Bab 1: Kedatangan di Desa Terpencil
Hujan turun deras ketika kereta terakhir berhenti di stasiun kecil yang sunyi. Amira turun dengan tas ransel besar di pundaknya, melirik arlojinya. Jam menunjukkan pukul 19.45, tapi suasana sudah begitu gelap, seolah malam telah menguasai sepenuhnya.
Seorang lelaki tua, sopir ojek yang sudah menunggunya sejak sore, menyambutnya dengan senyuman tipis. “Mbak Amira, ya? Saya Pak Jono. Mari saya antar ke penginapannya,” ujarnya dengan logat khas desa.
Perjalanan dari stasiun menuju *Desa Sembara* terasa mencekam. Jalanan berbatu berkelok-kelok diapit oleh hutan lebat yang menjulang gelap di kedua sisinya. Lampu motor yang redup seperti hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, sementara angin dingin menerpa wajah Amira.
“Desa Sembara ini memang terpencil sekali, ya, Pak?” tanya Amira mencoba mencairkan suasana.
Pak Jono mengangguk. “Iya, Mbak. Desa ini jarang disinggahi orang luar. Apalagi setelah kejadian…” Ia menghentikan ucapannya mendadak, tampak ragu untuk melanjutkan.
Amira menoleh penasaran. “Kejadian apa, Pak”
Pak Jono hanya menggeleng pelan. “Ah, tidak, Mbak. Anggap saja saya hanya bicara ngawur.”
Rasa penasaran Amira semakin tumbuh, tapi ia memilih diam. Tidak lama kemudian, mereka tiba di penginapan kecil yang tampak tua dan usang. Papan kayu di depan pintu bertuliskan *“Penginapan Sembara”*, dengan catnya yang sudah memudar.
Seorang wanita paruh baya bernama *Bu Mirah*, pemilik penginapan, menyambut Amira dengan ramah. “Selamat datang, Nak. Kamar sudah saya siapkan. Semoga nyaman, ya.”
Amira berterima kasih dan segera masuk ke kamarnya di lantai dua. Kamarnya kecil, hanya berisi ranjang kayu, lemari tua, dan sebuah jendela besar yang menghadap ke jalan utama desa. Ketika ia membuka jendela itu, ia melihat betapa sunyinya desa tersebut. Rumah-rumah berdiri berjauhan, dengan lampu temaram yang redup.
Di kejauhan, samar-samar, ia bisa melihat sebuah bangunan besar yang tampak seperti rumah tua. Bangunan itu berdiri mencolok, dikelilingi oleh pagar besi yang sudah berkarat. Amira memperhatikan tempat itu dengan saksama, hingga suara Bu Mirah memanggilnya dari bawah.
“Mbak Amira, jangan terlalu sering buka jendela malam-malam. Anginnya tidak baik,” ujar Bu Mirah dengan nada lembut, tapi ada ketegangan di suaranya.
Amira merasa aneh, tapi ia menurut. Setelah menutup jendela, ia merebahkan tubuhnya di ranjang, mencoba melepas lelah. Namun, malam itu, ia tidak bisa tidur nyenyak.
Sekitar tengah malam, ia terbangun oleh suara langkah kaki di luar jendela. Pelan tapi jelas, seperti seseorang sedang berjalan mondar-mandir di depan penginapan.
Dengan jantung berdebar, Amira mendekati jendela, mengintip di balik tirai. Namun, jalanan di luar kosong. Tidak ada siapa pun. Hanya keheningan yang menyelimuti malam itu.
Amira kembali ke ranjang dengan perasaan tidak tenang. Sebelum tertidur lagi, pikirannya dipenuhi oleh bayangan rumah tua yang dilihatnya tadi. Ia merasa, tanpa alasan yang jelas, bahwa tempat itu menyimpan sesuatu yang akan mengubah segalanya. *
Bab 2: Misteri Rumah Tua
Pagi pertama Amira di Desa Sembara disambut oleh kabut tebal yang menyelimuti seisi desa. Setelah sarapan sederhana di penginapan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sambil mencari inspirasi untuk buku barunya. Desa itu ternyata lebih kecil dari yang ia bayangkan, dengan hanya beberapa rumah penduduk yang tersebar jauh satu sama lain, dikelilingi oleh ladang-ladang kosong.
Namun, yang menarik perhatian Amira adalah bangunan tua yang kemarin malam terlihat dari jendelanya. Rumah itu berdiri di ujung desa, terlihat mencolok dengan atap yang hampir runtuh, jendela-jendela yang pecah, dan dinding-dinding yang dipenuhi lumut. Amira berdiri di luar pagar berkarat yang mengelilingi rumah itu, merasa ada sesuatu yang mengundangnya untuk mendekat.
“Jangan terlalu lama di situ.”
Amira terkejut mendengar suara seorang pria dari belakangnya. Ia berbalik dan melihat seorang pria paruh baya dengan wajah serius berdiri di belakangnya.
“Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu,” kata Amira, sedikit kikuk.
“Bukan soal mengganggu. Tempat itu tidak aman,” kata pria itu sambil melirik rumah tua dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Orang-orang desa menyebutnya Rumah Tua Sundari. Sebaiknya Mbak menjauh dari sini.”
Amira mengerutkan dahi. “Kenapa? Apa ada yang pernah terjadi di sini?”
Pria itu hanya menggeleng. “Tanyakan saja pada penduduk lain, tapi saya sarankan jangan terlibat. Selamat pagi.” Tanpa menunggu jawaban, pria itu pergi, meninggalkan Amira yang semakin penasaran.
Siang harinya, Amira pergi ke *perpustakaan kecil desa* untuk mencari informasi lebih lanjut. Perpustakaan itu hampir kosong, hanya diisi rak-rak kayu tua yang dipenuhi buku dan dokumen berdebu. Di sana ia bertemu dengan seorang pria tua berkacamata yang memperkenalkan dirinya sebagai *Pak Wira*, penjaga perpustakaan.
Setelah berbasa-basi sejenak, Amira akhirnya memberanikan diri bertanya, “Pak, saya mendengar tentang Rumah Tua Sundari. Apa Bapak tahu sesuatu tentang itu?”
Pak Wira terdiam sejenak. Ia mengangkat kacamata dan menatap Amira dengan sorot mata yang tajam. “Kenapa kamu ingin tahu?”
“Saya hanya penasaran. Sepertinya tempat itu menarik untuk dijadikan cerita.”
Pak Wira menghela napas panjang, lalu mulai bercerita. “Dulu, sekitar 15 tahun yang lalu, rumah itu milik seorang wanita bernama Sundari. Ia cantik, cerdas, tapi hidupnya penuh misteri. Tidak ada yang tahu banyak tentang masa lalunya. Orang-orang desa mengatakan bahwa ia pindah ke sini untuk melarikan diri dari sesuatu. Tapi takdirnya berakhir tragis. Suatu malam, Sundari menghilang begitu saja tanpa jejak. Yang ditemukan hanyalah darah di lantai rumahnya.”
Amira merasakan bulu kuduknya meremang. “Apa polisi tidak menyelidiki?”
“Oh, mereka menyelidiki,” jawab Pak Wira sambil menatap keluar jendela, seolah mengingat kejadian itu. “Tapi tidak ada bukti apa-apa. Tidak ada tubuh, tidak ada saksi, hanya desas-desus. Beberapa orang bilang Sundari dibunuh oleh seseorang yang ia kenal. Yang lain bilang ia melarikan diri karena dosa yang ia sembunyikan.”
