• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SUNGAI TERLUPAKAN ZAMAN

SUNGAI TERLUPAKAN ZAMAN

January 29, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SUNGAI TERLUPAKAN ZAMAN

SUNGAI TERLUPAKAN ZAMAN

Dalam aliran sungai, kisah lama kembali menghidupkan dunia yang terlupakan.

by FASA KEDJA
January 29, 2025
in Sejarah
Reading Time: 18 mins read

Prolog

Di dalam setiap aliran sungai, terdapat lebih dari sekadar air. Ada kisah-kisah yang terpendam, kenangan yang terlupakan, dan rahasia yang tersembunyi di dasar yang dalam. Sungai Hijau adalah salah satu dari sekian banyak sungai yang pernah mengalir dengan kehidupan yang begitu deras. Namun, seperti halnya banyak kisah kuno yang terbungkus kabut sejarah, Sungai Hijau pun akhirnya menghilang, tak meninggalkan jejak kecuali tanah yang kering dan kenangan yang samar.

 

Kerajaan Miyama pernah berdiri kokoh di sepanjang aliran sungai ini. Tanah subur yang dipelihara oleh aliran air yang jernih, kerajaan itu tumbuh makmur di bawah perlindungan para dewa dan roh sungai. Namun, seiring berjalannya waktu, segalanya mulai berubah. Sungai Hijau yang dulu mengalir penuh kehidupan mulai menyusut, perlahan mengering hingga akhirnya benar-benar menghilang dari peta. Kerajaan Miyama pun ikut runtuh, tenggelam dalam keheningan sejarah.

 

Hanya ada satu cerita yang terus bertahan dalam ingatan penduduk desa yang tinggal di sekitar reruntuhan itu, tentang sebuah ritual kuno yang dapat mengembalikan Sungai Hijau. Namun, ritual tersebut bukanlah hal yang dapat dilakukan begitu saja. Pengorbanan adalah harga yang harus dibayar, sebuah pengorbanan yang menguji batas-batas keberanian, cinta, dan takdir.

 

Tuan Ishida adalah seorang sejarawan muda yang terpesona oleh kisah-kisah sejarah. Perjalanannya dimulai ketika ia menemukan sebuah prasasti batu di reruntuhan kuno di dekat desa itu. Prasasti tersebut menggambarkan sesuatu yang lebih dari sekadar sejarah; ia mengandung petunjuk tentang cara mengembalikan sungai yang telah lama hilang. Dalam pencariannya, ia bertemu dengan berbagai sosok yang masing-masing memiliki cerita dan petunjuk yang berbeda, hingga akhirnya ia menyadari bahwa untuk mengembalikan Sungai Hijau, ia harus menghadapi takdir yang lebih besar dari dirinya sendiri.

 

Ketika Ishida mulai menyelidiki lebih dalam, ia menemukan bahwa tidak hanya sejarah yang hilang—namun juga jiwa-jiwa yang terikat pada sungai itu. Roh yang menjaga aliran air, dan jiwa-jiwa yang pernah menjadi korban dari ritual pengorbanan yang dilakukan oleh kerajaan Miyama. Ada perasaan kuat yang mengarah padanya, bahwa ia adalah orang yang ditakdirkan untuk menjalankan ritual tersebut. Namun, ia harus siap menghadapi konsekuensi dari keputusan besar ini.

 

Seiring perjalanan waktu, Ishida mulai menemukan lebih banyak rahasia yang lebih gelap daripada yang ia duga. Pengorbanan yang harus dilakukan bukan hanya soal tubuh, tetapi juga jiwa yang akan terikat selamanya pada Sungai Hijau. Ketika ritual itu dimulai, tidak ada yang tahu pasti apakah itu akan mengembalikan kehidupan pada sungai, ataukah malah mengorbankan segala yang telah ia kenal.

 

Saat bulan purnama mulai terbit, sebuah keputusan harus diambil. Pengorbanan besar yang akan mengubah takdir seorang pria, sebuah desa, dan bahkan aliran sungai yang pernah hilang—semuanya bergantung pada satu titik ini. Sebuah kisah tentang pengorbanan, takdir, dan kekuatan alam yang tersembunyi di dalam setiap aliran air.*

Bab 1: Jejak Masa Lalu

Tuan Ishida tidak pernah menyangka bahwa sebuah buku tua yang diwariskan oleh kakeknya akan membawanya ke petualangan yang tak terduga. Buku itu, sebuah naskah kuno dengan sampul kulit yang sudah pudar dan halaman yang mulai rapuh, terlihat seperti benda biasa di sudut perpustakaan pribadinya. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya ketika ia menemukan sebuah catatan kecil yang terlipat di antara halaman-halaman buku tersebut. Catatan itu mencatatkan kata-kata yang menyebutkan “Sungai Hijau” dan menyebutkan sebuah desa yang hilang di sepanjang alirannya.

Ishida, yang selama ini telah lama berkecimpung dalam dunia penelitian sejarah, merasa ada sebuah misteri yang belum terungkap. Sebagai seorang ahli sejarah, ia selalu tertarik pada hal-hal yang terlupakan oleh waktu, dan nama “Sungai Hijau” tidak pernah ia temui dalam buku-buku sejarah yang biasa ia baca. Meskipun banyak tempat yang hilang dalam catatan sejarah, ada sesuatu yang membuat sungai ini terasa berbeda. Ia merasa, jika bisa mengungkap kisah di balik sungai yang tak lagi ada itu, mungkin ia bisa menemukan petunjuk tentang peradaban yang telah menghilang.

