• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
JEJAK BAYANGAN WAT PHRA

JEJAK BAYANGAN WAT PHRA

February 20, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
JEJAK BAYANGAN WAT PHRA

JEJAK BAYANGAN WAT PHRA

by SAME KADE
February 20, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 17 mins read

Bab 1: Kedatangan

Aree berdiri di depan gerbang besar Wat Phra, memandangi suasana malam yang sunyi di sekitar kuil. Udara malam itu terasa hangat, meskipun awan tebal menyelimuti bulan, memberikan kesan angker di sekitar kuil kuno yang terletak di kaki Gunung Doi Suthep. Cahayanya yang redup hanya berasal dari lentera-lentera yang menggantung di sepanjang jalan setapak menuju pintu gerbang.

Aree datang ke Chiang Mai untuk melakukan tugas yang diserahkan oleh redaksi majalah tempatnya bekerja. Sebagai seorang jurnalis investigasi, dia sudah terbiasa dengan cerita-cerita seram dan misteri yang tersebar di berbagai tempat, tetapi Wat Phra memiliki reputasi yang jauh lebih mengerikan daripada yang pernah dia dengar. Banyak orang yang menghindari kuil itu, bahkan beberapa menyebutnya sebagai tempat terkutuk.

Di perjalanan menuju kuil, Aree sempat mendengar beberapa cerita tentang hilangnya orang-orang yang mencoba untuk mencari tahu lebih banyak tentang Wat Phra, namun tidak ada yang benar-benar bisa membuktikan apakah itu hanya rumor atau kenyataan. Apa yang pasti adalah, kuil ini dipenuhi dengan kisah-kisah mistis yang menjadi legenda di kalangan penduduk lokal. Ada cerita tentang seorang biksu muda yang hilang tanpa jejak di kuil ini beberapa dekade yang lalu, dan sejak itu, siapa pun yang berani mendekat sering kali melaporkan pengalaman aneh.

Sebelum Aree melangkah lebih jauh, seorang pria tua yang duduk di sebuah bangku kayu dekat pintu gerbang menghentikan langkahnya. Wajahnya keriput, matanya sayu, dan mulutnya bergerak seperti ingin berkata sesuatu.

“Pergilah… tetapi hati-hati,” kata pria itu dengan suara serak. “Jangan masuk terlalu dalam. Mereka yang melanggar aturan selalu dihukum.”

Aree menatap pria itu dengan rasa ingin tahu. “Siapa mereka yang Anda maksud?”

Pria itu menggelengkan kepala, seolah mencoba menghindari pembicaraan lebih lanjut. “Hanya… hanya hati-hati. Ini bukan tempat untuk orang seperti kamu.”

Aree merasa ada yang ganjil dalam peringatan itu, tetapi dia tak ingin terpancing oleh rasa takut. “Terima kasih,” jawabnya singkat, lalu melangkah masuk ke dalam area kuil.

Begitu melangkah lebih dalam, suasana yang sunyi semakin terasa. Lampu-lampu yang redup menyoroti patung-patung Buddha kuno dan tembok batu yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran rumit yang menceritakan kisah-kisah kehidupan para biksu dan dewa-dewa Buddha. Tak jauh dari pintu masuk, Aree melihat sebuah pohon besar yang melingkar di sekitar sebuah batu dengan ukiran simbol misterius.

Meskipun banyak orang yang menghindari kuil ini, Aree merasa ada yang memanggilnya untuk datang. Mungkin, dia berpikir, ini adalah cerita yang paling menarik untuk diceritakan. Tapi saat langkahnya menuju lebih jauh ke dalam halaman kuil, Aree mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Seorang wanita muda yang sedang berdoa di dekat altar tiba-tiba berdiri dan melihatnya dengan tatapan yang sangat serius. “Jangan lanjutkan. Kuil ini… bukan untuk orang luar,” kata wanita itu dengan suara pelan namun tegas, seolah memperingatkan Aree untuk segera pergi.

Aree merasa terkejut dengan peringatan itu, tetapi rasa penasarannya semakin menguat. “Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang tempat ini,” jawabnya dengan lembut. “Saya seorang jurnalis, saya ingin menulis tentang Wat Phra.”

Wanita itu menghela napas panjang dan menunduk, seolah berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “Kau tidak akan menemukan apa-apa selain ketakutan dan penyesalan. Ini bukan hanya sebuah kuil… ada sesuatu di sini yang lebih besar dari sekadar batu dan patung.”

Wanita itu kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan Aree, meninggalkan rasa cemas yang semakin menebal dalam dada jurnalis itu.

Aree tetap melangkah, meski peringatan demi peringatan terus mengiang di telinganya. Matanya tertuju pada bangunan utama kuil, sebuah ruangan yang jauh lebih besar dari yang lainnya, dengan pintu yang terbuat dari kayu tua yang terlihat seperti sudah berusia ratusan tahun. Pintu itu terkunci rapat, namun di sekitar pintu, Aree melihat sebuah jejak darah yang mengarah ke dalam. Darah itu tampak baru, memancarkan warna merah cerah di antara batu-batu yang kering.

Insting Aree sebagai seorang investigasi berbicara. “Ini lebih dari sekadar cerita mistis,” gumamnya. “Ada sesuatu yang terjadi di sini, dan aku akan mengetahuinya.”