“Dan rumah itu sekarang?” tanya Amira.
“Sejak malam itu, tidak ada yang berani tinggal di sana. Orang-orang bilang mereka sering mendengar suara-suara aneh di malam hari. Ada yang melihat bayangan bergerak di jendela, meskipun rumah itu kosong.”
Amira mencoba menyusun semua informasi itu dalam pikirannya. Namun sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh dan melihat seorang pria muda berdiri di pintu perpustakaan.
“Hati-hati, Mbak. Cerita tentang Rumah Tua Sundari bukan hanya dongeng,” kata pria itu dengan nada santai namun dingin. Ia memperkenalkan dirinya sebagai *Raka*, seorang fotografer yang sedang mengerjakan proyek dokumentasi desa-desa terpencil.
Raka tersenyum tipis. “Kalau Mbak mau tahu lebih banyak, mungkin kita bisa menyelidikinya bersama. Tapi jangan terlalu percaya apa kata orang. Kadang, yang tidak terlihat lebih menyeramkan daripada cerita yang didengar.”
Amira merasa tertarik sekaligus waspada pada pria ini. Apa benar ia hanya seorang fotografer? Ataukah ia tahu lebih banyak tentang misteri yang menyelimuti Rumah Tua Sundari?
Malam itu, Amira kembali ke penginapannya dengan kepala penuh pertanyaan. Ia duduk di meja kecil di kamarnya, menatap kertas kosong di depannya, berharap bisa mulai menulis sesuatu. Namun, pikirannya kembali tertuju pada Rumah Tua Sundari, cerita Pak Wira, dan kata-kata Raka.
Ketika ia melirik ke jendela, ia melihat sesuatu yang membuatnya tercekat. Di luar, dalam gelapnya malam, rumah tua itu berdiri seperti bayangan yang mengintai, menantangnya untuk mendekat.*
Bab 3: Surat Tak Bertanda
Pagi itu, Amira duduk di meja kecil di teras penginapan, ditemani secangkir kopi hangat. Suasana Desa Sembara masih sama: sunyi dan tenang, terlalu tenang untuk ukuran pagi. Ia membuka laptopnya, berharap bisa mulai menulis cerita berdasarkan apa yang ia dengar tentang Rumah Tua Sundari. Namun, pikirannya terasa kacau.
Bayangan rumah tua itu terus menghantuinya sejak semalam, membuat ia merasa tidak nyaman. Ada sesuatu tentang tempat itu yang seolah memanggil-manggilnya, meski ia sendiri tidak yakin apakah itu hanya perasaan atau insting penulisnya yang terlalu aktif.
Saat Amira sedang tenggelam dalam pikirannya, seorang anak kecil berlari ke arah penginapan. Anak itu berhenti di dekat meja tempat Amira duduk, menyerahkan sebuah amplop kusam berwarna cokelat.
“Ini buat Mbak,” katanya singkat, lalu berlari pergi sebelum Amira sempat bertanya apa pun.
Dengan rasa penasaran bercampur waspada, Amira membuka amplop itu. Di dalamnya hanya ada secarik kertas yang terlihat seperti robekan dari buku catatan. Tulisan tangan di atasnya berantakan, seperti ditulis terburu-buru:
“Jangan mendekat ke rumah tua itu. Kau tidak tahu apa yang sedang kau hadapi.”
Amira merasakan bulu kuduknya meremang. Surat itu tidak ditandatangani, dan tidak ada petunjuk siapa yang mengirimkannya. Ia menatap ke arah jalan tempat anak tadi menghilang, tetapi jalanan sudah kembali sepi.
Siang harinya, Amira mencoba mengabaikan rasa takut yang ditimbulkan oleh surat itu. Ia memutuskan untuk menemui Raka, pria yang ditemuinya di perpustakaan kemarin. Raka tinggal di rumah salah satu penduduk desa, yang dijadikan semacam basecamp selama ia melakukan proyek fotografinya.
Raka menyambutnya dengan ramah. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sambil membersihkan kameranya.
Amira menyerahkan surat misterius itu. “Aku menerima ini pagi tadi. Apa kau tahu siapa yang mungkin mengirimnya?”
Raka membaca surat itu dengan dahi berkerut. “Ini tulisan tangan seseorang yang panik,” katanya. “Tapi soal siapa yang mengirim, aku tidak tahu. Mungkin ada penduduk yang tahu sesuatu yang mereka tidak berani katakan langsung.”
“Kau yakin ini hanya peringatan biasa? Bukan ancaman?” tanya Amira.
Raka tersenyum samar. “Di desa seperti ini, segala macam hal bisa terjadi. Kadang, orang-orang percaya takhayul lebih dari yang seharusnya.”
Namun, Amira menangkap sesuatu dalam nada suaranya. Ada keraguan di sana, seolah Raka tahu lebih banyak daripada yang ia katakan.
Malam itu, ketika Amira kembali ke penginapannya, ia menemukan pintu kamarnya terbuka sedikit. Hatinya berdebar. Ia yakin benar telah menutup pintu itu sebelum pergi.
Dengan langkah hati-hati, ia masuk ke dalam kamar. Tidak ada tanda-tanda perampokan; barang-barangnya masih utuh. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, sebuah benda diletakkan dengan hati-hati: sebuah kunci tua yang terlihat berkarat.
Amira memegang kunci itu dengan hati-hati. Tidak ada pesan, tidak ada petunjuk. Namun, ia segera menyadari sesuatu yang aneh: kunci itu memiliki ukiran kecil di bagian gagangnya. Ukiran itu berupa huruf S, yang mengingatkannya pada nama Sundari.
Rasa takutnya bercampur dengan rasa penasaran. Siapa yang meninggalkan kunci ini di kamarnya? Dan apa hubungannya dengan Rumah Tua Sundari?
Amira memutuskan untuk menemui Bu Mirah, pemilik penginapan, untuk menanyakan apakah ada orang yang masuk ke kamarnya. Namun, saat ia mengetuk pintu kamar Bu Mirah, wanita itu hanya membuka sedikit pintu, dengan wajah yang terlihat gugup.
“Tidak ada orang yang masuk, Mbak,” kata Bu Mirah buru-buru. “Desa ini memang penuh hal-hal yang sulit dijelaskan. Tapi kalau saya boleh saran, Mbak jangan terlalu dalam ikut campur urusan rumah itu.”
Amira semakin curiga. Kenapa semua orang di desa ini begitu tertutup tentang Rumah Tua Sundari? Dan siapa sebenarnya yang ingin ia jauhi?
Malam semakin larut. Amira duduk di atas ranjangnya, memandangi kunci tua itu sambil mencoba menebak apa yang harus ia lakukan. Pikirannya terpecah: apakah ia harus menyerah dan menjauh dari rumah itu, atau terus mengikuti rasa penasarannya?
Namun, sebelum ia bisa membuat keputusan, suara langkah kaki terdengar lagi di luar jendela. Kali ini lebih jelas, lebih berat, seolah seseorang berdiri tepat di luar kamarnya.
Amira menahan napas, perlahan berjalan ke jendela, dan mengintip melalui celah tirai. Jalanan di luar gelap gulita, hanya diterangi lampu redup di depan penginapan. Tidak ada siapa pun di sana.