Buku tua itu menggambarkan sebuah sungai yang dulunya menjadi nadi kehidupan bagi sebuah kerajaan kecil. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sungai itu perlahan mengering, dan tidak ada lagi catatan atau jejak tentang keberadaannya. Ishida terpesona oleh kenyataan bahwa sungai yang begitu penting bagi sejarah bisa terlupakan begitu saja. Ia menyadari bahwa sungai itu bukan hanya sekadar aliran air, tetapi sebuah simbol kehidupan bagi orang-orang yang bergantung padanya. Namun, mengapa sungai itu bisa menghilang begitu saja? Apa yang terjadi pada kerajaan yang pernah menghuni wilayah itu?

Keingintahuan Ishida semakin membara. Ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh, meninggalkan kenyamanan kota besar, dan berangkat menuju tempat yang disebutkan dalam buku itu. Ia memutuskan untuk pergi ke desa yang kini hanya tinggal dalam kenangan. Berdasarkan petunjuk dari buku, desa tersebut terletak di daerah terpencil, jauh dari jalur utama transportasi. Hanya beberapa orang yang pernah mendengar tentang keberadaannya. Desa itu, yang dulu dikenal sebagai Desa Miyama, kini telah menghilang dari peta, ditinggalkan oleh generasi muda yang lebih memilih pergi ke kota besar untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Dengan hati yang penuh harapan, Ishida mempersiapkan perjalanan itu. Ia merasa, meskipun tantangan yang menantinya pasti tidak mudah, ini adalah kesempatan yang langka untuk mengungkapkan kembali sebuah bagian dari sejarah yang telah terkubur lama. Ia mengumpulkan peralatan yang dibutuhkan, termasuk kamera untuk mendokumentasikan penemuan-penemuannya nanti, serta beberapa alat tulis dan peta yang mungkin berguna selama pencarian.

Perjalanan menuju desa itu tidaklah mudah. Ishida harus melewati hutan lebat dan pegunungan yang terjal, di mana sinar matahari hampir tidak menembus celah-celah pepohonan. Namun, setiap langkah yang diambilnya semakin memperkuat tekadnya untuk menemukan jawaban. Ia membayangkan bagaimana desa itu pernah menjadi tempat yang subur, dikelilingi oleh sungai yang membawa kehidupan bagi penduduknya. Tentu, itu adalah gambaran yang sangat berbeda dengan kondisi sekarang, yang hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Setelah beberapa hari perjalanan, Ishida akhirnya tiba di daerah yang disebutkan dalam buku. Namun, yang ia temui justru sebuah pemandangan yang jauh dari harapannya. Hanya ada tanah kosong, ditumbuhi rumput liar yang tinggi dan pohon-pohon tua yang tampaknya sudah berabad-abad umurnya. Tidak ada lagi rumah-rumah yang tersisa, tidak ada jejak kehidupan manusia. Hanya kesunyian yang menyelimuti tempat itu.

Ishida merasa sedikit kecewa, tetapi ia tidak menyerah. Ia berkeliling untuk mencari petunjuk lebih lanjut. Mungkin ada sesuatu yang tertinggal di sini, meskipun desa itu tampaknya telah lama dilupakan. Saat berjalan di sepanjang daerah itu, matanya menangkap sebuah struktur batu yang setengah terkubur oleh tanah. Bangunan itu tampak seperti sisa-sisa tembok yang pernah mengelilingi suatu area. Mungkin ini adalah bagian dari tembok desa yang dulu berdiri kokoh.

Dengan hati-hati, Ishida menggali sedikit tanah di sekitar batu tersebut dan menemukan sebuah prasasti yang hampir tak terbaca. Namun, setelah membersihkannya dengan lembut, ia mulai bisa membaca sebagian dari tulisan itu. Kata-kata yang tertera di prasasti itu mencatatkan nama sungai yang dimaksud dalam buku tua kakeknya: Sungai Hijau. Kata-kata tersebut membawanya pada pemahaman bahwa desa ini bukan sekadar sebuah pemukiman biasa. Desa ini adalah pusat kehidupan, yang berdiri di atas dasar sebuah sejarah besar yang terlupakan.

Ketika Ishida merenung sejenak, ia merasakan adanya suatu getaran, seolah-olah tempat ini masih menyimpan rahasia yang lebih besar daripada yang ia duga. Dalam pikirannya, terbersit sebuah pertanyaan besar: mengapa sungai itu mengering? Mengapa kerajaan yang pernah ada di sini menghilang begitu saja? Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini?

Perasaan penasaran semakin membelenggu pikirannya. Dia harus menggali lebih dalam, mencari lebih banyak petunjuk. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, ia melihat sosok seseorang yang tampaknya sudah menunggu kedatangannya. Seorang wanita tua dengan rambut putih panjang yang mengenakan pakaian sederhana. Wanita itu terlihat tidak terganggu dengan kehadiran Ishida, seolah-olah ia sudah tahu bahwa orang seperti Ishida pasti akan datang.

Wanita tua itu tersenyum samar, seakan mengerti bahwa Ishida adalah orang yang tepat untuk mendalami misteri yang telah lama terkubur di sini. Ia kemudian berkata dengan suara lembut, “Kamu datang untuk mencari Sungai Hijau, bukan?”

