Bab 1: Pertemuan Dua
Ava duduk di sudut kelas dengan buku-buku tertata rapi di mejanya. Sejak kecil, ia sudah terbiasa menyendiri, menikmati kesendirian di tengah keramaian. Dunia sekolahnya lebih sering terisi oleh kisah-kisah orang lain, sementara dirinya hanya menjadi penonton yang mencatat setiap kejadian tanpa ingin ikut terlibat. Hari-hari Ava dipenuhi dengan rutinitas yang sudah terbiasa. Setiap pagi, ia akan datang tepat waktu, duduk di tempatnya, menyimak pelajaran dengan sungguh-sungguh, lalu pulang ke rumah tanpa banyak berinteraksi.
Namun, hari ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa aneh. Mungkin itu karena kehadiran seorang siswa baru yang duduk di sebelahnya. Ryan, nama yang dipanggil oleh guru saat mengenalkan dirinya di awal pelajaran. Ava tidak terlalu peduli pada sosok itu pada awalnya. Lagi pula, Ryan tampaknya bukan tipe orang yang menarik perhatiannya. Namun, ketika ia melangkah ke dalam kelas dengan senyum lebar dan langkah percaya dirinya, sesuatu di dalam diri Ava terasa bergerak.
Ryan bukanlah tipe anak baru yang pendiam dan canggung. Sebaliknya, ia langsung menyapa beberapa teman di kelas dan dengan mudah membuat mereka tertawa. Aura kebahagiaannya seolah menular ke seluruh ruangan. Ketika guru menyuruh Ryan untuk memilih tempat duduk, Ava tidak menyangka bahwa ia akan memilih kursi di sebelahnya. Untuk beberapa detik, Ava hanya bisa menatapnya dengan sedikit terkejut. Ia sudah terbiasa duduk sendirian, menikmati kedamaian dalam kesunyian kelas. Namun, kehadiran Ryan membuat segalanya terasa berbeda.
“Eh, kamu Ava kan?” tanya Ryan dengan suara yang ceria saat duduk di sampingnya. Ia menatap Ava dengan senyum ramah yang langsung membuat suasana menjadi lebih ringan.
Ava hanya mengangguk pelan, mencoba untuk tidak terlihat canggung meskipun di dalam hatinya ada rasa sedikit tidak nyaman. Ia biasanya tidak terlalu suka diganggu saat sedang serius dengan pelajaran.
“Aku Ryan. Baru pindah ke sini,” lanjut Ryan, tangannya terulur ke arah Ava seolah ingin berjabat tangan.
Ava menatap tangan Ryan sebentar, bingung apa yang harus dilakukan. Ia jarang berinteraksi dengan orang asing, apalagi yang begitu terbuka seperti Ryan. Namun, akhirnya ia mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Ryan, merasa sedikit kikuk.
“Senang bertemu denganmu,” kata Ryan dengan senyum yang semakin lebar.
Ava hanya membalas dengan anggukan kecil, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. Hari itu, pelajaran berlangsung seperti biasa, meskipun ada satu hal yang berbeda. Di setiap jeda waktu yang ada, Ava bisa merasakan mata Ryan sering melirik ke arahnya. Seperti ada yang ingin dia katakan, namun Ryan lebih memilih untuk diam.
Setelah bel, saat istirahat tiba, Ryan mengejutkan Ava dengan ajakan yang sama sekali tidak ia duga.
“Hei, kamu mau ikut makan siang bareng?” tanya Ryan sambil melirik sekilas ke arah Ava.
Ava hampir terkejut, tidak menyangka Ryan akan mengajaknya. Biasanya, ia lebih suka makan sendirian atau bersama dengan satu atau dua teman dekatnya. “Aku… aku biasa makan sendirian,” jawab Ava, sedikit ragu.
Ryan tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk dengan senyum yang tetap ada di wajahnya. “Ah, kalau begitu, nanti kita makan bareng di lain waktu ya. Lagipula, aku belum kenal banyak orang di sini. Mungkin kamu bisa menunjukkan beberapa tempat di sekitar sekolah?”
Ava tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit lebih hangat dengan kata-kata Ryan. Ia tidak terbiasa dengan perhatian seperti itu, apalagi dari seseorang yang baru ia kenal. Namun, ia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Kenapa Ryan begitu ingin mengenalnya? Apa yang membuatnya tertarik padanya, padahal ia hanyalah seorang siswi yang lebih suka menghabiskan waktu dengan buku-buku?
Sejak pertemuan itu, Ava merasa ada perubahan dalam rutinitasnya. Ryan mulai lebih sering menyapanya, bahkan ia mulai merasa terbiasa dengan keberadaan Ryan di dekatnya. Ketika pelajaran dimulai, Ryan akan duduk dengan ceria di sebelahnya, menatap papan tulis sambil sesekali melirik ke arah Ava, seolah memastikan apakah ia baik-baik saja.