Tapi kemudian ia melihatnya. Di tanah di depan jendela, sebuah pesan lain tertulis dengan tanah basah:
“Pergilah sebelum terlambat.”
Amira membeku. Ia merasa, untuk pertama kalinya, bahwa apa pun yang sedang ia hadapi bukan hanya sekadar misteri masa lalu. Ada sesuatu, atau seseorang, yang benar-benar tidak ingin ia berada di sini.*
Bab 4: Petunjuk di Dalam Rumah
Malam itu, Amira tidak bisa tidur. Pesan-pesan misterius yang ia terima, kunci tua dengan ukiran huruf S, dan bayangan Rumah Tua Sundari terus mengganggu pikirannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat: ia akan masuk ke rumah tua itu malam ini, bersama Raka, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di sana.
“Ini gila,” kata Raka ketika Amira mengajaknya. Namun, ia tidak menolak. Rasa penasaran Raka tampaknya sama besarnya dengan keberanian Amira.
Mereka tiba di depan Rumah Tua Sundari saat jam menunjukkan pukul 11 malam. Kabut tipis menyelimuti desa, membuat suasana semakin mencekam. Rumah itu berdiri seperti bayangan gelap, dengan jendela-jendela yang seperti mata kosong mengawasi mereka.
“Kunci ini pasti untuk sesuatu di dalam rumah ini,” kata Amira sambil menunjukkan kunci tua yang ia bawa.
Raka mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kita keluar secepat mungkin. Jangan ambil risiko.”
Mereka membuka pagar berkarat yang mengelilingi rumah itu. Pintu depan terkunci, tapi Raka berhasil mendobraknya dengan sedikit usaha. Begitu masuk, bau apek dan lembap langsung menyambut mereka. Lantai kayu rumah itu berderit di bawah langkah mereka, dan debu menutupi hampir setiap permukaan.
Sinar senter yang mereka bawa menyusuri dinding-dinding yang penuh dengan retakan. Di ruang tamu, mereka melihat sisa-sisa kehidupan yang pernah ada: sebuah sofa tua yang robek, bingkai foto yang kacanya pecah, dan meja kayu dengan ukiran indah yang sudah lapuk.
“Tampaknya tidak ada yang kembali ke sini sejak Sundari menghilang,” bisik Amira.
Mereka menyusuri ruangan satu per satu. Dapur penuh dengan perabotan yang sudah berkarat. Ada piring-piring pecah berserakan di lantai, seolah terjadi sesuatu yang kacau di masa lalu. Namun, tidak ada yang benar-benar mencolok.
“Di mana petunjuknya?” gumam Amira dengan frustrasi.
Namun, saat mereka sampai di sebuah ruangan yang tampaknya dulunya adalah ruang kerja, sesuatu menarik perhatian mereka. Sebuah meja tulis besar berdiri di sudut ruangan. Laci-lacinya terkunci, tapi di atas meja ada sebuah buku harian yang terlihat lebih bersih dibandingkan barang lain di rumah itu.
“Ini aneh,” kata Amira sambil mengambil buku itu.
Ketika ia membuka halaman-halamannya, ia menyadari bahwa itu adalah buku harian milik Sundari. Tulisan tangan di dalamnya terlihat rapi, tapi ada beberapa halaman yang tercoret-coret dengan kata-kata yang sulit dibaca.
Salah satu entri yang membuat Amira merinding berbunyi:
“Aku tidak tahu apakah aku masih bisa mempercayai Bagas. Dia bilang dia melindungiku, tapi aku merasa dia menyembunyikan sesuatu. Jika sesuatu terjadi padaku, semuanya ada di ruang bawah tanah. Hanya kunci itu yang bisa membukanya.”
“Ruang bawah tanah?” bisik Amira, menoleh pada Raka.
Mereka mencari pintu menuju ruang bawah tanah dan menemukannya di dapur, tersembunyi di balik lemari yang hampir roboh. Pintu itu terkunci, tapi ketika Amira mencoba menggunakan kunci tua yang ia temukan, kunci itu pas dengan sempurna.
“Ini dia,” kata Amira dengan suara bergetar.
Raka membuka pintu perlahan, mengungkap tangga kayu yang menurun ke ruang bawah tanah gelap. Udara di sana lebih dingin dan lembap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Mereka turun perlahan, dengan hanya sinar senter yang menerangi jalan.
Di bawah, mereka menemukan sebuah ruangan kecil yang penuh dengan barang-barang aneh. Ada sebuah meja dengan botol-botol kaca yang tampak seperti bekas bahan kimia, tumpukan surat-surat yang menguning, dan di sudut ruangan, sebuah peti kayu besar.
“Sepertinya ini tempat Sundari menyimpan rahasianya,” kata Raka.
Mereka membuka peti itu, dan di dalamnya mereka menemukan beberapa barang yang tampaknya penting: foto-foto Sundari bersama seorang pria yang kemungkinan adalah Bagas, sebuah kalung dengan liontin berbentuk bunga, dan beberapa dokumen yang terlihat seperti surat-surat pribadi.
Namun, ada satu hal yang membuat Amira merasa ngeri: di bagian bawah peti itu, mereka menemukan pisau dengan noda yang tampak seperti bekas darah kering.
“Ini bukan hal biasa,” kata Raka sambil memeriksa pisau itu.
Sebelum mereka sempat menyimpulkan apa pun, suara langkah kaki terdengar dari atas tangga. Langkah itu berat dan lambat, seolah-olah seseorang sedang mendekati pintu ruang bawah tanah.
“Siapa itu?” bisik Amira dengan panik.
Raka mematikan senter mereka, dan mereka bersembunyi di balik meja di sudut ruangan. Langkah kaki itu berhenti tepat di atas tangga, dan pintu ruang bawah tanah tertutup perlahan dengan suara berderit.
Amira menahan napas, merasakan jantungnya berdegup kencang. Ketika mereka merasa situasi aman, mereka memutuskan untuk keluar secepat mungkin, membawa buku harian dan dokumen-dokumen yang mereka temukan.
Malam itu, mereka kembali ke penginapan dengan perasaan campur aduk. Mereka telah menemukan petunjuk penting, tapi kehadiran seseorang di rumah itu membuat mereka sadar: mereka tidak sendirian dalam misteri ini.
Dan siapa pun orang itu, tampaknya tidak ingin mereka mengetahui kebenaran.*
Bab 5: Penduduk yang Menyembunyikan Rahasia
Keesokan paginya, Amira dan Raka duduk di sebuah warung kecil di tengah desa, mencoba menyusun kembali apa yang telah mereka temukan. Buku harian Sundari dan dokumen-dokumen dari ruang bawah tanah menjadi fokus mereka. Namun, rasa takut yang timbul dari langkah kaki di rumah tua semalam masih terasa.
“Bagas,” gumam Amira sambil membaca entri dalam buku harian itu. “Dia pasti memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Sundari. Tapi siapa dia?”
Raka mengangguk. “Kita perlu tahu lebih banyak. Nama Bagas mungkin bisa menjadi kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu.”
Amira memutuskan untuk bertanya kepada penduduk desa. Namun, ia menyadari bahwa sebagian besar dari mereka enggan berbicara tentang rumah itu atau Sundari. Selalu ada ketakutan di mata mereka setiap kali nama itu disebut.