Ishida tertegun, tetapi ia segera mengangguk. “Ya, saya ingin tahu apa yang terjadi dengan sungai itu, dengan desa ini. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Wanita tua itu menatap jauh ke arah reruntuhan desa, lalu perlahan berkata, “Mungkin sudah waktunya bagi sejarah ini untuk diceritakan lagi.”*

Bab 2: Sejarah yang tenggelam

Wanita tua itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Nenek Sumi, membawa Tuan Ishida menuju sebuah rumah kayu tua di pinggir hutan. Rumah itu sederhana, namun penuh dengan barang-barang antik yang tampaknya menyimpan cerita panjang. Di dalamnya, bau kayu dan daun kering mengisi udara, sementara cahaya matahari yang merembes dari celah-celah jendela menciptakan atmosfer yang tenang. Nenek Sumi duduk di kursi kayu tua dan mempersilakan Ishida untuk duduk di hadapannya.

 

“Jadi, kamu ingin tahu tentang Sungai Hijau, bukan?” kata Nenek Sumi, suaranya penuh dengan kebijaksanaan yang terkandung dalam usia panjangnya.

 

Ishida mengangguk, matanya penuh dengan rasa ingin tahu. “Ya, saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sungai itu. Kenapa sungai yang begitu penting bagi desa ini bisa menghilang begitu saja? Dan kenapa tak ada yang menyebutnya lagi?”

 

Nenek Sumi tersenyum tipis. “Sungai Hijau bukan hanya sekadar sungai biasa, nak. Ia adalah tulang punggung kehidupan, bukan hanya bagi desa ini, tetapi bagi seluruh kerajaan yang pernah berdiri di sepanjang alirannya.”

 

Ishida terkejut. “Kerajaan? Maksud Anda, ada sebuah kerajaan yang pernah ada di sini?”

 

“Betul,” jawab Nenek Sumi, suaranya terdengar dalam dan berat. “Kerajaan Miyama, sebuah kerajaan kecil yang pernah menjadi kekuatan besar di wilayah ini. Sungai Hijau adalah sumber kehidupan mereka. Tapi, seperti semua kisah besar, ada harga yang harus dibayar.”

 

Tuan Ishida semakin tertarik. Ia menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, mempersiapkan diri untuk mendengar kisah yang mungkin akan mengubah pandangannya tentang sejarah tempat ini. “Apa yang terjadi dengan kerajaan itu? Mengapa mereka bisa hilang begitu saja?”

 

Nenek Sumi menunduk sejenak, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai cerita. Kemudian, dengan suara yang pelan namun jelas, ia mulai bercerita.

 

Di masa lalu, jauh sebelum desa ini terlupakan, Sungai Hijau mengalir deras melalui lembah yang subur. Sungai itu bukan hanya menjadi tempat bagi penduduk untuk mencari air, tetapi juga menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan kerajaan Miyama dengan dunia luar. Airnya yang jernih dan tanahnya yang subur memungkinkan kerajaan ini untuk berkembang pesat. Pertanian menjadi tulang punggung ekonomi kerajaan, dan kehidupan rakyatnya sejahtera. Tak ada yang lebih dihormati daripada Sungai Hijau yang mengalir melalui lembah itu, karena ia bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga dipercaya memiliki kekuatan magis yang mendalam.

 

Namun, kekuatan itu bukan tanpa konsekuensi.

 

Pemerintah kerajaan Miyama dipimpin oleh seorang raja bijaksana bernama Raja Akihiro. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan ini berkembang pesat. Akan tetapi, pada suatu waktu, muncul seorang penasihat baru di istana, seorang pria muda yang tampaknya memiliki pengetahuan luas tentang seni magis. Pria ini, yang dikenal dengan nama Ryuu, mulai bergaul dengan para pendeta dan pemuka agama di kerajaan. Ia mengklaim bahwa ia bisa membuat Sungai Hijau semakin subur dan mengalir lebih deras dengan bantuan ritual magis kuno yang hanya ia ketahui. Namun, ia memperingatkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan pengorbanan besar, yang akan mengubah segalanya.

 

Raja Akihiro, yang terpesona dengan janji-janji Ryuu, memutuskan untuk melakukan eksperimen tersebut. Dalam pertemuan besar yang dihadiri oleh seluruh anggota istana, Ryuu mengungkapkan bahwa untuk memanggil kekuatan sungai, mereka harus mengorbankan sesuatu yang sangat berharga: darah dari keluarga kerajaan. Raja Akihiro terkejut, tetapi Ryuu meyakinkannya bahwa pengorbanan ini akan membawa kemakmuran yang tak terbayangkan.

 

Dengan rasa ragu, Raja Akihiro setuju untuk melakukan ritual tersebut, percaya bahwa ini adalah cara terbaik untuk memastikan masa depan kerajaan yang lebih sejahtera. Pada malam yang ditentukan, seorang putri muda, putri dari Raja Akihiro yang bernama Aiko, disiapkan untuk menjadi korban dalam ritual itu. Namun, sebelum ritual dilaksanakan, terjadi sesuatu yang tidak terduga.

 

Salah seorang pejabat istana, yang tidak setuju dengan rencana tersebut, membocorkan informasi kepada rakyat. Protes besar-besaran meletus di seluruh kerajaan. Banyak orang yang marah dan takut akan konsekuensi dari ritual tersebut. Mereka merasa bahwa mengorbankan darah keluarga kerajaan adalah tindakan yang tidak bisa diterima. Namun, yang lebih mengerikan adalah rumor yang beredar bahwa Ryuu sendiri bukan hanya seorang penasihat kerajaan, melainkan juga seorang penyihir yang memiliki tujuan tersembunyi.