Ava, meski tak ingin mengakuinya, mulai merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ada kehangatan yang tiba-tiba datang, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Biasanya ia lebih suka menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya, namun dengan Ryan, semuanya terasa berbeda.
Hari berikutnya, saat bel istirahat berbunyi, Ava mendapati dirinya sudah lebih santai. Ia tidak merasa canggung ketika Ryan mengajaknya untuk makan siang bersama. Bahkan, kali ini, ia dengan senang hati mengiyakan ajakan tersebut. Mereka duduk bersama di luar ruangan, menikmati makan siang di bawah naungan pohon besar yang berada di halaman sekolah.
“Ava, kenapa kamu lebih suka sendirian?” tanya Ryan dengan nada penasaran, saat mereka sedang duduk menikmati makanan.
Ava terdiam sejenak, tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia sudah terbiasa hidup sendiri, tidak terbiasa berbagi kisah atau emosi dengan orang lain. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Ryan yang membuatnya merasa nyaman, seolah tidak ada yang perlu ia sembunyikan.
“Aku hanya… merasa lebih tenang sendirian,” jawab Ava akhirnya, sedikit menghindari tatapan Ryan yang semakin intens.
Ryan mengangguk pelan, tampaknya mengerti, meskipun ada sedikit rasa penasaran yang masih tampak di wajahnya. “Aku mengerti. Tapi aku percaya, terkadang ada orang-orang yang datang untuk membuat semuanya lebih mudah. Mungkin kita bisa jadi teman, kan?”
Ava merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, ada perasaan hangat yang perlahan menyebar di dalam dirinya. Tanpa sadar, ia mulai merasa nyaman dengan kehadiran Ryan, dengan cara dia membuat dunia yang semula terasa sepi, menjadi lebih hidup.
Hari itu berakhir dengan senyum yang lebih lebar dari biasanya, meskipun Ava masih belum sepenuhnya mengerti perasaan yang baru saja muncul dalam dirinya. Namun, satu hal yang pasti, kehadiran Ryan mulai membawa warna baru dalam kehidupannya yang selama ini hanya dipenuhi oleh rutinitas yang monoton.*
Bab 2: Tumbuhnya Perasaan
Hari-hari setelah pertemuan pertama dengan Ryan terasa berbeda bagi Ava. Sejak hari itu, Ryan selalu duduk di sebelahnya di kelas, membuat suasana pelajaran menjadi lebih hidup dengan obrolan ringan yang mereka lakukan. Ava mulai merasa tidak sepi lagi. Ia yang biasa menghabiskan waktu di perpustakaan atau di sudut-sudut sepi sekolah, kini merasakan kehadiran seseorang yang membuat segalanya menjadi lebih berwarna.
Ryan, dengan sifat cerianya yang menular, mulai membuka dunia baru bagi Ava. Setiap pagi, saat ia datang ke sekolah, Ava merasakan semacam kegembiraan yang tidak biasa. Biasanya, ia tidak peduli dengan hari-harinya, tetapi sekarang ia merasa ada sesuatu yang menantinya di sekolah—sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup.
“Pagi, Ava!” Ryan menyapanya dengan senyum lebar saat mereka bertemu di gerbang sekolah. Tentu saja, senyum Ryan yang lebar dan penuh energi itu selalu membuat Ava merasa sedikit canggung, namun juga senang. Ia tidak pernah terbiasa dengan sapaan pagi yang begitu ceria.
“Hai,” jawab Ava dengan suara pelan, berusaha tidak terlihat terlalu canggung.
Seiring berjalannya waktu, interaksi mereka semakin sering. Ava yang awalnya hanya mengangguk kecil saat Ryan menyapa, kini mulai membalas dengan sedikit percakapan. Mereka saling berbicara tentang pelajaran, tentang buku yang mereka baca, atau bahkan sekadar berbicara tentang hal-hal kecil yang terjadi di sekolah. Ryan akan selalu berusaha membuat Ava tertawa dengan gurauannya yang ringan, dan meskipun Ava jarang tertawa lepas, ia merasa senang bisa berbicara dengannya.
“Jadi, kamu suka baca buku fiksi, kan?” tanya Ryan suatu hari saat mereka sedang duduk di bangku taman sekolah, menikmati waktu istirahat.
Ava yang biasanya lebih suka menyendiri dan tidak banyak bercerita tentang dirinya, merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Iya… aku suka,” jawabnya dengan ragu, mencoba mencerna pertanyaan yang tiba-tiba muncul.
“Wah, aku juga suka! Kalau begitu, kita harus saling tukar rekomendasi buku suatu saat nanti,” kata Ryan antusias, seolah menemukan teman sejalan dalam hal yang ia sukai.
Ava hanya mengangguk, meskipun di dalam hatinya, ia merasa sedikit bingung. Kenapa Ryan begitu ingin mengenalnya? Ia tidak terbiasa dengan perhatian yang begitu tulus dari orang lain, apalagi dari seorang anak laki-laki sepopuler Ryan.