Amira dan Raka mulai dari Bu Mirah, pemilik penginapan. Di pagi itu, mereka menemui Bu Mirah yang sedang membersihkan meja di ruang makan penginapan.
“Bu Mirah, apa Ibu mengenal seseorang bernama Bagas?” tanya Amira, mencoba terdengar santai.
Bu Mirah berhenti sejenak, tapi wajahnya berubah muram. “Mbak Amira, saya sudah bilang, jangan terlalu terlibat dengan urusan rumah tua itu. Semakin jauh Mbak dari situ, semakin baik.”
“Tapi kenapa, Bu? Apa yang sebenarnya terjadi?” desak Amira.
Bu Mirah menghela napas panjang, seolah mempertimbangkan apakah ia harus berbicara atau tidak. Akhirnya, ia berkata dengan suara rendah, “Bagas adalah seorang pendatang, seperti Mbak. Dia datang ke desa ini sekitar dua puluh tahun lalu, sama seperti Sundari. Mereka kelihatan dekat, tapi… ada banyak desas-desus. Orang-orang bilang mereka menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang gelap.”
“Sesuatu seperti apa?” tanya Amira.
Bu Mirah hanya menggelengkan kepala. “Saya tidak tahu pasti. Tapi setelah Sundari menghilang, Bagas juga pergi. Tidak ada yang pernah melihatnya lagi.
Amira merasa buntu. Ia memutuskan untuk mendatangi orang lain: Pak Wira, penjaga perpustakaan. Ketika mereka tiba di perpustakaan kecil itu, Pak Wira sedang sibuk menata buku-buku tua.
“Pak Wira, kami menemukan buku harian Sundari,” kata Amira langsung. Ia mengeluarkan buku itu dan menunjukkan salah satu entri tentang Bagas. “Kami ingin tahu lebih banyak tentang dia. Apa Bapak mengenalnya?”
Pak Wira menatap buku itu dengan wajah yang sulit dibaca. “Bagas adalah orang yang pendiam, tapi dia sangat melindungi Sundari. Banyak orang curiga padanya, terutama karena dia tidak pernah menjelaskan kenapa dia datang ke desa ini.”
“Apa dia ada hubungannya dengan hilangnya Sundari?” tanya Raka.
Pak Wira menggeleng perlahan. “Tidak ada yang tahu. Tapi ada satu hal yang aneh. Beberapa hari sebelum Sundari menghilang, ada perselisihan besar antara Bagas dan beberapa penduduk desa. Saya tidak tahu apa yang mereka perdebatkan, tapi setelah itu, semuanya berubah. Sundari mulai terlihat gelisah, dan Bagas menghindari orang-orang.”
Amira merasa ada pola yang mulai terbentuk, tetapi ia masih belum punya bukti kuat. “Apa Bapak tahu siapa saja yang mungkin terlibat dalam perselisihan itu?”
Pak Wira terdiam sejenak sebelum berkata, “Cobalah tanyakan pada Pak Darman. Dia salah satu orang yang terlibat dalam perselisihan itu. Tapi hati-hati. Dia tidak suka bicara soal masa lalu.”
Amira dan Raka pergi ke rumah Pak Darman, seorang pria tua yang tinggal di ujung desa. Rumahnya sederhana, tapi tampak terawat. Ketika mereka mengetuk pintu, Pak Darman muncul dengan ekspresi curiga.
“Ada apa kalian ke sini?” tanyanya dengan nada kasar.
“Kami ingin bertanya tentang Sundari dan Bagas,” kata Amira langsung.
Pak Darman menyipitkan matanya. “Kenapa kalian ingin tahu soal mereka? Itu sudah lama berlalu.”
“Tapi kami menemukan sesuatu di rumah Sundari,” kata Amira sambil menunjukkan buku harian itu. “Kami ingin tahu kebenarannya.”
Wajah Pak Darman berubah tegang. Ia melirik buku itu sejenak, lalu berkata, “Kalian tidak seharusnya mengungkit-ungkit ini. Apa yang terjadi di desa ini adalah urusan kami, bukan urusan kalian.”
“Tapi Sundari meninggalkan pesan,” desak Amira. “Dia menulis tentang sesuatu yang disembunyikan. Dan sepertinya, beberapa orang di desa ini tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Pak Darman menghela napas berat, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk. Aku akan memberitahu kalian apa yang aku tahu, tapi setelah ini, jangan pernah kembali ke sini.”
Di dalam rumah, Pak Darman duduk di kursi tua sambil menatap mereka dengan tatapan tajam. “Bagas itu bukan orang biasa,” katanya. “Dia datang ke desa ini membawa masalah. Sundari mungkin tidak tahu, tapi dia terlibat dalam sesuatu yang besar, sesuatu yang berbahaya.”
“Apa maksud Bapak?” tanya Amira.
“Bagas kabarnya punya musuh di luar sana. Dia datang ke sini untuk bersembunyi, tapi musuh-musuhnya menemukannya. Kami, penduduk desa, terjebak di tengah-tengahnya.”
“Musuh apa?” Raka menyela.
Pak Darman menatap mereka dengan serius. “Bagas terlibat dalam penyelundupan sesuatu—aku tidak tahu pasti apa. Tapi orang-orang itu mencarinya, dan Sundari ikut terseret. Ketika Sundari menghilang, aku yakin itu bukan kebetulan. Tapi kami tidak bisa membuktikan apa pun. Kami hanya… takut.”
“Jadi penduduk desa tahu, tapi memilih diam?” desak Amira.
Pak Darman mengangguk pelan. “Kami tidak punya pilihan. Orang-orang itu berbahaya. Dan setelah Bagas pergi, kami hanya ingin melupakan semuanya.”
Amira merasa semakin banyak potongan puzzle yang terungkap, tapi semakin banyak pula pertanyaan yang muncul. Siapa musuh Bagas? Apa yang sebenarnya diselundupkan? Dan mengapa Sundari terlibat?
Sebelum mereka pergi, Pak Darman berkata dengan suara rendah, “Kalau kalian ingin tahu lebih banyak, cari Bagas. Hanya dia yang tahu kebenarannya.”
Amira keluar dari rumah itu dengan pikiran yang penuh teka-teki. Satu hal yang pasti: penduduk desa ini menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan.*
Bab 5: Penduduk yang Menyembunyikan Rahasia
Keesokan paginya, Amira dan Raka duduk di sebuah warung kecil di tengah desa, mencoba menyusun kembali apa yang telah mereka temukan. Buku harian Sundari dan dokumen-dokumen dari ruang bawah tanah menjadi fokus mereka. Namun, rasa takut yang timbul dari langkah kaki di rumah tua semalam masih terasa.
“Bagas,” gumam Amira sambil membaca entri dalam buku harian itu. “Dia pasti memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Sundari. Tapi siapa dia?”
Raka mengangguk. “Kita perlu tahu lebih banyak. Nama Bagas mungkin bisa menjadi kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu.”
Amira memutuskan untuk bertanya kepada penduduk desa. Namun, ia menyadari bahwa sebagian besar dari mereka enggan berbicara tentang rumah itu atau Sundari. Selalu ada ketakutan di mata mereka setiap kali nama itu disebut.