 

Pada malam ritual itu, sebuah peristiwa tragis terjadi. Ketika prosesi sedang berlangsung, rakyat yang marah menyerbu istana. Dalam kekacauan yang terjadi, Ryuu ditangkap, namun sebelum dia dibunuh, dia mengucapkan kutukan yang mengerikan. “Sungai Hijau akan mengering, dan kerajaan ini akan hancur, jika kalian menentang takdir yang telah ditentukan,” katanya dengan suara yang penuh kebencian.

 

Keesokan harinya, meskipun Ryuu telah mati, peristiwa itu meninggalkan dampak yang besar. Sungai Hijau yang sebelumnya mengalir deras mulai surut, alirannya semakin mengecil dan akhirnya berhenti sama sekali. Tanah yang dulu subur kini menjadi tandus. Kerajaan Miyama, yang telah berjuang untuk bertahan hidup, akhirnya runtuh. Rakyatnya yang dulu sejahtera kini terpaksa meninggalkan rumah mereka, berkelana mencari kehidupan baru di tempat lain.

 

Nenek Sumi berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ishida mendengarkan dengan saksama, seolah-olah kisah ini membuka tabir gelap dari sejarah yang telah lama terlupakan. “Jadi, Sungai Hijau benar-benar mengering setelah itu?” tanya Ishida.

 

“Ya,” jawab Nenek Sumi, matanya melayang jauh ke masa lalu. “Dan sejak saat itu, tidak ada yang berani kembali ke tempat ini. Desa ini pun ditinggalkan. Namun, tidak semua orang pergi begitu saja. Beberapa orang memilih tinggal di sekitar reruntuhan, menjaga rahasia tentang apa yang sebenarnya terjadi.”

 

Ishida terdiam sejenak, merenungkan cerita yang baru saja didengarnya. Ada banyak pertanyaan yang menggelayuti pikirannya. “Lalu, apakah kutukan itu benar-benar ada?” tanyanya pelan.

 

Nenek Sumi mengangguk perlahan. “Ada orang yang percaya itu, dan ada juga yang tidak. Namun, tidak ada yang pernah kembali untuk menemukan jawabannya. Sungai Hijau tetap hilang, dan sejarah kerajaan Miyama pun terkubur dalam waktu.”

 

Ishida merasa seolah-olah sebuah tirai telah terangkat, memperlihatkan gambaran yang lebih besar dari sejarah yang telah lama terlupakan. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih jauh dari selesai. Ada lebih banyak yang harus digali, lebih banyak yang harus ditemukan. Dan mungkin, ia akan menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik kisah tragis Sungai Hijau.*

Bab 3: Misteri di Balik Sungai

Setelah mendengar cerita Nenek Sumi, Tuan Ishida merasa bahwa ia berada di tengah sebuah misteri yang lebih dalam dari yang bisa dibayangkannya sebelumnya. Tidak hanya tentang Sungai Hijau yang mengering, tetapi juga tentang sejarah kerajaan Miyama yang penuh dengan pengkhianatan dan kutukan. Ia merasa semakin tertarik untuk menggali lebih jauh, meskipun semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Apakah ada kebenaran di balik kutukan Ryuu? Mengapa Sungai Hijau mengering begitu tiba-tiba setelah raja memutuskan untuk membatalkan ritual? Dan, apakah ada rahasia yang lebih besar yang tersembunyi di tempat ini?

Pagi berikutnya, setelah tidur semalam di rumah sederhana Nenek Sumi, Ishida memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Ia tahu bahwa meskipun banyak petunjuk yang sudah diberikan, masih ada banyak yang harus ditemukan, terutama mengenai alasan mengapa sungai yang begitu penting bagi kehidupan desa bisa menghilang begitu saja.

Ia memutuskan untuk mengunjungi reruntuhan di pinggir desa tempat Nenek Sumi menyebutkan adanya struktur batu yang dulu mungkin menjadi bagian dari istana. Nenek Sumi, meskipun usianya sudah lanjut, tidak ikut serta dalam pencarian ini. Ia memilih untuk tetap tinggal di rumah dan memberikan pengetahuan lebih lanjut tentang sejarah desa apabila Ishida membutuhkan informasi lebih.

Sambil berjalan menyusuri reruntuhan, Ishida berpikir tentang satu hal yang menarik perhatiannya: mengapa setelah peristiwa itu, tidak ada catatan lebih lanjut yang mencatat keberadaan Sungai Hijau? Mengapa desa dan sungai yang begitu vital bagi kerajaan Miyama bisa hilang begitu saja dari peta sejarah?

Setelah beberapa jam menyusuri tanah yang tandus dan berbatu, Ishida akhirnya sampai di lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan. Di sana, di tengah reruntuhan batu dan tumpukan tanah, ia menemukan sesuatu yang menarik: sebuah batu prasasti yang hampir terkubur oleh tanah. Prasasti itu tampaknya lebih tua dari yang pernah ia lihat sebelumnya. Dengan penuh hati-hati, Ishida membersihkan kotoran dan tanah yang menutupi prasasti itu, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut.

Prasasti itu terbuat dari batu besar yang dihiasi dengan ukiran rumit, namun bagian tengahnya tergores sedalam mungkin, seakan-akan ada sesuatu yang sengaja dihapus dari sejarah. Ishida mengamati setiap detil ukiran itu dan berusaha untuk membaca tulisan yang tampak samar. Dalam beberapa saat, ia berhasil mengidentifikasi beberapa kata yang terlihat familiar, meskipun sebagian besar masih samar.

Kata-kata itu berbunyi: “Sungai Hijau akan kembali, hanya dengan satu pengorbanan terakhir. Mereka yang memelihara rahasia ini akan menjaga dunia dari kegelapan.”