Namun, ada sesuatu dalam diri Ryan yang membuat Ava merasa nyaman. Mungkin itu karena Ryan tidak pernah memaksakan diri atau berusaha mengubah siapa dirinya. Ia hanya ada di sana, berbicara dengan Ava seolah mereka sudah lama saling mengenal. Sifat Ryan yang penuh semangat dan spontanitasnya membuat Ava merasa dunia yang sebelumnya sepi, kini mulai dipenuhi dengan tawa dan percakapan yang menyenangkan.
Semakin hari, Ava merasa semakin dekat dengan Ryan. Namun, di sisi lain, ia juga merasakan perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Setiap kali Ryan mengajaknya berbicara, hatinya berdebar lebih cepat. Ketika mereka duduk berdampingan di kelas, Ava merasa matanya tidak bisa lepas dari senyum Ryan yang hangat. Ryan tidak hanya sekadar anak baru yang ceria. Ia mulai menjadi seseorang yang Ava cari-cari, seseorang yang membuat hatinya merasa lebih hidup.
Suatu sore, setelah pelajaran selesai, Ava dan Ryan berjalan keluar sekolah bersama. Matahari mulai terbenam di ufuk barat, memberikan cahaya keemasan di langit yang tampaknya semakin memperindah suasana. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari tugas sekolah hingga rencana liburan musim panas yang akan datang. Namun, di tengah obrolan itu, Ava merasa ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Ia merasakan ada semacam ketegangan yang tidak bisa ia jelaskan. Setiap kali Ryan menatapnya, ada perasaan yang sulit untuk didefinisikan, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka.
“Kamu tahu, Ava,” kata Ryan dengan nada lebih serius, saat mereka sedang berjalan menyusuri jalan setapak menuju tempat parkir. “Aku sering merasa, meskipun aku banyak teman, aku masih merasa ada sesuatu yang kurang. Seperti, ada ruang kosong dalam hidupku yang belum bisa aku isi.”
Ava yang mendengar kalimat itu terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Apa maksud Ryan? Apakah ia sedang berbicara tentang sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa? Mungkinkah Ryan merasakan hal yang sama dengan apa yang ia rasakan?
“Apakah kamu pernah merasa begitu?” tanya Ryan, seolah ingin mendalami perasaannya lebih lanjut.
Ava mengangkat bahu, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku tidak tahu. Mungkin aku lebih suka sendiri, karena itu lebih nyaman,” jawabnya pelan.
Ryan tampak merenung sejenak, lalu tersenyum kecil. “Tapi kadang, kita butuh orang lain untuk membuat hidup kita lebih berwarna, bukan?”
Ava hanya tersenyum tipis, merasa sedikit bingung dengan kata-kata Ryan. Bagaimana bisa seseorang seperti Ryan merasa kosong? Bukankah ia selalu dikelilingi teman-teman dan selalu ceria? Namun, di balik senyum lebar dan keceriaan Ryan, Ava merasa ada sisi lain yang belum sepenuhnya ia pahami. Ada sisi yang lebih dalam, sesuatu yang membuat Ava merasa ingin tahu lebih banyak tentang Ryan, tentang kehidupan yang ia jalani di luar sekolah ini.
Hari-hari mereka terus berlalu dengan cara yang sama. Ava mulai menikmati kebersamaannya dengan Ryan, meskipun ia tidak sepenuhnya siap untuk menghadapi perasaan yang tumbuh di dalam hatinya. Setiap kali Ryan menyentuh bahunya dengan ringan atau tertawa bersama, Ava merasa ada sesuatu yang mengalir di antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan biasa.
Namun, meskipun perasaan itu semakin kuat, Ava tidak tahu harus berbuat apa. Ia takut, takut jika perasaan yang mulai tumbuh ini tidak sesuai dengan kenyataan. Apa yang sebenarnya dirasakan Ryan padanya? Apakah ia hanya melihat Ava sebagai teman, atau ada sesuatu yang lebih?
Pada suatu hari, saat mereka sedang duduk di taman sekolah, Ava memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya. “Ryan, aku… aku merasa sedikit bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana dengan semua ini,” katanya, suara Ava sedikit bergetar.
Ryan menatapnya dengan mata penuh perhatian. “Bingung tentang apa?” tanyanya lembut.
Ava menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku… aku merasa ada sesuatu yang lebih di antara kita. Tapi aku juga takut, aku tidak tahu apakah kamu merasakannya juga.”
Ryan terdiam sejenak, kemudian tersenyum. “Ava, aku tidak pernah berniat membuatmu bingung. Tapi aku juga merasakannya. Mungkin kita belum tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin kita berjalan bersama, dan lihat kemana arah ini membawa kita.”