Amira dan Raka mulai dari Bu Mirah, pemilik penginapan. Di pagi itu, mereka menemui Bu Mirah yang sedang membersihkan meja di ruang makan penginapan.
“Bu Mirah, apa Ibu mengenal seseorang bernama Bagas?” tanya Amira, mencoba terdengar santai.
Bu Mirah berhenti sejenak, tapi wajahnya berubah muram. “Mbak Amira, saya sudah bilang, jangan terlalu terlibat dengan urusan rumah tua itu. Semakin jauh Mbak dari situ, semakin baik.”
“Tapi kenapa, Bu? Apa yang sebenarnya terjadi?” desak Amira.
Bu Mirah menghela napas panjang, seolah mempertimbangkan apakah ia harus berbicara atau tidak. Akhirnya, ia berkata dengan suara rendah, “Bagas adalah seorang pendatang, seperti Mbak. Dia datang ke desa ini sekitar dua puluh tahun lalu, sama seperti Sundari. Mereka kelihatan dekat, tapi… ada banyak desas-desus. Orang-orang bilang mereka menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang gelap.”
“Sesuatu seperti apa?” tanya Amira.
Bu Mirah hanya menggelengkan kepala. “Saya tidak tahu pasti. Tapi setelah Sundari menghilang, Bagas juga pergi. Tidak ada yang pernah melihatnya lagi.”
Amira merasa buntu. Ia memutuskan untuk mendatangi orang lain: Pak Wira, penjaga perpustakaan. Ketika mereka tiba di perpustakaan kecil itu, Pak Wira sedang sibuk menata buku-buku tua.
“Pak Wira, kami menemukan buku harian Sundari,” kata Amira langsung. Ia mengeluarkan buku itu dan menunjukkan salah satu entri tentang Bagas. “Kami ingin tahu lebih banyak tentang dia. Apa Bapak mengenalnya?”
Pak Wira menatap buku itu dengan wajah yang sulit dibaca. “Bagas adalah orang yang pendiam, tapi dia sangat melindungi Sundari. Banyak orang curiga padanya, terutama karena dia tidak pernah menjelaskan kenapa dia datang ke desa ini.”
“Apa dia ada hubungannya dengan hilangnya Sundari?” tanya Raka.
Pak Wira menggeleng perlahan. “Tidak ada yang tahu. Tapi ada satu hal yang aneh. Beberapa hari sebelum Sundari menghilang, ada perselisihan besar antara Bagas dan beberapa penduduk desa. Saya tidak tahu apa yang mereka perdebatkan, tapi setelah itu, semuanya berubah. Sundari mulai terlihat gelisah, dan Bagas menghindari orang-orang.”
Amira merasa ada pola yang mulai terbentuk, tetapi ia masih belum punya bukti kuat. “Apa Bapak tahu siapa saja yang mungkin terlibat dalam perselisihan itu?”
Pak Wira terdiam sejenak sebelum berkata, “Cobalah tanyakan pada Pak Darman. Dia salah satu orang yang terlibat dalam perselisihan itu. Tapi hati-hati. Dia tidak suka bicara soal masa lalu.”
Amira dan Raka pergi ke rumah Pak Darman, seorang pria tua yang tinggal di ujung desa. Rumahnya sederhana, tapi tampak terawat. Ketika mereka mengetuk pintu, Pak Darman muncul dengan ekspresi curiga.
“Ada apa kalian ke sini?” tanyanya dengan nada kasar.
“Kami ingin bertanya tentang Sundari dan Bagas,” kata Amira langsung.
Pak Darman menyipitkan matanya. “Kenapa kalian ingin tahu soal mereka? Itu sudah lama berlalu.”
“Tapi kami menemukan sesuatu di rumah Sundari,” kata Amira sambil menunjukkan buku harian itu. “Kami ingin tahu kebenarannya.”
Wajah Pak Darman berubah tegang. Ia melirik buku itu sejenak, lalu berkata, “Kalian tidak seharusnya mengungkit-ungkit ini. Apa yang terjadi di desa ini adalah urusan kami, bukan urusan kalian.”
“Tapi Sundari meninggalkan pesan,” desak Amira. “Dia menulis tentang sesuatu yang disembunyikan. Dan sepertinya, beberapa orang di desa ini tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Pak Darman menghela napas berat, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk. Aku akan memberitahu kalian apa yang aku tahu, tapi setelah ini, jangan pernah kembali ke sini.”
Di dalam rumah, Pak Darman duduk di kursi tua sambil menatap mereka dengan tatapan tajam. “Bagas itu bukan orang biasa,” katanya. “Dia datang ke desa ini membawa masalah. Sundari mungkin tidak tahu, tapi dia terlibat dalam sesuatu yang besar, sesuatu yang berbahaya.”
“Apa maksud Bapak?” tanya Amira.
“Bagas kabarnya punya musuh di luar sana. Dia datang ke sini untuk bersembunyi, tapi musuh-musuhnya menemukannya. Kami, penduduk desa, terjebak di tengah-tengahnya.”
“Musuh apa?” Raka menyela.
Pak Darman menatap mereka dengan serius. “Bagas terlibat dalam penyelundupan sesuatu—aku tidak tahu pasti apa. Tapi orang-orang itu mencarinya, dan Sundari ikut terseret. Ketika Sundari menghilang, aku yakin itu bukan kebetulan. Tapi kami tidak bisa membuktikan apa pun. Kami hanya… takut.”
“Jadi penduduk desa tahu, tapi memilih diam?” desak Amira.
Pak Darman mengangguk pelan. “Kami tidak punya pilihan. Orang-orang itu berbahaya. Dan setelah Bagas pergi, kami hanya ingin melupakan semuanya.”
Amira merasa semakin banyak potongan puzzle yang terungkap, tapi semakin banyak pula pertanyaan yang muncul. Siapa musuh Bagas? Apa yang sebenarnya diselundupkan? Dan mengapa Sundari terlibat?
Sebelum mereka pergi, Pak Darman berkata dengan suara rendah, “Kalau kalian ingin tahu lebih banyak, cari Bagas. Hanya dia yang tahu kebenarannya.”
Amira keluar dari rumah itu dengan pikiran yang penuh teka-teki. Satu hal yang pasti: penduduk desa ini menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan.*
Bab 7: Jejak di Hutan
Keesokan harinya, Amira dan Raka memutuskan untuk menyelidiki lingkaran merah di peta yang mereka temukan di kotak logam. Lokasinya berada di tepi desa, tepat di dalam area hutan kecil yang jarang dijamah penduduk. Meskipun mereka tahu risiko yang mungkin menanti, rasa penasaran mengalahkan rasa takut.
Mereka membawa peta, senter, dan perlengkapan dasar untuk berjaga-jaga. Langit mendung menambah suasana suram perjalanan mereka, tetapi hutan itu sendiri terasa lebih mencekam. Pohon-pohon yang tinggi menjulang menutupi sebagian besar cahaya, menciptakan bayangan gelap yang bergerak-gerak setiap kali angin bertiup.
“Tempat ini tidak pernah terlihat di peta desa yang lain,” gumam Amira sambil mencocokkan lokasi di peta dengan pemandangan di sekitar mereka. “Kenapa Sundari menandai tempat ini?”
“Entahlah,” jawab Raka sambil melangkah lebih dalam ke dalam hutan. “Tapi jelas, apa pun itu, dia tidak ingin orang lain tahu.”