Dengan hati yang berdebar, Aree memutuskan untuk melanjutkan pencariannya, meskipun dia tahu bahwa apa yang akan dia hadapi di dalam kuil ini mungkin lebih dari yang bisa dia bayangkan.*

Bab 2: Legenda Wat Phra

Aree duduk di sebuah bangku kayu di tepi halaman kuil, menatap langit malam yang kini semakin gelap. Lampu-lampu temaram dari lentera di sekitar kuil memberikan cahaya yang sangat minim, seakan menjaga tempat itu dari pandangan luar. Udara malam semakin dingin, dan Aree merasa sedikit cemas. Suasana di sekitarnya semakin menekan, namun rasa penasarannya tentang Wat Phra jauh lebih besar. Keinginan untuk mengetahui apa yang tersembunyi di balik dinding-dinding kuil ini memaksa dia untuk terus melangkah.

Aree memutuskan untuk menemui biksu yang tinggal di kuil itu. Seorang biksu tua yang pernah dilihatnya berjalan perlahan menuju ruang meditasi di bagian belakang kuil. Dengan langkah hati-hati, Aree mengikuti jejaknya dan akhirnya tiba di sebuah ruang kecil, dihiasi dengan patung-patung Buddha dan lampu minyak yang menyala lembut. Biksu itu duduk di depan altar, mengenakan jubah kuno yang tampak usang, matanya terpejam seolah tenggelam dalam doa dan meditasi.

Aree ragu sejenak, tetapi akhirnya dia mengumpulkan keberanian untuk mendekat. “Ajahn,” panggil Aree, suara lembut namun penuh rasa hormat. “Saya ingin tahu lebih banyak tentang sejarah Wat Phra. Saya mendengar banyak cerita tentang tempat ini, dan saya ingin memahaminya.”

Biksu itu membuka matanya perlahan, lalu menatap Aree dengan tatapan dalam yang seakan melihat jauh ke dalam dirinya. “Wat Phra,” kata biksu itu dengan suara rendah, “adalah tempat yang penuh dengan sejarah, tetapi tidak semua orang siap untuk mengetahuinya.”

Aree duduk di depan biksu, menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Saya mendengar ada sesuatu yang mengerikan tentang kuil ini, tentang hilangnya seseorang.”

Biksu itu menarik napas panjang, seolah berjuang untuk membuka kenangan yang telah lama terkubur. “Kuil ini bukan hanya tempat ibadah. Ada banyak hal yang tersembunyi di sini, banyak cerita yang tidak bisa diterima oleh pikiran biasa. Salah satu cerita yang paling tragis adalah tentang seorang biksu muda bernama Phutthakham.”

Aree mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata biksu itu. “Siapa Phutthakham?”

Biksu itu memandang Aree dengan tatapan yang lebih serius. “Phutthakham adalah seorang biksu yang sangat dihormati di kuil ini. Dia datang ke Wat Phra lebih dari dua puluh tahun yang lalu, seorang pemuda yang penuh semangat untuk belajar dan mendedikasikan hidupnya pada Buddha. Namun, di malam hari yang sangat gelap, dia menghilang tanpa jejak.”

Aree merasa ketegangan mulai merayap dalam dirinya. “Menghilang tanpa jejak? Apa yang terjadi padanya?”

Biksu itu menunduk, lalu suara rendahnya terdengar kembali. “Menurut legenda yang kami pegang, Phutthakham menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ditemukan—sebuah pusaka kuno yang tersembunyi di ruang altar. Pusaka itu memiliki kekuatan luar biasa, bisa menghubungkan dunia ini dengan dunia lain. Banyak orang percaya bahwa kekuatan itulah yang akhirnya menyebabkan kehilangannya.”

Aree semakin terpesona, mencoba menggali lebih dalam. “Pusaka itu apa? Apa yang bisa dilakukan pusaka itu?”

Biksu itu menatap Aree tajam, seolah mencoba mengukur apakah dia siap untuk mendengar kebenaran. “Pusaka itu adalah sebuah kotak kecil, terbuat dari batu hitam yang sangat keras. Di dalamnya, terdapat sebuah batu kristal yang sangat kuat, yang bisa membuka pintu antara kehidupan dan kematian. Siapa pun yang mencoba membuka kotak itu akan berhadapan dengan kekuatan yang tak terkendali—baik untuk diri mereka sendiri, maupun untuk orang lain di sekitar mereka.”

Aree mengangguk perlahan, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. “Apakah itu yang menyebabkan Phutthakham menghilang?”

Biksu itu menarik napas panjang. “Kami tidak tahu pasti. Setelah malam dia menghilang, banyak dari kami merasa ada sesuatu yang salah dengan kuil ini. Bayangan-bayangan aneh mulai muncul, suara-suara yang tidak dapat dijelaskan, dan beberapa biksu lain juga merasakan hal-hal yang tidak biasa. Beberapa orang percaya bahwa arwah Phutthakham kini terperangkap di sini, mencari keadilan, karena dia telah membuka sesuatu yang seharusnya tidak dibuka.”

Aree merasakan ketegangan semakin membebani ruang itu. “Jadi, apakah kamu percaya bahwa arwahnya masih ada di sini?”