Ava merasa lega, meskipun hatinya masih berdebar kencang. Ternyata, perasaan yang ia rasakan bukan hanya ada dalam pikirannya saja. Ryan pun merasakannya, meskipun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, satu hal yang pasti, Ava tahu bahwa hubungan mereka, meskipun baru dimulai, sudah mulai tumbuh dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.*
Bab 3: Cinta yang Tak Terungkap
Waktu terus berjalan, dan Ava merasa dunia sekitarnya semakin berbeda. Keberadaan Ryan dalam hidupnya membuat setiap hari terasa lebih cerah. Ia yang dulu begitu terbiasa menyendiri, kini merasa seperti ada seseorang yang benar-benar peduli padanya. Ryan selalu ada, memberi perhatian, dan membuatnya tertawa. Walaupun Ava tidak pernah secara langsung menyatakan apa yang ia rasakan, hatinya sudah tahu. Ia jatuh cinta. Meskipun perasaan itu tumbuh secara perlahan, semakin kuat seiring berjalannya waktu. Namun, ada satu hal yang membuat Ava ragu—Ryan terlalu sempurna untuknya.
Setiap kali Ryan tersenyum, Ava merasa seperti dunia berhenti sejenak. Ada sesuatu yang begitu memikat dalam tatapan matanya, yang membuat Ava merasa seolah ia adalah satu-satunya orang yang ada di dunia ini. Namun, perasaan itu juga membawa kebingungan. Bagaimana bisa seseorang seperti Ryan, yang begitu populer dan dikelilingi oleh banyak orang, tertarik padanya, seseorang yang biasa saja dan selalu menghindar dari perhatian? Ia merasa tidak pantas mendapatkan perasaan itu.
Suatu hari, setelah pelajaran berakhir, Ryan menunggu Ava di depan gerbang sekolah, seperti biasa. Saat Ava melihat Ryan, ada kehangatan yang langsung terasa di hatinya. Ryan melambaikan tangan dengan ceria, memanggilnya dengan senyum yang selalu bisa membuat hati Ava berdebar.
“Hey, Ava! Nanti sore ada latihan basket, mau ikut?” tanya Ryan dengan antusias. Sinar matahari sore itu menambah kecerahan di wajahnya, dan Ava hampir tidak bisa menahan senyum kecil di bibirnya.
Ava sedikit terkejut. Selama ini, ia tidak pernah terlalu tertarik pada olahraga, apalagi olahraga yang melibatkan banyak orang. Ia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku dan menghindari keramaian. Namun, kali ini, mendengar ajakan Ryan, ia merasa ada sedikit dorongan untuk ikut. Mungkin, ini adalah cara untuk lebih dekat dengan Ryan, atau mungkin ini cara untuk mengekspresikan perasaan yang selama ini dipendam.
“I… aku tidak begitu suka olahraga,” jawab Ava, sedikit ragu.
Ryan mengangguk, namun senyumnya tetap tidak pudar. “Tak masalah, mungkin nanti kita bisa ngobrol-ngobrol di luar lapangan. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama, itu saja.”
Kata-kata Ryan seperti membuat hati Ava bergetar. Seolah-olah, apa pun yang terjadi, Ryan selalu ingin ada untuknya. Tanpa berpikir panjang, Ava mengangguk. “Oke, aku akan datang. Tapi aku cuma akan menonton, ya?”
Ryan tersenyum lebar, lalu menepuk bahu Ava dengan lembut. “Itu sudah cukup. Kita bisa bersenang-senang.”
Sore itu, setelah sekolah selesai, Ava merasa cemas namun juga bersemangat. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi perasaan yang mengalir dalam dirinya membuatnya tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Ketika Ava tiba di lapangan basket, Ryan sudah berada di sana bersama teman-temannya, tampaknya sedang bersiap-siap untuk latihan. Meskipun Ava tidak tahu apa yang harus dilakukan, ia merasa tenang begitu melihat Ryan tersenyum padanya.
“Ava! Aku sudah menunggu kamu,” kata Ryan, berjalan mendekat dengan langkah cepat. Seolah-olah, ia sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersamanya.
Ava hanya tersenyum kecil dan berjalan ke samping lapangan, memilih tempat yang cukup jauh agar tidak mengganggu latihan. Ryan duduk di sampingnya, tidak terganggu oleh teman-temannya yang sedang berlatih. Sepertinya, hanya ada mereka berdua di dunia ini, meskipun suara teman-teman Ryan dan bola basket yang memantul di lapangan mengisi udara.
Mereka mulai berbicara tentang banyak hal—tentang sekolah, tentang rencana mereka di masa depan, dan tentang hal-hal kecil yang ternyata memiliki makna besar. Ava merasa lebih nyaman dengan Ryan, dan kali ini ia tidak merasa canggung saat berbicara. Keberadaan Ryan seolah membawa rasa damai dalam dirinya, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Tiba-tiba, Ryan melirik ke arah Ava, dan ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat hati Ava berdebar lebih cepat. “Ava, ada sesuatu yang ingin aku katakan,” kata Ryan dengan suara serius, meskipun senyum masih terukir di bibirnya. “Aku merasa, kita sudah cukup lama saling mengenal, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Tidak hanya sekadar teman.”