Setelah berjalan selama hampir setengah jam, mereka akhirnya menemukan tanda yang sesuai dengan peta: sebuah pohon besar dengan cabang-cabang yang tumbuh aneh, hampir menyerupai tangan yang terulur ke segala arah. Di dekat pohon itu, tanahnya terlihat berbeda—sedikit lebih gembur dibandingkan area lain, seolah-olah ada sesuatu yang pernah digali di sana.
“Ini dia,” kata Amira sambil menunjuk tanah tersebut.
Raka jongkok dan mulai memeriksa tanah itu dengan sekop kecil yang mereka bawa. Namun, saat ia mulai menggali, mereka mendengar suara gemerisik di semak-semak di dekat mereka.
Amira langsung menoleh. “Apa itu?”
Raka menghentikan gerakannya dan mengangkat tangan, memberi isyarat agar Amira diam. Mereka menunggu beberapa detik, tetapi tidak ada yang muncul. “Mungkin cuma binatang,” kata Raka akhirnya.
Namun, Amira tidak yakin. Ia merasa ada sesuatu—atau seseorang—yang mengawasi mereka.
Setelah beberapa menit menggali, Raka menemukan sesuatu. Ia mengangkat sebuah kotak kecil yang terkubur di bawah tanah. Kotak itu tertutup rapat, tapi tidak terkunci. Amira membukanya dengan hati-hati, dan di dalamnya mereka menemukan beberapa benda aneh:
– Sebuah peta lain yang lebih detail, menunjukkan area yang lebih jauh dari desa. Ada tanda “X” di lokasi tertentu.
– Sebuah liontin perak dengan ukiran bunga, mirip dengan yang mereka temukan di peti rumah Sundari.
– Sebuah catatan singkat dengan tulisan tangan yang hampir tidak terbaca:
“Mereka mendekat. Jika aku tidak bisa menyelamatkannya, aku harap ada yang menemukan ini. Jangan percaya siapa pun.”
“Menyelamatkan siapa?” tanya Amira, kebingungan.*
Bab 8: Pengkhianat
Amira dan Raka kembali ke penginapan setelah menemukan kotak di hutan. Pikiran mereka penuh dengan teka-teki baru—peta dengan tanda “X”, liontin perak, dan catatan misterius itu. Satu hal jelas: ada seseorang yang Sundari coba selamatkan, dan tempat yang ditandai di peta itu tampaknya menjadi kunci untuk mengungkap segalanya.
Namun, saat mereka mendiskusikan rencana berikutnya, Amira menyadari sesuatu.
“Raka,” katanya perlahan, “apa menurutmu ada orang di desa ini yang tahu kita pergi ke hutan?”
Raka mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Amira menghela napas. “Semakin kita melangkah jauh, semakin terasa seperti ada yang tahu apa yang kita lakukan. Sosok bayangan di jendela, surat ancaman… Aku merasa seseorang mencoba menghalangi kita.”
Raka berpikir sejenak. “Mungkin saja. Tapi siapa? Penduduk desa terlihat enggan bicara soal Sundari. Mungkin mereka hanya takut, tapi mungkin juga ada yang menyembunyikan sesuatu.”
Malam itu, saat mereka beristirahat di penginapan, Amira kembali merasa diawasi. Ia duduk di tepi jendela, memandang gelapnya malam di luar. Tidak ada yang mencurigakan, tapi firasatnya berkata lain.
Sementara itu, Raka sibuk memeriksa peta baru yang mereka temukan. “Lokasi ini cukup jauh,” gumamnya. “Kita butuh waktu hampir sehari penuh untuk mencapainya.”
Namun, sebelum mereka sempat merencanakan lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar di lorong luar kamar mereka. Amira dan Raka langsung terdiam. Langkah itu berhenti tepat di depan pintu mereka.
“Siapa itu?” tanya Amira, suaranya sedikit gemetar.
Tidak ada jawaban.
Raka segera berdiri, mengambil pisau kecil dari tasnya, dan membuka pintu dengan hati-hati. Tapi yang mereka temukan hanyalah lorong kosong. Tidak ada siapa pun di sana.
Namun, di lantai, mereka menemukan secarik kertas lain. Kali ini, pesannya lebih langsung:
“Aku tahu apa yang kalian temukan. Berhenti sebelum semuanya terlambat.”
Raka meremas kertas itu dengan marah. “Kita harus mencari tahu siapa yang melakukan ini.”
Keesokan paginya, mereka memutuskan untuk mendatangi Bu Mirah, pemilik penginapan. Amira yakin bahwa seseorang di desa ini sengaja mengawasi mereka, dan Bu Mirah, dengan kedekatannya dengan penduduk, mungkin tahu sesuatu.
Namun, saat mereka mulai bertanya, Bu Mirah terlihat gelisah. “Saya sudah bilang, jangan terlalu dalam terlibat,” katanya dengan nada pelan. “Beberapa orang di desa ini… mereka punya alasan untuk menjaga rahasia.”
“Bu Mirah,” desak Amira, “tolong katakan yang sebenarnya. Apa ada seseorang di sini yang mencoba menghentikan kami?”
Bu Mirah menatap mereka dengan ekspresi bercampur takut dan ragu. Akhirnya, ia berkata dengan suara nyaris berbisik, “Kalian harus hati-hati dengan Pak Darman.”
Amira dan Raka saling bertukar pandang.
“Pak Darman?” ulang Amira, terkejut. “Dia salah satu orang yang membantu kami. Dia bahkan memberitahu tentang perselisihan antara Bagas dan penduduk desa.”
Bu Mirah menggeleng. “Pak Darman tidak sepenuhnya jujur. Dia mungkin terlihat seperti membantu kalian, tapi dia juga salah satu orang yang paling keras menentang Sundari saat itu. Dia terlibat lebih dalam daripada yang kalian bayangkan.”
Amira dan Raka memutuskan untuk mendatangi rumah Pak Darman lagi, kali ini dengan rasa curiga yang lebih besar. Saat mereka sampai, mereka menemukan pintunya sedikit terbuka, seolah-olah Pak Darman sedang menunggu tamu.
“Pak Darman?” panggil Raka.
Tidak ada jawaban. Mereka masuk perlahan, dan suasana di dalam rumah terasa aneh—tenang, tetapi dengan udara yang terasa berat. Di meja ruang tamu, mereka menemukan sesuatu yang langsung membuat mereka waspada: peta yang sama dengan yang mereka temukan di hutan.
“Dia sudah tahu,” bisik Amira, matanya melebar.
Sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, suara langkah terdengar dari arah dapur. Pak Darman muncul dengan wajah dingin, menatap mereka tanpa ekspresi.
“Kalian tidak seharusnya ada di sini,” katanya dengan suara datar.
“Kami hanya ingin tahu yang sebenarnya,” balas Amira. “Kenapa Anda punya peta ini? Apa hubungan Anda dengan Sundari dan Bagas?”
Pak Darman menghela napas, lalu duduk di kursi tuanya. “Aku sudah memperingatkan kalian untuk tidak terlibat. Tapi kalian tidak mau mendengarkan.”
“Jadi benar,” kata Raka. “Anda tahu lebih banyak dari yang Anda ceritakan.”