Biksu itu menatap Aree dengan mata yang penuh makna. “Banyak orang yang mencoba mencari tahu tentang keberadaan Phutthakham, tetapi tidak ada yang bisa menemukannya. Mereka yang berani melangkah terlalu jauh ke dalam sejarah kuil ini, sering kali tidak kembali dengan utuh. Mereka melihat bayangan, mendengar suara, tetapi tidak pernah benar-benar tahu apa yang mereka hadapi. Jika arwah Phutthakham benar-benar ada di sini, dia mungkin sedang menunggu seseorang yang cukup berani untuk memecahkan misteri ini—misteri yang lebih besar dari sekadar kehilangan seorang biksu muda.”

Aree terdiam, merenung. Ada ketakutan yang menggerogoti dirinya, tetapi rasa ingin tahu dan tekad untuk mengungkapkan kebenaran lebih kuat. “Saya akan mencari tahu lebih banyak,” katanya pelan. “Saya harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Biksu itu menatapnya sejenak, kemudian berkata, “Jika kamu melanjutkan perjalanan ini, Aree, kamu harus siap menghadapi apa pun yang mungkin kamu temui. Tidak semua misteri perlu diungkapkan.”

Namun, Aree sudah memutuskan. Dia berdiri, mengucapkan terima kasih pada biksu tua itu, dan melangkah keluar dari ruang meditasi, hati berdebar lebih keras dari sebelumnya.*

Bab 3: Bayangan yang Mengintai

Malam itu, Aree merasa hatinya berdebar lebih cepat daripada sebelumnya. Meskipun sudah mendengar banyak cerita mengenai Wat Phra dan legenda Phutthakham, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang nyata—yang sedang mengintainya. Setelah berbicara dengan biksu tua itu, ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh, memasuki ruang yang lebih gelap dan lebih sunyi di dalam kuil. Sepertinya, setiap sudut kuil ini menyembunyikan rahasia yang ingin diketahui, dan rasa ingin tahunya semakin membara.

Dengan senter kecil di tangan, Aree melangkah melalui gang sempit menuju ruang utama kuil, tempat altar besar dan patung Buddha yang tampak sangat tua. Udara di sini terasa lebih berat, dan bahkan langkah kakinya sendiri terasa teredam. Suasana ini sangat kontras dengan kehidupan yang biasa ia jalani di kota-kota besar. Di sini, semuanya terasa seperti terjebak dalam waktu yang telah lama berlalu.

Saat Aree mendekat ke altar, matanya tertuju pada sebuah patung Buddha yang tampak lebih tua dan lebih gelap dibandingkan dengan yang lain. Patung itu dikelilingi oleh lilin-lilin yang hampir habis, memberikan kesan bahwa tempat ini jarang sekali dijaga. Di sekitar altar, terdapat ukiran batu yang sangat rumit, tetapi ada satu ukiran yang membuat Aree merasa ada sesuatu yang salah—sebuah gambar seorang biksu dengan mata tertutup, dengan tangan terentang ke depan seolah menghalangi sesuatu.

Tiba-tiba, Aree merasakan sebuah perasaan yang asing, seolah ada yang mengawasinya. Insting jurnalistiknya berusaha menepis rasa cemas itu, namun jantungnya berdegup semakin keras. Dia menyalakan senter dan menyinari sekitar altar, mencoba mencari petunjuk yang bisa menjelaskan perasaan tidak menyenankan ini.

Ketika cahaya senter menyapu ke sudut ruangan, Aree melihat sesuatu yang bergerak dengan cepat. Sebuah bayangan hitam melintas, begitu gelap dan begitu cepat, sehingga sulit untuk ditangkap mata. Dengan jantung yang berdebar, Aree mendekati sudut itu, namun tidak ada apa pun. Hanya ada dinding kosong dan ukiran-ukiran batu yang tampaknya tidak bergerak.

“Apa itu?” gumam Aree, merasa cemas. Dia menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya.

Saat dia berbalik, sebuah suara gemerisik terdengar dari belakang. Aree terkejut dan berbalik cepat. Kali ini, dia melihat bayangan itu lagi—lebih jelas, lebih nyata—dari sudut pandangannya. Bayangan itu bergerak sangat perlahan, memanjang di lantai, dan semakin mendekat ke arahnya. Seolah bayangan itu berusaha untuk mengejarnya.

Seketika itu, Aree merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—perasaan berat, sesak, dan kegelapan yang melingkupi ruang itu. Dia merasa ada sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang tersembunyi dalam bayangan itu, menunggu untuk keluar.

Dalam kebingungannya, Aree berlari menuju pintu keluar, berharap untuk meninggalkan ruangan itu dan kembali ke tempat yang lebih terang. Tetapi, pintu itu tidak bisa dibuka. Ia menarik gagangnya berulang kali, tetapi pintu itu seperti terkunci rapat dari luar. Tangan Aree mulai gemetar, perasaan terperangkap semakin menekan. Suara langkah kaki yang berat terdengar, bukan dari dirinya, tetapi dari sesuatu yang lebih besar dan lebih berat.