Ava merasa jantungnya berhenti sejenak. Kata-kata Ryan terasa berat, tetapi juga penuh harapan. Ryan sedang mengungkapkan sesuatu, dan Ava tidak tahu bagaimana harus merespons. Ia hanya bisa menatap Ryan, merasa cemas tetapi juga merasa ada kehangatan yang tumbuh di dalam hatinya.
“Ryan, aku juga merasa begitu,” jawab Ava, suara Ava sedikit gemetar. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan, tetapi hatinya sudah mulai mengungkapkan perasaan yang selama ini ia simpan. “Aku… aku suka kamu.”
Ryan terdiam, tetapi senyum di wajahnya semakin lebar. “Aku juga suka kamu, Ava,” jawabnya dengan penuh keyakinan, dan untuk pertama kalinya, Ava merasa dunia berhenti sejenak. Kata-kata itu mengalir begitu alami, seolah sudah lama mereka berdua menunggu untuk mengungkapkan perasaan ini.
Mereka saling menatap, dan ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi kebingungan. Semua yang ada hanya perasaan yang tulus dan saling memahami. Ryan akhirnya menggenggam tangan Ava, dan meskipun mereka berada di tengah keramaian, dunia seakan-akan hanya milik mereka berdua.
Namun, meskipun mereka sudah mengungkapkan perasaan masing-masing, Ava merasa sedikit cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagaimana mereka akan menjalani hubungan ini? Apa yang akan orang lain pikirkan? Semua pertanyaan itu muncul di benaknya, tapi untuk pertama kalinya, Ava merasa bahwa ia ingin menjalani hubungan ini tanpa terlalu memikirkan hal-hal lain.
Ryan menatapnya, membaca kegelisahan di wajah Ava. “Ava, jangan khawatir. Kita akan melewati semuanya bersama. Aku akan selalu ada untukmu,” kata Ryan dengan penuh keyakinan, seolah memberinya jaminan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ava merasa lega mendengar kata-kata itu. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang indah. Sesuatu yang selama ini ia takutkan, tetapi kini merasa lebih mudah dijalani dengan Ryan di sisinya. Mungkin, cinta memang bukan sesuatu yang bisa diprediksi, tetapi dengan Ryan, Ava merasa bahwa apapun yang terjadi, mereka akan bersama menghadapi dunia.
Malam itu, ketika Ava pulang ke rumah, ia merasa jantungnya berdebar dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta yang awalnya tersembunyi dalam dirinya kini mulai terungkap, dan meskipun jalan yang mereka tempuh mungkin tidak mudah, Ava tahu bahwa mereka akan melewatinya bersama.*
Bab 4: Perasaan yang Tumbuh Lebih Dalam
Ava berjalan menyusuri jalan pulang dengan langkah yang agak berat, pikirannya berputar tak karuan. Hari itu, rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan—satu langkah yang telah ia ambil dengan penuh keberanian, dan akhirnya, Ryan tahu perasaannya. Dunia seolah berhenti sejenak ketika ia mengungkapkan isi hatinya, dan untuk pertama kalinya, ada kelegaan yang mendalam. Tapi, sekaligus ada kekhawatiran yang tak bisa diabaikan.
Apa yang akan terjadi setelah ini? pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Bagaimana jika ini hanya sementara? Bagaimana jika Ryan hanya menganggapnya sebagai sebuah perasaan sesaat?
Namun, meskipun kegelisahan itu terus membayangi, Ava tak bisa menahan perasaan hangat yang menyelimuti hatinya. Ryan telah mengubah cara pandangnya tentang banyak hal. Dengan dia, Ava merasa hidupnya lebih berwarna, lebih berarti, seperti ada bagian dari dirinya yang baru ditemukan. Setiap kali mereka berbicara, setiap tawa yang mereka bagi, Ava merasa seperti dunia ini hanya milik mereka berdua. Momen-momen kecil yang mereka habiskan bersama, meskipun sederhana, selalu terasa istimewa.
Beberapa hari setelah pernyataan perasaan itu, hubungan mereka semakin erat. Mereka mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama—pagi-pagi datang ke sekolah bersama, duduk bersebelahan di kelas, dan berbicara ringan di sela-sela pelajaran. Ketika bel sekolah berbunyi, mereka melanjutkan hari mereka dengan lebih banyak momen kebersamaan. Mereka sering berjalan-jalan di taman atau menghabiskan waktu di kedai kopi favorit mereka, berbicara tentang berbagai hal. Kehadiran Ryan menjadi pelengkap bagi hari-hari Ava, dan setiap detik yang mereka habiskan bersama terasa seperti sebuah hadiah.
Namun, semakin dekat mereka, semakin Ava merasa ada sesuatu yang belum ia ketahui tentang Ryan. Ada sisi dari dirinya yang terasa tertutup rapat, sebuah bagian dari kehidupannya yang tampaknya tidak ingin ia ungkapkan. Ryan selalu ceria, penuh semangat, dan tampak seperti tak pernah ada yang mengganggu pikirannya. Namun, ada kalanya Ava merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah keraguan yang terpancar di matanya, sebuah ketegangan yang muncul dari dalam dirinya yang sulit untuk dijelaskan. Ryan tidak pernah benar-benar bercerita tentang dirinya secara mendalam, dan itu membuat Ava merasa ada sesuatu yang belum sepenuhnya terbuka.