Ishida terkejut. Apa yang dimaksud dengan “pengorbanan terakhir”? Dan siapa yang dimaksud dengan “mereka yang memelihara rahasia ini”? Ada sesuatu yang terasa ganjil, seolah ada bagian dari sejarah yang sengaja disembunyikan.

Dengan hati-hati, Ishida mencatat temuan itu dalam buku catatannya, lalu melanjutkan pencariannya. Ia memutuskan untuk mencari orang-orang yang mungkin masih memiliki pengetahuan lebih lanjut tentang sejarah tempat ini. Salah satu orang yang terlintas dalam pikirannya adalah penduduk setempat yang telah lama tinggal di daerah ini—orang yang mungkin bisa memberikan lebih banyak informasi tentang masa lalu desa ini.

Ishida kembali ke rumah Nenek Sumi dan bertanya apakah ada orang lain yang masih hidup di sekitar desa ini yang mungkin tahu lebih banyak tentang kejadian-kejadian yang menimpa kerajaan Miyama. Nenek Sumi terlihat merenung sejenak sebelum menjawab, “Ada seorang lelaki tua di ujung desa. Namanya Hara, dia dulu adalah penjaga arca yang ditempatkan di dekat kuil kerajaan. Dia masih hidup, meskipun sekarang hanya tinggal seorang diri. Mungkin dia tahu lebih banyak tentang sejarah kerajaan yang sudah lama terlupakan.”

Ishida merasa bahwa Hara adalah orang yang tepat untuk dihubungi. Ia berterima kasih kepada Nenek Sumi dan segera menuju ke ujung desa.

Rumah Hara terletak jauh di pinggiran desa, di bawah bayang-bayang hutan yang lebih lebat dan misterius. Ketika Ishida sampai di depan rumahnya, ia melihat bahwa rumah itu tampaknya sudah lama tidak terurus. Tumbuhan merambat menutupi dindingnya, dan atapnya tampak hampir rubuh. Namun, ketika Ishida mengetuk pintu, seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan tubuh yang kurus membuka pintu perlahan.

Hara menatap Ishida dengan mata yang tajam dan penuh kewaspadaan. “Apa yang kamu cari di sini?” tanyanya, suaranya serak namun tegas.

Ishida menjelaskan niatnya untuk mencari tahu lebih banyak tentang sejarah kerajaan Miyama dan Sungai Hijau. Setelah mendengar penjelasan itu, Hara terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Kau datang ke tempat yang tepat,” katanya akhirnya. “Tapi hati-hati, nak. Tidak semua yang tersembunyi di sini akan membawa kebaikan.”

Ishida memasuki rumah Hara, yang tampak sangat sederhana namun penuh dengan barang-barang lama. Di salah satu sudut ruangan, terdapat sebuah arca besar yang terbuat dari batu, mirip dengan yang disebutkan dalam cerita Nenek Sumi. Hara menceritakan bahwa arca ini dulunya adalah simbol kerajaan Miyama, dan sering dipuja oleh rakyat sebagai lambang perlindungan dari ancaman luar.

“Arca ini,” kata Hara, sambil menyentuh dengan hati-hati bagian dasar arca, “dulu merupakan pelindung bagi kerajaan. Namun setelah tragedi itu, arca ini tidak lagi dipuja. Banyak yang percaya bahwa arca ini menyimpan kekuatan besar, bahkan mungkin bisa memanggil kembali Sungai Hijau.”

Ishida mengerutkan kening. “Apakah maksudmu… arca ini bisa mengembalikan sungai itu?”

Hara mengangguk. “Ada cerita lama yang mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk memulihkan Sungai Hijau adalah dengan melakukan ritual tertentu di sekitar arca ini. Namun, ritual itu bukan tanpa risikonya. Ada bagian dari sejarah ini yang tidak ingin diungkapkan, karena bisa membawa malapetaka bagi siapa pun yang mencobanya.”

Ishida terdiam sejenak, merenungkan apa yang baru saja didengarnya. “Jadi, ada cara untuk mengembalikan Sungai Hijau? Tapi ada bahaya yang menyertainya?”

Hara mengangguk dengan serius. “Benar. Dan hanya mereka yang benar-benar tahu sejarah ini yang bisa menjalankan ritual tersebut. Tetapi siapa pun yang melakukannya harus siap dengan pengorbanan yang besar.”

Ishida merasa semakin bingung dan terperangah oleh apa yang baru saja ia dengar. Ada begitu banyak yang masih tersembunyi tentang Sungai Hijau, tentang kerajaan Miyama, dan tentang arca yang telah lama terlupakan ini. Ia tahu bahwa ia telah menemukan petunjuk besar, tetapi juga harus berhati-hati, karena misteri ini semakin rumit dan penuh dengan bahaya yang tak terduga.*

Bab 4: Arca dan Pengorbanan

Setelah percakapan dengan Hara, Tuan Ishida merasa lebih terikat pada perjalanan yang tengah ia jalani. Semua petunjuk yang ia kumpulkan—dari Nenek Sumi, prasasti batu, dan kini kisah tentang arca yang bisa mengembalikan Sungai Hijau—sepertinya mengarah pada satu titik: sebuah ritual yang penuh dengan misteri dan pengorbanan.

 

Namun, pertanyaan besar masih menggantung di benaknya. Mengapa ritual itu membutuhkan pengorbanan? Siapa yang harus berkorban, dan apa yang akan terjadi jika ritual tersebut berhasil? Terkadang, dalam pencarian akan kebenaran, sebuah jawaban bisa membawa lebih banyak pertanyaan.