Pak Darman menatap mereka tajam. “Aku melakukan apa yang aku harus lakukan untuk melindungi desa ini. Sundari dan Bagas membawa bahaya ke sini. Mereka tidak tahu apa yang mereka hadapi, dan sekarang kalian mencoba mengungkit semua itu lagi.”
“Bahaya apa?” tanya Amira.
Pak Darman tidak menjawab. Sebaliknya, ia berdiri dan berjalan menuju pintu, seolah mengusir mereka. “Pergi. Kalau kalian terus mencari, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian.”
Saat mereka keluar dari rumah Pak Darman, Amira merasa amarah dan ketakutan bercampur dalam dirinya.
“Dia tahu sesuatu yang penting,” katanya pada Raka. “Dia mungkin terlibat langsung dalam apa pun yang terjadi pada Sundari.”
“Tapi dia juga bukan satu-satunya,” balas Raka. “Ada lebih banyak orang yang terlibat. Kita hanya belum tahu siapa saja.”
Namun, di tengah percakapan mereka, Amira merasa seseorang memperhatikan mereka lagi. Ia berbalik, dan di ujung jalan, ia melihat sosok yang sama seperti di jendela malam itu—bayangan tinggi, berdiri diam di bawah bayang-bayang pohon.
“Raka,” bisik Amira, “kita sedang diawasi lagi.”
Ketika Raka berbalik, sosok itu sudah menghilang. Tapi kali ini, mereka tahu pasti: seseorang tidak hanya mengawasi mereka, tetapi juga mengikuti setiap langkah mereka.*
Bab 9: Kebenaran yang Menghantui
Malam semakin larut, dan langit gelap tanpa bintang menyelimuti desa Sembara. Di kamar penginapan, Amira dan Raka merenungkan semua yang telah mereka ketahui sejauh ini. Misteri ini semakin dalam, dan sekarang mereka yakin bahwa rahasia besar yang melibatkan Sundari, Pak Darman, dan penduduk desa sedang tersembunyi di tempat yang ditandai di peta.
Namun, pertanyaan yang menghantui mereka adalah: apa sebenarnya yang mereka kejar? Dan apakah mereka siap menghadapi jawabannya?
“Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertikaian antara Sundari dan penduduk desa,” kata Amira, memandangi peta yang mereka temukan di hutan. “Kenapa semua orang begitu takut? Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan?”
“Dan kenapa Sundari meninggalkan petunjuk-petunjuk ini?” tambah Raka. “Kalau dia memang berusaha melarikan diri atau menyelamatkan sesuatu, kenapa tidak membawa semuanya pergi saja?”
Mereka terdiam sejenak, hingga Amira akhirnya berkata, “Kita harus ke lokasi ini, Raka. Apa pun yang ada di sana, aku yakin itu akan menjelaskan semuanya.”
Keesokan harinya, mereka memulai perjalanan menuju lokasi yang ditandai di peta. Tempat itu berada di tepi hutan, dekat dengan sungai yang jarang dilalui orang. Sepanjang perjalanan, Amira merasa cemas. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan sosok misterius yang terus mengawasi mereka.
“Bagaimana kalau seseorang mengikuti kita?” tanyanya.
“Kita harus tetap waspada,” jawab Raka. “Tapi kalau mereka memang ingin menghentikan kita, kenapa mereka tidak langsung melakukannya?”
Kata-kata Raka membuat Amira berpikir. Mungkin benar, orang-orang ini tidak ingin membahayakan mereka secara langsung—setidaknya, belum.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka akhirnya tiba di lokasi yang ditandai di peta. Tempat itu adalah sebuah reruntuhan bangunan tua yang sudah hampir tertutup oleh tumbuhan liar. Dinding-dindingnya retak, dan sebagian atapnya runtuh.
“Sepertinya ini pernah menjadi gudang atau rumah kecil,” kata Raka sambil memeriksa sekitar.
Amira melangkah masuk, hati-hati agar tidak menginjak puing-puing yang rapuh. Di dalam, mereka menemukan beberapa benda yang masih utuh: meja kayu yang lapuk, pecahan kaca, dan—yang paling menarik perhatian mereka—sebuah peti besi besar di sudut ruangan.
“Peti itu,” kata Amira sambil menunjuk. “Pasti ini yang Sundari sembunyikan.”
Raka mencoba membuka peti itu, tetapi kunci yang menahannya sudah berkarat dan sulit untuk dibuka. Dengan susah payah, ia akhirnya berhasil mematahkan kunci itu menggunakan linggis yang mereka bawa. Peti itu terbuka dengan bunyi berderit, mengungkapkan isinya:
1. Sebuah jurnal dengan tulisan tangan Sundari.
2. Beberapa dokumen tua yang terlihat seperti sertifikat atau surat tanah.
3. Sebuah benda kecil yang terbungkus kain—ketika Amira membukanya, ternyata itu adalah patung kecil dari kayu yang diukir dengan detail luar biasa.
Amira mengambil jurnal itu dan mulai membacanya. Tulisan Sundari mencatat hal-hal yang selama ini tersembunyi dari mereka:
“Aku tahu mereka akan datang untukku. Apa yang aku temukan di tanah ini adalah sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pak Darman dan orang-orang lainnya mungkin menganggapku gila, tapi aku yakin benda ini punya kekuatan yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.”
“Bagas mencoba memperingatkanku, tapi aku tidak mendengarkan. Sekarang dia pergi, dan aku sendirian. Tapi aku tidak akan menyerah. Mereka tidak boleh mendapatkan ini.”
Amira dan Raka saling berpandangan. “Benda yang dia maksud pasti patung ini,” kata Amira sambil memegang patung itu.
Raka mengangguk. “Tapi kenapa Sundari menyebut benda ini punya kekuatan? Apa maksudnya?”
Namun, sebelum mereka bisa mendiskusikan lebih jauh, mereka mendengar suara langkah kaki di luar.
“Amira,” bisik Raka, “kita tidak sendirian.”
Mereka mematikan senter dan berlindung di balik meja kayu. Dari celah dinding yang retak, Amira melihat beberapa bayangan mendekat. Dua pria muncul, wajah mereka tidak jelas terlihat karena tertutup syal dan topi.
“Semuanya harus diambil,” kata salah satu dari mereka dengan suara berat. “Kalau mereka menemukan apa yang Sundari sembunyikan, bisa berbahaya.”
“Tapi bagaimana kalau mereka sudah menemukannya?” tanya pria lainnya.
“Kalau begitu, kita pastikan mereka tidak bisa keluar dari sini,” jawab pria pertama dingin.
Amira menahan napas. Jelas, mereka adalah orang-orang yang selama ini mengawasi mereka.
Ketika para pria itu mulai masuk ke dalam bangunan, Amira dan Raka tahu mereka harus segera pergi. Dengan hati-hati, mereka merangkak menuju jendela kecil di sisi lain ruangan. Raka membuka jalan, dan Amira mengikutinya, membawa jurnal dan patung itu dengan hati-hati.
Namun, saat mereka hampir keluar, salah satu pria itu menyadari keberadaan mereka. “Hei! Mereka di sana!” teriaknya.
Amira dan Raka langsung berlari ke arah hutan, diikuti oleh suara langkah berat para pengejar mereka. Dalam gelapnya hutan, mereka terus berlari tanpa arah yang jelas, hanya berharap bisa menjauh dari bahaya.