Aree menoleh ke belakang, dan kali ini bayangan itu sudah berada di depannya, sangat dekat, hampir bisa menyentuhnya. Sosok itu tidak terlihat jelas, hanya tampak seperti kabut gelap yang melayang-layang, dengan bentuk yang tak menentu. Bayangan itu mengarah padanya, semakin mendekat, sementara Aree merasa tubuhnya seperti beku, tak bisa bergerak.

“Aree…” sebuah suara rendah terdengar, serupa bisikan, namun begitu jelas dan tajam, menyusup langsung ke pikirannya.

Aree terkejut. Suara itu—itu suara yang pernah didengarnya sebelumnya, suara yang penuh kesedihan dan kemarahan. Suara Phutthakham, biksu muda yang hilang itu. Aree tidak bisa mengerti mengapa bayangan itu seolah memanggil namanya. Namun, dia tahu satu hal: ini bukanlah kebetulan.

Dengan napas tersengal, Aree berusaha menggoyang-goyangkan pintu, kali ini dengan lebih kuat. Tiba-tiba, suara itu berhenti, dan bayangan itu mundur sejenak, seolah memberi jalan padanya. Aree memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari keluar dari ruangan, menuju lorong sempit yang mengarah ke luar kuil.

Begitu sampai di luar, Aree menarik napas panjang dan berdiri sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Namun, meski fisiknya ada di luar ruangan yang gelap itu, pikirannya masih terperangkap dalam bayangan yang baru saja dilihatnya. Bayangan itu—arwah Phutthakham atau sesuatu yang lebih buruk—seperti mengejarnya, dan Aree tahu bahwa apa yang ia rasakan tadi hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Dia harus mencari tahu lebih banyak. Bayangan yang mengintai itu tidak akan membiarkannya begitu saja.*

Bab 4: Jejak Berdarah

Keheningan malam itu semakin pekat saat Aree kembali ke area belakang kuil. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan gelap yang ia temui sebelumnya. Meskipun udara malam terasa semakin dingin, tubuhnya terasa panas, tercekik oleh ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. Ia tak bisa tidur—sepertinya, setiap sudut kuil ini menyimpan misteri yang mengerikan. Semakin ia berusaha menjauh, semakin dalam pula ia terperangkap dalam jaring ketakutan yang semakin melilit.

Langkah kaki Aree terhenti ketika dia melihat sesuatu yang berbeda. Di tengah jalan setapak yang dipenuhi batu, ada sesuatu yang mencolok di bawah cahaya lentera. Jejak-jejak berdarah.

Awalnya, Aree ragu untuk mendekati, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Jejak-jejak itu tidak tampak seperti darah biasa—warnanya lebih gelap, hampir hitam, dan tampaknya baru saja mengering. Dari jejak pertama, jejak darah itu menyebar semakin jauh ke dalam kawasan kuil, mengarah ke ruang yang lebih gelap di dekat bangunan utama tempat altar berada.

Aree berdiri sebentar, menatap jejak-jejak itu dengan hati-hati. Bayangan yang ia lihat sebelumnya, perasaan terancam oleh sesuatu yang tak terlihat, kini semakin jelas dalam pikirannya. Ia tidak bisa hanya berdiam diri, tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi di tempat ini. Rasa takut yang mencekam hatinya membuatnya berpikir dua kali, namun naluri jurnalistiknya—ingin mengetahui kebenaran—mendorongnya untuk melangkah maju.

Jejak darah itu semakin membentuk pola yang mengarah ke dalam sebuah ruangan kecil yang tersembunyi di belakang kuil, sebuah tempat yang belum pernah Aree lihat sebelumnya. Dengan senter di tangan, ia mendekati pintu kayu tua yang tampaknya sudah lama tidak digunakan. Pintu itu tertutup rapat, tetapi Aree bisa melihat bahwa ada celah kecil di bawahnya, cukup untuk mengintip ke dalam.

Saat Aree bersiap untuk membuka pintu itu, suara langkah kaki yang berat tiba-tiba terdengar di belakangnya. Cepat, ia menoleh. Tak ada apa-apa. Sejenak, ia merasa kebingungannya semakin besar, dan rasa takut kembali mencengkeramnya. Suara itu tidak hanya datang dari satu arah—seperti ada yang mengintai dari berbagai sudut kuil.

Namun, Aree tahu bahwa dia tidak bisa mundur. Pintu itu harus dibuka. Jejak berdarah yang membawanya ke sini—semuanya berhubungan, dan ia harus menemukan jawabannya.

Dengan jantung berdebar, Aree memutar gagang pintu dengan hati-hati. Ketika pintu itu terbuka, bau amis darah yang menguar segera menyentuh hidungnya. Di dalam ruangan kecil itu, Aree tertegun. Di sana, di atas lantai kayu yang berderit, tergeletak sebuah tubuh—seorang biksu, dengan wajah yang tampaknya masih menyisakan rasa ketakutan yang mendalam. Matanya terbuka lebar, namun tubuhnya tidak bergerak, seperti telah kehilangan seluruh kehidupan.

Namun, ada sesuatu yang lebih mencolok dari sekadar tubuh yang tergeletak mati. Di samping tubuh itu, Aree melihat sebuah kotak kecil, terbuat dari batu hitam, seperti yang dijelaskan oleh biksu tua sebelumnya. Kotak itu terlihat utuh, meski ada noda darah di sekelilingnya.