 

Hari itu, Ishida memutuskan untuk kembali ke reruntuhan tempat ia menemukan prasasti batu, berharap bisa menemukan lebih banyak petunjuk. Hara telah memberikan petunjuk penting, namun Ishida merasa ada sesuatu yang kurang. Ia merasa bahwa untuk benar-benar memahami apa yang terjadi pada Sungai Hijau, ia harus menggali lebih dalam, baik di sekitar arca yang diceritakan Hara maupun pada tanah yang dahulu menjadi bagian dari kerajaan Miyama.

 

Sesampainya di reruntuhan, Ishida merasa udara di sekitarnya semakin berat. Suasana di sana, yang dulunya dipenuhi dengan kehidupan, kini terasa sepi dan terabaikan. Bangunan-bangunan yang dulu kokoh kini telah runtuh, tertutup oleh tanaman liar dan akar pohon. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda hari ini. Sebuah energi yang aneh mengalir di udara, seolah-olah tanah ini masih menyimpan kekuatan yang terlupakan.

 

Ishida memutuskan untuk mencari lebih dekat di sekitar dasar arca yang ditemukan Hara. Dengan hati-hati, ia membersihkan tanah di sekitar arca tersebut. Semakin dalam ia menggali, semakin ia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi. Tiba-tiba, ujung sekopnya menyentuh sesuatu yang keras. Sebuah benda keras, berbentuk segi empat, terungkap. Dengan penuh rasa ingin tahu, Ishida menarik benda itu keluar.

 

Benda itu ternyata sebuah kotak batu yang terkunci rapat. Ukiran pada kotak itu mirip dengan ukiran yang ada pada prasasti batu yang ia temukan beberapa hari sebelumnya. Ada simbol-simbol aneh yang tampaknya berkaitan dengan kekuatan alam dan air, serta simbol yang menggambarkan dua tangan saling berpegangan, seperti pengorbanan yang harus dilakukan bersama.

 

Ishida membuka kotak itu dengan hati-hati, dan di dalamnya ia menemukan sebuah gulungan kertas kuno. Di gulungan itu tertulis sebuah teks yang semakin menguatkan dugaan Ishida. Teks tersebut menjelaskan lebih lanjut tentang ritual yang dimaksudkan untuk mengembalikan Sungai Hijau. Namun, semakin ia membaca, semakin terasa beratnya pilihan yang harus dihadapi.

 

“Hanya dengan darah yang terikat pada tanah ini, pengorbanan yang dilakukan dengan hati yang murni dapat memanggil kembali aliran Sungai Hijau. Namun, kehancuran akan mengikuti mereka yang tidak siap dengan akibatnya. Dewa sungai akan memberikan kembali kehidupan, tetapi jiwa yang terikat dengan sungai itu akan hilang selamanya. Maka, pilihlah dengan bijaksana.”

 

Ishida merasa tubuhnya merinding. Apa yang dimaksud dengan “jiwa yang terikat”? Dan siapa yang akan menjadi korban dalam ritual ini? Ia bertanya-tanya apakah ada orang yang pernah berhasil menjalani ritual itu, atau apakah semuanya hanya sebuah mitos belaka.

 

Namun, satu hal yang pasti: Sungai Hijau, yang dulu memberi kehidupan kepada kerajaan Miyama, bisa kembali mengalir. Tapi ada harga yang harus dibayar, dan harga itu tampaknya lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan.

 

Malam itu, Ishida kembali ke rumah Nenek Sumi, membawa gulungan kertas yang baru ia temukan. Ketika ia memasuki rumah kecil itu, Nenek Sumi sedang duduk di bangku kayu, menunggu dengan tenang. Dari ekspresinya, ia tampak tahu bahwa Ishida membawa sesuatu yang penting.

 

“Kamu sudah menemukannya, bukan?” tanya Nenek Sumi dengan suara lembut.

 

Ishida mengangguk, membuka gulungan kertas itu dan menunjukkannya kepada Nenek Sumi. “Ini,” katanya, “berisi tentang ritual yang bisa mengembalikan Sungai Hijau. Tapi ada pengorbanan yang harus dilakukan, dan teks ini mengatakan bahwa jiwa yang terikat dengan sungai itu akan hilang selamanya.”

 

Nenek Sumi membaca dengan seksama, kemudian menghela napas panjang. “Kamu harus berhati-hati, nak. Ritual itu bukan sesuatu yang bisa dianggap ringan. Sungai Hijau tidak hanya memberi kehidupan, tapi ia juga memiliki kekuatan gelap yang tersembunyi. Mengembalikannya berarti menyeimbangkan dua dunia—dunia manusia dan dunia roh sungai.”

 

Ishida merasa semakin tertekan. “Apa maksudmu dengan dunia roh sungai?”

 

“Roh sungai adalah penjaga alam ini. Mereka adalah bagian dari kekuatan yang mengalir melalui tanah ini. Ketika kerajaan Miyama melakukan pengorbanan pertama, mereka memanggil kekuatan itu, dan dengan kekuatan itu, Sungai Hijau berkembang pesat. Tetapi mereka tidak tahu bahwa setiap tindakan yang melibatkan roh sungai akan meninggalkan bekas yang tak terhapuskan,” jawab Nenek Sumi. “Pengorbanan pertama yang dilakukan oleh keluarga kerajaan adalah sesuatu yang tidak dapat dipulihkan, dan kini, untuk mengembalikan sungai, seseorang harus berani memberi sesuatu yang lebih besar—sebuah pengorbanan yang bukan hanya akan mengubah hidup, tetapi juga takdir mereka.”