Suatu sore, setelah latihan basket yang melelahkan, Ava menunggu Ryan di bangku taman seperti biasa. Hari itu cuaca agak mendung, dengan awan yang menggelayut rendah di langit. Angin sepoi-sepoi bertiup, membuat daun-daun di sekitar mereka bergerak perlahan. Ryan sedang berbicara dengan teman-temannya di sisi lapangan, dan Ava menunggu dengan sabar, meskipun perasaan cemas semakin menyelimuti dirinya. Ada sesuatu dalam diri Ryan yang tak bisa ia pahami sepenuhnya, dan itu membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Ketika akhirnya Ryan mendekat, Ava merasa ada yang berbeda. Wajahnya tampak lelah, senyumnya tak semenyenangkan biasanya. Ryan duduk di samping Ava, menghela napas panjang seolah-olah ia membawa beban berat di pundaknya. Ava tak bisa mengabaikan perasaan cemas yang tiba-tiba muncul.
“Kamu kelihatan capek,” kata Ava dengan suara lembut, berusaha untuk tidak menunjukkan kekhawatirannya. “Ada yang salah?”
Ryan mengangguk pelan, matanya terfokus pada tanah di depannya. “Ya, sedikit. Aku… sedang banyak berpikir.”
Ava menatapnya dengan cermat. “Kamu tahu, kalau kamu ingin bicara, aku selalu ada untukmu.”
Ryan terdiam, kemudian melirik Ava dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada ketegangan yang membuat Ava merasa semakin cemas. Akhirnya, setelah beberapa detik, Ryan berbicara. “Ava, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu. Aku tahu aku sudah mengungkapkan perasaanku padamu, tapi… aku juga ingin kamu tahu lebih banyak tentang diriku.”
Mendengar itu, hati Ava langsung berdebar. Ada sesuatu dalam nada suara Ryan yang membuatnya merasa bahwa apa yang akan disampaikan akan jauh lebih dalam dan serius. Mungkin, inilah saatnya untuk membuka segala sesuatunya.
“Apa itu?” tanya Ava, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya tidak bisa menipu.
Ryan menghela napas panjang. “Aku bukan orang yang mudah untuk membuka diri. Ada banyak hal yang aku sembunyikan, banyak hal yang tidak pernah aku ceritakan pada siapapun. Hal-hal yang mungkin akan membuatmu ragu atau bahkan bisa membuatmu berpikir dua kali tentang hubungan kita.”
Ava merasakan sedikit kekhawatiran merayap di dalam dirinya. Namun, ia memutuskan untuk mendengarkan sepenuhnya. “Apa pun itu, Ryan, aku di sini untukmu. Kita bisa menghadapinya bersama, tak ada yang perlu disembunyikan.”
Ryan menatap Ava sejenak, lalu tersenyum kecil. Namun senyum itu terlihat penuh dengan keraguan, seolah ia merasa tidak mudah untuk berbagi beban yang telah lama ia simpan. “Aku merasa banyak tekanan dari keluargaku. Mereka selalu berharap aku menjadi seseorang yang sempurna—selalu berprestasi, selalu bahagia. Tapi kenyataannya, itu sangat berat untukku. Aku sering merasa terperangkap dalam harapan-harapan mereka, dan aku merasa seperti ada beban besar yang harus aku bawa sendirian. Aku tidak bisa berbagi perasaan itu dengan siapa pun.”
Ava mendengar dengan seksama, hatinya terenyuh mendengar cerita Ryan. Meskipun Ryan selalu terlihat ceria dan penuh energi, ia tak pernah menyadari betapa berat beban yang sedang ia pikul. Ava ingin sekali memberikan pelukan hangat untuk Ryan, agar ia tahu bahwa ia tidak sendirian.
“Aku tidak tahu harus berkata apa, Ryan,” kata Ava dengan pelan. “Tapi aku ingin kamu tahu satu hal—aku di sini untukmu. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap ada, dan aku akan mendukungmu.”
Ryan menatap Ava dengan penuh arti. Senyum yang kecil namun tulus akhirnya muncul di wajahnya. “Terima kasih, Ava. Aku tidak tahu bagaimana cara berterima kasih padamu. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa sedikit lebih ringan.”
Ava merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Seolah semua beban yang ada di hati Ryan sedikit terangkat, dan ia bisa merasakan kedekatan mereka semakin mendalam. Namun, di balik kehangatan itu, ada pertanyaan yang masih menggantung di hati Ava. “Ryan, apa yang sebenarnya kamu inginkan dari hubungan ini? Maksudku, aku tahu kita baru mulai, dan aku ingin tahu apa harapanmu dariku.”