Aree mendekat dengan hati-hati, seakan merasa ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan menghubungkannya dengan kotak itu. Saat ia mengangkat kotak itu, rasa dingin yang sangat tajam menyentuh telapak tangannya. Suasana di sekitar ruangan itu menjadi semakin tegang, dan Aree merasa seperti ada sesuatu yang membuntutinya. Apakah ini kotak yang sama yang ditemukan oleh Phutthakham? Apakah ini yang menyebabkan semua tragedi di kuil ini?

Dengan senter yang bersinar redup, Aree melihat lebih dekat ke dalam kotak. Di dalamnya, ada sebuah batu kristal kecil yang memancarkan cahaya lemah, namun sangat misterius. Batu itu terlihat begitu kuat dan kuno, seolah mengandung energi yang sangat besar—dan berbahaya. Aree merasa tubuhnya merinding hanya dengan menyentuh kotak itu.

Tiba-tiba, suara bisikan halus terdengar di telinganya, sangat pelan namun jelas, seperti suara Phutthakham yang terperangkap. “Jangan buka… jangan…”

Aree terkejut dan segera melepaskan kotak itu, memandangnya dengan mata terbelalak. Sebuah suara lain—suara berat dan menyeramkan—tiba-tiba bergema di dalam ruangan itu, membuat tubuhnya kaku.

“Ada yang salah dengan tempat ini,” suara itu terdengar lebih keras, lebih nyata, seperti berasal dari kedalaman bumi. “Kamu akan menyesal jika melangkah lebih jauh.”

Aree merasa kakinya tak bisa bergerak. Bayangan gelap kembali muncul di ruang itu, melayang seperti kabut, menyelimuti dirinya dengan ancaman yang jelas. Ia ingin berlari, tetapi tubuhnya terasa terlalu berat untuk digerakkan. Mata Aree terfokus pada tubuh biksu yang tergeletak, pada darah yang menggenang di lantai, dan pada kotak batu itu yang seakan menjadi pusat dari semua kejadian aneh di kuil ini.

Dengan satu langkah penuh keberanian, Aree memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu. Tetapi saat ia berbalik, pintu yang tadi terbuka kini tertutup rapat. Seperti ada kekuatan yang menghalanginya keluar.

Aree terjebak. Ketakutan semakin melanda tubuhnya. Apa yang harus ia lakukan.*

Bab 5: Pengungkapan

Aree berdiri di depan pintu yang terkunci, merasakan ketegangan yang begitu kuat mengikat dirinya. Ia menyentuh kotak batu hitam yang kini tergeletak di tangannya, dan hatinya berdebar semakin cepat. Bisikan-bisikan yang menggema di ruangan itu membuatnya merasa terperangkap, seolah-olah kuil ini menuntut sesuatu darinya—sesuatu yang lebih besar daripada dirinya, lebih kuat dari sekadar rasa ingin tahu.

Dengan gemetar, Aree berusaha untuk membuka pintu itu sekali lagi. Kali ini, bukan hanya tubuhnya yang terhalang, tetapi juga perasaan tidak nyaman yang semakin memburuk. Ruangan ini, dengan segala misterinya, terasa semakin menekan, mengingatkan Aree bahwa apa yang terjadi di sini bukanlah hal biasa. Ada sesuatu yang sangat gelap dan mengerikan yang tersembunyi di balik sejarah kuil ini.

Aree merasakan kehadiran yang tidak terlihat, seperti bayangan gelap yang mengikuti setiap gerakannya. Kegelapan ini bukan hanya tentang kurangnya cahaya, tetapi tentang sesuatu yang lebih dalam—kekuatan yang ada di dalam kuil ini, yang telah berabad-abad terperangkap dalam bisu, menunggu saat yang tepat untuk keluar.

Dengan satu tarikan napas, Aree memutuskan untuk menghadapi semuanya. Ia harus membuka kotak batu ini, apapun yang terjadi. Ia tidak bisa mundur. Ia tahu bahwa kotak itu adalah kunci untuk memahami semua yang terjadi, termasuk kematian biksu yang tergeletak di lantai dan hilangnya Phutthakham.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan semua ini, Aree?” gumam suara yang datang dari belakangnya. Kali ini, suara itu bukan lagi bisikan, tetapi sebuah suara yang tegas dan jelas.

Aree menoleh cepat, dan kali ini ia melihatnya—seorang pria tua berdiri di ambang pintu, mengenakan jubah kuno yang hampir identik dengan yang dikenakan biksu. Matanya yang tajam menatapnya dengan sorot yang penuh pengetahuan dan rasa kecewa.

“Ajahn,” Aree berkata dengan suara tergetar. “Apa yang terjadi di sini? Apa yang sebenarnya tersembunyi dalam kuil ini?”

Biksu tua itu mengangguk pelan, seolah sudah tahu bahwa saat ini Aree telah sampai pada titik yang tak bisa dihindari. “Kamu tidak bisa melarikan diri dari takdirmu, Aree. Seperti halnya Phutthakham, kamu terpilih untuk membuka kunci yang sudah lama terkunci. Kotak itu… kotak yang kamu pegang di tanganmu adalah pintu menuju kebenaran. Tetapi kamu harus siap untuk menerima apa yang akan kamu temui di dalamnya.”