 

Ishida merasa bingung dan terperangah. “Jadi, apakah ini berarti seseorang harus mati untuk mengembalikan Sungai Hijau?”

 

Nenek Sumi menunduk, matanya penuh dengan kesedihan. “Tidak ada yang tahu pasti, nak. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah ritual itu selesai. Yang jelas, hidup mereka yang terlibat tidak akan sama lagi. Jika kamu benar-benar berniat melanjutkan, maka kamu harus siap dengan apa pun yang terjadi.”

 

Ishida terdiam, merenungkan kata-kata Nenek Sumi. Pilihan yang ada di depan matanya terasa semakin rumit. Ritual ini bukan sekadar tentang mengembalikan sebuah sungai yang sudah lama hilang. Ini tentang takdir yang lebih besar—tentang keseimbangan antara alam dan manusia, tentang kehidupan dan kematian. Ia tahu bahwa meskipun ada harapan untuk mengembalikan Sungai Hijau, jalan yang harus ditempuh penuh dengan risiko yang tak terbayangkan.

 

Namun, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya. Sungai Hijau bukan hanya simbol kehidupan bagi kerajaan Miyama, tetapi juga bagi seluruh desa yang kini tinggal di sekitar reruntuhan itu. Jika ada harapan untuk mengembalikan kehidupan yang pernah ada, Ishida merasa bahwa ia harus melakukannya.

 

Namun, ia juga tahu bahwa keputusan ini tidak bisa diambil tanpa persiapan matang. Ia harus tahu lebih banyak tentang ritual itu—tentang konsekuensi yang akan dihadapinya, tentang pengorbanan yang harus dilakukan, dan tentang apa yang akan terjadi jika segala sesuatunya berjalan dengan baik, atau malah sebaliknya.*

Bab 5: Pengorbanan di Tepian Sungai

Tuan Ishida berdiri di pinggir reruntuhan kuno, menatap tanah yang pernah menjadi bagian dari kerajaan Miyama. Di depan matanya terbentang pemandangan yang penuh dengan kenangan dan kehilangan. Sungai Hijau yang dahulu mengalir deras kini hanya menyisakan tanah gersang dan bebatuan yang kering. Namun, di hatinya ada perasaan kuat bahwa sungai itu bisa hidup kembali, jika hanya ada yang berani melakukan pengorbanan besar.

Selama beberapa minggu terakhir, Ishida telah menggali lebih dalam tentang sejarah sungai dan kerajaan yang hilang. Ia telah berbicara dengan Hara, Nenek Sumi, dan membaca setiap petunjuk yang ditemukan, termasuk gulungan kuno yang menjelaskan ritual pengembalian Sungai Hijau. Semua itu mengarah pada satu kesimpulan yang tidak bisa ia hindari: jika sungai itu ingin hidup kembali, seseorang harus rela mengorbankan dirinya untuk roh sungai.

Ishida tahu bahwa ini adalah jalan yang sulit. Ia bukanlah seorang pahlawan atau seseorang yang dicari untuk pengorbanan besar. Namun, sesuatu dalam dirinya merasakan bahwa takdir telah membawanya ke sini, ke titik ini, di depan arca yang telah menyaksikan banyak tragedi dan keajaiban sepanjang sejarah. Takdirnya seakan ditulis oleh tangan yang tak terlihat, dan kini ia harus memutuskan apakah ia akan melangkah ke jalan yang penuh bahaya ini atau mundur dan meninggalkan masa lalu yang terpendam.

Malam itu, setelah berbicara dengan Nenek Sumi dan merenungkan kata-katanya yang penuh kebijaksanaan, Ishida kembali ke tempat yang sama di mana arca batu yang besar berdiri. Pusat dari ritual itu. Di sekitar arca, ia telah menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan ritual pengembalian Sungai Hijau. Semua bahan-bahan yang diuraikan dalam gulungan kuno telah ia kumpulkan, termasuk bahan-bahan alami yang hanya bisa ditemukan di sekitar reruntuhan itu. Namun, meskipun persiapan telah selesai, perasaan cemas dan keraguan tetap ada di dalam dirinya.

Ishida mengingat kembali kata-kata Hara tentang pengorbanan. Hara mengatakan bahwa pengorbanan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari—bahwa jiwa yang terikat dengan sungai akan hilang, dan kehidupan yang baru bisa muncul hanya melalui kematian seseorang. Siapa yang akan berkorban? Apakah ini berarti dirinya? Ataukah ia harus mencari seseorang lain untuk menggantikannya dalam ritual itu?

Namun, dalam hatinya, Ishida merasa bahwa ia adalah orang yang dipilih untuk menjalankan ritual ini. Tidak ada orang lain yang bisa melakukannya. Tidak ada yang tahu sebanyak yang ia ketahui tentang sejarah Sungai Hijau dan ritual pengembalian itu. Ini adalah takdirnya, dan ia tidak bisa mundur.

Malam semakin larut, dan angin yang berhembus seolah membawa bisikan dari dunia yang tak tampak. Ketika bulan purnama mulai muncul di langit, Ishida menyiapkan segala sesuatunya dengan hati-hati. Ia mulai menyusun lingkaran simbol yang ada dalam gulungan kuno di sekitar arca, mempersiapkan diri untuk memulai ritual yang penuh dengan risiko ini.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar di belakangnya. Ishida menoleh dan melihat Nenek Sumi berjalan perlahan ke arahnya, dengan wajah yang penuh kecemasan. “Kau akan melakukannya, Ishida?” tanyanya dengan suara yang lembut namun penuh dengan kekhawatiran.