Ryan terdiam, seolah kata-kata Ava mengusik pikirannya. Ini adalah pertanyaan yang tak mudah dijawab, karena Ryan sendiri juga belum tahu apa yang akan terjadi ke depan. Namun, akhirnya ia berkata, “Aku tidak tahu pasti, Ava. Tapi yang jelas, aku ingin lebih banyak waktu bersama kamu. Aku ingin kita saling mengenal lebih dalam dan melihat ke mana hubungan ini akan membawa kita.”
Mendengar itu, Ava merasa sedikit lega. Tidak ada jaminan pasti tentang masa depan mereka, tapi setidaknya Ryan jujur tentang perasaannya. Itu sudah cukup untuk membuat Ava merasa tenang.
Sejak hari itu, hubungan mereka semakin kuat. Mereka berbicara lebih banyak, menghabiskan lebih banyak waktu bersama, dan saling mendukung satu sama lain. Namun, meskipun begitu, Ava masih merasakan ada ketegangan dalam dirinya yang tidak bisa ia hilangkan sepenuhnya. Ia takut, takut jika hubungan ini tidak akan bertahan lama atau jika ada sesuatu yang akan merusaknya.
Suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman setelah sekolah, Ava memandang Ryan dengan tatapan serius. “Ryan, aku ingin kita berbicara tentang masa depan. Kita sudah mulai menjalin hubungan, dan aku ingin tahu apakah kita siap untuk apa yang mungkin akan datang.”
Ryan menatap Ava, lalu menghela napas. “Aku tahu apa yang kamu rasakan, Ava. Aku juga berpikir tentang hal yang sama. Tapi yang penting adalah kita berjalan bersama. Tidak ada yang perlu dipaksakan. Aku percaya kita akan melewati semua ini, satu langkah pada satu waktu.”
Mendengar itu, Ava merasa sedikit lega. Mungkin memang benar, tidak ada yang perlu dipaksakan. Apa pun yang terjadi, mereka akan terus berjalan bersama.*
Prolog: Cinta yang Tertunda
Ava berdiri di depan jendela kelas, menatap langit senja yang mulai menghitam. Hembusan angin yang sejuk membuat rambutnya berkibar perlahan, namun perasaan di hatinya tidak seindah pemandangan di luar sana. Sebuah ketidakpastian yang telah lama ia rasakan menggelayuti pikirannya. Ia memandang sekeliling, seakan mencari jawaban dari kebingungannya, namun hanya ada keheningan yang membalutnya.
Langit yang mulai gelap itu tak ubahnya dengan perasaan Ava yang terlilit banyak tanda tanya. Ia merasa ada sesuatu yang terhalang di antara dirinya dan Ryan, meskipun mereka telah berteman selama bertahun-tahun. Ada perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan, namun seolah-olah ada dinding tak terlihat yang membatasi mereka. Ava tahu, sudah lama hatinya berharap, namun apa yang ia harapkan sepertinya tak kunjung datang.
Sejak pertama kali bertemu dengan Ryan di bangku SMP, perasaan Ava mulai berubah. Keberadaan Ryan di hidupnya adalah sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ryan adalah sosok yang ceria, penuh semangat, dan memiliki senyum yang selalu mampu membuat hati Ava berdebar. Namun, meskipun Ryan selalu dekat dengan Ava, ada sebuah jarak yang tak bisa ia rapatkan. Ada perasaan yang tidak terungkapkan, seolah-olah ada dinding di antara mereka yang tak bisa dihancurkan dengan mudah.
Ava mengenal Ryan sejak mereka duduk di bangku SMP. Meski mereka sekelas, hubungan mereka hanya sebatas teman biasa. Ryan yang aktif di berbagai kegiatan sekolah, sementara Ava lebih suka menikmati waktu sendirian. Namun, seiring berjalannya waktu, Ava mulai merasakan ketertarikan pada Ryan. Hal itu datang perlahan, seperti hujan yang turun di musim kemarau—tak terasa, tetapi begitu menenangkan. Setiap senyuman Ryan, setiap tatapan matanya, membuat hati Ava tak bisa berpaling. Ia ingin lebih dari sekadar teman bagi Ryan, tapi rasa itu terasa sulit untuk diungkapkan.
Saat SMA, perasaan Ava terhadap Ryan semakin tumbuh. Mereka menjadi lebih dekat, sering berbicara di sela-sela waktu istirahat atau pulang sekolah. Meski sering menghabiskan waktu bersama, Ava merasa Ryan selalu menaruh jarak, seolah-olah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Di satu sisi, Ryan terlihat seperti seseorang yang penuh dengan kehidupan, namun di sisi lain, ada sebuah kekosongan di balik tatapan matanya. Ada sesuatu yang belum ia bagi dengan Ava, dan Ava merasa tak mampu menembus tembok yang dibangun Ryan di sekitarnya.