Aree merasa jantungnya hampir berhenti berdetak mendengar kata-kata itu. “Apa yang ada di dalam kotak itu? Apa yang akan terjadi jika saya membukanya?”

Biksu tua itu mendekat, wajahnya sangat dekat dengan wajah Aree, hampir seolah mengintip ke dalam jiwanya. “Di dalam kotak itu ada lebih dari sekadar batu kristal. Ada kekuatan yang telah terperangkap selama berabad-abad, kekuatan yang bisa mengubah hidupmu… atau menghancurkannya.”

“Phutthakham…” Aree bergumam, mengingat nama biksu muda yang menghilang. “Apa yang terjadi padanya? Mengapa dia hilang?”

Biksu itu menarik napas panjang, kemudian duduk di lantai, matanya tertutup sejenak. “Phutthakham adalah orang yang mencoba membuka kotak itu. Dia terlalu muda, terlalu tidak siap. Namun, kekuatan itu tidak bisa ditahan, dan dia terperangkap dalam dunia yang berbeda—sebuah dunia di mana arwah-arwah yang tidak bisa beristirahat berkumpul, menunggu kesempatan untuk kembali ke dunia ini.”

Aree merasakan tenggorokannya kering. “Maksudmu, dia menjadi salah satu arwah yang terperangkap di sini? Di kuil ini?”

Biksu itu mengangguk. “Kuil ini dibangun untuk menyembunyikan kekuatan itu. Di sinilah banyak arwah yang terjebak. Mereka mencari seseorang untuk membuka kotak itu, agar mereka bisa kembali ke dunia ini. Dan kamu, Aree, adalah orang yang mereka tunggu. Mereka ingin kamu membuka kotak itu, agar mereka bisa keluar.”

Aree terdiam, perasaan tertekan dan cemas semakin menyelimuti dirinya. “Kenapa saya? Apa hubungannya saya dengan semua ini?”

Biksu itu menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. “Karena kamu adalah keturunan dari orang yang pertama kali menyegel kotak itu. Keluargamu terlibat dalam sejarah kuil ini, dalam mengunci kekuatan itu agar tidak bisa merusak dunia. Sekarang, kekuatan itu mencoba untuk kembali. Dan kamu, Aree, adalah satu-satunya yang bisa memutuskan apakah mereka akan bebas atau tetap terperangkap.”

Aree merasakan kakinya goyah. Ia merasa seolah berada di ujung jurang, terombang-ambing antara pilihan yang mengerikan. Satu sisi, ia merasa harus membuka kotak itu untuk mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia sadar bahwa kotak itu menyimpan sesuatu yang sangat berbahaya—sesuatu yang bahkan biksu tua itu pun tampaknya takut untuk menyentuhnya lebih jauh.

“Aree…” suara biksu tua itu kembali terdengar, kali ini penuh peringatan. “Kamu harus berhati-hati. Kekuasaan itu tidak mengenal belas kasihan. Jika kamu membuka kotak itu, tidak hanya dunia ini yang akan berubah, tetapi juga takdirmu.”

Aree menatap kotak itu sekali lagi. Batu kristal di dalamnya seolah bersinar lebih terang. Suara-suara bisikan kembali terdengar, lebih jelas, lebih kuat. Itu adalah suara-suara dari dunia lain, dari arwah-arwah yang menunggu kebebasan mereka. Aree tahu bahwa saat ini, dia berada di titik tak terelakkan—sebuah keputusan yang akan mengubah seluruh hidupnya.*

Bab 6: Keputusan

Ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang hampir menakutkan setelah Aree membuka kotak batu hitam itu. Ketika tutup kotak terangkat, cahaya dari batu kristal yang ada di dalamnya menyebar ke seluruh ruangan, memberi warna biru kehijauan yang misterius, namun tajam. Cahaya itu bukan hanya sekedar pancaran cahaya biasa—rasanya seperti cahaya yang mengandung kekuatan yang sangat kuat, seperti sedang mengundang sesuatu yang lebih besar dari sekadar benda fisik.

Aree menatap batu kristal itu dengan cemas, merasakan getaran yang kuat menjalar dari tangannya. Meskipun udara di ruangan itu tampak tenang, ia bisa merasakan sesuatu yang tidak terlihat—sebuah ancaman yang semakin mendekat. Arwah-arwah yang selama berabad-abad terperangkap di kuil ini tampaknya mulai bangkit, menarik energi dari batu itu, menunggu untuk bebas dari belenggu yang selama ini mereka alami.

“Buka,” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Suara Phutthakham, bisikan yang penuh desakan. “Buka kotak itu. Kami butuh kebebasan.”

Aree merasakan tubuhnya menggigil, namun dia tetap berdiri di tempatnya. Matanya tidak lepas dari batu kristal itu, dan meskipun suara-suara itu membisikkan janji kebebasan yang penuh godaan, sesuatu dalam dirinya mencegahnya untuk melangkah lebih jauh. Instingnya berkata bahwa jika ia melanjutkan, tidak hanya arwah-arwah yang akan bebas—sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih jahat, mungkin juga akan terlepas.