Ishida mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. “Ini satu-satunya cara. Aku tidak bisa meninggalkan desa ini dalam kegelapan, tidak bisa membiarkan Sungai Hijau terus menghilang. Jika ini adalah pengorbananku, aku akan melakukannya.”

Nenek Sumi menghela napas, lalu menghampiri Ishida. “Kamu harus tahu, nak, bahwa setelah ritual ini selesai, tidak ada yang akan sama. Dunia ini akan berubah, dan begitu juga kamu. Pengorbananmu akan meninggalkan bekas, bukan hanya pada tubuhmu, tetapi pada jiwa dan segala yang ada di sekitar sini.”

Ishida menatap Nenek Sumi dengan tatapan penuh tekad. “Aku tahu. Tapi aku siap.”

Nenek Sumi menepuk bahunya dengan lembut. “Baiklah. Jika itu jalan yang kau pilih, aku tidak akan menghalangimu. Namun, ketahuilah bahwa bukan hanya tubuh yang hilang dalam pengorbanan ini, tetapi seluruh keberadaan. Kau akan menjadi bagian dari Sungai Hijau, dan kehidupan akan kembali mengalir ke sini.”

Ishida mengangguk dan melangkah menuju lingkaran simbol yang telah ia buat. Ia berdiri di tengahnya, memejamkan mata sejenak, dan mulai mengucapkan doa-doa kuno yang telah ia pelajari. Suara angin semakin keras, seolah-olah alam menyambut ritual yang tengah dilaksanakan. Arca batu di depannya tampak berkilau di bawah cahaya bulan, dan air yang mulai mengalir di sekitar reruntuhan itu seolah memberi harapan bahwa sungai itu akan hidup kembali.

Saat Ishida melanjutkan doa-doanya, tiba-tiba ia merasa ada yang berubah. Tanah di bawahnya bergetar, dan sebuah kekuatan besar mulai mengalir melalui tubuhnya. Ia merasakan sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, seperti ada aliran energi yang menghubungkannya dengan dunia yang lebih besar dari yang bisa ia pahami. Itu adalah kekuatan sungai, kekuatan alam yang telah lama terlupakan, yang kini meresap ke dalam dirinya.

Ritual itu mencapai puncaknya, dan Ishida merasakan tubuhnya mulai kehilangan kekuatan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa semakin berat, dan ia tahu bahwa ia sedang mengorbankan dirinya untuk tujuan yang lebih besar. Namun, meskipun rasa sakit itu semakin kuat, ia tidak merasa takut. Sebaliknya, ia merasa ada kedamaian yang datang bersamaan dengan penderitaan ini. Ia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus ia tempuh.

Pada saat itulah, sesuatu yang luar biasa terjadi. Air mulai mengalir kembali ke dalam tanah yang kering, perlahan-lahan membentuk sungai yang sempat hilang selama berabad-abad. Aliran air yang jernih itu semakin deras, mengisi saluran yang telah lama kosong. Sungai Hijau kembali mengalir, membawa kehidupan baru bagi tanah yang gersang.

Namun, ketika air mulai mengalir, Ishida merasakan tubuhnya semakin tergerus oleh kekuatan yang ada di dalam sungai. Ia tahu bahwa ia telah memenuhi takdirnya, dan pengorbanan yang ia lakukan akan membuat Sungai Hijau hidup kembali, meskipun ia sendiri harus hilang dari dunia ini.

Ketika air mencapai arca batu, simbol-simbol pada arca itu mulai bercahaya, dan suara gemuruh terdengar dari dalam tanah. Ishida merasakan tubuhnya seolah menyatu dengan tanah, dengan air, dengan segala yang ada di sekitar sungai. Ia menjadi bagian dari sungai itu—jiwa dan tubuhnya menyatu dengan aliran yang mengalir di bawah tanah.

Akhirnya, Ishida merasakan dirinya terlepas dari dunia fisiknya. Ia menghilang, namun ia tahu bahwa kehidupannya tidak sia-sia. Sungai Hijau kini kembali mengalir, membawa kehidupan baru bagi tanah ini, bagi desa yang telah lama terabaikan. Pengorbanan Ishida tidak hanya mengembalikan sungai, tetapi juga menghidupkan kembali kenangan tentang kerajaan Miyama dan kekuatan alam yang tersembunyi.

Nenek Sumi, yang menyaksikan seluruh proses itu, hanya bisa menangis. Namun, di balik air mata itu, ada rasa syukur yang mendalam. Ia tahu bahwa Ishida telah memberikan pengorbanannya untuk masa depan desa ini.

Sungai Hijau telah kembali, dan dengan kembalinya sungai itu, kehidupan baru dimulai. Dunia yang terlupakan kini mulai mengingat kembali sejarahnya, dan pengorbanan seorang pria menjadi bagian dari legenda yang akan dikenang selama berabad-abad.***

…………………….THE END……………………

Source: Jasmine Malika
Tags: #Pengorbanan#Ritualkuno#SejarahKuno#Sungaihijautakdir
Previous Post

RASA TANAH NUSANTARA

Next Post

SENDIRI DI DUNIA BARU

Next Post
SENDIRI DI DUNIA BARU

SENDIRI DI DUNIA BARU

PENYIHIR TERLARANG PEMBURU BAYANGAN

PENYIHIR TERLARANG PEMBURU BAYANGAN

CINCIN YANG MENGUBAH DUNIA

CINCIN YANG MENGUBAH DUNIA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In