Hari itu, setelah jam terakhir pelajaran, Ava memutuskan untuk berbicara dengan Ryan. Ia tidak bisa lagi membiarkan perasaannya terpendam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi takut untuk mengungkapkannya. Sejak pertemuan pertama mereka, ia merasa sudah lama menyimpan perasaan yang mendalam, namun tak pernah bisa menemukan waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Ava sadar bahwa jika ia terus menunggu, ia mungkin akan kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
Ketika mereka berdua duduk di bangku taman sekolah setelah pelajaran selesai, Ava menatap Ryan dengan serius. Suasana sekitar mereka terasa hening. Hanya ada suara angin yang berdesir dan langkah-langkah teman-teman sekolah yang berlalu-lalang. Ava merasakan detak jantungnya yang cepat, dan ia tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.
“Ryan,” panggil Ava dengan suara yang agak gemetar.
Ryan menoleh, dan senyum tipis terukir di wajahnya. “Ya, Ava? Ada apa?”
Ava menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. “Aku… aku ingin berbicara tentang sesuatu,” kata Ava pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Ryan mengerutkan kening, tampak sedikit bingung. “Apa itu?”
Ava menatap mata Ryan, mencoba mencari keberanian. “Aku… aku sudah lama merasa ada sesuatu di antara kita. Aku tahu aku tidak bisa terus-menerus berpura-pura tidak merasakannya. Ryan, aku suka padamu. Aku benar-benar suka padamu.”
Ryan terdiam sejenak, seakan terkejut dengan pernyataan Ava. Ava merasa darahnya berdesir, malu karena sudah mengungkapkan perasaan yang begitu mendalam. Namun, ia tidak bisa lagi menahannya. Perasaannya yang selama ini terkunci rapat, akhirnya terucap. Ada kelegaan yang mengalir di hatinya setelah mengungkapkan apa yang ia rasakan. Namun, kecemasan tetap membayanginya, menunggu respons Ryan yang belum juga datang.
Ryan menunduk, seolah mencerna kata-kata Ava. “Ava, aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” jawabnya dengan suara yang sedikit terputus-putus. “Aku tidak pernah berpikir kita akan sampai di sini.”
Ava merasa hatinya sedikit terluka mendengar jawaban itu. “Aku tahu ini mungkin terlalu tiba-tiba, tapi aku tidak bisa terus menunggu. Aku merasa kita sudah dekat, tapi kenapa kamu selalu menjaga jarak?”
Ryan menghela napas panjang. “Ava, aku tidak bermaksud untuk membuatmu bingung atau terluka. Aku hanya… aku hanya merasa ada banyak hal yang aku belum bisa bagi. Ada banyak hal yang sedang aku perjuangkan di dalam diriku sendiri, dan aku takut itu akan mengganggu hubungan kita.”
Ava terdiam. Ada banyak hal yang belum bisa Ryan ceritakan, dan itu membuatnya semakin ragu. Namun, ia tahu bahwa jika mereka tidak mengungkapkan perasaan mereka sekarang, maka kesempatan itu mungkin tak akan datang lagi. Ia tak ingin menunggu lebih lama, tak ingin hidup dalam bayang-bayang perasaan yang tak terucapkan.
“Apa yang kamu perjuangkan, Ryan?” tanya Ava, mencoba memahami, berharap ada penjelasan lebih lanjut yang bisa memberi pencerahan.
Ryan menatapnya dengan mata yang penuh perasaan. “Aku tidak ingin membebanimu dengan masalahku. Aku tidak ingin kamu merasa tersisih, atau merasa terbebani dengan segala yang ada dalam hidupku.”
Ava menggenggam tangan Ryan, merasakan getaran kecil yang ada di sana. “Aku ingin tahu. Aku ingin mendukungmu, Ryan. Tidak peduli apa pun yang terjadi. Aku tidak ingin kita terhalang oleh apa pun, termasuk perasaan takut.”
Ryan terdiam sejenak, lalu menatap Ava dengan tatapan yang lebih dalam. “Aku akan mencoba, Ava. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa.”
Ava merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu. Meskipun tidak ada kepastian, setidaknya Ryan bersedia mencoba. Dan itu cukup untuk Ava saat ini. Mereka berdua duduk dalam diam, menikmati keheningan yang anehnya memberi rasa nyaman. Ada banyak pertanyaan yang masih menggantung di antara mereka, tetapi Ava tahu, ini adalah langkah pertama menuju sebuah perjalanan yang tak pasti, namun penuh dengan kemungkinan. Sebuah perjalanan yang bisa mengubah hidup mereka selamanya.
Saat matahari mulai tenggelam, Ava merasa bahwa malam yang gelap ini bukan hanya sebuah akhir, tetapi sebuah permulaan. Cinta yang terpendam begitu lama kini mulai terbuka, dan meskipun tak ada janji pasti tentang masa depan, mereka berdua tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan yang panjang. Perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, namun juga penuh dengan harapan. Ava hanya bisa berharap bahwa di masa depan, jarak yang membatasi mereka akan semakin menyusut, dan cinta yang tertunda ini akan menjadi kenyataan yang abadi.***
————–THE END————-