Dengan napas yang semakin berat, Aree berbalik, menatap biksu tua yang kini berdiri dengan tatapan penuh kesedihan dan kekhawatiran. Biksu itu tidak berkata apa-apa, hanya menggelengkan kepala pelan, seolah mengerti bahwa saat ini, Aree berada di persimpangan jalan yang tidak bisa dia hindari lagi.

“Aree,” suara biksu tua itu terdengar lembut, namun penuh makna. “Kamu harus memilih. Jika kamu membuka jalan bagi mereka, tidak ada yang bisa menutupnya lagi. Keputusanmu akan menentukan apakah dunia ini tetap aman atau terguncang oleh kekuatan yang tidak terkendali.”

Aree menelan ludah, perasaan bersalah mulai memenuhi dadanya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa perjalanan ini—yang dimulai dengan rasa ingin tahu dan pencarian untuk menulis sebuah artikel—akan membawanya pada dilema sebesar ini. Keputusan yang harus ia ambil bukan hanya tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang nasib dunia yang jauh lebih besar dari kuil ini.

“Jika aku tidak membuka kotak ini,” Aree bertanya, suaranya hampir tak terdengar, “apakah mereka akan tetap terjebak di sini selamanya? Apakah arwah-arwah itu akan menderita, seolah terperangkap dalam dunia ini tanpa akhir?”

Biksu tua itu menundukkan kepalanya, matanya tertutup, dan Aree bisa merasakan kesedihan yang dalam dari pandangannya. “Ada sesuatu yang lebih buruk dari sekadar terperangkap di sini, Aree. Jika kotak itu tetap tertutup, mereka mungkin akan terus terperangkap, tetapi jika kamu membukanya, mereka akan bebas, tetapi kekuatan gelap yang tersembunyi bersama mereka juga akan terlepas.”

Aree menggigit bibirnya, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan biksu tua itu. Namun, tiba-tiba, ia teringat akan wajah Phutthakham yang tersenyum di depannya sebelum ia menghilang, ingatan tentang biksu muda yang mencoba membuka kotak ini, dan bagaimana dia terjebak dalam dunia arwah yang penuh kegelapan. Phutthakham mungkin telah memilih untuk membuka kotak itu karena rasa ingin tahu, atau mungkin karena rasa belas kasihan terhadap arwah-arwah yang terperangkap. Tetapi dia membayar harga yang sangat tinggi. Bagaimana dengan dirinya? Apa yang akan terjadi jika Aree memilih untuk membuka kotak itu?

“Apa yang akan terjadi jika saya memilih untuk menutupnya, untuk melupakan semuanya?” Aree bertanya, suara penuh keresahan.

Biksu tua itu melangkah mendekat, mendekap tangannya dengan erat, seolah ingin memberikan rasa ketenangan pada Aree. “Tidak ada pilihan yang benar-benar aman, Aree. Namun, jika kamu memilih untuk menutupnya, dunia ini tetap akan berjalan seperti biasa. Tetapi jika kamu membuka kotak itu… kekuatan yang terperangkap di dalamnya akan merusak keseimbangan antara dunia manusia dan dunia arwah. Mereka akan bebas, tetapi mereka akan datang dengan tujuan yang tidak bisa kita kontrol. Kekuatan itu akan menguasai lebih banyak daripada yang kita bayangkan.”

Aree merasakan matanya terpejam, mencoba meresapi kata-kata biksu tua itu. Keputusannya terasa seperti beban yang sangat berat, seperti memilih untuk membuka pintu yang tidak bisa ditutup kembali. Jika ia membuka kotak itu, ia tidak tahu apa yang akan terjadi—apakah dia akan berhasil mengendalikan kekuatan itu atau malah menjadi bagian dari kehancuran yang tak terhindarkan. Namun, jika dia menutupnya, apa yang terjadi pada semua arwah yang telah terperangkap selama berabad-abad? Apakah dia harus membiarkan mereka tetap terjebak selamanya?

Tiba-tiba, Aree mendengar suara yang lebih jelas lagi—suara Phutthakham yang seolah mengingatkannya.

“Buka, Aree,” bisik suara itu. “Kami butuh kebebasan. Jangan biarkan kami terjebak lagi.”

Aree merasa tubuhnya hampir lumpuh. Ketika ia menatap batu kristal yang memancarkan cahaya itu, dia tahu bahwa waktunya hampir habis. Ia harus membuat pilihan.

Dengan mata yang tertutup rapat dan tubuh yang kaku, Aree akhirnya memutuskan. “Saya… saya akan menutupnya.”

Namun, pada saat itu, kotak itu bergetar dengan sangat kuat. Batu kristal di dalamnya menyala semakin terang, dan dalam sekejap, sepertinya seluruh kuil itu bergetar. Aree merasakan udara di sekitarnya berubah, semakin berat dan padat, seperti ada sesuatu yang besar sedang berusaha keluar.

Biksu tua itu menatap Aree dengan sorot mata yang penuh penyesalan, namun juga kelegaan. “Kamu sudah memilih, Aree. Tapi kamu harus siap menghadapi konsekuensinya.”