Ketika akhirnya mereka berhenti untuk mengambil napas, mereka menyadari bahwa mereka berada di tepi sungai. Amira memegang erat patung itu, sementara Raka memastikan mereka tidak diikuti lagi.
“Kita tidak bisa kembali ke penginapan,” kata Amira dengan suara terengah-engah.
Raka mengangguk. “Mereka tahu kita sudah menemukan sesuatu. Sekarang kita harus mencari tahu apa sebenarnya arti benda ini dan kenapa Sundari rela mempertaruhkan segalanya untuk melindunginya.”
Amira memandang patung kayu itu sekali lagi. Meskipun tampak kecil dan sederhana, ada sesuatu yang membuatnya terasa… berbahaya.*
Bab 10: Pertarungan di Rumah Tua
Setelah berhasil meloloskan diri dari pengejaran, Amira dan Raka tiba kembali di rumah tua yang kini telah berubah menjadi pusat misteri yang tak bisa mereka hindari. Di dalam hati, mereka tahu satu hal pasti: kebenaran yang mereka cari ada di sini, dan mereka harus siap menghadapi apa pun yang datang untuk menemukannya.
Malam semakin gelap, dan angin malam berhembus kencang, membuat suasana di sekitar rumah tua semakin mencekam. Rumah itu, yang dulunya tampak seperti tempat yang terlupakan, kini terasa hidup—seperti menyimpan rahasia yang siap terbongkar.
“Ini tempatnya,” kata Amira dengan suara pelan, memandang bangunan yang sudah semakin roboh. “Kita harus masuk dan menemukan jawabannya.”
Raka mengangguk, matanya penuh tekad. “Kita tidak bisa mundur sekarang. Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk mengungkap semua ini.”
Mereka memasuki rumah dengan hati-hati, setiap langkah mereka menimbulkan suara berderit dari lantai kayu yang lapuk. Ketegangan semakin meningkat saat mereka berjalan ke ruang utama rumah, di mana mereka tahu pintu rahasia itu bisa berada.
Namun, tanpa mereka duga, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Di dalam, ada seseorang yang berdiri menunggu mereka. Sosok itu adalah Pak Darman—sosok yang selama ini mereka curigai, ternyata juga menunggu kedatangan mereka.
“Kalian sudah kembali,” kata Pak Darman dengan senyum penuh arti. “Aku sudah menunggu kalian. Kalian tidak bisa lari dari takdir ini.”
Amira dan Raka saling berpandangan. “Pak Darman,” kata Amira dengan tegas, “kita tahu kalian terlibat dalam apa yang terjadi pada Sundari. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Pak Darman tertawa kecil, namun tawa itu terdengar hampa. “Kalian tidak mengerti. Kalian hanya melihat sebagian dari gambaran besar ini. Sundari dan Bagas terlalu naif. Mereka berusaha melawan takdir yang sudah digariskan untuk desa ini.”
“Takdir?” ulang Raka. “Apa maksudmu?”
Pak Darman mendekat dengan langkah pasti, suaranya semakin rendah. “Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Sundari dan Bagas terlalu berani mengungkapkan rahasia yang telah lama terkubur. Dan sekarang, kalian berdua—”
Belum sempat Pak Darman menyelesaikan kalimatnya, Amira bergerak cepat, memukul benda yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke arah Pak Darman. Pak Darman dengan sigap menghindar, tetapi itu cukup untuk memberi mereka waktu untuk bersiap.
“Raka, hati-hati!” teriak Amira saat dia meraih sebuah potongan kayu besar untuk dijadikan senjata sementara.
Pak Darman tidak terpancing. Dia bergerak dengan cepat, tangannya bergerak ke dalam kantong jubahnya, mengeluarkan sebuah pisau kecil yang mengkilap. “Kalian tidak mengerti apa yang kalian hadapi,” katanya, tatapannya semakin tajam. “Aku sudah menjadi bagian dari ini sejak lama. Apa yang Sundari dan Bagas coba lindungi… itu lebih berbahaya daripada yang kalian pikirkan.”
Raka, yang sudah siap dengan pisau kecilnya, maju lebih dulu. Dengan gerakan cepat, ia menyerang Pak Darman, tetapi Pak Darman dengan mudah menghindar dan membalas serangan itu dengan sebuah tendangan yang membuat Raka terjatuh ke lantai.
“Raka!” teriak Amira, berlari untuk membantu. Namun, Pak Darman lebih cepat, dan sebelum dia sempat bergerak, pria itu menendang Amira ke sisi ruangan dengan kekuatan yang luar biasa.
Amira terhuyung, namun dengan cepat bangkit. “Kita tidak bisa berhenti sekarang,” bisiknya kepada dirinya sendiri.
Di sisi lain, Raka juga sudah bangkit. “Kita harus menghentikannya, Amira. Tidak ada jalan mundur!”
Saat Pak Darman hendak menyerang lagi, tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari luar ruangan. Seseorang yang lain datang. Sosok itu keluar dari bayang-bayang, mengenakan pakaian hitam dan menutupi wajahnya dengan topeng. Tanpa ragu, sosok itu langsung menyerang Pak Darman, menendang pisau yang ada di tangannya hingga terlempar jauh.
Pak Darman terkejut, mencoba menghindar, namun sosok itu sudah lebih gesit. Raka dan Amira, yang melihat kesempatan ini, langsung bergerak. Raka segera memukul Pak Darman dari samping, sementara Amira menggunakan kayu untuk menahannya dari belakang.
Perkelahian sengit itu berlangsung beberapa menit, dengan suara keras yang menggema di dalam rumah tua yang sudah rapuh itu. Namun, Pak Darman akhirnya terjatuh ke lantai, tidak bisa melawan lagi.
Sosok yang datang membantu mereka menatap Amira dan Raka dengan tatapan tajam, kemudian melepas topengnya. Amira dan Raka terkejut—itu adalah Bu Mirah, pemilik penginapan yang selama ini terlihat begitu tenang.
“Bu Mirah?” kata Amira terkejut. “Tapi kenapa?”
Bu Mirah menghela napas berat. “Aku tahu kalian akan menemukannya. Sundari dan Bagas harus dihadapi, dan aku yang terakhir tahu. Tapi tidak ada pilihan lain. Aku harus melindungi desa ini.”
Raka mendekat dengan penuh pertanyaan. “Melindungi desa dari apa, Bu Mirah?”
Bu Mirah menatap mereka dengan serius. “Kalian baru saja menemukan apa yang seharusnya tidak ditemukan. Rahasia ini sudah ada di sini sejak lama—sejak nenek moyang kita. Pak Darman berusaha mengendalikannya. Tapi kalian tidak tahu apa yang sebenarnya ada di balik itu semua.”
Dia meraih buku besar yang terletak di meja dan memberikannya kepada Amira. “Buku ini berisi tentang sesuatu yang sangat berbahaya—sesuatu yang bisa mengubah takdir seluruh desa ini.”
Amira membuka halaman pertama dan membaca tulisan yang hampir tak terbaca. “Ini adalah ritual kuno… yang dapat mengontrol nasib seluruh desa.”
Mereka terdiam. Segalanya menjadi lebih jelas—dan lebih gelap. Kebenaran yang selama ini mereka cari ternyata jauh lebih menakutkan dari yang bisa mereka bayangkan.***
———-THE END——-