yang mengikat mereka.
Lara menahan napas, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku tidak akan biarkan ini terus berlanjut,” katanya dengan suara yang tegas, meskipun hatinya berdebar kencang. Ia mengambil sebuah lilin yang ada di dekat altar, menyalakannya, dan menaruhnya di atas batu. Cahaya lilin itu tampak lemah, namun cukup untuk menerangi simbol-simbol yang tercatat di atas altar—simbol-simbol yang mengindikasikan bahwa pintu dunia lain telah terbuka.
Ketika lilin menyala, suara bisikan itu kembali terdengar, lebih keras dan lebih jelas. “Kamu tidak bisa menghentikannya… Kamu tidak bisa pergi begitu saja…” suara itu terdengar seperti gabungan dari banyak suara, bercampur antara bisikan dan jeritan yang menyayat hati.
Tiba-tiba, lantai di bawah kaki Lara bergetar. Batu-batu di sekitar altar bergerak perlahan, dan dari bawah tanah muncul tangan-tangan gelap, menjulur dari celah-celah yang sebelumnya tidak terlihat. Tangannya terulur ke arah Lara, mencoba meraihnya, mencoba menariknya ke dalam kegelapan. Bayangan-bayangan itu semakin nyata, seolah ingin menelan seluruh dunia dalam kebekuan mereka.
Lara terjatuh ke belakang, hampir terjerat dalam cengkeraman tangan bayangan itu, namun dengan sekuat tenaga ia melawan, berusaha untuk tetap berdiri. “Aku tidak takut,” ia berteriak, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Aku tidak akan membiarkan kalian menguasai semuanya!”
Namun, suara yang terdengar sangat familiar kembali bergema di telinganya—suara Chatri. “Lara, kamu tidak mengerti. Ritual ini telah lama terjadi, dan kami tidak bisa pergi. Kami terjebak di antara dua dunia. Kamu harus memilih, Lara. Untuk menghentikan ini, kamu harus membuat pengorbanan.”
Lara menatap dengan tajam ke arah bayangan yang terus merayap keluar dari altar. “Aku tidak akan terjebak seperti kalian. Aku akan mengakhiri ini.”
Dengan kata-kata itu, Lara menggenggam sebuah pisau kecil yang ia bawa dari kuil sebelumnya. Pisau itu adalah simbol keberanian, meskipun terasa sangat kecil dibandingkan dengan kekuatan gelap yang dihadapi. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu yang mengakhiri penderitaan ini.
Di tengah kekacauan itu, tiba-tiba sebuah suara keras menggema dari dalam bayangan. “Lara!” suara itu semakin keras, semakin menyeramkan, namun juga penuh dengan urgensi. “Jika kamu ingin mengakhiri semuanya, jika kamu ingin menutup pintu ini, kamu harus mengorbankan jiwa yang masih hidup, jiwa yang paling kamu cintai!”
Lara terkejut. “Apa? Tidak! Aku tidak akan membunuh siapa pun!”
Namun, suara itu terus memanggilnya, semakin mendekat, semakin nyata. “Tidak ada jalan lain. Kematian adalah bagian dari siklus ini. Jika kamu ingin menutup gerbang, jika kamu ingin membebaskan kami, kamu harus memilih…”
Lara memejamkan matanya, mencoba mengendalikan napasnya. Ia harus berpikir dengan jernih. Dengan tekad yang bulat, ia berlari menuju altar, di mana simbol-simbol kuno itu terlihat semakin terang. Hanya ada satu cara—untuk mengakhiri ritual, untuk menghentikan bayangan yang telah merasuki tempat ini.
Saat ia berdiri di atas altar, pisau yang ia genggam tampak bergetar di tangannya. Bayangan semakin mendekat, dan sosok-sosok itu mulai tampak jelas. Hantu-hantu dari masa lalu, arwah yang terperangkap. Dan di antara mereka, ada satu sosok yang paling menonjol—Chatri.
Dengan keberanian yang telah ia kumpulkan, Lara mengangkat pisau itu ke udara dan menusukkannya ke pusat simbol mata yang ada di altar. Ketika pisau itu menyentuh batu, sebuah ledakan cahaya yang sangat terang meluncur keluar, membanjiri seluruh ruangan dengan kilatan putih yang memekakkan telinga. Bayangan yang sebelumnya mengelilingi Lara menghilang dalam sekejap, dan semua suara itu lenyap, meninggalkan keheningan yang hampir memabukkan.
Saat cahaya meredup, Lara terjatuh ke lutut, merasa tubuhnya lemah dan hampir tak sanggup lagi berdiri. Namun, ia tahu bahwa ia telah berhasil. Ritual itu telah dihentikan. Bayangan-bayangan itu tidak akan lagi menguasai Wat Arun.
Saat ia menatap sekeliling, seluruh kuil yang sebelumnya dipenuhi dengan kegelapan kini kembali tenang. Udara yang tadinya berat kini terasa ringan. Dan di kejauhan, Lara bisa melihat sosok Chatri—namun kali ini, ia tidak terlihat lagi penuh penderitaan. Ia tersenyum, dengan ekspresi yang penuh rasa terima kasih, sebelum akhirnya menghilang, bebas dari dunia yang terperangkap.
Lara memejamkan matanya, merasakan lega yang luar biasa. Ia telah mengakhiri siklus ini, dan kini, Wat Arun akan kembali seperti semula—sebuah tempat yang penuh dengan sejarah dan misteri, tetapi tidak lagi terperangkap oleh kegelapan.***
—————THE END————-