Dengan keputusan itu, Aree tahu bahwa apa yang terjadi selanjutnya tidak akan mudah. Kekuatan yang terperangkap dalam kotak itu mulai melawan upayanya untuk menutupnya kembali. Dan kini, Aree harus siap menghadapi kebenaran, dengan semua ancaman yang datang bersamanya.*

Bab 7: Bayangan yang Mengintai Pengembangan

Ariya berdiri di depan lukisan tua, matanya menyapu detail karya seni yang sudah mulai pudar dimakan usia. Di bawah lukisan itu, aksara kuno yang samar tampak hampir seperti pesan yang tertulis dalam bahasa yang hanya dapat dipahami oleh sedikit orang. Ia menyentuh permukaan kanvas dengan hati-hati, merasa seolah-olah lukisan itu menyembunyikan lebih dari sekadar simbol agama.

Bibirnya membisikkan kata-kata dalam bahasa Thailand Kuno, “Jejak bayangan akan membawamu ke dalam kegelapan.” Suara itu terasa berat di udara, seolah-olah kata-kata itu mengandung rahasia yang lebih dalam. Ariya berbalik dan menatap ke dalam ruang utama kuil, yang semakin terlihat gelap meskipun matahari belum sepenuhnya tenggelam. Langkah kaki yang terdengar sebelumnya masih menggema di telinganya, namun tak ada siapa pun di sana. Ruangan itu sunyi, hanya diisi oleh bayangan yang bergerak perlahan di bawah cahaya temaram.

Tiba-tiba, ia merasakan dingin yang menusuk tulang. Angin yang tak bisa dijelaskan berhembus, seolah berasal dari balik dinding batu yang kental dengan sejarah. Di sudut kanan ruangan, sesuatu bergerak. Ariya menyipitkan mata, berusaha menajamkan penglihatannya. Di balik kolom besar yang mengelilingi ruangan, ada bayangan yang tampaknya lebih gelap daripada kegelapan itu sendiri.

Dengan hati-hati, Ariya melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa seperti melawan tekanan yang tak terlihat. Bayangan itu semakin jelas, dan kini, ia bisa melihat sosok yang tampaknya berdiri di sana. Namun, ketika ia sampai di tempat itu, tak ada siapa pun. Hanya sepi, hanya kegelapan yang menelan segalanya.

Rasa penasaran Ariya semakin membara. Ia mengeluarkan lampu senter dari dalam tasnya, menyalakannya dan mulai mengarahkannya ke sudut-sudut gelap. Dalam cahaya redup itu, ia melihat jejak kaki yang baru saja ditemukan Chai. Jejak itu berliku-liku di sepanjang lantai batu, bergerak menuju pintu yang tampaknya sudah lama tak digunakan. Pintu itu terbuat dari kayu yang hampir lapuk, namun kunci dan palang yang menahannya masih terpasang kuat.

Ariya mendekati pintu itu dan merasakan keanehan yang lebih besar. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya di dekat palang pintu—sebuah ukiran halus yang sangat berbeda dengan desain keseluruhan kuil. Ukiran itu berbentuk lingkaran dengan garis-garis yang menyerupai simbol mata yang sedang menatap lurus ke depan. Ariya menyentuhnya dengan jari, dan dalam sekejap, suara keras dari balik dinding terdengar, seperti sesuatu yang terlepas dari penahanannya.

Pintu itu bergerak perlahan, membiarkan celah sempit yang mengungkapkan ruang tersembunyi di baliknya. Angin dingin semakin terasa, dan bau tanah basah mulai mengisi hidung Ariya. Ruangan itu tampak seperti sebuah lorong bawah tanah yang gelap, dengan dinding-dinding yang tertutup lumut dan batu-batu kuno.

Sebelum melangkah lebih jauh, Ariya berhenti sejenak, merasakan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Ada sesuatu yang mengawasi setiap gerakannya. Tiba-tiba, bayangan gelap yang ia lihat sebelumnya kembali muncul di hadapannya, kali ini lebih jelas dan lebih dekat. Ariya menegakkan tubuhnya, siap menghadapi apapun yang ada di hadapannya.

Namun, bayangan itu tiba-tiba menghilang, seolah menyatu dengan kegelapan yang lebih dalam. Ariya merasakan ketegangan yang mengalir di seluruh tubuhnya. Ia tahu bahwa di balik semua ini, ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tersembunyi dalam sejarah panjang kuil Wah Phra, dan ia harus menggali lebih dalam untuk mengungkapnya.

Dengan satu langkah mantap, Ariya memasuki lorong itu, mengikuti jejak bayangan yang tak terlihat, dan bertekad untuk mengungkap misteri yang telah menanti selama berabad-abad.

Di balik kegelapan, ada rahasia yang menunggu untuk dibuka. Dan Ariya akan menjadi orang yang memecahkannya.***

—————-THE END—————

Tags: #Cerita Horor#Jejak Berdarah#Pintu Dimensi Lain#Thriller Psikologis#Wat Phra
Previous Post

MEMBONGKAR DRAMA DI GRUP KELUARGA

Next Post

KENAPA HARUS JATUH CINTA SAMA TUKANG HUTANG

Next Post
KENAPA HARUS JATUH CINTA SAMA TUKANG HUTANG

KENAPA HARUS JATUH CINTA SAMA TUKANG HUTANG

JEJAK HANTU DI WAT ARUN

JEJAK HANTU DI WAT ARUN

BAYANGAN DI CHIANG MAI

BAYANGAN DI CHIANG MAI

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In